Aku dibesarkan di desa ini, semenjak berusia 5 tahun hingga
menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Selanjutnya untuk menempuh
pendidikan ke sekolah lanjutan atas, aku harus pindah ke kabupaten lain meski
masih satu daratan dengan desa tempat tinggal gue terdahulu.
Pernahkah
kalian mengalami pristiwa yang dapat membuat kalian semua sadar bahwa hidup di
dunia ini benar-benar sementara. Yang saya maksudkan disini, bukan seperti
kutipan khotbah seorang oleh alim ulama atau kata-kata bijak tentang kematian.
Tetapi lebih kepada suatu peristiwa yang dialami sendiri. Pristiwa seperti itu
pernah terjadi dalam hidupku, kejadian traumatik yang sekaligus menandai
langkah pertamaku, ketika ingin mencoba hidup mandiri. Waktu itu aku sedang
dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempatku melanjutkan sekolah.
Diawali dengan kisahku bersama
beberapa orang sahabat yang tidak pernah terlupakan. Kami dibesarkan bersama
semenjak kecil, pertambahan usia menjadikan pertemanan kami itu menjadi semakin
akrab. Persahabatan kami, meleburkan berbagai kepribadian yang berbeda menjadi
satu, kami membaur dalam solidaritas, tertawa dan menangis bersama, disertai
aksi hura-hura sewajarnya yang mengisi usia remaja kami. Diantara beberapa
orang sahabatku tersebut, dia lah salah satu sahabat yang akan ku ceritakan
dalam kisah ini. Menjadi sosok tidak terlupakan, karena takdir telah
menggariskan kisah akhir hidupnya bertautan dengan pengalaman traumatik yang
harus kulalui dalam hidup.
Hari
itu, kami sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempat
harapan kami melanjutkan sekolah. Menyebrang ke kabupaten lain dan meninggalkan
desa rantauan, tempat kami dibesarkan bersama. Duduk bersebelahan dalam bis
antar kota reot yang penuh sesak. Tercium berbagai aroma tubuh penumpang, yang
dijubeli dengan macam-macam barang yang kami bawa. Sebenarnya, kami sudah
terbiasa dengan keadaan ini, karena memang seperti itu jika berpergian
menggunakan bis di daerah.
Bahkan
bukanlah hal yang mengejutkan bagi jiwa remaja pemberani seperti kami, jika
terlihat ada sebagian penumpang yang memilih duduk di atas bagasi bis. Kecuali
menciutkan nyali mereka-mereka yang baru tahu bagaimana situasi jalanan yang
berlubang dan terjal di daerah itu, bis harus mengitari perbukitan yang
dikelilingi jurang-jurang curam. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh sejam
menjadi beberapa jam, karena situasi jalanan yang tidak mendukung. Seperti
itulah keadaan transportasi di daerah itu.
Memang
hanya kata pemberani yang pantas disematkan, termasuk pada sahabatku yang satu
itu. Dikarenakan gerah dan tidak betah duduk bersesak-sesak, dia mengajakku
untuk pindah ke atas bagasi bis. Terhenyak ketika mendengar ajakanya, mungkin
aku memang engga’ pantas dibilang sepemberani atau sekonyol dia, karena seumur
hidup belum pernah melakukan aksi gila itu.
Niatnya
pun tidak tercapai, karena aku melarangnya. Selama perjalanan, bis yang kami
tumpangi beberapa kali mengalami kerusakan. Beberapa kali juga penumpang harus
turun dan menunggu hingga bis dapat berangkat kembali.
Sekarang,
adalah yang ketiga kalinya bis ini mogok. Sambil menunggu, kami berdua duduk di
pinggir jalan dan ngobrol ngalur-ngidul. Obrolan yang terjadi lebih banyak
menceritakan tentang keluarga, dan tentu saja kami dan sahabat-sahabatnya. Jika
saja aku bisa membaca masa depan, seharusnya kala itu tahu, bahwa ada tanda
yang ditunjukkan….
Hari itu, dia keliatan beda dibandingkan
hari-hari lainya. Kecerian dan gaya bicara yang ditunjukkan, seperti tidak
pernah terlihat sebelumnya, apalagi dia yang kukenal adalah seorang sahabat
yang pendiam. Intinya, aku tidak menyadari sikapnya yang tiba-tiba asing di
hadapanku. Seharusnya jelas kulihat matanya ketika berbicara waktu itu,
hanyalah tatapan yang hampa.
Ketika
sedang santai dalam obrolan ngalor-ngidul itu, beberapa penumpang terlihat ada
yang berpindah ke bis yang lain, kebetulan ada beberapa bis berikutnya yang
lewat dan mempunyai jurusan yang searah. Hal tersebut menerbitkan gagasan pada
sahabatku tersebut, dia ingin turut pindah ke bis yang lain dan menyampaikan
usul tersebut kepada diriku.
Setelah
sesaat berpikir, akupun setuju. Karena jarak yang harus kami tempuh untuk
sampai ke daerah tujuan memang masih jauh, sedangkan hari hampir malam dan aku
belum menyiapkan apapun untuk besok pagi dihari pertama masuk sekolah . Bis
naas itu akhirnya lewat di samping kami, tanpa pikir panjang dia langsung
menyetopnya. Aku pun bergegas mengemasi barang-barang bawaan. Dalam waktu
sekejab, semua barang sudah dipindahkan ke atas bagasi bis.
Tapi, di luar perkiraanku, ruangan
dalam bis tidak lagi cukup untuk dijubeli tubuh kami berdua. Ide berani
sekaligus konyol itu tiba-tiba terbayang lagi dalam otaknya, dia segera
menyuruhku naik ke atas bagasi, tanpa meminta lagi persetujuan seperti
sebelumnya. Aku memang tidak bisa membantah apa-apa dalam keadaan seperti ini. Bis
tumpangan kedua kami ini pun segera melanjutkan perjalanan.
Tapi, syukurnya aku masih punya cara
lain, walaupun tetap setali tiga uang dengan usul sahabatku tersebut. Yaitu,
bukan duduk di atas bagasi, tetapi bergelantungan pada besi di belakang bis.
Mungkin dari ide itu, malah aku yang lebih pantas dibilang gila, karena
perjalanan yang harus ditempuh adalah selama 3 jam, dan apakah aku sanggup
bergelantungan di belakang bis selama perjalanan.
Sang
sahabat, hanya menertawakan kebodohanku dari atas bagasi. Dia memandang geli
padaku yang sedang bergelantungan, sambil mengumpat sumpah serapah. Tak apalah,
mungkin saja akan ada penumpang yang turun nanti, dan kami berdua akan
mendapatkan tempat di dalam bis. Yang penting, semoga tidak terjadi apapun pada
kami berdua.
Ternyata, terjadi kesalahan dalam
harapan itu.
Supir
baru saja sebentar mengemudikan bis. Kalaupun di depan ada tikungan, tapi
bukanlah kelokan yang tajam. Laju bis waktu itu, juga tidak begitu kencang. Tapi,
yang namanya takdir, tidak ada yang dapat menolaknya. Pada saat bis menikung
pelan di tikungan, aku mendengar ada suara beberapa benda yang terjatuh dari
atas bagasi. Setelah kucoba cari sumber suara itu, ternyata hanyalah beberapa
tas milik penumpang yang jatuh bergulingan. Tapi, setelah kuperhatikan lagi
secara seksama, ternyata diantaranya adalah tas miliku juga. Sesaat kemudian,
supir pun menghentikan bis untuk melihat keadaan.
Tapi,
kenapa tiba-tiba pemuda yang ikut bergelantungan di sampingku menjerit. Aku
tersentak, ada apa gerangan ?. Pandanganku menuju ke atas bagasi, dimana dia?
Sahabatku itu…
“Kenapa
kau diam saja, bukankah itu teman mu”. Astaga, Ya Allah, ternyata suara yang
paling keras kudengar tadi adalah bunyi tubuh sahabatku yang terjatuh dari atas
bagasi. Dia terkapar di samping jalan raya, tubuhnya sedikit tetutup oleh
semak-semak, pantas saja aku sama sekali tidak memperhatikanya.
Segera
ku susul kerumunan para penumpang yang sudah mulai ramai mengelilingi tubuhnya.
Tidak terlihat percikan darah disitu, hanya ada sedikit luka di lengan kananya.
Tapi, bagaimana mungkin, bukankah posisi dia terjatuh cukup tinggi, meskipun
bis masih melaju dengan kecepatan pelan.
Dia
juga masih sadar dan dapat melihat kami mengelilinginya, bahkan menuturkan
perlahan “Allah hu Akbar”.
Kejadian
selanjutnya berlalu secepat mungkin. Sebagian penumpang diturunkan di jalanan.
Aku dan beberapa orang mengangkat dia ke dalam bis, dalam jarak pandangan yang
begitu dekat, waktu itu gue baru tahu kalau kepalanya pecah dan tanganya patah.
Supir
memutar balik haluan kemudi, hendak mencari bantuan paramedis terdekat. Dan
hanya aku, kondektur serta beberapa penumpang lain yang ikut serta dalam bis.
Di dalam bis, suasana jadi mencekam, supir yang ketakutan malah semakin kencang
mengemudikan bis, berharap cepat sampai di puskesmas terdekat dan sahabatku
bisa cepat tertolong.
