Mungkinkah terbersit juga kegalauan dalam hati kalian, apabila kondisi kehidupan kita seperti yang sekarang ini secara langsung coba dihayati. Kegalauan yang menerbitkan pertanyaan pelik, bahwa apa makna sesungguhnya dari agama yang kita anut. Dalam agama yang benar, sudah jelas-jelas termaktub mengenai segala pedoman hidup yang mutlak harus kita turuti. Kita pun mengatakan yakin dengan agama kita tersebut, tapi terkadang bahkan lebih sering apa yang kita perbuat jauh dari apa yang kita yakini. Maka seperti apa yang kita maksud dengan keyakinan itu ? atau semuanya lebih pantas untuk diragukan kembali.
Sehubungan dengan kebenaran agama, kita mengatakan bukan hanya yakin tapi memaknainya secara lebih sakral, yaitu mengimani akan Keesaan Allah. Kita mengimani bahwa Dia yang menciptakan kita dengan segala KeagunganNya. Hingga dalam kehidupan agama kita, sudah merupakan kewajiban untuk taat perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Itu adalah mutlak yang tidak boleh dikatakan tidak, karena dari awal kita sudah mengikrarkan keimanan pada agama kita. Keimanan yang mengandung arti keyakinan sungguh-sungguh segenap jiwa dan raga, tanpa ada lagi keraguan akan kekuasaanNya.
Jadi jika memang begitu, artinya kita paham harus seperti apa dan bagaimana membuktikan keimanan kita tersebut. Tapi kenapa dalam kenyataanya, tidak seperti itu. Terkadang terkesan keimanan kita masih setengah-setengah, bahkan tidak terlihat pembuktianya sama sekali. Kita jarang mentaati perintahNya serta sering melakukan apa yang dilarangNya, meski semuanya itu sudah jelas ada ketentuanya dalam agama. Lantas apakah itu yang disebut keimanan ?. Meski cukup dengan logika yang merupakan sisi paling mudah untuk memahami agama, kita sudah dapat tahu bahwa bukanlah keimanan jika hanya dihayati setengah-setengah atau tidak sama sekali.
Atau manusia bisa saja membuat pembelaan bahwa itu bukanlah dikatakan tidak beriman, tapi hanya kadar keimananya saja yang berkurang. Karena juga merupakan sebuah kewajaran jika manusia melakukan kesalahan, lupa, dan nantinya kembali sadar dan terjaga. Dan disaat kita mengingatNya, maka sudah cukup menyatakan bahwa kita masih beriman. Tapi bukankah dalam kenyataanya, terkadang ingatan kita terhadap Dia masih bukan yang utama, masih dapat dikalahkan oleh ingatan kita terhadap apa yang tampak kasat mata di dunia. Lantas apa benar kita masih ingat Dia, jika tetap saja sikap yang terlihat tidak benar-benar mencerminkan itu.
Seandainya kita mengimani agama kita, artinya kita yakin bahwa Dia Maha tahu, maka kita harus takut jika melakukan apa yang dilarangnya. Tapi dalam kenyataan, kenapa sikap kita seakan-akan menganggap Dia seperti tidak ada dan tak pernah tahu, tidak ada rasa takut sama sekali bila tidak menjalankan perintahNya serta malah sering melakukan apa yang dilarangNya. Dialah sang khalik yang telah menciptakan kita dengan segala anugerah yang diberikan, tapi kenapa kita hanya setengah-setengah atau sulit sekali menyisihkan sedikit waktu untuk beribadah mengingatNya.
Kita seperti manusia yang sama sekali tak pandai bersyukur. Dan seperti tak menyadari bahwa ibadah itu natinya juga kembali untuk kita, karena dengan KebesaranNya Dia sama sekali tidak membutuhkan itu. Ibadah adalah tanda keimanan kita, tanda kita takut akan kekuasaanNya, serta rasa syukur atas apa yang telah diberikan. Tapi jika itupun tidak kita laksanakan, apa masih pantas kita disebut beriman padaNya.
Segala alam dan isinya adalah milikNya, termasuk nyawa yang kita miliki sekarang ini. Tak ada manusia normal yang ingin cepat-cepat pergi meninggalkan dunia ini, karena kita masih mencintai kehidupan beserta segala kenikmatan dunia yang ada. Tapi walau bagaimanapun itu semua tetap milikNya, dan bisa diambil kapan saja. Kita juga sangat paham akan hal itu, karena tidak ada manusia yang tak bisa mati jika Dia sudah berkehendak.
Nanti akan datang waktu itu untuk setiap kita, tapi hal itu juga sepertinya tidak membuat kita benar-benar membuktikan keimanan kita. Tak terpikirkah oleh kita, bahwa di saat itu kita harus mempertanggung jawabkan semua yang pernah kita perbuat. Secara pasti, imbalan yang setimpal juga akan kita dapat dari Dia. Oleh karena itu, tentu apa yang kita terima, sesuai pula dengan bagaimana keimanan kita terhadap Dia. Itu akan terjadi di waktu kapanpun yang ditentukan olehNya, dan sebenarnya bisa dipersiapkan oleh kita selagi belum tiba waktunya. Tapi kenapa kita sama sekali tidak melakukan persiapan itu. Keimanan kita memang harus dipertanyakan sepertinya.
Jika memang sudah separah ini cara pikir kita yang hidup di zaman sekarang, lantas mau dibawa kemana selanjutnya sisa kehidupan kita yang masih ada. Sedangkan sampai detik ini, yang lebih penting bagi kita adalah berlomba-lomba mengejar segala kenikmatan di Dunia milikNya, tapi tanpa mengingat Dia. Meski dunia ini juga hanya persingghan sementara kita saja.
Maka jika datang waktu itu, aku sendiri tidak bisa membayangkan apa yang akan kita terima nanti. Kalau direnungi, hati kecil kita pastinya mengalami kesedihan yang mendalam. Karena selama ini telah banyak sikap kita yang mengecilkan keagungan dari Dia yang telah menciptakan kita, Dia yang maha baik dan pemurah terhadap kehidupan kita, tapi lebih sering tidak diperdulikan. Akhirnya nurani kita sebagai manusia timbul rasa kasihan, tapi salah besar jika itu ditujukan pada Dia. Karena hal itu sama sekali tidak berpengaruh bagiNya Yang Maha Kuasa. Kitalah yang sungguh-sungguh patut dikasihani, karena memiliki keimanan yang patut dipertanyakan dan bisa berujung dengan mencelakakan takdir sendiri..
Tulisan ini dapat jadi bahan cemoohan orang-orang yang lebih senang membuat hidup semudah mungkin, dan yang terpenting jalani saja apa adanya. Mereka juga tidak suka merenung mengenai permasalahan hidup yang dianggap memerlukan pemikiran rumit. Lantas tulisan seperti ini tentu akan dianggap sebagai pendapat mengawang-awang dari orang yang tak suka hidupnya senang. Tapi, apakah kita sungguh merasa senang dan hidup lebih mudah jika tak pernah mengingat Dia. Dan benarkah tak perlu ada yang harus dirubah jika apa adanya yang kita jalani selama ini adalah kehidupan yang masih jauh dari kebenaran, maka apa kita akan bertahan begini adanya terus sampai nanti. Tenang menanti perubahan untuk kita yang tidak pernah berusaha berubah, maka yang kita nanti adalah sebuah kesia-siaan.
Tulisan ini dapat membuat aku benci diriku sendiri sebagai manusia yang kerap tak mengingatNya. Karena jika begitu, sesungguhnya aku malu mengakui diri sebagai orang yang beriman. Dan jika aku membenci diriku, itu bukan tidak mensyukuri segala apa yang telah diciptakan oleh Nya, tapi karena caraku memaknai hidup selama ini seakan-akan merasa ada tanpa Dia.
Sangat berdosa diriku ini, untuk kesekian kalinya aku mohon ampunanMu ya Allah. Jadikanlah aku manusia terbaik di hadapanMu, meski menjadi manusia terburuk dalam anggapanku sendiri, dan cukuplah menjadi manusia biasa-biasa saja di hadapan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar