My Adsense

30 Nov 2008

Petarung


SIAPA pun, dalam keadaan apa pun dan di posisi mana pun, tetaplah jadi ‘petarung’ sejati! Ini bukan sekedar anjuran, tetapi sudah merupakan konsekuensi logis dari kondisi kompetisi ekstra ketat yang makin lama makin menghimpit dan malahan bisa membuat otak serasa akan pecah huah.

Perlu dicatat, petarung sejati bukan tidak pernah kalah dalam pertandingan, tetapi yang menganggap setiap kekalahan bukan merupakan pertandingan terakhir. Ciri lain dari petarung sejati adalah mempersiapkan diri secara optimal, pisik maupun mental, sehingga kemampuan yang terbaiklah yang dipertaruhkan. Tidak ada waktu untuk tawar-menawar dalam hal itu! Menganggap remeh para pesaing merupakan kesalahan pertama dan melakukan hal-hal yang unfair atau tidak wajar merupakan kesalahan berikutnya yang merusak citra diri.

(IMAJINASI)“Maldalias” itulah namaku.


“Maldalias” itulah namaku.
(Untaian kata singkat yang sama sekali tidak menyerupai nama seorang pujangga terkenal).
Tidak pernah aku membayangkan kehidupan yang dilewati berbagai rintangan tak jelas. Oleh sebab itu, aku tidak yakin untuk menyukai cara hidup seorang pujangga. Kehidupan mereka selalu ditorehi kelokan alur yang mewarnai perasaan dan cara berpikir.
Namun bila tetap disangkutkan dengan namaku, mungkin abstraknya kehidupan yang kualami hanyalah sebuah kebetulan. Kalaupun ada rentetan kesamaan, itupun hanya caraNya yang telah dipilih untuk ku.
Berbagai masalah yang mendera, terkadang membuat ku hilang bersama pikiran-pikiran sendiri. Mereka yang tidak perduli, menjadikan aku tidak sepenuhnya ada di dunia ini. Kasarnya aku dianggap manusia“Abnormal” yang sengaja memenuhi otak ku dengan pikiran dasyat.

“Semua itu Fitnah!! Karena berseberangan dengan kenyataan sebenarnya”
(Merekalah yang “Abnormal”, bahkan dapat menjadi sinting untuk mengerti isi pikiran yang melebihi batas kenormalan mereka).

Basa-basi tak perlu hanyalah perbuatan rendah,“Aku tidak bodoh untuk merendahkan diri sendiri”.…diam memang jalan terbaik, biarlah aku bermain dengan isi kepala yang peraturanya dibuat sendiri, ”Mengomentari manusia awam hanya akan menghasilkan sampah perdebatan yang mengotori pikiran”.
Terdengar egois memang !
Tapi, “Egois” adalah kodrat, kadang diperlukan sebagai “tameng” bila harkat sering direndahkan. Akhirnya lumrah menjadi pilihan, jika ingin menang dalam keterasingan dunia.

Entah apakah juga “egois”, jika aku pun tidak pernah menganggap hidup yang kujalani adalah kutukan dari sebuah nama, tanggal lahir dan ilmu ramalan apapun.
“Tidak ada makna berharga yang tersirat dalam nama ku,…”
“Masa bodo! , tapi aku menghargai arti dari sebuah nama yang sederhana dan aneh ini…”

Yang aku tahu, aku bangga mengakui keadaan diri ku. Tidak perlu malu dengan aku yang tidak tampan, kurang pintar, hanya sedikit sopan dan tertib, serta berbagai kekurangan lain yang “Egois” ingin kusimpan sendiri. …“Semuanya sudah cukup untuk ku”…

“Persetan..!”, aku yakin hidup dapat dituntun dengan segala daya dan pikiran dasyat yang ada dalam otakku.
“Angin lalu”!, mereka yang menganggapku “aneh bahkan sinting”.
Selama norma-norma itu masih dibuat oleh mereka, tidak ada gunanya mereka tahu kalau akulah yang paling normal. Karena untuk menjadi seorang normal dalam dunia mereka, memaksa aku mengikuti segala tingkah yang bertentangan dengan pikiranku.
Pernah kumerasa ada baiknya menyenangkan hati mereka, ku ikuti segala peraturan dan berlagak semuanya baik. Tapi karena berawal dari keterpaksaan, aku menjadi tidak betah dan memilih konsekuensi terdahulu…“berteman sepi”...,

(Tapi tetap ku tunggu sebuah pengakuan nantinya, bahwa merekalah yang kalah, “bukan aku!”)

“Sendiri” pernah membuat aku menjadi pecinta kesunyian, segalanya menjadi serba individual. Hingga aku tidak tahu, darimana asal pemahaman yang semakin berakar kokoh dalam otakku…
( Kesadaranku berpendapat, hidup sendiri dapat mematikan rasa. Hanya mahkluk tak bernurani yang sanggup melewatinya. “Jelas diriku tidak serendah binatang”. Aku masih butuh keramaian, setidaknya dalam otakku sendiri. Apalagi aku sebenarnya insan paling berbahagia, karena aku mencintai Islam, tercipta dengan tubuh yang lengkap, dikaruniakan talenta yang selalu ingin tahu hingga selalu mencoba dan paling tidak sedikit bisa. Aku juga bisa mendapatkan orang di dekatku, kapanpun ku butuhkan”).
Jika pun ingin mencari pelampiasan sebab, aku pun tidak yakin asal karakterku terbentuk oleh lingkungan.
(Lingkungan tempatku tumbuh adalah keluarga yang mengasihiku, memberlakukan aku sebagaimana mestinya. Mereka mengajariku teori “peduli sesama” sebagai syarat membaur. Mengecap situasi dan kondisi yang termasuk takaran rasa bahagia setiap manusia normal, …semua itu aku terima dan berjalan apa adanya).
Lambat laun, kedewasaan dan kehidupan bermasyarakat yang menghantarkan aku menemukan pikiran bebas sendiri. Berusaha menelusuri setiap detik kehidupan dengan pemahaman yang kucipta sendiri.
“Patutkah ada yang disalahkan, jika aku berusaha menjadi manusia sempurna”?. Jika demikian, mereka yang menghinaku pantas menjadi sebab hingga aku selalu menuntut “hormat” karena takut direndahkan.

Begitulah hidup gw sebagai seorang “Maldalias”. Masih menjadi manusia yang mampu menjelajahi belukar kehidupan, meski berlalunya waktu hanya boleh dituntun oleh nalar cerdas sendiri. Bertarung melawan deraan aral dengan prinsip yang “egois’. Semuanya tetap berjalan apa adanya. Dengan konsekuensi … “diterima dan tersisih ”.
Hingga kini gw masih menjadi seorang mahasiswa Tek. Mesin di kampus UNDIP dan UGM (UNiversitas DIPocin dan Universitas Gunadarma) Depok. Keseharianku sebagai seorang mahasiswa selalu padat diisi dgn kegiatan akademik, ekstrakurikuler dan mencari jodoh.
Nilai kuliah standar2 aja, karena dari dulu gw memang suka yang sedang2 aja. Tapi termasuk disegani teman2 sekampus dalam masalah “otak” karena gw bisa yang mereka bisa tapi mereka belum tentu bisa yang gw bisa, gw gitu lohhh…
Gw juga “gila baca”, maka Gramedia selalu menjadi tempat favorit buat ngisi waktu kosong. Selain itu juga menyandang predikat sbg mahasiswa kere’ yang ga’ punya duit buat beli buku, jadinya teman-teman dengan keterpaksaan harus rela minjamin buku2nya ke gw. Segala macam buku suka gw baca, terutama ttng ilmu pengetahuan umum, agama dan politik juga ok, biografi orang terkenal…apalagi, and never dies about romantic story, filsafat juga ayo…, klo tentang teknik mesin…udah bosan di kuliahan..he..he..
Selain “baca” hobby gw yg baru berkembang tetapi semakin candu adalah Browsing, chating, pokoke ngenet2an lah….gw acungin jempol buat teknologi yang satu ini!!!. Klo orang mau manfaatin Internet buat yg positif,….Apa aja mungkin ,”Dunia keciiiiiil Man!!”.
Dan hobby yang udah sehidup semati sama gw, karena ngelakuinya juga butuh nyali yang gede…”Mix Martial Art”. Gw suka semua olahraga beladiri, dari kecil basic gw Karate, lalu taekwondo dan sekarang ketika kuliah iseng2 gw ikut kungfu dan silat. Sempat juga di Judo, dan Kick Boxing. Gw ga’ main2 dalam menekuni hobby yang satu ini, selalu rutin latihan, berprestasi di tiap sasana, fisik gw benar2 gw geber biar “jago” (RASSIS COMMUNIY), pernah ikut beberapa kali kejuaraan..tapi ga’ menang, bukan karena kalah..hanya kurang beruntung terjun di kelas profesional he..he..
Sekarang jadi ketua sasana Wushu di kampus gw dan silat Merpati Putih di UI,..
Mengenai Jodoh, tak pernah letih gw cari. Ada yang satu gw suka…muncul satu lagi..gw “gebet” aja sekaligus,..bulan ini aja ada 5 cw yang sempat gw gebet,he..he.. tapi berhubung sikap gw yg “diam2 makan dalam”dan terlalu puitis, terlalu menyaring atau bisa juga tau diri. Semua yang gw gebet selalu dalam tahap pedekate, abizznya cw yg gw targetin selalu tajir seeh…padahal kekurangan gw kan dikit…(kurang kaya, kurang tampang, de-el-el…)
Tapi tenang aja, gw tetap optimis ko’…wong nda’ ada yang buat gw harus rendah diri untuk dapetin cw ko’…he..he…tinggal tunggu yang tepat aja..ya..ya..ya…
Tapi emang sempat seeh patah hati, ujung2 nya gw gubah kata2 pengarang bijak kaya gini neeh…

Ada orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekelilingpun mereka tidak memperlihatkan getas hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis, dengan pengarang yang tidak pernah dikenal,
Jika malam tiba mereka mendengus meratapi rindu, menampar muka sendiri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang mengelitik nadinya. Cintanya tak pernah terungkap, karena ngeri membayangkan resiko ditolak. Lama-lama seperti seorang narsis, mereka menyukai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, “indah” tapi merana tak terperi.
Mereka hidup dalam bayangan, mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik paling misterius dari cinta itu sendiri.
Itulah yang aku rasakan…..

Ya udah deh,….pada intinya sesuai kodrat, aku adalah orang biasa, miskin dan kebanyakan. Namun aku ingin kaya pengalaman batin dan petualangan untuk mencari kebenaran hakiki. Sisi mistisku, aku ingin memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga orang. Sisi religius, aku mempunyai harapan dari semua keingin tahuan ku itu, dapat menjemput hidayah Ilahi, daripada hanya duduk termangu-mangu tak jelas arah.
Kesimpulanya, aku ingin memuaskan sifat dasar keingintahuan manusia sampai batas akhir yang telah ditentukan dengan segala karunia apa adanya yang diberikan oleh Nya pada ku.

(CERPEN) Keluarga


Rintik hujan, 13.30 WIB Depok 30, November 2008

Lelaki itu,…tubuh gempalnya tidak dapat menyembunyikan kondisi fisik yang kini semakin lemah, tampak keramahan senyum yang terselip diantara guratan-guratan keriput wajahnya. Usianya telah renta dengan raut yang menua, ditambah tubuh yang tidak setegar dulu. Namun jiwa dan pengalamanya telah diuji berbagai cobaan yang membuat dia semakin tegar melewati usia yang tersisa.

Semenjak muda kemandirian telah mendidiknya. Kampung halaman rela ditinggalkan demi menapaki nasip, hanya bermodalkan asa untuk tujuan hidup yang diharapkan cerah. Berpisah dari ibu, ayah, sanak famili dan rumah tempat dia dibesarkan, hanya pakaian di badan dan ongkos sekedarnya. Tekad lah yang membulatkan niatnya untuk pergi merantau. Kisah lampau yang terjadi tahun -70 an dulu.

Berpuluh tahun berkelana ke berbagai daerah, ribuan kilo jalan yang telah dia tempuh. Berbagai aral yang terlewati, menantang usianya yang kala itu masih tunas. Namun, jiwa seorang perantau adalah “tabah”, hingga dapat menjadikan semuanya itu sebagai pelajaran untuk hidup.

Perlahan tujuan yang dicari semakin tampak, rezeki telah didapat walaupun masih sekedar, cukuplah sebagai bekal tuk merajut masa depan. Dia kemudian berkeluarga, sang istri diperturutkan untuk mengais hidup di negeri orang. Bahtera yang dipertemukan di tanah rantau. Bersama mereka menjunjung “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung “.

Setelah sekian waktu, merekapun dikaruniakan buah hati. Berangsur-angsur karunia itu terus bertambah. Hingga di rumah kecil itu, hiduplah mereka bersama lima orang anak. Tiga lelaki dan dua perempuan. Titipan Ilahi yang sangat mereka cintai, namun takdir membiarkan anak-anak itu tumbuh dengan “kesederhanaan”. Tidak ada sedikitpun yang mereka sesalkan, karena selama ini kata itu yang setia menjadi “sobat” dalam mengarungi kehidupan.

“Kesederhanaan” mendidik manusia untuk tegar dan tidak mudah tergoda rupa semu nikmat duniawi, menggiring pada ujung keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendakNya. Semoga juga dengan “kesederhanaan”, anak-anak mereka dapat tumbuh sebagai manusia yang mengerti akan hidup yang lurus”.

Tidak semua “orang dulu” pemikiranya ‘kuno’, meskipun sepasang suami istri itu tidak mengecap pendidikan yang berarti. Mereka adalah orang tua yang bijak, dapat menyikapi pengalaman dan sadar bahwa “kebodohan” bukanlah penyakit yang harus ditularkan kepada generasi selanjutnya. Prinsip yang telah tertanam dalam akal, hingga pendidikan anak-anak mereka menjadi prioritas sedini mungkin.

Agama pun teramat penting sebagai pedoman hidup, patut diresapi kesakralanya dengan pemahaman yang benar. Setidaknya sebagai orang tua, mereka sadar bahwa meyakini keesaan Allah itu adalah wajib, maka sedari kecil kelima anaknya perlahan diajari Islam.

Yang terpenting menurut mereka adalah supaya bisa shalat dan mengaji. Pandangan tentang agama yang masih awam, dikarenakan jiwa suami istri itu tidak pernah lebih terasah untuk memahami agama secara absah. Namun, setidaknya niat mereka diringi kesungguhan. Dan walaupun awam, didikan mereka itu telah meyentuh tiang utama dari Agama Islam sendiri.

Berpuluh-puluh tahun perguliran waktu telah terlewati. Masing-masing anggota keluarga itu telah bersama untuk waktu yang sangat panjang. Banyak suka duka yang hadir silih berganti menghampiri keluarga ini. Kelima anak mereka telah tumbuh dewasa, perlahan satu-satu mulai menapaki hidup baru masing-masing.

Anak lelaki yang pertama telah berkeluarga, kemudian beranak satu pula. Betapa senang hati kedua orang tua itu ketika pertama kali menimang cucu. Begitu pula anak keduanya yang wanita, setelah merampungkan gelar sarjana, kemudian dipersunting oleh seorang pria baik. Cukuplah membuat hati kedua orang tua itu sumringah jika melihat kehidupan anaknya bahagia, seakan tidak mengharapkan apa-apa lagi.
Sedangkan anak yang ketiga masih menuntut ilmu di bangku kuliah, bersamaan dengan kedua orang adiknya yang juga masih sekolah.

Itu lah sedikit kisah yang bisa diceritakan tentang kehidupan mereka saat ini, tidak ada kisah menarik lain karena semuanya masih “sederhana”, atau mungkin itu yang sudah digariskan…

Selama hidupnya, kedua orang tua itu hanya mengabdi sepenuhnya untuk keluarga, yang utama adalah berusaha untuk kebahagiaan anak-anaknya. Mereka berdua tidak pernah mampu berikan limpahan kekayaan materi, tapi berusaha memberikan pelajaran lain yang dapat digunakan sebagai bekal hidup kelima anaknya nanti.

Bagaimana dengan kehidupan kedua orang tua itu sendiri?,
Mereka ihklas untuk tidak mengharapkan apapun, karena kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan mereka. Pikiran sederhana dan jujur mereka yang menyimpan harapan, dari benih yang ditanam akan menuai sesuatu nantinya.

Tapi, ternyata selama ini anaknya tidak pernah benar-benar memahami apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Mereka sengaja bermanja dengan kasih sayang kedua orang tua mereka yang terlalu, tanpa menyadari bahwa hal itu tidak pantas berada dibalik hidup “sederhana”.

Aku lah anak ketiga yang dibesarkan dalam keluarga “sederhana” ini, yang sekarang masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi. Aku yang menulis kisah singkat ini. Cerita tentang pergulatan hidup kedua orang tua yang tak kenal letih dalam menghidupi keluarga.

Mereka adalah kedua orang tua ku yang sangat kusayangi. Dari kecil aku dididik untuk “menjadi orang” , disekolahkan, sholat, mengaji. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya jadi anak “orang mampu”, tapi hingga kini tidak secuil pun aku menyesal. Aku yang sekarang, tentulah pribadi yang akan seperti ini, entah bagaimana nanti hanya Kuasa yang Maha Mengetahui.

Tapi sesalku karena belum ada hal berarti yang telah kupersembahkan kepada kedua orang tua itu….

Jangankan diriku, mereka yang telah lebih dahulu dewasa, -kedua orang kakak ku-, seharusnya dengan pikiran dewasa mereka sudah bisa membahagiakan kedua orang tuanya, atau sedikitnya dapat membuat bangga.
…ternyata , “aku sama tidak mampunya dengan kedua kakak-kakak ku itu”,….

Hingga kapan semuanya begini ?

Seharusnya diantara kami sudah ada yang membuat kedua orang tua itu tersenyum bangga, walaupun mereka tidak terlalu mengharapkanya. Karena aku tahu, kedua orang tuaku tidak sama dengan orang diluar sana yang menanti bahkan menuntut anak-anak mereka untuk dapat “sombong”. Sungguh tidak seperti itu kami dididik…

Betapa besar keinginan ku untuk menulis kisah ini, terdorong oleh sesal dan limpahan kasih sayang ku terhadap Ayah dan Ibu. Akupun tahu seperti itu halnya saudara-saudari sedarah ku yang lain. Kami hadir di dunia karena dua orang itu, sedari kecil dicintai tiada tara, dirawat dan dididik hingga dewasa seperti kini.
Di usia senja mereka kini, tidak ada alasan untuk menyisihkan mereka , karena jika niat itu ada…kami adalah manusia “nista”.

Mungkin takdir yang akan menuntun semuanya itu. Alur hidup mengalir seperti air sungai, kami hanya mengikuti arus. Kadang terburai gelombang, pecah dihantam batu, namun dapat bersatu di muara nanti.

Jika hidup diibaratkan perputaran roda, memang terkadang harus berada di bawah lalu kembali ke atas. Menang dapat diraih, semudah kekalahan yang pasti hadir. Hanya Keimanan dan kesungguhan yang dapat menerima semuanya itu secara lumrah, seperti kehidupan yang wajar pula untuk binasa.
Untuk itu, hanya dengan keyakinan dan Niat suci semua keinginan dapat tercapai.

Terbitlah kesadaran bahwa, jika ingin membahagiakan kedua orang tua, mutlak berasal dari niat tulus pribadi kami –anak anaknya-. Hilangkan keegoisan untuk terus “mengemis” belas kasih kedua orang tua secara berlebih, karena kedewasaan menuntut untuk mandiri.

Tak ada guna melakukan hal yang sia-sia, seiring usia kedua orang tersayang kita yang semakin berlalu. Ujung hidup mereka pastilah kan tiba nanti, jangan sampai di saat itu barulah kita tersadar selama ini hanyalah berbuat hampa.

Aku sama sekali tidak menyalahkan siapapun, karena kasih ku pun tak ternilai untuk kalian. Tanpa kalian, pasti aku sudah lama jenuh dan pergi dari dunia yang membuat aku asing. Hanya kalian, manusia yang sungguh mengerti dan menyayangi aku sepenuh hati. Kalian, yang di dalam tubuhku mengalir darah yang sama. Saudara-saudariku…
Tapi, renungkanlah sejenak syair yang kugubah dengan derai air mata ini….

Bayangkanlah…
Tak pernah terpkirkah oleh kita rasa yang teramat pilu nantinya,
Disaat mereka pergi selamanya tingalkan kita sendiri.
Apalagi jika hanya sesal di kemudian,
mereka pergi tanpa sempat mengecap arti kita.
Waktu itu, kita hanya menangis di bawah batu nisan
Kita sandarkan tangis yang percuma.
Kasih sayang yang mereka berikan begitu dalam.

Sungguh kita tak sanggup, jika itu terjadi
Karena kita sungguh mencintai mereka.
Anggaplah ini saat ini terakhir kita melihat mereka,
Agar kita selalu berusaha membuat mereka tersenyum.

Jangan tunggu derai air mata,
Untuk ucapkan selamat jalan.
Sesungguhnya satu hari saja semua bisa binasa,
Untuk itu, berbuatlah yang terbaik bagi mereka yang kita cintai.

Bagi kita,
jika sesal itu terjadi,
Hancurlah hati sepanjang hidup.



Wahai Ibu,
jejak derita telah kau tapaki,
telah lama kau acuhkan berbagai aral demi kami anak-anakmu.
Kini pun Ibuku tersayang, tak kenal letih untuk terus berjalan.
Sadarkah kalian anak-anaknya,…
tapak kaki Ibu penuh luka dan derita.
Sedangkan tetap udara kasih yang dia berikan.
Kapankah kita mampu membalas ibu….

Aku yang jauh disini, …
Ingin mendekap dan menangis di pangkuanmu Ibu.
Sampai aku tertidur dan bermimpi kembali ke masa kecil ku dulu.
Aku yang pernah menorehkan luka,
tidak pernah kau pendam sakit hati itu.
karena “Aku Anak yang kau cintai”.
Kau selalu balas dengan “doa” ,
yang menjadi teman dalam kehidupanku.
Dengan apa aku membalas sebegitu besar kasih mu itu ibu…



Ayah…
Kau adalah sumber nafas kami…
Yang menjaga hidup kami.
Kau yang ajarkan aku menjadi lelaki,
Kau tak pernah lelah,
sebagai penopang dalam tiang rumah kecil kita.
Semua petuahmu kuanggap yang terbaik
Tapi, Aku hanya memanggil mu Ayah, di saat aku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu Ayah, jika aku telah jauh dari mu.

Hingga kini aku tahu, hanya Kaulah panutanku.
“Pandailah berkawan”, itulah nasehatmu…
Tanpamu, aku bukan yang sekarang.
Aku berani hidup jauh, karena anak dari seorang perantau tangguh.
Tetap tegar ku terjal aral, karena begitulah dirimu dulu.

Ragamu tak lagi sekokoh dulu,
Usia dan rautmu semakin renta,
Tapi kau selalu tetap Ayahku…
Lelaki tegar sederhana yang mewarisi pengalaman berarti…


Hanya lewat cerita pendek ini, aku yang jauh dapat menuangkan apa yang menjadi pikiran ku selama ini. Betapa besar keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuaku, hingga hanya itu yang menjadi satu-satunya tujuan ku selama ini.
Tapi, terbersit juga rasa sesal yang sebenarnya bodoh untuk menyalahkan takdir. Tapi apa hendak dikata, aku juga manusia normal. Wajar kalau aku aku kecewa dengan kenyataan yang membuat kedua orang tuaku hingga kini masih belum dapat menikmati usia tua mereka dengan senang.
Tapi siapa yang harus disalahkan?...
Aku yang akan berusaha dengan batas kemampuan, diiringi daya pikiran yang ada dalam nalarku, semoga berguna segala formalitas yang sedang kutempuh kini.
Tapi yang terutama, aku adalah “Maldalias”, seorang anak yang mewarisi sifat pantang menyerah dari kedua orang tuanya. Hanya Aku, pikiran dan niat tulus, yang InsyaAllah dapat mewujudkanya.
Tanpa melupakan doa dan usaha kita bersama sebagai anak-anak dari kedua orang tua yang sangat mengasihi kita.

InsyaAllah…Amien

Maldalias

18 Nov 2008

(IMAJINASI)Yang Wanita Wajib 'Baca' Ini,...yang PrIa 'Pahamilah'


Seorang anak laki-laki kecil bertanya kepada ibunya "Mengapa engkau menangis?" "Karena aku seorang wanita", kata sang ibu kepadanya.
"Aku tidak mengerti", kata anak itu.
Ibunya hanya memeluknya dan berkata,"Dan kau tak akan pernah mengerti"

Kemudian anak laki-laki itu bertanya kepada ayahnya, "Mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?"
"Semua wanita menangis tanpa alasan", hanya itu yang dapat dikatakan oleh ayahnya.
Anak laki-laki kecil itu pun lalu tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa, tetap ingin tahu mengapa wanita menangis.

Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya, "Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?"
Tuhan berkata: "Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia; namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan "
"Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya "
"Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh "
"Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya "
"Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya "
"Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada disisi suaminya tanpa ragu"

“Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan.
Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan kapan pun ia butuhkan."

"Kau tahu: Kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, sosok yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya."
"Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya-tempat dimana cinta itu ada."

Kirimkan ini kepada setiap wanita cantik yang Anda kenal.

Jika Anda lakukan,sesuatu yang baik akan terjadi.
Anda akan menambah harga diri wanita!
Karena setiapWanita itu Cantik.
Kirimkan juga kepada para pria agar senantiasa dapat menghormati wanita, siapapun mereka ibu,istri,kekasih,kakak,adik dan bahkan wanita yg tidak dikenal yg kebetulan berada didekat kita.

12 Nov 2008

(TULISAN LEPAS) Profil Wushu “Gerak Naga”.

Seni beladiri Kung-Fu atau sekarang lazim dikenal dengan Wushu adalah seni beladiri yang berasal dari negeri Tirai Bambu, Cina. Dalam Wushu, kegiatan yang dilakukan adalah melatih kemampuan fisik yang meliputi koordinasi sempurna yang terbentuk dari gabungan antara kekuatan, kelenturan, kelincahan, serta irama gerak.

Perguruan Kung Fu Gerak Naga berdiri sejak tahun 1995, tepatnya 23 Maret 1995 di STIE Gunadarma. Pada awalnya perguruan ini hanya menitikberatkan pada penggunaan jurus-jurus tradisional Shaolin yang terkenal keras sehingga dilarang untuk dipertandingkan. Lalu, baru pada tahun 1996 berdirilah Wushu di STMIK Gunadarma yang sudah mulai menggunakan jurus-jurus modern untuk standar pertandingan Wushu internasional.
Sejak berdirinya hingga sekarang, Wushu Gerak Naga, atau dalam bahasa Mandarin berarti Long Xian Quan Wushu, telah banyak memberikan kontribusi positif bagi Universitas Gunadarma dan bagi Wushu itu sendiri. Diantaranya adalah dengan banyaknya prestasi yang telah diukir dalam event tingkat daerah maupun nasional.

Berikut adalah beberapa Prestasi yang pernah kami capai :
1.Juara umum pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 1999
2.Juara umum pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 2002
3.Satu medali Emas di kejuaraan Profesional Kick Boxing pada tahun 2000
4.Dua medali Emas pada Kejuaaraan Nasional Wushu pada tahun 2000
5.Menjadi Wasit Internasional pada Eksibisi Wushu SEA GAMES pada tahun 1997
6.Juara Umum 3 untuk cabang wushu pada kejuaraan Nasional Invitasi Univesitas Parahiyangan pada tahun 2003
7.Dua medali perunggu pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 2005
8.Tiga finalis pada Pekan Olahraga Daerah DKI Jakarta 2005
9.Satu perunggu pada Pekan Olahraga Provinsi Banten 2006
10.Satu Emas pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship 2008

Di usianya yang ke-13 ini, Wushu Gerak Naga terus berusaha berbenah diri untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa, negara, Universitas Gunadarma, dan perkembangan Wushu di tanah air, dengan meningkatkan kedisiplinan, mempererat hubungan antar sesama penggiat Wushu, dan pantang menyerah menghadapi rintangan.

10 Nov 2008

(GUBAHAN) Putu Wijaya yang Mengilhamiku




Ketika mulai dewasa, aku bingung untuk hidup di negeriku sendiri. Bahkan hamper frustasi. Mengapa tidak, masyarakat di negeriku ini memilih kebiasaan buruk dalam mengucapkan “ Ya dan Tidak” ketika melakukan komunikasi sosial. Tak ada yang teguh pendirianya.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan untuk mengatakan ‘tidak’. Tapi ternyata tetap mengatakan ‘ya’. Tahu-tahu hasilnya ‘tidak’.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu kali ada kesempatan mengatakan ‘tidak’, tahu-tahu tidak ada orang yang mendengarnya. Ia tetap disangka mengatakan ‘ya’.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘ya’. Suatu ketika mendapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Dan ternyata jawabanya betul-betul ‘tidak’. Tapi Ia kaget, dapat serangan jantung dan mati!.

Seseorang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi, kemudian mendengar suaranya sendiri mengatakan ‘ya’.

Orang yang lain suka juga mengatakan ‘ya’. Suatu ketika juga dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi Ia tetap memilih mengatakan ‘ya’, ternyata tidak ada yang peduli, orang lain menganggapnya tak penting.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘tidak’. Suatu ketika Ia tidak mengatakan apa-apa. Semua orang menganggap Ia untuk pertama kalinya mengatakan ‘ya’.

‘Ya dan tidak’ adalah rimba yang menyesatkan. Akhirnya aku terkucil, karena untuk berdialog dengan diri sendiri pun aku tidak mampu,. Aku dinilai ‘asosial’ yang selalu berselisih….karena takut, aku memilih diam.

Setelah sekian lama aku berusaha memahami, akhirnya mendapat jawaban. Ternyata tata nilai masyarakat ku dalam membedakan antara ‘ya dan tidak’ hanya dibedakan dari ‘bunyi’ tetapi maknanya ‘dianggap sama’.

Setiap pertanyaan ternyata bukan pertanyaan, itu hanya perintah yang diperhalus. Semua orang memerintah, meskipun kelihatan bertanya. Dan perintah yang diiyakan tidak mengharuskan orang menuruti, hanya aturan basa-basi permainan bersama.

Semua pertanyaan bisa dijawab dengan kadang-kadang ‘ya’ dan kadang-kadang ‘tidak’, sesuai dengan kebutuhan mulut. Bagaimana enaknya waktu berbicara. Karena semua norma peraturan yang telah dibuat tidak akan dirubah. Jadi, jawaban ‘ya dan tidak’ tidak terlalu penting, kecuali sebagai jawaban bahwa yang diajak bicara sudah mendengar…..’cukup’.

Akhirnya aku dapat menjadi warga Negara yang baik, berdamai dengan kemunafikan sosial di sekitar. Aku sukses bahkan makmur dan terkenal, karena menguasai ilmu ‘ya dan tidak’, atau ‘tidak dan ya’, meskipun dalam hati aku tidak menyukainya. Tapi apa hendak dikata, ini sudah menjadi dosa kita bersama.

(IMAJINASI)Menulis


Saya menulis mungkin karena ada kepalsuan yang ingin saya ungkapkan, atau fakta kehidupan yang ingin saya bawa ke tengah orang-orang yang memperhatikan tulisan saya. Tujuan saya pada mulanya adalah mencari perhatian. Tetapi, jika dari kegiatan ini saya masih belum bisa memberi pengalaman estetis, maka saya masih jauh dari angan-angan dan keraguan untuk menulis sebuah buku. Bahkan belum pantas untuk menulis sebuah kerangka penulisan.

Tapi, begitu besar keinginan saya untuk menciptakan tulisan yang mencerminkan keleluasaan, kebebasan gaya yang jarang ditemukan pada karya penulis lainya. Saya menikmati proses penulisan, ingin menciptakan tulisan yang gurauanya, loncatan pikiran, kombinasi metafora, pilihan kata dan komentar yang menunjukan bagaimana erat hubungan yang diciptakan antara saya dan yang membaca, apalagi jika tulisan saya dapat menjadi panutan…”Semoga saja”.

(TULISAN LEPAS)OKSIDENTALISME


Tulisan ini kumulai setelah membaca buku yang ditulis oleh seorang Intelektual Islam, pemikiranya dianggap cemerlang diantara banyak cendikiawan yang ada di zaman sekarang ini. Dia menggebu-gebu dalam menyikapi kebangkitan peradaban masyarakat, khususnya wilayah timur yang selama ini arah pemikiranya selalu didominasi oleh “barat”.
Setelah mencoba meresapi makna yang terkandung dalam buku itu, nalarku sebagai “Orang Muda” tiba-tiba saja bangkit. Buku yang dapat menjawab berbagai pertanyaan generasi bangsa yang sedang bimbang dalam menemukan jati diri.

Globalisasi memang menjadi penentu berkembangnya peradaban manusia di dunia, membuat jurang ruang menjadi dekat, karena segala penemuan yang membuat kehidupan semakin efektif dan efisien. Namun, jika melihat keadaan dunia dari sudut pandang hubungan antar ideologi, budaya dan agama, proses globalisasi ternyata tidak menjadikan pemikiran bangsa di dunia ini menjadi seragam.

Masih banyak terjadi ketidak seimbangan taraf perekonomian antar bangsa yang satu dengan bangsa lainya, bahkan masing sering terjadi konflik yang mengatas namakan sentimen terhadap agama-ideologi atau etnis bangsa yang berbeda, yang sebenarnya tidak lepas dari maksud yang tersirat untuk mengeruk kejayaan atau perluasan kekuasaan.
Dalam skala yang lebih luas, bergulirnya arus globalisasi sampai saat ini seakan hanya bermuara dari satu pemikiran yang menjadi faktor penggeraknya. “Tradisi pemikiran barat merupakan sumber pengetahuan yang sering menjadi acuan bagi peradaban ilmiah dalam kehidupan masyarakat dunia”.
Secara terus menerus “Pemikiran Barat” selalu hadir dalam kesadaran umat manusia dalam menyikapi perkembangan zaman, diawali oleh generasi sebelumnya yang terlebih dahulu menempati peradaban. Belum ada pemikiran yang menelaah secara khusus mengenai asal-muasal pemikiran barat, kecuali masih dalam batas yang sempit dan metode perbincangan semata, bukan metode kritik berdasarkan logika untuk membuktikan.

Untuk itu, saya berusaha menelaah permasalahan ini dengan pikiran yang positif. Bukan untuk menyalahkan “Tradisi Barat”, tapi mencoba menjelaskan aspek lain yang dapat melatar belakangi pemikiran dalam menentukan sikap secara lebih bijaksana. Karena motivasi awal saya menulis permasalahan ini, adalah terdorong dari ketidakjelasan generasi kini dalam menemukan jati diri dan mencari panutan yang pantas dicontoh.

Agar langsung menuju inti permasalahan, marilah secara bersama kita renungkan bahwa banyak generasi sekarang yang melakukan kesalahan terhadap generasi lama dan juga terhadap kebudayaan barat.
Terhadap tradisi lama kita melakukan kesalahan sebagai berikut :
1. Kita melepaskan diri dari lingkungan kebudayaan sendiri dan merasa rendah diri atau malu jika berafilasi denganya, disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan, ingin dan bangga meniru barat, terdorong niat untuk menyusul kemajuan yang dicapai barat.
2. Kita memasuki lingkungan budaya lain, mengikuti pergumulan didalamnya, meskipun kita bukan salah satu pihak di dalamnya. Dengan bersikap seperti itu, kita telah menjadi penyebar “Peradaban Barat”. Kemudian lebih akrab dengan kata-kata “ idealisme dan realisme, rasionalisme dan empirisme, eksistensialisme dan positivisme, analitisme dan strukturulisme, dan lain sebagainya”.
3. Kita lari dari kenyataan sehingga tidak tahu situasi dan krisis yang terjadi. Kita
tidak mau menghadapi tantangan realitas dan hanya melihatnya dari kebudayaan asing yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh realitas kita. Akibatnya realitas kita diam dan tak bergerak, setelah sisi aslinya diganti dengan sisi asing.

Dan terhadap “Kebudayaan Barat” kita melakukan kesalahan sebagai berikut:
1. Mengeluarkan “Kebudayaan Barat” dari lingkungan dan konteks sejarahnya sendiri. Kita menganggap seolah-olah kebudayaan barat adalah madzab-madzab absolut dan universal yang tidak mengenal batas ruang. Kita juga menjadikan diri sebagai pihak yang bergumul dalam kebudayaan tersebut.
2. Memberikan semacam keabsolutan dan keuniversalan yang tidak semestinya kepada kebudayaan barat, dan menyebarkan kebudayaan tersebut ke luar batas geografisnya. Dengan begitu, kita seakan merealisasikan keinginan kebudayaan luar untuk menjadi kebudayaan penguasa dan pengontrol bagi kebudayaan asli yang semakin terpinggirkan.
3. Memerangi kebudayaan lokal disaat ia sedang mengadakan persaingan dengan kebudayaan pendatang. Ini sama saja dengan menciptakan permusuhan antara tradisi pendatang dengan tradisi lokal, memecah belah kebudayaan bangsa sendiri, dan jatuh ke dalam dualisme peradaban.

Dari pernyataaan di atas, bukan mengharuskan kita bersikap ofensip atau defensip dalam menghadapi dua kebudayaan tersebut, melainkan yang paling tepat adalah bersikap selektif. Artinya, peradaban yang sedang kita jalani saat ini, menuntut adanya sikap kritis. Kritis terhadap tradisi lama dan tradisi barat, serta kritis terhadap realitas dengan mengubah dan mengembangkan tradisi yang ada, bukan menjauhinya.

Masa lalu bukan untuk dipertahankan atau diserang tetapi untuk direkonstruksi, masa depan bukan untuk diserang atau dipertahankan tetapi dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin dikembalikan ke masa lalu atau diajukan ke masa depan tetapi merupakan tempat berinteraksi ketiga masa. Tergantung sikap suatu bangsa yang tidak melupakan budaya sendiri, karena “Adanya suatu bangsa ditentukan dari budaya asli yang dimilikinya”.
Dalam menyikapi “Budaya Barat”, kita pun harusnya sadar bahwa fenomena kebarat-baratan dalam kebudayaan dan gaya kehidupan kita sehari-hari telah mengakibatkan krisis identitas dan orisinalitas, turut dipengaruhi oleh kekuasaan barat melalui informasi yang turut mempropagandakan mitos budaya cosmopolitan.

Sebelumnya, pernah terjadi berbagai reaksi yang menolak dominasi “Barat”, hanya saja pemikiran-pemikiran itu menegaskan sikap untuk kembali mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang hidup dalam taraf keterbelakangan. Seharusnya sikap yang diambil adalah pembenahan dan upaya reformasi dengan tujuan memberikan kemajuan, tanpa melupakan budaya asli serta tidak sepenuhnya menerima budaya luar.

“Budaya barat bukanlah guru abadi dan jenis peradaban yang selalu menang, sehingga tidak perlu takut untuk maju dengan budaya bangsa sendiri. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, berarti kita menghadapi krisis peradaban”.

Ketenggelaman total ke dalam “Peradaban Barat” mengakibatkan ketidak tahuan generasi bangsa tentang ciri tanah air dan kemungkinan ditemukan metode budaya sendiri yang cocok. Dengan begitu, kita telah mengorbankan budaya bangsa demi menerapkan “Budaya Barat”.
Bukankah harusnya kita yang lebih tahu priorotas bangsa sendiri ?.

Memodernkan budaya bangsa tetap diperlukan, karena dituntut oleh kondisi perangsuran zaman. Tapi, walaupun spontan haruslah tetap alami. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan subtansi dan ruh budaya asli, meski bentuk dan formatnya akan berubah.
Sebelum yakin untuk menggabungkan tradisi asli dengan tradisi pendatang, haruslah terlebih dahulu mengedepankan persatuan tanah air dan kepribadian Nasional. “Kebudayaan kita tetap satu, meskipun terlihat ada kesamaan dengan kebudayaan lain yang sebenarnya berbeda”.

Bangsa kita harus menghilangkan rasa takut dan rendah diri di hadapan barat, agar dapat berinteraksi sebagai pihak yang sederajat. Bahkan dapat mengkritik dan menjelaskan arah yang dituju barat, kemudian menyempurnakanya sesuai dengan budaya bangsa kita. Tetapi, jika kebiasaan-kebiasaan menggunakan akal dan realitas tersebut telah hilang, dapat memaksa kita menggunakan hasil temuan bangsa lain sebagai pendahuluan sebelum dilakukan kajian terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita terbiasa meminjam kebiasaan budaya lain dan menjadikan bangsa sendiri sebagai penyebar kebudayaan bangsa lain.

Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menimbulkan perspektif untuk menilai “Budaya Barat” secara emosional dan penuh kecurigaan. Karena hanyalah kemunduran jika menolak kebudayaan asing tanpa mengetahui hakikatnya, apalgi tergoda isu-isu yang sengaja dihembuskan untuk mendeskreditkan kebudayaan tertentu agar dijauhi oleh mayarakat awam.

Tujuan membendung kebudayaan asing, adalah untuk mempertahankan budaya asli bangsa kita. Sebab kebudayaan asing selain diakui memiliki potensi pencerahan, tetapi juga revolusi. Dan seruan untuk menghalau “ Budaya Barat” bukan berarti menolak kebudayaan bangsa aing, apalagi diartikan dengan ketertutupan untuk kembali ke masa belakang.

Menolak “barat” secara ekstrem berarti menolak ilmu pengetahuan teknologi dan temuan modern yang digunakan manusia setiap hari, sampai pada hal yang sepele, seperti listrik, alat-alat elektronik, sarana transportasi, komunikasi dan lain sebagainya. Padahal temuan-temuan itu telah menjadi kebutuhan zaman. Lalu bagaimana kita dapat meninggalkan, memusuhi dan mempertanyakanya ?.

Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, patutlah ada pemahaman yang bijak untuk menjawabnya. Bahwa kita tidak boleh memandang sesuatu dari kulit luarnya saja dengan mengabaikan persoalan pokok serta konsepsi yang melingkupinya. Teknologi telah terbangun di atas teori dan konsep alam yang hadir pada zaman awal terciptanya, sehingga tujuan utama teknologi adalah tidak lain untuk mempermudah pelayanan dan urusan dunia. Tetapi, penemuan-penemuan barat tersebut seharusnya tidak dibanggakan sebagai lahan untuk menikmati fasilitas kemewahan.

Di samping itu, patut diketahui bahwa teknologi barat tidak sepenuhnya murni temuan mereka. Tetapi merupakan hasil akumulasi sejarah dan evolusi ilmu pengetahuan yang dimulai dari penemuan berbagai kebudayaan yang ada. Jadi, setiap peradaban terdahulu sebenarnya memilki andil dalam penemuan ilmu pengetahuan teknologi modern sepanjang sejarah. Yang jadi keinginan kita bersama adalah tidak ada pemisahan antara ilmu dan sejarahnya, tidak menyembunyikan sumber-sumber lama dengan tujuan menciptakan mitos kreatifitas brilian bangsa tertentu. Dan juga seharusnya penggunaan teknologi tidak dimanfaatkan untuk menguasai pihak lain, atau dimonopoli sendiri oleh bangsa yang dianggap penemunya.

Telah terbukti pula bahwa teknologi dapat dieksploitasi untuk menipu, propaganda kebohongan dan slogan menghasut opini masa, seperti yang dilakukan media informasi dan komunikasi. Jika begitu, teknologi mengandung unsur penghancur seperti alat perang dan bom atom. Menjadi simbol kekuatan, kemenangan, kebesaran dan kekuasaan yang telah terjadi di Barat dan Jepang.
Jadi, teknologi tidak seindah kenyataanya.

Semoga saja generasi bangsa ini, tidak terus dihinggapi kebingungan dalam mencari jati diri. Tentunya itu dapat tercapai jika mereka sudah dapat berpikir kritis-rekonstruktif bukan terus terbenam dalam sikap antara ofensip-depensip.