Pagi
ini, indah seperti biasanya. Di dalam ruang tamu sebuah rumah kontrakan kecil,
sambil menyeruput secangkir kopi hangat, kupangku putri semata wayangku Dila, yang
sedang asyik bermain dengan bonekanya. Boneka itu, hadiah ulang tahun pemberian
dariku yang nanti dalam cerita ini mempunyai kisah tersendiri.
Wanita
yang paling kucintai juga duduk disampingku, merekah senyum kami berdua ketika
melihat tingkah lucu putri kami. Aku memang tidak dapat menyembunyikan raut
keceriaan yang terpancar dari wajahku akhir-akhir ini, kecintaan pada wanita
yang sedang berada disampingku ini semakin bertambah setelah kutahu bahwa dia sedang
mengandung. Mengartikan bahwa kini kami sedang menanti kelahiran satu lagi benih
cinta dalam keluarga.
Setidaknya
memang begitu keharmonisan yang terlihat dikala pagi sebelum aku berangkat
kerja. Aku berusaha menyempatkan diri bercengkrama bersama keluarga kecilku,
bercerita sejenak tentang apa saja yang telah atau mungkin akan dilewati hari
ini. Mereka berdualah adalah cinta sekaligus asaku, selayaknya aku yang juga
tulus mereka cintai dan tempat menumpukan harapan. Meskipun dari segi
penghasilan, aku hanyalah seorang karyawan restoran.
Pagi
ini akupun tidak memiliki firasat apapun tentang kejadian yang akan kulalui.
Karena seperti biasa, aku berusaha membiarkan hidup mengalir sesuai
kehendaknya, karena bagi orang biasa sepertiku, hanya doa dan kerja keras yang
menjadi modal untuk dapat bertahan hidup.
Setelah
berkeluarga dan menjadi seorang ayah, aku semakin giat berusaha melakukan
pekerjaanku dengan ihklas dan sungguh-sungguh, semua itu demi menafkahi
keluarga yang kucintai. Menjadi tulang punggung keluarga adalah kewajiban dan
kebahagianku, selain tersirat pula keinginan besar yang lain untuk dapat
membahagiakan kedua orang tua di usia senja mereka.
Ayah dan Ibuku berjarak jauh ribuan kilo
dari lokasi kota aku berada sekarang ini, bahkan harus melanggar beberapa pulau
jika aku ingin berjumpa dengan mereka. Usia mereka juga sudah semakin tua
beriringan dengan tubuh yang sudah tidak kuat lagi. Disana mereka mencari
nafkah dengan berjualan barang kebutuhan sehari-hari di sebuah kios kontarakan
kecil, tinggal dirumah bersama adik-adikku yang masih sekolah dan keluargaku
yang lain.
Hanya aku anak mereka yang merupakan
satu-satunya keluarga yang berani untuk pergi jauh merantau hingga sampai ke
Ibu kota. Selepas SMA niat awalku adalah melanjutkan kuliah, tapi kedua orang
tuaku hanya sanggup membiayai kuliahku sampai semester 4 saja, drop out adalah
pilihan yang terpaksa harus kuterima meskipun orang tuaku bersikeras akan
berusaha mencarikan biaya tambahan. Aku hanya tidak tega jika mereka harus
meminjam uang sedangkan masih ada adik-adikku yang lain harus dibiayai
sekolahnya.
Kejadian itu sempat membuat aku putus
asa, tapi aku bersyukur karena Allah Maha Penyayang dan Dia tidak menjadikan
keputusasaanku itu berlangsung lama. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di
sebuah restoran meski hanya dengan bermodalkan Ijazah dan kuliahku yang tak
selesai. Untuk menjadi seorang pelayan restoran syarat yang paling penting
adalah keramahan dan mungkin hal itu juga yang dilihat oleh atasan untuk
menerimaku sebagai karyawan.
Orang tuakupun mau tidak mau menerimanya
meski harapan mereka untuk bisa melihat aku menjadi seorang sarjana telah
sirna, setidaknya aku tidak luntang lantung di Ibu kota setelah putus kuliah.
Untuk pulang dan bekerja disanapun rasanya kecil kemungkinan karena lapangan
pekerjaan yang ada tidak begitu banyak dan bervariasi. Dari hal itu aku membulatkan
tekad, harus dapat berhasil di Ibu kota ini meski bukan dengan gelar sarjana,
aku harus bisa membahagiakan orang tua dan keluargaku suatu saat nanti.
Setelah setahun bekerja, aku bertemu
dengan wanita yang sekarang telah menjadi istriku. Pertama kali aku melihat dia
adalah pertemuan yang tidak disengaja tanpa mengingkari takdir yang mungkin
saja bermain disitu, waktu itu ada traning penerimaan karyawan baru di restoran
tempat aku bekerja dan aku ditugaskan untuk membantu mengenalkan cara-cara
melayani pengunjung kepada beberapa calon karyawan baru, salah satu diantara
mereka adalah gadis bernama Yanti yang kini telah menjadi istriku.
Tidak lama jangka waktu kami berteman
dan saling mengenal, hanya dalam waktu 6 bulan akhirnya aku berani mengutarakan
niat tulusku yang menginginkan dia untuk jadi pacarku. Ternyata perasaankupun
tak salah karena diapun punya perasaan yang sama, dan di hari itu resmilah kami
berdua menjadi sepasang kekasih.
Dalam hal pekerjaan Alhamdulillah aku
juga beruntung karena dianggap baik oleh atasan hingga mendapat kenaikan gaji.
Entah mungkin hal itu juga yang mempengaruh hubungan berpacaran kami yang
rentang waktunyapun tidak terlalu beda dengan masa berkenalan kami, hanya dalam
waktu 7 bulan aku telah yakin untuk mengajak Yanti agar bersedia menjadi
istriku.
Segalanyapun dimudahkan untukku,
setelah mendapat restu dari kedua orang tua, dalam masa cuti selama 2 minggu
aku pulang bersama Yanti dan kedua orang tuanya untuk mengadakan acara
pernikahan, bukan acara pernikahan besar karena hanya mengundang keluarga kedua
belah pihak dan mengingat penghasilanku yang tentunya terkuras habis untuk
acara pernikahan.
Waktupun
terus berlalu, sebenarnya ingin sekali aku bisa sering pulang untuk menjenguk
kedua orang tuaku, tapi semua harga kebutuhan sekarang ini sudah tidak seperti
dulu lagi dan untuk ongkos saja aku masih terkendala dengan penghasilanku sebagai
karyawan restoran yang kini sudah sangat pas-pasan.
Terlepas dari semua harapan dan rasa
cintaku terhadap orang tua yang jauh disana, seperti yang telah kuceritakan
tadi, ada yang sangat kunanti-nanti dalam waktu dekat ini. Atas izin Yang Maha
Kuasalah akan tiba pula saat yang dinantikan. Ingin kupercepat waktu seandainya
bisa, supaya segera hadir saat dimana aku dapat menyaksikan kehadiran satu lagi
benih cintaku di muka bumi ini. Andai saja….
Dilokasi
yang berbeda…
Dipagi
yang sama, sepertinya di sebuah ruangan kamar hotel, seorang lelaki tampak sedang
sibuk berkonsentrasi mengerjakan sesuatu. Diatas kasur terlihat hamparan beberapa
komponen keelektrikan yang berbeda ukuran dan jenis, berutas-utas kabel warna-warni
bertebaran di lantai. Kalau tidak salah, sepertinya dia sedang merangkai
komponen-komponen itu menjadi satu kesatuan peralatan, orang ini mungkin
memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan listrik atau kelektrikan. Entahlah,
hanya dia yang benar-benar paham apa yang sedang dikerjakan.
Ruangan
tempat lelaki itu berada adalah kamar di salah satu hotel termewah yang ada di
negeri ini. Ternyata sudah sekitar 3 bulan dia menjadi penghuni hotel, dan
menurut rencana hari ini adalah yang terakhir dia berada di sini. Setelah
selesai menyelesaikan pekerjaannya tadi, dalam waktu yang tidak terlalu lama
terlihat semua barang-barang itupun telah rapi dimasukkan ke dalam dua buah tas
ransel.
Dari
penampilanya, lelaki ini cukup menarik untuk dipandang. Raut wajahnya yang
tenang biasanya menandakan kesopanan budi pekerti dan halus tutur kata. Tapi
mungkin saja itu hanya prasangka yang sudah menjadi kelumrahan masyarakat di
negeri ini, seperti aku yang terbiasa menilai seseorang dari penampilan luarnya
terlebih dahulu.
Jika merunut kemasa yang telah lalu, ternyata
juga ada sekelumit sejarah yang patut diketahui tentang lelaki ini. Dia cukup
lama pergi meninggalkan keluarganya tanpa kabar berita, dengan sebuah alasan
yang hingga sekarang hanya dia yang tahu. Namun karena begitu besar keyakinan
keluarga padanya, membuat mereka rela dan mendukung niat lelaki itu untuk pergi
menggapai apa yang diinginkan. Lelaki dewasa memang harus begitu, aku setuju
jika maksud dia pergi meninggalkan keluarganya adalah untuk mencari masa depan
yang lebih baik, bukankah itu semua dilakukan demi keluarga yang dia cintai
juga.
Ada
juga hal menarik lain mengenai lelaki ini. Semenjak muda dia gemar menuntut
ilmu apalagi ilmu agama, hingga dilingkunganya dia terkenal alim dan pandai, itu
adalah sebuah kelumrahan bagi orang yang telah terpahamkan oleh ilmu yang
selama ini dipelajarinya. Terpahamkan??. Pemahaman-pemahamanya juga yang
mengantarkan dia menemukan banyak kawan, tergabung dalam beberapa komunitas
kemasyarakatan atau kelompok yang sama-sama memperjuangankan apa yang dianggap
benar.
Hotel
ini memiliki sebuah restoran dan disinilah aku bekerja sebagai karyawan atau
lebih tepatnya pelayan yang bertugas melayani pesanan makanan dari pengunjung. Ternyata
hari ini aku terlalu cepat sampai, masih terlalu pagi dan belum banyak
pengujung yang datang. Namun pasti sebentar lagi, karena biasanya disaat jam penghuni
hotel mulai melakukan aktifitas, kebanyakan dari mereka akan sarapan di
restoran ini.
Dan
seingatku pagi ini menjadi hari yang termasuk dalam agenda pertemuan mingguan
rutin sekelompok pengusaha, mereka bukan orang-orang sembarangan, mereka adalah
pengusaha-pengusaha penting yang kebijakanya ikut mempengaruhi keadaan ekonomi
di negeri ini, bahkan terkadang sesekali menteripun ikut bergabung bersama
mereka.
Aku
bisa mengetahui hal itu karena bukan baru satu kali mereka mengadakan pertemuan
di restoran mewah tempat aku bekerja ini. Restoran yang berada di dalam lingkup
hotel mewah tentulah berkelas dan pengunjungnya juga kebanyakan adalah
orang-orang yang perekonomianya sangat mampu, tamu yang menginap atau pengunjung
restoran inipun bukan hanya orang lokal tapi banyak juga merupakan wisatawan asing.
Dari
hal itu, maka merupakan keharusan jika keamanan dalam hotel sekaligus restoran
ini sangat diperhatikan. Penjagaanya ketat tapi diusahakan tetap menjamin
kenyamanan tamu hotel atau pengunjung restoran. Tidak berapa lama kemudian restoranpun
sudah mulai ramai, aku mulai disibukkan dengan pekerjaan rutin, melayani dengan
ramah para pengunjung yang ingin mendapatkan sarapan pagi.
Beberapa
pengusaha penting itu juga sudah mulai datang, mereka langsung menempati meja
khusus yang sengaja disediakan. Aku berjalan menghampiri salah seorang dari
mereka yang sudah cukup kukenal, bos besar pemilik salah satu perusahaan waralaba
termuka di negeri ini. Sikapku lebih terlihat seperti basa basi sewajarnya
seorang pelayan restoran, mengawali dengan senyum dan tegur sapa, kemudian
melaksanakan tugas untuk mencatat pesanan yang mereka inginkan.
Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, sosok seorang lelaki berjalan perlahan memasuki
pintu penghubung antara hotel dan restoran. Sambil menenteng sebuah tas dan
menyandang ransel di pundaknya, dia berjalan semakin mendekat. Ternyata, jadi
juga dia check out pagi ini, dan
mungkin dia ingin terlebih dahulu sarapan sebelum pergi.
Wajah
lelaki ini memang sudah tidak asing bagiku, dia sudah menjadi pengunjung tetap
di restoran ini selama 3 bulan terakhir. Aku bahkan sudah hafal kebiasaanya
setiap datang, setelah memesan makanan dan minuman, dia langsung memilih tempat
duduk yang dekat dengan jendela, mungkin agar dapat melihat pemandangan pagi di
luar restoran. Sejak awal, jika berada di restoran ini, dia memang sering
sekali mengamati keadaan sekitar.
Penampilanya
rapi namun sedikit nyentrik, tapi entah dari segi mana aku melihatnya. Dia jarang
bicara dan sepertinya memang seorang diri menginap di hotel ini, namun murah
tersenyum setiap berpapasan dengan siapa saja di restoran, termasuk padaku.
Sikap ramahnya itu yang membuat aku beranikan untuk mengobrol denganya disuatu
siang. Waktu itu dia sedang menuggu pesanan makan siang, secara tidak sengaja
juga disiang itu aku melihat dia sedang mengamati foto seorang anak gadis.
Pembicaraan pun terjalin, akupun akhirnya tahu
bahwa wajah yang ada di foto itu adalah anak gadisnya yang sudah lama tidak
dijumpai. Hal itu membuat aku menemukan bahan pembicaraan tentang anak gadisku
yang seumuran dengan anaknya. Kemudian dalam perbincangan selanjutnya dia tidak
banyak bicara, lebih banyak menyimak dan mengguratkan senyuman saja ketika aku sedang
bercerita.
Tapi ada satu hal yang menarik,
seakan ingin mengakhiri pembicaraan kami kala itu, dia mengeluarkan sebuah
boneka beruang dari saku jaketnya yang berukuran besar. Boneka itu diberikan
kepadaku, “Berikan ini sebagai hadiah untuk putri kecilmu”. Serba kebetulan
karena ternyata beberapa hari lagi anakku memang akan berulang tahun, dan
boneka itu akan kuberikan sebagai hadiah ulang tahun putriku nanti.
Begitulah
aku menceritakan awal perjumpaanku dengan dia, lelaki yang sedikit misterius
dan beberapa bulan ini sering kujumpai.
Kemudian
aku menghampirinya karena diapun sedang berjalan menuju ke arah meja tempat
diadakanya pertemuan oleh para pengusaha tadi. Tapi tampaknya si bos yang
kukenal tidak berada di tempatnya, terakhir aku meilihat dia berjalan kearah
toilet.
Namun,….
selang beberapa detik setelah itu, aku tidak ingat beberapa kejadian
selanjutnya.
Aku
baru tersentak sadar, ketika kepala bagian kananku terasa sangat ngilu, seperti
terkena hantaman benda keras yang sangat kuat. Ketika membuka mata, terkejut
melihat seluruh bajuku bersimbah darah, dan aku terkapar di samping trotoar.
Aku tahu tempat ini adalah jalan yang terletak di depan restoran, tetapi kenapa
aku disini ?.
Seluruh
anggota tubuhku yang lain seperti mati rasa, kedua tangan dan kakiku tak dapat
bergerak seperti tidak melekat di tubuhku lagi. Aku belum sempat memastikan apa
yang terjadi pada tubuhku, sebelum akhirya kembali tidak sadar.
Hanya
sayup-sayup aku mendengar suara seseorang sebelum sepenuhnya tak sadarkan diri,
itu adalah suara si bos. “Restoran telah di bom”.