My Adsense

16 Sep 2008

pengemis dan jakarta


Sudah menjadi tradisi bagi warga kota Jakarta untuk menyaksikan begitu banyaknya kaum papa yang bertebaran disetiap sudut kota. Mungkin karena Jakarta adalah barometer Ibukota, yang sering diidentikkan bahwa kota besar selalu ada saja menampung manusia-manusia miskin yang kalah melawan arus kota.

Hanya mereka yang benar-benar siap menjadi orang kota lah yang dapat terus bertahan mengais hidup di Jakarta. Tentunya bukan tidak mungkin diantara mereka harus ada yang rela menjadi korban kemodern kota, bahkan teori kelicikan juga harus dipelajari untuk terbiasa dengan kehidupan Jakarta yang sering main sikut. Benar kata kiasan “Ibu kota lebih kejam dari Ibu tiri”, hanya orang yang bisa lebih kejam yang dapat menaklukan kota Jakarta.

Sedangkan para gelandangan dan pengemis adalah salah satu contoh manusia-manusia bersalah dan kalah, kesalahan mereka karena pasrah pada nasip yang menjadikan mereka kalah.
Bukankah hidup di Jakarta untuk merubah nasip?

Adapun berbagai bukti dengan semakin maraknya tindakan kriminalitas yang dilakukan orang-orang yang merasa hanya dengan berbuat jahat mereka dapat merubah nasip yang lebih dulu menjahati mereka. Kemiskinan telah mengkontaminasi pikiran mereka sehingga menghalalkan berbagai macam cara yang dianggap sebagai penawarnya.

Pandangan masing-masing orang memang berbeda melihat berbgai situasi ini. Jika dipikir secara nurani, tentulah mereka pantas mendapat iba, mungkin kita hanya dapat berbicara karena tidak sedang dalam posisi mereka.
Tapi terkadang kita yang sudah letih menghidupi diri sendiri berpikir dan terpaksa memvonis itu semua adalah takdir yang harus mereka terima. Bahkan banyak diantara kita yang sering merasa gerah melihat tampang dan tingkah laku mereka yang menambah keruwetan hidup di kota Jakarta.
Semuanya belum ditambah dengan versi lain yang menggunakan kedok untuk menolong sesama atau mendirikan tempat ibadah. Ibadah adalah kewajiban yang takkan ada arti tanpa dibarengi niat. Dengan niat yang tulus, Allah pasti akan mengabulkan doa hambanya.

Tapi apa jadinya jika niat tersebut hanyalah sebuah kedok demi mendapatkan nominal. Bahkan lebih menambah dosa lagi jika ayat-ayat suci diikut sertakan sebagai bagian dari kebohongan mereka . Allah sendiri tidak pernah memaksa umatnya untuk berbuat sesuatu yang melebihi kemampuan, bukankah niat dari ibadah itu sendiri yang lebih penting dibandingkan membangun tempat ibadah tapi disertai berbagai kecurangan demi mendapatkan keuntungan.

Sebagai penganut agama mayoritas di negara ini, aku merasa malu melihat keadaan ini. Mengapa begitu sering di kota Jakarta ini aku melihat mereka meminta-minta demi alasan membangun tempat ibadah.
Sudah begitu miskinkah saudaraku-saudaraku seiman? Atau kehidupan di kota besar telah membuat mereka begitu pelit sehingga harus ada yang meminta-minta, bahkan untuk menambah nilai jual kebohongan tersebut ayat-ayat suci hanya menjadi perkataan picisan yang bisa disebut oleh sembarang orang di sembarang tempat.

Secara logis kita dapat berpikir semuanya itu karena rupiah. Begitu fatalnya permasalahan ini jika hanya karena daya tarik uang, mereka yang membutuhkan berani menjadikan alasan menolong sesama dan mendirikan tempat ibadah sebagai kedok.
Berjubelnya manusia di kota Jakarta memang seakan tak pernah berkurang, sebagian dari mereka yang tersisih terus mencoba bertahan hidup dengan berbagai cara tanpa memikirkan masa depan yang lebih cerah.
Masih menarikkah gemerlap kota besar ini, jika meraka yang picik hanya menganggap kalian sampah?

Mungkin karena yang meraka punyai sekarang hanya kepasrahan dan berusaha untuk semakin kebal menerima derita hidup. Sementara itu, tiap saat selalu saja ada orang-orang baru yang berdatangan dari berbagai daerah ,merasa tergiur dengan iming-iming kota untuk mengais hidup, walau mereka cuma berbekal nasip yang mudah-mudahan mujur.

Haruskah aku memandang permasalah ini seperti pandangan mereka, manusia-manusia kritis yang selalu menyalahkan pemerintah. Kalau memang begitu, aku hanya bisa berpendapat jika dari awal permasalahan ini sudah dtindak lanjuti secara serius, tentu tidak akan menjadi bumerang seperti yang terjadi saat ini.

Akan tetapi, tidak ada yang dapat kukatakan lagi, jika dibalik situasi yang terjadi saat ini sebenarnya manusia-manusia yang hidup di kota Jakarta sudah bersikap acuh tak acuh dan lebih mementingkan ego mereka sendiri.

Dari itu semua aku merasa lebih baik berpikir untuk mengambil jalan tengahnya saja, berbagai masalah sosial yang terjadi di Kota Jakarta adalah kondisi lumrah yang sering terjadi pada bangsa berkembang lainya. Tapi bukan berarti tidak ada cara untuk menuntaskanya. Hanya dengan niat tulus dari masing-masing orang yang mencintai bangsa ini lah yang dapat menjadi motivasi untuk tujuan yang baik ke depanya. Karena walau bagaimanapun yang terjadi di Ibukota tentunya juga berpengaruh secara tidak langsung ke daerah-daerah lain.

Kita semua tentunya tidak ingin Ibukota kita dijuluki kota pengemis, dan dipandang miskin di mata dunia.

Tulisanku yang cuma sekedar ini berawal dari niatku untuk menjadikan kota Jakarta sebagai ibu kota yang selalu diimpi-impikan oleh anak negeri ini, bukan hanya menjadi kota yang berjalan dengan pongah tanpa memperhatikan rakyat miskin di sekitarnya.

1 komentar:

rhany mengatakan...

hhmmm..setuju banget sama tulisan ka iyas yang ini,,,sekedar beebagi pengalaman aja.. gw tinggal di daerah yang padat penduduk,,ada pasar,,sekolah,,kampus dan pusat perkantoran,,mungkin karena kondisi yang sedemikian ruwet di daerah gw,,,banyak orang2 yang mencari peruntungan,,ya salah satunya dengan kedok pembangunan mesjid... dan menurut gw,,ternyata orang2 yang meninta2 dengan kedok agama ini bukan cuma sekedar masalah sosial yang dihadapi,,tapi juga masalah moral masing2 individu.. jakarta cuma dijadiin "objek" pencarian uang mereka tanpa diimbangi bekal diri mereka masing2,,,,(hehhe,,jadi kepanjangan,,maklum topik ya gw suka banget,,ya berkaitan juga dengan jurusan gw...hehhee)...