Pernah engga’ seeh ?…tentu aja pernah dong!…kalian ngalamin suatu pristiwa atau kejadian dalam hidup yang berkesan.
Pasti ingatan akan kejadian-kejadian itu, mengenangkan kalian kepada pristiwa yang mengungkit perasaan bahagia, sedih, mengharukan, seram, dan lain sebagainya. Gue pun pernah ngalamin pristiwa-pristiwa berkesan seperti itu, yang sampe detik ini masih diinget.
Dan dari tulisan ini, mau gue coba ceritain itu ke kalian semua…
Bagi gue, kenangan hidup yang paling indah adalah pada saat kecil dulu. Pada waktu itu, gue dan keluarga masih bertempat tinggal di daerah nun jauh disana, daerah timur negeri ini. Sebagai orang yang tinggal di daerah perantauan, kami termasuk dalam kelompok minoritas. Tetapi, itu engga’ mempengaruhi cara bersosialisasi dan kerukunan yang terjalin antara kami dan warga sekitar.
Mungkin karena itu juga, sampai sekarang gue masih rindu akan kenangan masa kecil di tanah perantauan dulu. Gue pernah menjadi penghuni sebuah desa, merasakan harum suasana serta seluk-beluk keindahan dan tantangan alamnya.
Di desa tempat tinggal gue dulu, tidak terpolusi seperti di kota. Karena banyak diantara masyarakatnya adalah pejalan kaki setia, cukuplah kami menyusuri jalan di desa kecil dengan tapak kaki kami sendiri.
Sepanjang mata memadang, keliatan begitu dekat bukit-bukit yang mengelilingi desa. Mendaki dan menuruni terjalnya adalah hal yang biasa dikala itu. Engga’ kehitung berapa kali sudah, gue bersama teman-teman mencoba ngelewatin hari dengan keluar masuk hutan, menyelami kejernihan sungai, mengalahkan berisik air terjun dengan gelak tawa kami yang suka belantara.
Tidak dipungkiri, semua itu adalah cikal bakal terlahirnya jiwa petualang dalam diri gue.
Keakraban yang terjalin bersama teman-teman dan penduduk asli disana, menjadi pelajaran penting yang mendidik gue untuk pandai beradaptasi terhadap lingkungan dimanapun berada. Dengan sendirinya, gue belajar memahami sikap dan pribadi masing-masing orang. Tentunya bukan hal mudah, membaur dalam suatu lingkungan yang memiliki banyak perbedaan dengan kebudayaan dan keyakinan asli orang tua kita.
Untuk itu, agar dapat diterima, berarti gue harus bersikap tulus dalam berteman dan tidak membeda-bedakan. Karena mencari teman tidak semudah mencari musuh. Layaknya sebuah pribahasa kaum perantau, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.
Begitu banyak pengalaman hidup yang gue alami di desa kecil ini. Entah itu kejadian suka maupun duka, apalagi tentang kenakalan masa kecil gue dulu.
Pernah suatu ketika. Waktu itu gue masih berusia 8 tahun. Tepatnya kejadian itu, ketika gue selesai melaksanakan kewajiban rutin tiap selesai shalat maghrib, mengaji di satu-satunya surau yang ada di desa.
Biasanya, sambil menunggu waktu shalat isya, gue bersama teman-teman lain bermain di pekarangan surau. Hanya saja, waktu itu gue paling duluan selesai ngaji. Jadinya, disaat teman-teman yang lain masih mengaji, gue bermain sendiri. Kebetulan, di saku baju koko gue ada beberapa buah balon yang didapat dari keusilan gue memalak teman sendiri.
Selang beberapa waktu kemudian, disaat sedang asyik-asyiknya bermain, datang beberapa orang pemuda. Umur mereka kalo dibandingin dengan usia gue kala itu, mungkin sekitar ukuran anak SMP. Gue emang sering ngelihat mereka di surau, kalo udah hampir tiba waktu isya. Karena itu adalah waktu untuk ngejemput adik mereka sepulang mengaji, si fulan yang juga merupakan teman gue.
Tapi kemudian, pemuda-pemuda itu ngeliat ke arah gue sambil tersenyum sinis. Lalu, ngehampirin gue yang sedang asyik bermain. Yang terjadi kemudian, benar-benar engga’ disangka. Tiba-tiba mereka merampas balon-balon mainan gue, dan meletuskanya satu demi satu. Tentu saja gue kaget dengan kejadian itu, apa maksud mereka melakukan hal itu ke gue?.
Entah mahkluk apa yang merasuki tubuh kecil ini, kemarahan gue bangkit. Wajar saja, apalagi pemuda-pemuda itu sudah ngusilin gue. Tapi, gue kan cuma bocah 8 tahun?.
Beberapa orang pemuda itu langsung gue kejar, gue terjang dengan kekuatan apa adanya. Berbekal keberanian dan pelajaran karate yang baru nyampe sabuk kuning. Orang yang pertama mungkin engga’ menyadari tindakan gue, dia terhenyak ketika tendangan gue telak menghantam ruang antara perut dan selangkanganya.
Kejadian selanjutnya sudah dapat diperkirakan, terjadi perkelahian antara gue dengan beberapa orang pemuda tersebut, atau lebih tepatnya gue dikeroyok. Mereka bahkan masih sempat meletuskan balon mainan gue yang masih tersisa. Perkelahian itu memang tidak seimbang, gue hanya berhasil mendaratkan beberapa kali pukulan dan tendangan tanpa arti buat pemuda-pemuda itu. Malah mereka semakin gencar menghajar gue.
Beberapa tendangan dan pukulan balasan kembali dihujamkan ke tubuh gue, untung engga’ sampe kena kepala, atau mungkin karena masih ada rasa kasihan mereka. Disaat itu, gue hanya bisa bertahan dari pukulan dan tendangan mereka. Kejadian tragis yang berlangsung sekitar 5 menit, kemudian terhenti setelah terdengar tangisan yang diiringi cacian dan umpatan gue terhadap mereka.
Gue pun dibiarkan begitu saja, terduduk dan menangis sendiri, sambil menahan sakit. Engga’ ada yang nolongin, karena emang engga’ ada orang yang ngeliat kejadian itu. Pemuda-pemuda itu pun berlalu sambil tertawa mencibir.
Setelah kemarahan dan kesedihan reda, gue bangkit dan bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, gue sempat termenung dan berkata dalam hati, “Biar gimanapun, harusnya pemuda-pemuda itu malu dan kagum. Malu, karena hanya bisa mengeroyok anak kecil. Kagum, karena tidak sedikit pun gue gentar melawan mereka “.
Pada akhirnya, gue engga’ jadi pulang dengan wajah murung. Meski masih menahan rasa sakit, tapi tersenyum sendiri ngingat kejadian itu. Dan pristiwa itu, gue kenang sebagai kali pertama berantem dalam hidup.
Dan di kemudian hari, pemuda-pemuda itulah akhirnya menjadi kawan sekaligus kakak-kakak yang melindungiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar