My Adsense

16 Sep 2008

bangkitlah Indonesiaku


Situasi dan kondisi bangsa kita saat ini bisa dikatakan sedang terpuruk. Mungkin pandangan ini masih merupakan pendapat pribadi, terlepas dari sebutan negara kita yang sedang berkembang dan mungkin adalah sesuatu yang lumrah jika menghadapi situasi seperti saat ini.

Tapi cobalah berpikir secara jernih tanpa menggabungkan segala pandangan-pandangan dari luar yang sebenarnya dapat mencemari pemikiran logis kita sendiri.
“Globalisasi” tidak harus mengorbankan budaya suatu bangsa. Bukanlah suatu kemajuan, jika dengan pencapaian hal tersebut malah menghilangkan identitas suatu bangsa, karena tidak mungkin terbentuk suatu negara tanpa sejarah yang mengiringinya.

Tetapi, mungkin saja hal itu yang sekarang terjadi di barat sana , karena yang kita tahu mengenai segala sesuatu yang bersumber dari negara barat sekarang ini hanyalah kemodernan dan idiologi kebebasan mereka saja.

Tapi mengapa negara kita yang sedang berkembang seakan-akan selalu menjadi peniru negara-negara maju tersebut. Tidak semua hal dari mereka dapat dijadikan contoh, walaupun harus diakui bahwa keberhasilan suatu negara tidak terlepas dari visi dan misi yang sungguh-sungguh diterapkan oleh bangsa tersebut.

Bangsa kita pun sebenarnya tidak kalah dengan dengan bangsa-bangsa mereka, kita mempunyai sejarah berbalut kebudayaan, serta sumber daya alam dan manusianya yang kaya.
Tapi, yang perlu kita jawab bersama saat ini adalah “Mengapa bangsa kita masih tertinggal bahkan didahului oleh negara-negara berkembang lain?”.

Sudah menjadi hal yang biasa didengar, jika ada saja pandangan dari masyarakat kita yang pesimis akan keadaan bangsa sendiri. Bahkan sikap mereka itu ditunjukkan dengan cara berpikir, kegiatan konsumsi yang lebih mengedepankan hal-hal berbau barat.

Bukankan kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang dapat menghancurkan identitas bangsa ini. Pantaslah dengan berita yang sedang santer saat ini bahwa ada kebudayaan dari bangsa kita yang “dicolong” dan dipatenkan sebagai hak milik bangsa lain. Sungguh ironis memang.
Lalu mengapa semua hal itu bisa terjadi ?

Tidak dapatkah Indonesia belajar dari saudaranya di belahan Benua Asia yang lain. Seperti Jepang misalnya, karena jika kita mempelajari sejarah hingga kemajuan Jepang saat ini memang pantas diacungkan jempol.

Jepang adalah negara yang sempat terpuruk pada perang dunia ke II, akhirnya dapat membangun struktur ekonomi mereka dari dasar hingga seperti sekarang ini. Kita pun tahu bahwa Jepang sangat mencintai budaya mereka sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh para pemuda-pemudi mereka yang sangat kreatif dalam menciptakan berbagai mode, kesenian, hingga musik yang asli buatan negeri mereka sendiri. Trend yang mereka ciptakan tersebut bahkan telah populer ke negara-negara lain yang selama ini hanya terfokus dari segala sesuatu yang bersumber dari barat.

Dan jika menilik dari segi ekonomi, Jepang lebih dikenal sebagai Negara produsen yang diperhitungkan namanya di pasaran dunia. Semua kemajuan yang telah dicapai Jepang tersebut adalah karena mereka tidak melupakan budaya sendiri. Tapi yang terjadi pada negara kita saat ini sepertinya malah berkebalikan.

Mengapa kita tidak memanfaatkan potensi negara kita yang berlimpah sebagai modal dalam mengisi pembangunan?

Kita tentunya menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat pandai menunjukkan tata krama. Hal tersebut mungkin diakui pula oleh bangsa lain yang merasa tidak mendapatkan keramahan tersebut di negara mereka. Tetapi itu seharusnya tidak membuat kita menjadi bangsa yang lunak dan lemah di mata dunia. Selalu mengikuti arus bisa menimbulkan suatu penilaian bahwa pribadi bangsa kita yang plin-plan dan tidak dapat menunjukan jati diri negeri sendiri. Bahkan fakta membuktikan bahwa kita tidak benar-benar menunjukan sikap yang tegas dengan berbagai permasalahan yang jelas-jelas sudah mencoreng nama bangsa kita.

Bukan tidak mungkin kita akan kembali mengalami penjajahan walau bukan secara langsung seperti yang telah kita alami sebelumnya, tetapi pembodohan yang dilakukan oleh bangsa lain
Inti sebenarnya dalam mengisi pembangunan ini adalah, sungguh-sungguh dalam memantapkan visi dan misi yang diiringi kerja keras untuk mencapai tujuan tersebut. Masing-masing masyarakat entah dari kalangan soial apapun harus berperan secara menyeluruh sesuai dengan bidang yang digelutinya. Buktikan kalau kita benar-benar bangsa ber”Bhineka Tunggal Ika” dan bukan hanya semboyan belaka yang telah lama ditinggalkan.

Tinggalkan lah budaya malas dan egois agar tidak mengakar lebih dalam lagi hingga ke anak dan cucu kita, kalau hal tersebut tidak dilakukan, jangan diherankan jika permasalahan korupsi semakin menjadi-jadi akibat hanya itulah yang di ajarkan dari generasi sebelumnya.

Disamping itu, yang lebih sering di dengar tentang generasi muda kita sekarang ini adalah generasi yang rentan menjadi korban efek negatif globalisasi, lebih mendewa-dewakan segala sesuatu yang berbau barat tanpa adanya pilah-pilah terlebih dahulu. Mungkin bisa saja hal itu diterima, jika disertai penjelasan yang masuk akal, bukan melainkan menjadi generasi pengekor yang sama sekali tidak tahu apa yang dicontoh.

Seandainya seluruh generasi muda yang akan mengisi pembangunan bersikap seperti itu, tidak dapat dibayangkan di kemanakan arah dan tujuan negeri kita nantinya.
Berbagai fakta telah membuktikan bahwa mencontoh kebebasan yang terlalu hanya menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang beruntut pada masalah-masalah seperti narkoba, kenakalan remaja, kriminalitas, dan lain sebagainya.

Padahal jika berbicara mengenai kebebasan yang berasal dari negeri barat sana , sistem yang mereka terapkan tersebut tentunya telah mengalami berbagai sejarah perkembangan hingga dianut sebagai suatu sistem yang telah disesuaikan pula dengan norma yang ada di lingkungan mereka. Sistem itu tidak mungkin berkembang tanpa ditunjang oleh sumber daya manusia yang ada.

Tapi apa jadinya jika anak negeri kita pun memaksakan diri untuk mengikuti sistem yang jelas-jelas belum dapat diterima kebudayaan kita. Idiologi yang belum dapat diterima berarti masih perlu waktu untuk memilah-milah,sebelum disepadankan dengan kebudayaan masyarakat kita Adalah suatu kebodohan jika kita menggantikan tradisi kita yang telah diwariskan selama bertahun-tahun dengan kebudayaan asing yang kita sendiri sama sekali tidak mengenalnya.

Cobalah tulisan yang cuma sekedar ini direnungkan sebagai bahan pemikiran kita yang masih mencintai negeri ini. Negara yang maju adalah negara yang tidak melupakan budaya dan sejarahnya sendiri. Kita tidak perlu terbawa arus dari luar jika kita sadar bahwa hanya kita yang tahu kemauan bangsa sendiri. Budaya dan adat istiadat kita yang membedakan kita dengan bangsa lain. Seharusnya pun kita bangga karena masih dapat membuktikan dari mana asal-usul bangsa kita.
“Tunjukkanlah pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu”.

pengemis dan jakarta


Sudah menjadi tradisi bagi warga kota Jakarta untuk menyaksikan begitu banyaknya kaum papa yang bertebaran disetiap sudut kota. Mungkin karena Jakarta adalah barometer Ibukota, yang sering diidentikkan bahwa kota besar selalu ada saja menampung manusia-manusia miskin yang kalah melawan arus kota.

Hanya mereka yang benar-benar siap menjadi orang kota lah yang dapat terus bertahan mengais hidup di Jakarta. Tentunya bukan tidak mungkin diantara mereka harus ada yang rela menjadi korban kemodern kota, bahkan teori kelicikan juga harus dipelajari untuk terbiasa dengan kehidupan Jakarta yang sering main sikut. Benar kata kiasan “Ibu kota lebih kejam dari Ibu tiri”, hanya orang yang bisa lebih kejam yang dapat menaklukan kota Jakarta.

Sedangkan para gelandangan dan pengemis adalah salah satu contoh manusia-manusia bersalah dan kalah, kesalahan mereka karena pasrah pada nasip yang menjadikan mereka kalah.
Bukankah hidup di Jakarta untuk merubah nasip?

Adapun berbagai bukti dengan semakin maraknya tindakan kriminalitas yang dilakukan orang-orang yang merasa hanya dengan berbuat jahat mereka dapat merubah nasip yang lebih dulu menjahati mereka. Kemiskinan telah mengkontaminasi pikiran mereka sehingga menghalalkan berbagai macam cara yang dianggap sebagai penawarnya.

Pandangan masing-masing orang memang berbeda melihat berbgai situasi ini. Jika dipikir secara nurani, tentulah mereka pantas mendapat iba, mungkin kita hanya dapat berbicara karena tidak sedang dalam posisi mereka.
Tapi terkadang kita yang sudah letih menghidupi diri sendiri berpikir dan terpaksa memvonis itu semua adalah takdir yang harus mereka terima. Bahkan banyak diantara kita yang sering merasa gerah melihat tampang dan tingkah laku mereka yang menambah keruwetan hidup di kota Jakarta.
Semuanya belum ditambah dengan versi lain yang menggunakan kedok untuk menolong sesama atau mendirikan tempat ibadah. Ibadah adalah kewajiban yang takkan ada arti tanpa dibarengi niat. Dengan niat yang tulus, Allah pasti akan mengabulkan doa hambanya.

Tapi apa jadinya jika niat tersebut hanyalah sebuah kedok demi mendapatkan nominal. Bahkan lebih menambah dosa lagi jika ayat-ayat suci diikut sertakan sebagai bagian dari kebohongan mereka . Allah sendiri tidak pernah memaksa umatnya untuk berbuat sesuatu yang melebihi kemampuan, bukankah niat dari ibadah itu sendiri yang lebih penting dibandingkan membangun tempat ibadah tapi disertai berbagai kecurangan demi mendapatkan keuntungan.

Sebagai penganut agama mayoritas di negara ini, aku merasa malu melihat keadaan ini. Mengapa begitu sering di kota Jakarta ini aku melihat mereka meminta-minta demi alasan membangun tempat ibadah.
Sudah begitu miskinkah saudaraku-saudaraku seiman? Atau kehidupan di kota besar telah membuat mereka begitu pelit sehingga harus ada yang meminta-minta, bahkan untuk menambah nilai jual kebohongan tersebut ayat-ayat suci hanya menjadi perkataan picisan yang bisa disebut oleh sembarang orang di sembarang tempat.

Secara logis kita dapat berpikir semuanya itu karena rupiah. Begitu fatalnya permasalahan ini jika hanya karena daya tarik uang, mereka yang membutuhkan berani menjadikan alasan menolong sesama dan mendirikan tempat ibadah sebagai kedok.
Berjubelnya manusia di kota Jakarta memang seakan tak pernah berkurang, sebagian dari mereka yang tersisih terus mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara tanpa memikirkan masa depan yang lebih cerah.
Masih menarikkah gemerlap kota besar ini, jika meraka yang picik hanya menganggap kalian sampah?

Mungkin karena yang meraka punyai sekarang hanya kepasrahan dan berusaha untuk semakin kebal menerima derita hidup. Sementara itu, tiap saat selalu saja ada orang-orang baru yang berdatangan dari berbagai daerah ,merasa tergiur dengan iming-iming kota untuk mengais hidup, walau mereka cuma berbekal nasip yang mudah-mudahan mujur.

Haruskah aku memandang permasalah ini seperti pandangan mereka, manusia-manusia kritis yang selalu menyalahkan pemerintah. Kalau memang begitu, aku hanya bisa berpendapat jika dari awal permasalahan ini sudah dtindak lanjuti secara serius, tentu tidak akan menjadi bumerang seperti yang terjadi saat ini.

Akan tetapi, tidak ada yang dapat kukatakan lagi, jika dibalik situasi yang terjadi saat ini sebenarnya manusia-manusia yang hidup di kota Jakarta sudah bersikap acuh tak acuh dan lebih mementingkan ego mereka sendiri.

Dari itu semua aku merasa lebih baik berpikir untuk mengambil jalan tengahnya saja, berbagai masalah sosial yang terjadi di Kota Jakarta adalah kondisi lumrah yang sering terjadi pada bangsa berkembang lainya. Tapi bukan berarti tidak ada cara untuk menuntaskanya. Hanya dengan niat tulus dari masing-masing orang yang mencintai bangsa ini lah yang dapat menjadi motivasi untuk tujuan yang baik ke depanya. Karena walau bagaimanapun yang terjadi di Ibukota tentunya juga berpengaruh secara tidak langsung ke daerah-daerah lain.

Kita semua tentunya tidak ingin Ibukota kita dijuluki kota pengemis, dan dipandang miskin di mata dunia.

Tulisanku yang cuma sekedar ini berawal dari niatku untuk menjadikan kota Jakarta sebagai ibu kota yang selalu diimpi-impikan oleh anak negeri ini, bukan hanya menjadi kota yang berjalan dengan pongah tanpa memperhatikan rakyat miskin di sekitarnya.

GlobalisasiDanAgama


Globalisasi dan Agama

Globalisasi telah membuat peradaban di bumi ini menjadi semakin beradab. Akan tetapi patut pula kita memandang suatu permasalahan dari perspektif yang berbeda, begitu parahkah dampak negatif dari globalisasi, sehingga patut dijadikan penyebab bangsa ini menjadi terpuruk?.
Suatu kemajuan memang seharusnya menjadikan suatu negeri menjadi lebih pandai mensiati keberadaanya dalam percaturan dunia, tapi bukan tidak mungkin yang terjadi
malah sebaliknya jika manusia-manusia yang menjadi penggerak pembangunan tersebut hanya terlena dengan berbagai situasi kehidupan yang semakin instant dan justru melemahkan daya kodrati sebagai manusia.
Agama adalah sesuatu yang sakral karena sebagian besar kaidah yang termuat di dalamnya mengenai tuntunan moral dan tingkah laku manusia selama hidup di dunia ini, dengan hancurnya tatanan beragama suatu negeri, sebenarnya sudah teramat cukup menghancurkan peradaban yang telah terbangun . Secara gamblang diartikan bahwa dampak dari globalisasi pun turut serta mempengaruhi situasi beragama dalam suatu bangsa.
Andai pun kita memang mau berpikir secara rasional, jikalau dikatakan umat manusia sekarang ini sudah semakin pandai dikarenakan zaman yang mendidiknya, mengapa masih saja timbul permasalahan-permasalahan kronis yang bersumber dari pemikiran-pemikiran yang telah beradab tersebut. Bahkan telah berkembang pemikiran yang memandang agama hanyalah rekayasa orang-orang terdahulu dan selebihnya kesakralan agama hanyalah
dipandang sebagai khayalan yang tidak bisa diterima akal.
Jika melihat kenyataan yang sudah terjadi di negeri ini, khususnya keadaan umat beragama kita, mereka sedang bimbang dengan berbagai pandangan aliran-aliran agama baru yang hanya menambah pelik keadaan bangsa kita yang juga sudah terpuruk oleh permasalahan lain.
Tentulah kita sebagai warga Negara yang mencintai negeri ini, wajib untuk berpikir dan menemukan solusi untuk menuntaskan permasalahan tersebut.Tidak dapat ditelusuri secara pasti akar perkembangan aliran-aliran agama baru tersebut. Yang dapat disimpulkan penulis bahwa sebenarnya timbulnya aliran-aliran tersebut dikarenakan suatu pemikiran yang memandang bahwa agama seharusnya dapat disesuaikan dengan
perkembangan akal manusia yang hidup di jaman tersebut.

Lalu apakah peranan Globalisasi dalam permasalahan ini?.

Zaman Globalisasi yang menciptakan manusia-manusia pemikir yang selalu tak pernah merasa puas jika sebuah pemahaman belum didukung oleh bukti dan penalaran secara logis. Dari hal itu agama pun kemudian dipaksakan agar selalu memuat kaidah-kaidah yang dapat dinalarkan zaman, sesuai dengan free yang menjadi semboyan khas dari zaman globalisasi.
Pencetus aliran-aliran agama tersebut adalah orang-orang dengan berbagai latar pendidikan dan dibesarkan oleh kondisi lingkungan yang turut membentuk cara berpikir mereka. Beberapa faktor tersebut memang menjadi dasar untuk memahami suatu agama, tetapi hanya dengan niat dan pemahaman sungguh-sungguh lah inti dari ajaran agama tersebut dapat terserap secara benar.

Memahami Agama bukan hanya seperti kegiatan meditasi spiritual, yang sudah dirasa cukup dengan menyepi dan menemukan filsafah hidup dengan kesendirian. Semua kehidupan yang terjadi di bumi ini hanyalah sebagian kecil rahasia yang tersirat di dalam agama. Jadi, sangatlah menggelikan jika dengan pengetahuan agama yang sedikit, ada segelintir orang yang merasa pantas mendirikan aliran agama baru, bahkan menobatkan diri sebagai nabi.
Aliran-aliran baru tersebut sebenarnya tercipta karena kelemahan pikiran manusia, meskipun mereka bisa dikatakan cukup pandai apabila aliran yang diciptakan tersebut disertai berbagai rumusan yang dapat menarik berbagai pengikut. Tidak ada yang dapat
disalahkan jika pemikiran lahir dari akal yang memang tercipta untuk berpikir,tapi adalah suatu kebodohan jika dengan kekeliruan pemikiran juga mengikut sertakan manusia-manusia lain untuk bersama terjerembab dalam pandangan yang jelas-jelas
salah. Apalagi hal tersebut bersentuhan dengan agama yang secara langsung menyangkut kehidupan manusia banyak.

Sebuah kejadian tentu ada hikmahnya, pastilah ada yang dapat kita petik dari permasalahan yang sedang terjadi pada bangsa ini. Dengan lebih mendalami agama dan mempertebal ketaqwaan kita, tentunya agama yang kita anut bukanlah hanya sekedar idiologi turunan semata yang kita sendiri tidak memahaminya. Kebimbangan dan kerapuhan rohani umat beragama bangsa ini rentan tercipta apabila kita meremehkan hal tersebut .

Berpikir menggunakan kepandaian kita sebagai manusia yang hidup di zaman serba maju ini, bukan berarti menganggap usang segala pedoman kekal yang telah tersirat. Jika telah tercipta keimanan dan ketaqwaan di setiap hati kita, dengan sendirinya kita akan meyakini bahwa agama adalah satu-satunya pedoman hidup yang lurus. Kemudian harus tercipta pula pemahaman dengan niat yang suci, tanpa memilah-milah persepsi agama agar dipaksa berbalur dengan keadaan zaman, kepentingan duniawi, dan lain sebagainya. Pemikiran-pemikiran yang merendahkan agama seperti itu yang dapat
menimbulkan kesesatan dalam menjalani agama.

Sungguh merupakan pikiran yang lemah jika berpendapat bahwa agama harus senantiasa mengikuti zaman. Tidak kah terpikir oleh kita bahwa agama lah yang mengatur kebebasan kita yang sudah terlalu, apalagi kini kita hidup di zaman yang mendewakan ego dan nafsu. Untuk apalah agama, jika masing-masing orang dapat mempelintir agama tersebut sesuka hati ke arah yang diinginkan, ujung-ujungnya mungkin keberadaan agama nantinya hanya dijadikan suatu simbol semata.
Jika hal tersebut sampai terjadi, mungkin itu yang dikatakan“Kiamat sudah dekat”?
Atau tidak adakah yang mempercayainya, sedangkan akhir dari awal dunia ini sudah pasti kan tiba.Untuk hal itu, marilah kita sebagai umat beragama bangsa ini untuk tidak cepat jatuh dalam pandangan pemikiran yang patut dikatakan sesat. Mungkin permasalahan tersebut terjadi karena banyak diantara kita yang sudah tidak sanggup melawan penderitaan hidup yang terus menerpa.
Ketidak sanggupan menahan derita duniawi membuat kita lupa bahwa segalanya hanya sementara di dunia ini, begitupun sebaliknya segala kenikmatan yang terkecap pun tidak ada yang tak kan musnah, karena segala hal di dunia ini adalah fana.
Suatu solusi bagi umat beragama bangsa ini jika dengan adanya pandangan aliran-aliran tersebut membuat kita lebih mendalami ajaran agama masing-masing, tapi hal itupun harus disertai pemahaman yang tepat, dan untuk itu diperlukan kesungguhan.
Setiap orang bisa saja menemukan pemahaman sendiri dari agama yang dianutnya, tetapi pemahaman yang benar hanyalah dapat ditemukan melalui perjalanan spiritual yang mutlak diiringi keimanan akan kekalan sang Ilahi.



Penulis :

Maldalias



mxforefer@yahoo.com

mxforefer@hotmail.com