Suatu hari di puncak semeru yang diselimuti kabut dingin, seorang pemuda berdiri di sana. Dia lahir di Jakarta, di bulan ini, enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 17 desember 1942. Perawakanya kecil, penampilanya tidak menarik, tindak tanduk dan percakapanya lain dari kebiasaan. Sikapnyapun aneh, di atas gunung yang cuacanya menggigit tubuh, ia malah bercelana kolor hingga ke perut.
Dan dibulan ini juga, empat puluh satu tahun yang lalu. Udara di gunung semeru buruk, tapi tak jadi masalah bagi pemuda berperawakan kecil itu untuk merayakan ulang tahunya yang ke -27. Tapi keinginan hanyalah keinginan. Pristiwa itupun terjadi, gelagatnya semakin aneh, bergaya meniru harimau, ia merangkak-rangkak lantas mengaum-ngaum, itulah sebenarnya yang menjadi tanda. Semua sudah digariskanNya, saat itu si pemuda dipanggil. Gas beracun di puncak gunung semeru yang menjebaknya.
Kalimat ini tercipta atau lebih pantasnya kujiplak, setelah buku catatanmu habis kubaca. Kemudian dengan hati yang patah dan sedih aku mengenangmu, seorang demostran yang telah lama meninggalkan kami. Kami yang menjadi pemuda sekarang, mengenal namamu seperti mitos. Tapi bagiku kau tetap seorang idealis murni, kau pemuda yang jujur, terbuka dan cerdas. Kau manusia berjiwa bebas, segala yang pernah kau teguk ditebus dengan keberanian luar biasa.
Pendirianmu keras dan utuh, kau ngotot dalam mempertahankan prinsip, selalu berteriak tentang ketidak becusan yang ingin kau luruskan. Kau berani tancapkan tonggak kebenaran dan keadilan. Keberanianmu bukan sekedar gagah-gagahan seperti apa yang dilakukan kami pemuda zaman sekarang. Kau reformis yang sering difitnah sebagai radikal. Kau selalu berusaha mencari kebenaran dan keadilan. Kau tak pernah kapok, jera ataupun takut pada kebatilan. Landasan itu yang kau pegang untuk terus kau cari sepanjang hidup, dan dapatkah aku berusaha mengikuti jejakmu. Sejarah mencatat kau dan perjuangamu, aku membaca dan tak kan pernah melupakanmu.
Kau bukan burung merak atau rajawali, tapi dapat bebas mengepakkan sayap untuk mengarungi kebebasan, tindakanmu tetap diusahakan selaras dalam kesederhanaan. Betapa bebas jiwamu, kau tidak merasa terikat pada tradisi dan ikatan-ikatan pibadi. Kau berpedoman pada hati nurani yang bersih, terus terang dalam kepolosan.
Sebagai pengantar penutup tulisan ini, aku berikrar “kilahmu akan tetap bergaung, tak cuma berhenti di halaman terakhir buku ini. Kau patriot yang pantas disebut sejati. Cintamu pada tanah air yang tak bisa lepas , adalah apa yang harus kami contoh”.
Kau dan aku sama memandang Nasionalisme, kita sama tidak mempercayai slogan, karena Nasionalisme tidak mungkin tumbuh hanya dengan itu. Seseorang dapat mencintai secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai negeri ini dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia dan masyarakatnya dari dekat. Artinya kita harus paham dan mengerti jati diri kita sendiri.
Aku berkali-kali mengeja namamu yang susah “ Soe Hok Gie”…
Kemudian terdiam dan kaku, entah apa lagi yang harus kukatakan dari banyaknya hal dan kisah tentang mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar