Adalah tugas seorang stuntman menggantikan aktor maupun aktris dalam memerankan adegan berbahaya. Selain sentuhan teknologi, pertunjukkan-pertunjukkan laga terlihat "gereget" dengan adegan maut yang memikat. Kebanyakan tak dilakoni aktor atau aktrisnya sendiri. Keberanian stuntman melakukan adegan berbahaya menjadi nilai lebih adegan yang terdapat dalam pertunjukkan. Lalu, mengapa ada saja orang yang bersedia untuk mempertaruhkan nyawanya demi materi atau popularitas yang tidak seberapa dibandingkan nyawanya itu?.
Tak sekadar tangan terkilir, tapi leher patah, tertabrak, maupun kena ledakan, bermain-main dengan maut sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mereka yang memilih profesi ini. Bukan itu saja, kematian pun tak luput membayangi pekerjaan mereka. Memang, tak perlu mengantongi predikat bidang tertentu untuk menjadi seorang stuntman. Asal siap berteman dengan maut, maka uang pun sudah bisa masuk kantong.
Ada banyak motivasi mengapa profesi ini diminati. Maklum, dunia pertunjukkan memang identik dengan kemewahan dan popularitas. Untuk menjadi bagian di dalamnya, bukan perkara mudah. Tak jarang ada yang berinisiatif terlebih dulu untuk menjadi seorang stuntman dengan harapan predikat mega bintang bisa ia raih, tapi yang paling penting adalah mereka memilih pekerjaan ini karena jiwa yang selalu merasa tertantang untuk berani menaklukan tantangan.
Sebut saja nama Jacky Chan. Awalnya, ia hanya menggantikan peran-peran berbahaya dari beberapa film yang melambungkan nama Bruce Lee. Kini, keberaniannya untuk memainkan adegan menantang maut malah menjadikan dia aktor kelas atas dunia.
Jacky Chan boleh jadi sangat beruntung bisa mencapai ketenaran seperti sekarang ini, tapi tidak demikian halnya dengan Steven Scott Wheatley. Saat terlibat produksi untuk film Mission Imposible III, tubuhnya terbakar hampir 60 persen. Marco D'Agata, 38 tahun, lebih sial lagi, tanggal 22 Maret 2003 ia harus melepaskan semua impian untuk menjadi bintang terkenal karena kecelakaan yang merenggut nyawanya. Menurut maltatoday.com, D'Agata tewas tertabrak mobil dalam adegan mengendarai motor di serial drama televisi `F' Bahar Wiehed.
Dari kasus D'Agata, jelas bahwa seorang stuntman sangat membutuhkan keberanian ekstra. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah asuransi jiwa. Namun, di Indonesia, pemeran pengganti untuk film-film laga yang mulai banyak bermunculan sering tak memberikan jaminan asuransi kepada para pemeran pengganti. Apalagi persaingan antar-stunmant lokal mau pun import yang banyak didatangkan dari Cina dan Hong Kong, semakin menggusur lahan kerja para stuntman lokal.
Namun, hal ini tidak berlaku di Negeri Paman Sam. Para stuntman dididik dan dilatih oleh sebuah badan yang disebut The United Stuntmen USA Association. Di sana, untuk menjadi stuntman tak sekadar punya nyali, tapi juga harus mengetahui teknik-teknik yang tepat agar kecelakaan bisa dikurangi. Untuk itu asosiasi ini berdiri.
Boleh jadi, profesi ini memang tidak berperikemanusiaan. Tapi manusia luar biasa..ha..ha..
Lantas apa boleh dikata, toh peminatnya juga tidak berkurang.
Jadi, berminatkah Anda dengan profesi ini?Siap!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar