My Adsense

21 Sep 2010

Menipu untuk mengemis

Pengemis itu lumpuh dan berpakaian compang-camping, di dalam kereta aku sering menjumpainya. Dia tidak bisa berjalan dan berdiri tegak seperti manusia biasa, yang bisa dilakukan hanya terduduk dan menyeret tubuhnya perlahan-lahan sambil meminta-minta, tentu saja dia mengharap belas kasihan dari para penumpang. Hampir setiap pagi aku selalu menjumpainya di dalam kereta ekonomi dan tidak jarang aku menyisihkan sedikit uang yang kupunya untuk diberikan padanya. Dan sudah sewajarnya ada yang menaruh belas kasihan melihat keadaan seorang pengemis seperti dia.


Tapi semenjak kejadian pagi tadi, akhirnya terlihat kenyataan yang sebenarnya. Orang yang kukatakan pengemis itu tidak seperti biasanya dia yang sering kulihat di dalam kereta ekonomi. Dengan menggunakan pakaian yang cukup rapi, dia terlihat sedang duduk santai di warung kopi. Aku memang sedikit terkejut, tapi terus saja memperhatikan dia. Namun sepertinya dia juga tidak memperdulikanku, bisa saja karena dia tidak menyadari bahwa aku adalah salah satu orang yang sering menjumpainya di dalam kereta ekonomi.


Kemudian kejadian berikut inilah yang membuat aku lebih tercengang, ternyata dia dapat berdiri dan berjalan seperti manusia normal lainya. Aku memang melihat salah satu kakinya pincang, tapi itu sebenarnya tidak sampai membuat dia lumpuh hingga tidak dapat berjalan, tidak seperti kejadian sebelumnya dimana aku sering menjumpainya dalam kereta. Bukan hanya itu, dia kemudian juga mengambil handphone dari dalam saku celananya, berbicara kepada seseorang sambil tertawa lepas dengan menggunakan dialeg daerahnya yang kental.

Aku memang terkejut sekaligus tercengang melihat kejadian itu, tapi kemudian hanya bisa tersenyum sendiri. Tersenyum karena menemukan satu lagi fakta unik dari kehidupan ibu kota, terbit satu kesimpulan dari kejadian yang baru terjadi, bahwa selama ini aku dan penumpang kereta lainya telah tertipu oleh pengemis itu.


Peristiwa itu kemudian membuat aku kembali mengingat-ingat kejadian saat bertemu dengan banyak pengemis di dalam kereta ekonomi. Mereka adalah manusia dengan berbagai tingkatan usia, anak-anak kecil, remaja, orang dewasa, sampai yang sudah berusia renta. Mereka hadir dengan berbagai macam keadaan yang mengibakan hati bagi orang yang melihatnya, menggendong bayi, sekujur tubuh yang terlihat kotor, berpakaian compang-camping, dan ada diantaranya yang lumpuh, buta, atau tubuh penuh luka.


Aku sendiri termasuk orang yang sangat tidak menyukai mereka yang coba mengais hidup dengan meminta-minta, seperti para pengemis itu. Apalagi jika menurutku diantara mereka itu sebenarnya masih bisa mencari penghasilan dengan cara lain. Tapi aku juga bukan manusia yang tidak mempunyai rasa kasihan, perasaan ibaku juga cepat jatuh jika melihat mereka yang mengemis adalah termasuk orang yang berusia renta, lumpuh atau buta. Karena itu juga aku pernah sangat iba melihat seorang pengemis yang kuceritakan tadi, sebelum akhirnya aku tahu bahwa ternyata dia tidak lebih dari seorang penipu. Hingga akupun jadi bertanya-tanya, apakah banyak diantara pengemis yang lain juga melakukan hal yang serupa. Atau mungkin ada diantara kita yang juga menganggap itu sudah menjadi rahasia umum.


Menolong orang yang membutuhkan adalah amal kebaikan, dan sehubungan dengan tulisan ini, seharusnya hanya itu yang kita harapkan ketika kita menyisihkan sedikit uang bagi mereka yang membutuhkan, termasuk untuk mereka yang disebut pengemis. Selain harus ada keihklasan dibalik itu semua, menolong yang tanpa pamrih. Dan semoga hal itu juga terjadi pada setiap amal yang pernah aku lakukan, termasuk dengan pengemis-pengemis itu. Tapi jujur akhirnya aku tidak tahu dan bertanya-tanya bagaimana dengan keihklasanku yang pernah ada untuk seorang pengemis seperti dia.


Waktu itu aku memang sungguh teriba dengan keadaanya, tapi jika kenyataan sebenarnya seperti ini, aku malah merasa sangat tertipu. Dan disebalik semua itu, aku juga tidak ingin keihklasan dan amalku yang pernah ada hanyalah percuma. Maka biarlah aku coba berpikir bagaimana agar kejadian itu berlalu, dan tidak harus menyalahkan siapa-siapa. Semuanya harus kembali pada niatku sebelumnya agar kejadian yang kulihat ini biarlah dianggap sebagai kenyataan yang sudah sewajarnya terjadi di ibu kota, meski masih ada kebingungan, akankah ini sebuah kewajaran atau keterpaksaan yang dikarenakan takdir.


Namun tetap saja hal seperti ini tidak harus terjadi, apapun alasanya yang dilakukan oleh pengemis tadi tetaplah adalah sebuah kesalahan. Orang seperti dia lebih pantas disebut penipu, meski mengemispun tidak jauh beda jika ingin dikategorikan termasuk pekerjaan paling rendah yang pernah ada, dan apa yang dapat kita katakan apabila kesamaanya terletak pada keterpaksaan takdir akibat hidup di kota besar ini. Tapi bukankah kita lebih berharap untuk dapat beramal terhadap mereka yang sungguh membutuhkan. Meski yang kita berikan itupun tidak seberapa, setidaknya keihklasan kita itu dapat berarti buat mereka. Dan kita tidak meraasa sia-sia karena telah tertipu.


Kembali pada pertanyaan sebelumnya, “apakah banyak diantara pengemis yang lain juga melakukan hal yang serupa” ?. Aku sendiri baru menemukan satu kasus dengan mata kepalaku sendiri, yang mungkin dianggap sebagai satu kasus penipuan kecil. Apa yang pernah kuberikan pada seorang pengemis itu tidak seberapa, dan tidak boleh kuperhitungkan jika ingin keihklasanku tetap menjadi amal baik. Tapi bagaimana, jika pengemis seperti dia tidak hanya satu tapi banyak, dan orang yang telah tertipu bukan hanya aku sendiri tapi juga terjadi pada orang lain. Dan untuk kejadian yang kualami ini hanya terjadi di dalam kereta ekonomi saja, sedangkan masih banyak tempat lain dimana kita dapat menjumpai para pengemis seperti itu. Bagaimana jika ini telah menjadi rutinitas mereka yang telah ada sejak lama. Jika mengemis saja cukup dijadikan lahan pencaharian, kenapa harus mencari pekerjaan lain.


Itu tetaplah bukanlah persoalan jika kita kembali pada kata “keihklasan”, tapi tetap saja tindakan mereka yang salah itu tidak bisa kita biarkan begitu saja. Setidaknya dari tulisan ini dapat menjadi bahan perenungan untuk kita. Khususnya bagi orang yang sangat menjunjung tinggi prinsip bekerja keras dalam hidup, orang yang enggan meminta dan lebih baik memberi, orang yang mengupayakan segala cara yang halal untuk mengais hidup yang meski hanya mendapatkan seberapa. Apakah kita termasuk dalam orang-orang yang seperti itu, lantas bagaimana pandangan kita terhadap pengemis seperti mereka yang dengan mudahnya menipu untuk mendapatkan penghasilan, orang seperti mereka tidak bisa dikatakan berkerja keras, mereka hanya meminta-minta uang dari kita yang dengan susah payah kita cari. Mungkin yang kita berikan tidak seberapa, tapi itu bisa menjadi lebih dari cukup jika bukan hanya kita saja yang mereka tipu. Mereka dan seseorang yang awalnya aku sangka pengemis itu bahkan bisa lebih berada dari kita, tapi itu diraih dengan menipu banyak orang dari kita.


Pada akhirnya aku menganggap tulisan ini terbit hanya karena ingin membahas apa yang patut direnungi tentang salah satu dari bermacam cara orang hidup di kota besar ini. Menghalalkan segala carapun sudah bukan hal yang jarang didengar atau dilihat dengan mata kepala kita sendiri. Tulisan ini juga tidak ingin membuat kita menjadi mengingat-ingat dan memperhitungkan segala keihklasan yang sesungguhnya telah menjadi amal baik kita kita. Kemiskinan dan kaum pinggir memang benar menjadi realita memilukan negeri kita, khususnya di ibukota ini. Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata jika di dalam realita tersebut terselubung fakta yang dapat membuat kita gerah,. meski itu hanya hal kecil tapi bukan tak mungkin segalanya dapat menjadi lebih besar nanti.


Kemudian kita sudah mengetahui permasalahan yang mungkin dianggap kecil ini, bahkan mungkin pernah menjadi pihak yang merasa dirugikan, lantas apa kita akan membiarkanya. Jika begitu, kita bisa dikatakan termasuk membiarkan kesalahan ini terus berlangsung. Kemudian apakah terpikir oleh kita “kebiasaan mengemis” seperti mereka itu dapat tertular kepada generasi lainnya, generasi yang tumbuh dalam bangsa ini dan tentu saja mempengaruhi peradaban negeri ini. Karena itu saya berpendapat bahwa meski perlahan hal itu nantinya dapat melahirkan generasi dengan mental dan tabiat “menipu untuk mengemis”. Dan silahkan kalian artikan sendiri apa yang saya maksudkan dengan kalimat tersebut. Karena sepertinya banyak orang sekarang ini yang tidak seperti pengemis tapi tindakan mengemisnya lebih dari sekedar pengemis yang sebenar-benarnya memang pengemis. Mereka sudah berkecukupan tapi masih berusaha untuk mendapatkan lebih, tapi enggan bekerja keras dengan jujur. Langkah lain yang akhirnya mereka tempuh, yang syarat dengan tipu menipu dan mental bermalas-malasan.


Mungkin saja tanpa kita ketahui hal ini sudah lama terjadi. Maka bila negara kita sempat, pernah atau sekarang ini sedang goyah adalah sedikit banyak disebabkan oleh permasalahan yang diibratkan seperti contoh kecil ini. .

Tidak ada komentar: