Selama Tuhan pemilik langit dan bumi masih memberikan kita nafas, dan selama Tuhan yang maha pemberi ilmu masih memberikan kita ilmu pengetahuan, maka janganlah ragu untuk menulis. Tuliskan saja, dan editlah belakangan. Dengan begitu, kamupun menulis tanpa beban. PLONG!. Lega rasanya..
10 Nov 2008
(TULISAN LEPAS)OKSIDENTALISME
Tulisan ini kumulai setelah membaca buku yang ditulis oleh seorang Intelektual Islam, pemikiranya dianggap cemerlang diantara banyak cendikiawan yang ada di zaman sekarang ini. Dia menggebu-gebu dalam menyikapi kebangkitan peradaban masyarakat, khususnya wilayah timur yang selama ini arah pemikiranya selalu didominasi oleh “barat”.
Setelah mencoba meresapi makna yang terkandung dalam buku itu, nalarku sebagai “Orang Muda” tiba-tiba saja bangkit. Buku yang dapat menjawab berbagai pertanyaan generasi bangsa yang sedang bimbang dalam menemukan jati diri.
Globalisasi memang menjadi penentu berkembangnya peradaban manusia di dunia, membuat jurang ruang menjadi dekat, karena segala penemuan yang membuat kehidupan semakin efektif dan efisien. Namun, jika melihat keadaan dunia dari sudut pandang hubungan antar ideologi, budaya dan agama, proses globalisasi ternyata tidak menjadikan pemikiran bangsa di dunia ini menjadi seragam.
Masih banyak terjadi ketidak seimbangan taraf perekonomian antar bangsa yang satu dengan bangsa lainya, bahkan masing sering terjadi konflik yang mengatas namakan sentimen terhadap agama-ideologi atau etnis bangsa yang berbeda, yang sebenarnya tidak lepas dari maksud yang tersirat untuk mengeruk kejayaan atau perluasan kekuasaan.
Dalam skala yang lebih luas, bergulirnya arus globalisasi sampai saat ini seakan hanya bermuara dari satu pemikiran yang menjadi faktor penggeraknya. “Tradisi pemikiran barat merupakan sumber pengetahuan yang sering menjadi acuan bagi peradaban ilmiah dalam kehidupan masyarakat dunia”.
Secara terus menerus “Pemikiran Barat” selalu hadir dalam kesadaran umat manusia dalam menyikapi perkembangan zaman, diawali oleh generasi sebelumnya yang terlebih dahulu menempati peradaban. Belum ada pemikiran yang menelaah secara khusus mengenai asal-muasal pemikiran barat, kecuali masih dalam batas yang sempit dan metode perbincangan semata, bukan metode kritik berdasarkan logika untuk membuktikan.
Untuk itu, saya berusaha menelaah permasalahan ini dengan pikiran yang positif. Bukan untuk menyalahkan “Tradisi Barat”, tapi mencoba menjelaskan aspek lain yang dapat melatar belakangi pemikiran dalam menentukan sikap secara lebih bijaksana. Karena motivasi awal saya menulis permasalahan ini, adalah terdorong dari ketidakjelasan generasi kini dalam menemukan jati diri dan mencari panutan yang pantas dicontoh.
Agar langsung menuju inti permasalahan, marilah secara bersama kita renungkan bahwa banyak generasi sekarang yang melakukan kesalahan terhadap generasi lama dan juga terhadap kebudayaan barat.
Terhadap tradisi lama kita melakukan kesalahan sebagai berikut :
1. Kita melepaskan diri dari lingkungan kebudayaan sendiri dan merasa rendah diri atau malu jika berafilasi denganya, disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan, ingin dan bangga meniru barat, terdorong niat untuk menyusul kemajuan yang dicapai barat.
2. Kita memasuki lingkungan budaya lain, mengikuti pergumulan didalamnya, meskipun kita bukan salah satu pihak di dalamnya. Dengan bersikap seperti itu, kita telah menjadi penyebar “Peradaban Barat”. Kemudian lebih akrab dengan kata-kata “ idealisme dan realisme, rasionalisme dan empirisme, eksistensialisme dan positivisme, analitisme dan strukturulisme, dan lain sebagainya”.
3. Kita lari dari kenyataan sehingga tidak tahu situasi dan krisis yang terjadi. Kita
tidak mau menghadapi tantangan realitas dan hanya melihatnya dari kebudayaan asing yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh realitas kita. Akibatnya realitas kita diam dan tak bergerak, setelah sisi aslinya diganti dengan sisi asing.
Dan terhadap “Kebudayaan Barat” kita melakukan kesalahan sebagai berikut:
1. Mengeluarkan “Kebudayaan Barat” dari lingkungan dan konteks sejarahnya sendiri. Kita menganggap seolah-olah kebudayaan barat adalah madzab-madzab absolut dan universal yang tidak mengenal batas ruang. Kita juga menjadikan diri sebagai pihak yang bergumul dalam kebudayaan tersebut.
2. Memberikan semacam keabsolutan dan keuniversalan yang tidak semestinya kepada kebudayaan barat, dan menyebarkan kebudayaan tersebut ke luar batas geografisnya. Dengan begitu, kita seakan merealisasikan keinginan kebudayaan luar untuk menjadi kebudayaan penguasa dan pengontrol bagi kebudayaan asli yang semakin terpinggirkan.
3. Memerangi kebudayaan lokal disaat ia sedang mengadakan persaingan dengan kebudayaan pendatang. Ini sama saja dengan menciptakan permusuhan antara tradisi pendatang dengan tradisi lokal, memecah belah kebudayaan bangsa sendiri, dan jatuh ke dalam dualisme peradaban.
Dari pernyataaan di atas, bukan mengharuskan kita bersikap ofensip atau defensip dalam menghadapi dua kebudayaan tersebut, melainkan yang paling tepat adalah bersikap selektif. Artinya, peradaban yang sedang kita jalani saat ini, menuntut adanya sikap kritis. Kritis terhadap tradisi lama dan tradisi barat, serta kritis terhadap realitas dengan mengubah dan mengembangkan tradisi yang ada, bukan menjauhinya.
Masa lalu bukan untuk dipertahankan atau diserang tetapi untuk direkonstruksi, masa depan bukan untuk diserang atau dipertahankan tetapi dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin dikembalikan ke masa lalu atau diajukan ke masa depan tetapi merupakan tempat berinteraksi ketiga masa. Tergantung sikap suatu bangsa yang tidak melupakan budaya sendiri, karena “Adanya suatu bangsa ditentukan dari budaya asli yang dimilikinya”.
Dalam menyikapi “Budaya Barat”, kita pun harusnya sadar bahwa fenomena kebarat-baratan dalam kebudayaan dan gaya kehidupan kita sehari-hari telah mengakibatkan krisis identitas dan orisinalitas, turut dipengaruhi oleh kekuasaan barat melalui informasi yang turut mempropagandakan mitos budaya cosmopolitan.
Sebelumnya, pernah terjadi berbagai reaksi yang menolak dominasi “Barat”, hanya saja pemikiran-pemikiran itu menegaskan sikap untuk kembali mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang hidup dalam taraf keterbelakangan. Seharusnya sikap yang diambil adalah pembenahan dan upaya reformasi dengan tujuan memberikan kemajuan, tanpa melupakan budaya asli serta tidak sepenuhnya menerima budaya luar.
“Budaya barat bukanlah guru abadi dan jenis peradaban yang selalu menang, sehingga tidak perlu takut untuk maju dengan budaya bangsa sendiri. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, berarti kita menghadapi krisis peradaban”.
Ketenggelaman total ke dalam “Peradaban Barat” mengakibatkan ketidak tahuan generasi bangsa tentang ciri tanah air dan kemungkinan ditemukan metode budaya sendiri yang cocok. Dengan begitu, kita telah mengorbankan budaya bangsa demi menerapkan “Budaya Barat”.
Bukankah harusnya kita yang lebih tahu priorotas bangsa sendiri ?.
Memodernkan budaya bangsa tetap diperlukan, karena dituntut oleh kondisi perangsuran zaman. Tapi, walaupun spontan haruslah tetap alami. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan subtansi dan ruh budaya asli, meski bentuk dan formatnya akan berubah.
Sebelum yakin untuk menggabungkan tradisi asli dengan tradisi pendatang, haruslah terlebih dahulu mengedepankan persatuan tanah air dan kepribadian Nasional. “Kebudayaan kita tetap satu, meskipun terlihat ada kesamaan dengan kebudayaan lain yang sebenarnya berbeda”.
Bangsa kita harus menghilangkan rasa takut dan rendah diri di hadapan barat, agar dapat berinteraksi sebagai pihak yang sederajat. Bahkan dapat mengkritik dan menjelaskan arah yang dituju barat, kemudian menyempurnakanya sesuai dengan budaya bangsa kita. Tetapi, jika kebiasaan-kebiasaan menggunakan akal dan realitas tersebut telah hilang, dapat memaksa kita menggunakan hasil temuan bangsa lain sebagai pendahuluan sebelum dilakukan kajian terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita terbiasa meminjam kebiasaan budaya lain dan menjadikan bangsa sendiri sebagai penyebar kebudayaan bangsa lain.
Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menimbulkan perspektif untuk menilai “Budaya Barat” secara emosional dan penuh kecurigaan. Karena hanyalah kemunduran jika menolak kebudayaan asing tanpa mengetahui hakikatnya, apalgi tergoda isu-isu yang sengaja dihembuskan untuk mendeskreditkan kebudayaan tertentu agar dijauhi oleh mayarakat awam.
Tujuan membendung kebudayaan asing, adalah untuk mempertahankan budaya asli bangsa kita. Sebab kebudayaan asing selain diakui memiliki potensi pencerahan, tetapi juga revolusi. Dan seruan untuk menghalau “ Budaya Barat” bukan berarti menolak kebudayaan bangsa aing, apalagi diartikan dengan ketertutupan untuk kembali ke masa belakang.
Menolak “barat” secara ekstrem berarti menolak ilmu pengetahuan teknologi dan temuan modern yang digunakan manusia setiap hari, sampai pada hal yang sepele, seperti listrik, alat-alat elektronik, sarana transportasi, komunikasi dan lain sebagainya. Padahal temuan-temuan itu telah menjadi kebutuhan zaman. Lalu bagaimana kita dapat meninggalkan, memusuhi dan mempertanyakanya ?.
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, patutlah ada pemahaman yang bijak untuk menjawabnya. Bahwa kita tidak boleh memandang sesuatu dari kulit luarnya saja dengan mengabaikan persoalan pokok serta konsepsi yang melingkupinya. Teknologi telah terbangun di atas teori dan konsep alam yang hadir pada zaman awal terciptanya, sehingga tujuan utama teknologi adalah tidak lain untuk mempermudah pelayanan dan urusan dunia. Tetapi, penemuan-penemuan barat tersebut seharusnya tidak dibanggakan sebagai lahan untuk menikmati fasilitas kemewahan.
Di samping itu, patut diketahui bahwa teknologi barat tidak sepenuhnya murni temuan mereka. Tetapi merupakan hasil akumulasi sejarah dan evolusi ilmu pengetahuan yang dimulai dari penemuan berbagai kebudayaan yang ada. Jadi, setiap peradaban terdahulu sebenarnya memilki andil dalam penemuan ilmu pengetahuan teknologi modern sepanjang sejarah. Yang jadi keinginan kita bersama adalah tidak ada pemisahan antara ilmu dan sejarahnya, tidak menyembunyikan sumber-sumber lama dengan tujuan menciptakan mitos kreatifitas brilian bangsa tertentu. Dan juga seharusnya penggunaan teknologi tidak dimanfaatkan untuk menguasai pihak lain, atau dimonopoli sendiri oleh bangsa yang dianggap penemunya.
Telah terbukti pula bahwa teknologi dapat dieksploitasi untuk menipu, propaganda kebohongan dan slogan menghasut opini masa, seperti yang dilakukan media informasi dan komunikasi. Jika begitu, teknologi mengandung unsur penghancur seperti alat perang dan bom atom. Menjadi simbol kekuatan, kemenangan, kebesaran dan kekuasaan yang telah terjadi di Barat dan Jepang.
Jadi, teknologi tidak seindah kenyataanya.
Semoga saja generasi bangsa ini, tidak terus dihinggapi kebingungan dalam mencari jati diri. Tentunya itu dapat tercapai jika mereka sudah dapat berpikir kritis-rekonstruktif bukan terus terbenam dalam sikap antara ofensip-depensip.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar