My Adsense

10 Nov 2008

(GUBAHAN) Putu Wijaya yang Mengilhamiku




Ketika mulai dewasa, aku bingung untuk hidup di negeriku sendiri. Bahkan hamper frustasi. Mengapa tidak, masyarakat di negeriku ini memilih kebiasaan buruk dalam mengucapkan “ Ya dan Tidak” ketika melakukan komunikasi sosial. Tak ada yang teguh pendirianya.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan untuk mengatakan ‘tidak’. Tapi ternyata tetap mengatakan ‘ya’. Tahu-tahu hasilnya ‘tidak’.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu kali ada kesempatan mengatakan ‘tidak’, tahu-tahu tidak ada orang yang mendengarnya. Ia tetap disangka mengatakan ‘ya’.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘ya’. Suatu ketika mendapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Dan ternyata jawabanya betul-betul ‘tidak’. Tapi Ia kaget, dapat serangan jantung dan mati!.

Seseorang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi, kemudian mendengar suaranya sendiri mengatakan ‘ya’.

Orang yang lain suka juga mengatakan ‘ya’. Suatu ketika juga dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi Ia tetap memilih mengatakan ‘ya’, ternyata tidak ada yang peduli, orang lain menganggapnya tak penting.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘tidak’. Suatu ketika Ia tidak mengatakan apa-apa. Semua orang menganggap Ia untuk pertama kalinya mengatakan ‘ya’.

‘Ya dan tidak’ adalah rimba yang menyesatkan. Akhirnya aku terkucil, karena untuk berdialog dengan diri sendiri pun aku tidak mampu,. Aku dinilai ‘asosial’ yang selalu berselisih….karena takut, aku memilih diam.

Setelah sekian lama aku berusaha memahami, akhirnya mendapat jawaban. Ternyata tata nilai masyarakat ku dalam membedakan antara ‘ya dan tidak’ hanya dibedakan dari ‘bunyi’ tetapi maknanya ‘dianggap sama’.

Setiap pertanyaan ternyata bukan pertanyaan, itu hanya perintah yang diperhalus. Semua orang memerintah, meskipun kelihatan bertanya. Dan perintah yang diiyakan tidak mengharuskan orang menuruti, hanya aturan basa-basi permainan bersama.

Semua pertanyaan bisa dijawab dengan kadang-kadang ‘ya’ dan kadang-kadang ‘tidak’, sesuai dengan kebutuhan mulut. Bagaimana enaknya waktu berbicara. Karena semua norma peraturan yang telah dibuat tidak akan dirubah. Jadi, jawaban ‘ya dan tidak’ tidak terlalu penting, kecuali sebagai jawaban bahwa yang diajak bicara sudah mendengar…..’cukup’.

Akhirnya aku dapat menjadi warga Negara yang baik, berdamai dengan kemunafikan sosial di sekitar. Aku sukses bahkan makmur dan terkenal, karena menguasai ilmu ‘ya dan tidak’, atau ‘tidak dan ya’, meskipun dalam hati aku tidak menyukainya. Tapi apa hendak dikata, ini sudah menjadi dosa kita bersama.

2 komentar:

diNa mengatakan...

Bener-bener keren tulisan kmu.. daleeemm... terusin berkarya nak! :)

Ratu Avia Rahimah mengatakan...

hhaa..
baca ini sambil minum kopi susu
di pagi yang cerah dan tenang
hmmm.. mantap, kawaaannn...!!! :)