Kondektur
membantu menenangkan sahabatku yang sedang mengerang kesakitan, memang tidak
ada yang bisa kami perbuat selain mengupayakan agar pendarahan di kepalanya
tidak semakin parah. Sambil memegang pergelangan tanganya yang patah, aku
mendengar lagi bisik istighfar yang terucap dari mulutnya. Sesekali dia
mengerang dan memanggil nama ibunya.
Dia
sudah terbaring di salah satu kamar yang ada dalam puskesmas kecil ini. Lengannya
yang patah sudah digips. Suasana hatiku semakin mencekam, apalagi setelah
sahabat ku itu selesai dibius. Rambutnya digunduli, kepalanya yang bocor harus
dijahit. Dan ketika dijahit, kulit kepala itu terlihat seperti kain yang lunak.
Kejadian yang ku lihat dengan mata kepala sendiri, adalah juga pertama kali
seumur hidupku. Pergelangan tanganya yang satu lagi masih kupegang, sedang
tertancap selang infus yang harus selalu diawasi letaknya.
Tidak ada siapa-siapa lagi di kamar
ini. Hanya aku dan dia yang sedang terkapar di kasur pesakitan, terlelap karena
bius penahan sakit. Entah kemana orang-orang itu, supir dan kondektur seperti
lepas tanggung jawab, penumpang-penumpang yang ikut serta dalam bis tadi sudah
tidak lagi ikut campur. Aku ditinggalkan sendiri, bahkan satu-satunya dokter di
puskesmas sederhana ini, pulang beristirahat ke rumahnya. Hanya perawat yang
sesekali datang menengok keadaan, satu dua orang warga masyarakat kampung yang
ingin tau, hanya mengintip dari luar jendela.
Engga’
terasa hari sudah malam, perut gue engga’ terasa lapar meski belum terisi sama
sekali. Satu-demi satu warga masyarakat berdatangan, kini mereka benar-benar
ingin tahu apa yang terjadi. Penumpang, supir dan kondektur juga kembali hadir,
meski hanya melihat dari jauh.
Di
ruangan kecil ini, kami berdua ramai dikelilingi orang-orang, tetapi yang
terasa masih sama, hanya sunyi mencekam. Tatapan dan perasaan ku benar-benar
hampa. Ada suara bisik-bisik dibelakang yang sama sekali tidak kuperdulikan,
apalagi topik yang mereka bicarakan jika tidak jauh dari tanya tentang aku dan
sahabat yang malang ini.
Tetap
saja aku tertunduk dan tidak jelas melihat wajah-wajah mereka yang ada di
sekelilingku. Sempat seorang gadis mengalungkan selendangnya ke leherku, seakan
peduli akan cuaca dingin yang tambah menusuk tubuh.
Tepat
pukul satu dini hari. Suasana ruangan ini semakin ramai dengan suara dan orang
yang semakin berdatangan, diantaranya ada yang mengaku dari kepolisian atau
pemilik dari bis naas itu. Tapi apakah sudah ada orang yang mengabari keluarga
kandung dari sahabat gue itu ?. Pastilah orang itu harus berusaha cukup kuat
agar tega mengabarkan berita ini pada seorang Ibu.
Seorang
ibu mana yang dapat percaya begitu saja bahwa anaknya telah terkapar tak
sadarkan diri, sedangkan pagi tadi masih sempat berbincang sebelum berpamitan
hendak pergi. Pagi tadi, di hati Ibu itu masih terselip harapan agar suatu hari
kelak anaknya dapat berhasil. Nasehat tulus dan doa pagi tadi, adalah sama
seperti hari-hari sebelumnya ketika anaknya itu hendak pamit, nak
berhati-hatilah di jalan.
Bertambah
ngeri aku membayangkan, tubuh seorang ibu yang telah lemah, sekonyong-konyong
menjadi tambah kaku yang seakan mati berdiri, ketika mendengar kabar tragis
tentang anaknya. Tidak sanggup lagi aku membayangkanya lebih jauh, …
Dan……
Tepat
pukul tiga pagi, aku tersadar dari kantuk. Ternyata sudah sekitar dua jam
tertidur, dan tetap pada posisi yang sama di tempat dudukku. Mungkin sedari tadi,
aku menjadi tontonan iba mereka-mereka yang ada di ruangan ini.
Terdengar
isak tangis seorang gadis dibelakangku, dia yang tadi bersedia menyerahkan
selendangnya sebagai penghangat tubuhku. Kedua mata sembabnya terus saja
melihat wajahku, sekan begitu tersentuh akan kejadian ini.
Tapi,
aku tetap membalasnya dengan tatapan kosong tanpa arti. Tidak ada sama sekali
pikiran untuk merasa tersanjung atas sikapku yang mungkin dianggap pahlawan
hari ini, karena untuk coba berkata sepatah saja tidak sanggup. Aku benar-banar
tidak mengerti akan apa yang kurasakan saat itu.
Sudah
pasti aku begitu sedih, tapi sama sekali tidak ingin menangis. Aku sangat
takut, bahkan seandainya bisa ingin lari dari kejadian ini. Pikiranku
benar-benar kosong, seperti tidak terjadi apa-apa, tapi sekaligus tidak tau apa
yang mesti dilakukan. Mungkin itu yang dinamakan kegalauan hati, remuk redam
dengan tingkat stadium paling tinggi, akhirnya pernah juga aku merasakan itu.
Bius
yang disuntikan ke tubuh sahabatku itu adalah yang dossisnya cukup tinggi.
Karena dia harus menahan rasa sakit di bagian kepala yang sangat tidak
tertahankan. Paling tidak esok siang, kadar dari bus itu akan berkurang.
Akan tetapi, kejadian yang terjadi
kemudian membuat seluruh orang yang hadir di ruangan itu terperangah.
Tubuhnya
yang sedang terbius dan lemah, seharusnya sama sekali tidak mampu menggerakkan
tubuh, apalagi untuk sadar, bangkit dan duduk. Tetapi dia mengagetkan semua
kami dengan tiba-tiba bangkit dari tidurnya, rasa kantuk ku yang tidak
tertahankan langsung sirna melihat kejadian itu. Seperti akan melonjak, aku
bangkit dari dudukku, dan berusaha merebahkan dia kembali ke tempat tidur.
Kepalanya kembali mengeluarkan darah, menambah rasa takut dan ngeri yang sudah
tidak bisa ditakar lagi tingkat stadiumnya.
Dalam kesadaran yang ganjil dan
tiba-tiba itu, dia tidak berkata apa-apa. Tetapi cukup menyiratkan tanda
melalui tatapan tajamnya, kedua bola matanya seperti liar melihat keseliling
manusia yang ada di ruangan. Orang yang pertama dilihatnya adalah diriku,
kemudian sekeliling, dan terakhir mengarah pada diriku lagi.
Tenagaku yang masih tersisa,
tentunya masih lebih kuat untuk merebahkan dia ke tempat tidur, tetapi kenapa
aku tidak sanggup melakukanya ?.
Dia
kembali tenang setelah melihatku, dan dapat berbaring sendiri seperti orang
yang hendak tidur. Tapi kemudian, muncul reaksi aneh lainya. Tubuhnya yang
sedang berbaring, terlonjak ke atas. Seperti ada yang menekan dadanya
berulang-ulang, nafasnya tersengal-sengal begitu kencang namun teratur,
kejadian itu terjadi beberapa kali.
Aku
dan orang-orang disekitar, termasuk perawat tidak mengetahui apa yang sedang
terjadi, kami hanya bisa memegangi tubuhnya sambil berusaha menenangkan. Sesaat
kemudian, suasana memang kembali hening, benar-benar hening.
Keringat
tubuhku mengucur keras, seperti habis melakukan olaharaga berat. Perlahan napas
ku yang tadi juga tersengal, kembali teratur. Aku mulai kembali tenang dan
duduk pada posisi semula. Tangan sahabat malang ku itu masih kugenggam, letak
infusnya tetap benar, tidak ada kesalahan yang terjadi karena aku benar-benar
mengawasi dengan cermat apa yang harus kulakukan sedari tadi.
Tapi,Ya
Allah, kenapa genggaman ku sekarang terasa dingin. Apakah karena akan menjelang
pagi, cuaca dingin dari luar menyerang masuk ke dalam ruangan ?. Bukan, bukan
karena itu, tangan sahabat ku itu yang tiba-tiba menjadi dingin, benar-benar
dingin seperti mulai membeku. Ada apa ini ?
Aku
berteriak memanggil perawat, dia pun berlari ke arah ku sambil memegang
stetoskop. Dengan segera ujung stetoskp itu diletakkan ke dada sahabatku, dalam
selang beberapa detik hal itu terjadi.
Setelah itu, kemudian?.
Perawat
menyuruhku untuk melepas genggaman yang masih erat pada tangan sahabatku. Ternyata,
takdir sahabatku telah terjawab. Pada saat genggamanku tadi terasa dingin,
ketika itulah dia pergi untuk selama-lamanya. Dan tanda-tanda kesadaran aneh
yang ditampakkan sebelumnya, itu adalah sakratul maut yang harus dilewati
setiap manusia yang akan menjelang ajal.
Aku
hanyalah seorang remaja berusia 15 tahun. Pengetahuan agamaku waktu itu masih
sangat dangkal. Tapi kemudian, di usia semuda ini, aku harus mengalami pristiwa
luar biasa yang sudah tergaris dalam takdir hidupku. Sebelumnya, pristiwa
seperti itu sama sekali tidak terpikirkan oleh jiwa remaja ku yang masih dekat
dengan hal-hal duniawi.
Aku melihat dengan mata kepala
sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar