Seperti berita yang sudah kita dengar dari beberapa media massa akhir-akhir ini, ada sebuah wacana baru tentang peraturan pemerintah, kemungkinan nanti setiap pemilik atau pengendara mobil pribadi yang berpelat hitam wajib menggunakan BBM tidak bersubsidi (nonpremium) bagi kendaraanya. Sehubungan dengan hal itu, sebagian besar dari kita sudah tahu bahwa jenis bahan bakar yang tidak mendapat subsidi adalah pertamax atau pertamax plus. Sedangkan untuk jenis premium dan solar yang masih mendapatkan subsidi, rencananya hanya khusus diperbolehkan bagi sepeda motor dan angkutan umum saja.
Wacana ini mungkin bukan hanya sebatas rencana, akan diterapkan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi subsidi BBM dari pemerintah, ini dibuktikan dengan persetujuan oleh Komisi VII DPR RI. Sasaran utamanya tertuju pada pemilik mobil pribadi, yang pada umumnya tergolong orang kaya, mereka dinilai sudah tidak perlu memperoleh subsidi BBM lagi. Tapi disebalik hal itu, dengan mengganti bahan bakar dengan pertamax, berarti mereka juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli bahan bakar. Dan tentu saja akan ada pihak yang merasa kurang senang.
Tetapi, inilah konsekuensi yang harus diterima dari kebijakan pemerintah, khususnya demi rasionalisasi penggunaan BBM dalam negeri yang turut mempengaruhi jalanya pemerintahan. Sebuah peraturan memang harus mengandung nilai keadilan tanpa boleh memihak, meskipun rasa keadilan terkadang dirasa tidak seimbang untuk pihak tertentu, namun tetap itu harus terlaksana jika menyangkut kepentingan umum.
Suka tidak suka, nantinya pemilik mobil pribadi harus rasional dalam melakukan mobilitas mereka. Mereka diajak untuk dapat mengurangi penggunaan mobil pribadi, kemudian lebih sering menggunakan transportasi umum, atau memakai sepeda motor. Tetapi, kita juga dapat belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, sebelumnya pernah terjadi kebijakan penghapusan subsidi untuk mobil pribadi yang hanya bersifat sementara. Waktu itu, kemacetan jalan di berbagai kota besar sedikit berkurang, tapi terjadi dalam kurun waktu yang hanya sebentar saja, beberapa bulan kemudian masalah hiruk pikuk kemacetan kembali terulang.
Jika demikian, bisa saja langkah yang akan diterapkan pemerintah ini tetap dianggap kurang efektif, khususnya oleh para pemilik mobil pibadi. Mereka nantinya harus membayar BBM lebih mahal, tapi apa gunanaya jika dalam kenyataan tetap saja ada kemacetan, meski patut disadari itu lebih disebabkan mobilitas dari masing-masing mereka sendiri yang tidak mengindahkan maksud dari peraturan ini.
Dan perlu kita pikirkan juga bahwa dampak dari penghapusan subsidi BBM ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada kenaikan harga barang-barang lain. Mereka, para pemilik kendaraan pribadi, umumnya adalah para pemilik perusahaan atau pengusaha yang bergerak dalam bidang jasa atau penjualan barang-barang yang konsumenya adalah masyarakat. Dengan penambahan pengeluaran biaya terhadap BBM, bisa saja mereka akhirnya mencari cara untuk menutupinya dengan membebankan kepada konsumen. Maka setelah itu, kenaikan harga BBM yang merupakan titik utama yang menjamin efektifnya peraturan ini, tidak lagi menjadi satu hal yang dipikirkan oleh mereka.
Selain itu, dalam wacana ini transportasi umum ditempatkan sebagai sarana yang menjadi jawaban atas masalah kemacetan yang terjadi, maka ada hal penting yang harus dipikirkan oleh pihak-pihak terkait sehubungan dengan pengadaan sarana transportasi umum. Mereka yang memiliki mobil pribadi adalah orang yang sudah terbiasa nyamanan dengan fasilitas mobil pribadi, termasuk keefektifan dan efisiensi yang mereka dapatkan.
Sedangkan kita semua tahu bahwa alternatif transportasi umum yang ada di negeri ini masih jauh dari standar kenyamanan bagi penumpangnya. Maka para pemilik mobil pribadi pastinya belum terbiasa dengan citra transportasi umum yang tak nyaman, tidak aman, berdesak-desakan, tidak fleksibel untuk mobilitas, tidak mudah memprediksi waktu, yang kesemuanya itu sampai sekarang belum bisa mencapai tingkat persentase pembenahan yang berarti. Maka akhirnya sebuah kewajaran jika sarana transportasi umum tetap menjadi pilihan golongan pas-pasan, mereka adalah konsumen dari premium atau BBM bersubsidi.
Kesimpulanya, rencana peraturan baru yang akan diterapkan pemerintah ini rasanya tidak akan membawa perubahan berarti jika hanya ditekankan pada masalah biaya saja, sedangkan dalam kenyataanya sikap mental dan prilaku masyarakatlah yang paling berperan dalam permasalahan ini. Jika ini masih tidak diperhatikan, tentunya kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, atau Surabaya, tetap saja diwarnai kemacetan meskipun sudah diterapkan penghapusan subsidi BBM bagi kendaraan pribadi berplat hitam.
Wacana peraturan baru pemerintah ini rasanya belum menyentuh apa yang menjadi tujuan utamanya bagi mayarakat umum, tapi masih mengambang pada kepentingan masing-masing pihak. Khususnya bagi pengendara mobil pribadi, pengendara sepeda motor, penyelenggara angkutan umum, atau pemerintah yang bisa menerapkan rasionalitas sendiri-sendiri dalam menyikapi subsidi BBM ini. Dan yang paling diuntungkan adalah pemerintah, setidaknya upaya penghematan anggaran subsidi BBM dapat digunakan untuk keperluan lain. Jadi alangkah baiknya jika peraturan yang baik ini terlebih dahulu diawali dengan pembenahan unsur-unsur terkait di dalamnya, demi mencapai tujuan yang diinginkan oleh kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar