MALDALIAS
SAMAKAH IMAN
KITA
Aku menjadi korban dari pemahaman orang yang mengaku seiman, kawan baikku sendiri. Kami meyakini kebenaran suci dari agama yang sama, namun kenapa nyawaku direnggut oleh saudaraku sendiri dengan satu alasan yang katanya ajaran agama. Benarkah itu…
Penerbit
Maldaz Prosa
SAMAKAH IMAN KITA
Oleh Maldalias
Copryght @ 2011 by Maldalias
Penerbit
Maldaz prosa
mxforefer.blogspot.com
mxforefer@hotmail.com
Desain Sampul
Maldalias
Diterbitkan melalui :
www.nulisbuku.com
1
Dikala shubuh aku terlahir ke dunia ini, tepatnya pada hari ketiga dibulan juni, dua puluh lima tahun yang lalu. Dalam cerita ini aku tidak ingin menyebutkan dimana daerah tempat aku dilahirkan, karena rasanya itu tidak perlu, hanya salah satu desa kecil yang ada di negeri ini. Biarlah aku sendiri yang menyimpan kebanggan terhadap tanah kelahiranku.
Dalam keluarga, aku adalah anak satu-satunya. Hingga sekarang ayahku masih seorang petani yang hanya memiliki sepetak sawah sebagai lahan utama untuk menghidupi keluarga. Tapi, dia belum melupakan pekerjaan serabutan yang lain, karena dari dulu dia cukup cekatan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang sering dilakukan oleh laki-laki.
Kalau untuk yang satu ini mungkin bukan pekerjaan ayah, lebih pantas dikatakan panggilan hati dan kewajiban yang harus dia tunaikan. Ayah juga seorang ustad yang cukup dihormati di desa.
Sedangkan mengenai Ibu, dia hanya seorang Ibu rumah tangga biasa, pekerjaan yang sering dilakukan adalah membantu ayah di sawah. Namun yang sangat berarti dari sikapnya adalah jiwa penyayang dan penyabarnya terhadap keluarga, dia Ibu yang sekaligus menjadi istri soleha dalam keluarga kami. Aku dan Ayah sangat menyayanginya.
Dari segi ekonomi aku menilai kami adalah keluarga yang sangat sederhana, meski tidak juga dikatakan berkekurangan. Cukuplah sepetak sawah dan beberapa kerjaan serabutan ayah untuk menafkahi kami, keluarga kecilnya.
Rumah kami kerap terlihat sepi, hanya dihuni ayah, Ibu dan aku sebagai satu-satunya anak mereka. Tapi menilik latar belakang ayah dan Ibu, sebenarnya mereka berasal dari keluarga yang besar, aku punya banyak sanak famili yang sama-sama tinggal di desa ini, dan sebagian lagi ada juga yang sudah merantau ke kota. Kami biasanya berkumpul pada saat Idul Fitri atau acara keluarga tertentu.
Dalam hal agama, keluarga kami sangat menjunjung tinggi itu. Sejak berusia muda ayah sudah dikenal sebagai ustad di desa, dan tentunya sebagai Imam keluarga, dia juga disiplin memberikan pendidikan agama kepada kami. Sedari kecil aku sudah diajarkan tentang disiplin dan Islam. Shalat, mengaji, dan berprilaku sebagai seorang muslim. Aku diberi pemahaman tentang kewajban mutlak manusia hidup di dunia ini melalui kebenaran agama yang kuyakini.
Suatu ketika ayah pernah berkata padaku “Belajar agama dari kecil seperti mengukir di atas batu, sedangkan jika di usia tua sama saja seperti mengukir di atas air. Meski sebenarnya tidak pernah ada kata terlambat untuk memahami agama, tapi lebih baik jika dimulai dari usia dini”.
Seperti ini rutinitas yang biasa kulakukan tiap hari, pagi mengantarkan sarapan ayah ke sawah, yang selepas shubuh ayah sudah berada di sana, kemudian baru berangkat ke sekolah. Di sore harinya kembali ke sawah untuk membantu ayah atau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan di rumah, kadang juga mengisi waktu kosong dengan mengerjakan tugas sekolah dan bermain bersama teman-teman.
Menjelang maghrib aku dan ayah sudah berada di mesjid, shalat dan mengaji, hingga setelah isya baru kami pulang kerumah. Di rumah, Ibu sudah menunggu kami dengan makan malam yang sudah dia sediakan.
Malam hari adalah waktu untuk kami berkumpul, berbincang tentang kejadian apa saja yang seharian ini kami alami. Sebenarnya tetap seperti malam-malam biasanya, tidak ada yang berubah, tapi nilai yang terasa dari saat-saat seperti itu adalah moment kedekatan antara ayah, ibu dan aku yang kian bertambah hari demi hari.
Di sekolah aku bisa dikatakan sebagai siswa yang pandai, jika itu dilihat dari nilai raportku yang selalu mendapat peringkat lima besar. Aku bersekolah di satu-satunya sekolah dasar negeri yang ada di desa. Mungkinkah karena aku anak dari seorang ustad yang dihormati, juga termasuk siswa yang dikatakan pandai, maka guru, teman-teman dan masyarakat desa banyak yang senang padaku?.
Tapi yang jelas, itu bukan menjadikan aku sombong. Aku merasa waktu itu hanyalah seorang anak kecil yang masih lugu, coba menjadi bocah baik sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh kedua orang tuanya.
Setelah melewati beberapa tahun, akhirnya aku menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, begitu besar niatku untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Itu juga menjadi keinginan dari kedua orang tuaku, khususnya mereka mengharapkan aku bisa masuk ke pesantren.
Mungkin saja karena di pesantren biaya pendidikanya lebih murah, atau mungkin mereka tidak mampu membiyayai sekolahku di SMP umum lainya. Tapi rasanya itu sama sekali bukan menjadi alasanya.
Dari dulu ayah berharap agar nanti aku dapat memperdalam ilmu agama di pesantren, selain itu menurutnya sekarang ini pesantren bukan hanya lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama saja, sehingga dengan bersekolah disana artinya aku bisa mendapatkan manfaat yang lebih dibandingkan sekolah umum lainya.
Dengan keinginan sendiri, aku menyetujui pendapat ayah. Bukan berarti aku menurut saja apa katanya, lagipula ayah tipe orang yang demokratis dalam keluarga, bukan orang tua yang suka memaksakan kehendak. Lebih dari semua itu, aku yakin pastilah kedua orang tuaku selalu ingin yang terbaik untuk anaknya.
Di desa kami waktu itu hanya ada dua sekolah dasar, dua sekolah menengah pertama, satu sekolah menengah atas, dan tidak ada pesantren yang termasuk di antaranya. Maka ayah harus pergi ke luar desa untuk mencari pesantren bagiku, menuju kesana harus menempuh perjalanan selama empat jam menggunakan bus umum.
Rasanya tidak perlu juga aku menyebutkan nama pesantrenku. Diantara banyaknya pesantren yang ada di negeri ini, pesantrenku mungkin tidak terlalu dikenal, lokasinya terletak di pelosok, santrinya pun tidak terlalu banyak. Maka biarlah pesantren itu tetap kukenang sendiri sebagai tempat pertama kali aku mencari ilmu agama dan pengalaman hidup.
Cerita yang begulir selanjutnya, adalah aku yang mulai hidup dalam dunia santri. Berteman dengan sesama santri dan secara khusus belajar tentang segala hal yang berhubungan dengan agama Islam.
Mungkin itu bukanlah hal yang baru, karena sejak kecil aku memang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat. Tapi ada yang sedikit berbeda, ilmu agama yang kutemukan di pesantren diajarkan secara lebih mendetail, santri tidak hanya dibimbing oleh satu orang guru, tapi beberapa orang yang paham akan agama.
Tingkat pengetahuan agama ustad-ustad disana bahkan mungkin lebih dari ayahku, pernah ayah bercerita bahwa salah satu guru di pesantren ini adalah guru yang pernah membimbing ayah juga, hanya saja waktu itu ayah tidak sempat mengecap pendidikan di sekolah pesantren, diwaktu muda dia belajar agama hanya secara otodidak dengan mencari guru yang mau secara sukarela membagi pengetahuanya.
Menurutku memang begitu seharusnya ilmu agama disebarkan, itu termasuk dalam metode dakwah yang harusnya tak kenal pamrih dan tandeng aling-aling. Ayahku sama seperti Ibuku, hanya tamatan sekolah dasar saja. InsyaAllah dengan niat dan kesungguhan yang tulus aku dapat menjadi semakin mengerti tentang kebenaran Islam melalui pendidikan di pesantren ini.
Tentunya kita semua tahu bahwa pesantren memang institusi pendidikan yang lebih identik dengan pendidikan agama selain pendidikan formalnya, tapi kehidupan di dalam pesantren tidak terlepas dengan berbagai tingkah laku kami sebagai santri yang turut mewarnai institusi pendidikan ini.
Pesantren tempat sekolahku tidak semewah pesantren lain atau sekolah-sekolah yang juga menyediakan asrama bagi siswanya. Sama halnya jika dibandingkan dengan sekolah umum, sekolah pesantrenku ini terdiri dari tingkatan SMP hingga SMA. Bangunanya tidak seluruhnya terbentuk dari coran semen, sebagian dinding kelas masih terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbia.
Asrama tempat kami menginap juga sekedar menjadi tempat yang aman buat tidur dan berteduh saja, kadang kami terlelap beralaskan tikar jika bosan tidur di atas ranjang bambu. Ruangan kamar kami mungkin bisa dikatakan cukup luas, tapi bisa terlalu sesak karena dihuni oleh sepuluh hingga lima belas santri.
Hanya untuk urusan mandi, cuci atau buang air yang mungkin tidak terlalu dipersoalkan, ada tempat permandian umum yang terletak di belakang asrama, terdapat dua sumur dan dua kakus disana. Jika ingin lebih leluasa lagi melakukan semua aktifitas keseharian itu, lokasi asrama kami juga sangat dekat dengan sungai, hingga disana bisa bebas untuk mencuci, mandi, atau buang hajat, yang tentunya tetap dengan cara yang benar.
Sehari-hari kami terbiasa melakukan segalanya secara bersama-sama, shalat, mengaji, belajar, mengerjakan tugas, tidur, makan, dan hal umum lainya. Untuk makan, kami memiliki ruang khusus yang sekaligus menjadi dapur umum di pesantren ini. Pihak pesantren mengupah tukang masak yang bertugas untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan ketersediaan makanan di pesantren.
Didalam ruangan makan berjejer bangku-bangku dan meja-meja panjang. Pada saat jadwal makan, tiap bangku harus ditempati sesuai dengan orang-orangnya, ada yang ditempati oleh guru atau para ustad, dan yang lainya ditempati santri-santri yang dibedakan dari angkatan masuk ke pesantren ini. Waktu makan hanya akan dimulai sesuai jadwal, dan didahului dengan doa bersama yang tiap harinya dipimpin secara bergantian dan teratur oleh masing-masing santri.
Jadwal makan adalah termasuk saat yang paling ditunggu oleh para santri, ada kebersamaan dalam acara santap bersama ini. Sebenarnya ketika dalam ruangan itu, kami masih terikat oleh peraturan tentang adab makan yang benar, namun sebagai santri muda kamipun masih saja kerap bersenda gurau. Peraturan jadi tidak terlalu diindahkan, karena tidak terlalu digubris juga oleh para ustad atau senior kami, mungkin selagi itu masih dalam batas yang normal.
Jika mengenang kisah waktu di pesantren dulu, aku menjadi sadar bahwa tidak semua orang tua memilki tujuan utama menyekolahkan anaknya di pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Kadang pesantren dianggap sebagai tempat penampungan untuk anak mereka yang berulah, atau nakal. Hingga dengan belajar agama mungkin orang tua mereka berpendapat tabiat dari anaknya tersebut dapat berubah.
Dipesantren aku bertemu dengan para santri yang memiliki beragam sikap dan tabiat, tapi biar bagaimanapun jika memang ada kenakalan, diantaranya ada yang masih tetap menjadi kawajaran di usia kami, meski ada juga santri yang sudah keterlaluan. Tabiat asli memang sulit untuk dirubah tapi perlahan-lahan kami dapat mengambil faedah dari tujuan utama menempuh pendidikan di pesantren.
Banyak kisah yang terjadi, menceritakan bagaimana prilaku keseharian kami sebagai anak santri yang keseharianya tidak terlepas dari adab dan tata tertib, aturan mengikat supaya kami bisa disiplin berdasarkan ajaran agama
Di dalam pesantren kami adalah keluarga, makan, tidur bahkan mandi sering beramai-ramai. Kisah suka duka, bagaimana kami saling berbagi di dalam satu asrama, meski terkadang tetap ada silang sengketa kecil untuk masalah-masalah sepele.
Kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dan akan mendapat sanksi yang sangat keras adalah menjalankan shalat lima waktu, mengaji dan mengkaji ajaran agama berdasarkan bimbingan ustad pesantren kami.
Kedisplinan aturan pesantren kadang juga pernah menjadi kisah konyol yang pernah terjadi, rambut kawan-kawanku pernah digunduli secara sembarangan oleh para senior karena kedapatan merokok. Ada juga santri yang sedikit pelit, menyembunyikan makanan dalam lemari hingga busuk dan dikerubungi semut, kalau sampai ketahuan sudah pasti dia akan jadi bahan pergunjingan.
Unsur senioritas berperan dalam kehidupan selama di asrama, kami harus menuruti apa yang mereka katakan. Beberapa diantara mereka ada yang benar-benar pantas untuk dijadikan panutan, tapi sebagian lagi ada yang menganggap kami hanya junior yang pantas dijadikan kacung dan bulan-bulanan mereka.
Selama di pesantren, para santri tidak hanya dididik menjadi pandai dalam hal ilmu agama atau pengetahuan umum lainya saja, tapi juga harus menjadi manusia yang sehat, karena tanpa itu semuanya rasanya tidak berarti. Kegiatan extrakurikuler yang paling kugemari adalah olahraga silat. Sebenarnya sejak usia tujuh tahun aku sudah mulai berlatih silat, guru silatku adalah ayah sendiri.
2
Pagi ini setelah mandi dan beres-beres kamar asrama, aku bersiap-siap menuju ke kelas. Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama, karena jaraknya hanya beberapa langkah dari pintu asrama.
Pelajaran pertama adalah bahasa arab yang dimulai pukul delapan pagi, kemudian dilanjutkan dengan biologi. Setelah itu, waktunya istirahat dan makan siang. Pada saat makan siang nanti, aku harus cepat-cepat menghabiskan makananku, agar masih dapat waktu sebentar untuk membaca novel laskar pelangi yang hampir habis kubaca.
Sudah beberapa hari ini, di kala waktu senggang atau tiap malam selesai shalat isya dan mengaji, sebelum tidur ku sempatkan membaca kisah yang tertulis dalam novel itu, isinya begitu menginspirasi, pantas menjadi bahan bacaan generasi negeri ini.
“Ikhsan, PR bahasa arab udah ente kerjakan?” Tanya fachrul yang berpapasan denganku ketika hendak menuju kelas.
“Udah dong…” Jawabku.
“Baguslah” Ujarnya kemudian, yang selanjutnya kami sama-sama masuk ke dalam ruangan kelas.
Fachrul adalah teman sekelasku, dahulunya di asrama dia sekamar denganku. Tapi karena penghuninya semakin penuh, akhirnya dia minta pindah ke kamar sebelah. Alasanya karena kurang suka dengan kegaduhan. Mungkin dia berbeda denganku, aku sudah terbiasa atau lebih tepatnya terpaksa dengan keadaan yang seperti itu. Satu kamar dihuni oleh sepuluh santri dengan sifat yang berbeda-beda.
Tapi sebagai kawan-kawan sekamarku, sebenarnya mereka memiliki solidaritas yang tinggi, meskipun tidak terlepas dari beberapa sikap konyol dan kebiasaan mereka yang suka membuat gaduh. Di kamar itu, mungkin aku yang lebih sering diam. Tapi segala keadaan itu sama sekali bukanlah gangguan berarti untukku, semuanya tergantung bagaimana cara aku beradaptasi terhadap semua.
Ada satu lagi kawan sekamarku yang berasal dari timur negeri ini, dia cukup dekat denganku, sering menjadi teman cerita dan bertukar pendapat. Safei Nasrullah namanya. Entah kenapa, sepertinya dia sangat menaruh hormat padaku, tapi itu tidak jadikan aku berbangga hati, akulah yang lebih menghormati dia atas sikapnya itu.
Menilik sifat dia berdasarkan penilaian kebanyakan santri lain, safei adalah anak yang nakal dan sering membuat kegaduhan. Tapi berbanding terbalik dengan semua itu, kami berteman baik, dan di dalam kelas aku juga selalu bersaing denganya dalam hal nilai mata pelajaran.
Aku memang paling suka dengan pelajaran bahasa arab, hampir tidak pernah absen terkecuali ada halangan yang berarti. Yang mengajarkan bahasa arab di kelas kami adalah ustad Mustafa, guru yang terkenal paling kalem dan baik terhadap para santri.
Usianya masih muda, hingga kami menganggap dia seperti abang sendiri. Dia juga sering berkumpul bersama kami diluar kegiatan belajar mengajar, kami kerap main bola bersama atau latihan silat. Pak Mustafa sangat mahir untuk beladiri ini, dia pernah menjadi atlet nasional dan juga menjadi guru silat di pesantren kami.
Akupun hampir tidak pernah absen mengikuti jadwal latihan silat, ini bukan sekedar hobby tapi juga hidupku, aku sudah mencintai olahraga ini semenjak kecil. Meski ini hanya kegiatan extra diluar mata pelajaran, tapi hampir seluruh santri di pesantren ini menjadi peminatnya.
Seorang lelaki harus mahir beladiri, bukan hanya sekedar untuk melindungi dari tapi yang terpenting adalah untuk kesehatan. Dan di pesantren kami mendapat satu petuah penting mengenai beladiri. Seorang praktisi beladiri tidak boleh congkak, justru harus semakin tunduk atas kelebihan yang dia miliki, sebab di atas bumi masih ada langit. Beladiri digunakan hanya untuk membela kebenaran, membela sesama dan juga agama.
Selain pak Mustafa kami juga punya banyak guru silat di pesantren, hampir seluruh ustad yang ada juga mahir beladiri. Dan aku terpilih sebagai ketua latihan diantara banyaknya santri yang lain, kriteria yang membuat pantas mendapat tugas itu karena aku sempat beberapa kali mengikuti kejuaraan silat dan meraih beberapa kemenangan pula.
3
Jika dibandingkan dengan sekolah menengah pertama, sekarang ini di pesantren aku sudah duduk di kelas dua. Dalam lingkungan pesantren, meski termasuk santri yang dianggap pendiam, tapi aku cukup dikenal oleh santri-santri dan para ustad.
Setiap enam bulan sekali para santri berprestasi akan mendapatkan penghargaan atas apa yang telah diraih, dan sudah lebih dari sekali aku mendapatkan penghargaan atas prestasi akademik, baru-baru ini aku juga mendapat penghargaan sebagai santri teladan yang dilaksanakan oleh lingkup intern pesantren.
Belum kuceritakan bahwa di pesantren ini sebenarnya juga ada santri perempuanya. Ruang kelas dan asrama sebenarnya terbagi menjadi dua, untuk santri lelaki dan perempuan. Namun dalam hal ini ada peraturan yang mengikat, seperti santri perempuan dan laki-laki tidak boleh bercampur ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar atau extrakulikuler lainya.
Di dalam agamaku, pergaulan laki-laki dan perempuan sangatlah dijaga. Seperti inilah contoh kewajiban yang sebenarnya harus diterapkan, wanita harus berjilbab, menundukkan pendangan bila bertemu, tidak berduaan apalagi bercampur baur. Itu semua demi menjaga tatanan kehidupan sosial muslim agar terjaga kehormatan dan kemuliaan. Meski jujur, sebagai santri di zaman sekarang kami sangat sulit untuk secara total menerapkanya.
Diantara kami sangat jarang sekali bertemu. Kalaupun iya, hanya sesekali, itupun jika seandainya ada kegiatan dari pesantren yang mengharuskan kami untuk saling bertemu, seperti acara halal bihalal hari besar Islam, dan shalat taraweh yang dilaksanakan pada bulan ramadhan. Di pesantren ini kami hanya memiliki satu mesjid besar untuk kegiatan-kegiatan seperti itu.
Malam ini akan diadakan acara Maulid Nabi di dalam lingkup pesantren, aku terpilih sebagai salah satu panitianya. Kami yang bertugas menjadi panitia terdiri santri-santri berbagai angkatan, dan bukan hanya santri laki-laki saja, santri perempuan juga diikut sertakan dalam kepanitiaan.
Seperti biasa, jika ada acara-acara seperti ini, kawan-kawanku pasti mulai beraksi. Seperti katak yang baru keluar dari tempurung, mungkin wajar karena kami jarang melihat santri perempuan di dalam pesantren.
Aku berkenalan dengan seorang santri yang bernama Rukmana. Malam nanti kami berdua sama-sama mendapatkan tugas dalam kepanitiaan yang akan mengurus konsumsi. Jujur naluri laki-laki ku berani melangkahi jiwa santriku untuk memberikan penilaian lebih akan paras gadis ini.
Wajah manisnya tertutup di balik jilbab putihnya. Nada bicaranya pun halus, membuat orang yang berbicara denganya langsung simpatik. Tapi, astagfirullah, ah sudahlah, jangan sampai bayangan tentang keanggunan Rukmana terlalu berlebihan dan menjadi pikiran yang kurang baik. Terlalu membayangkan keanggunan seorang hawa dalam hati seorang lelaki bisa saja timbulkan hasrat yang salah. Naudzubillahiminzalik..jangan sampai.
Aku langsung cepat-cepat menghilangkan pikiran itu, langsung menunduk dan menjaga pandangan. Bukanya aku menundukkan muka ke tanah, hanya mensiasatinya dengan melihat ujung-ujung jilbab Rukmana, karena pembicaraan antara kami memang tetap berlangsung.
“Jadi gimana neh dik, mengenai persiapan konsumsi untuk acara malam nanti”. Tanyaku.
“Konsumsinya sudah siap semua kak, disesuaikan dengan jumlah para santri, ustad atau ustadzah dan warga sekitar yang akan hadir malam nanti. Dan seperti rencana yang tadi sudah kita susun, semua konsumsi akan dimasukkan ke dalam kotak makanan sebelum dibagi-bagikan. Saya juga sudah meminta tolong beberapa kawan dan orang dapur yang bertugas untuk membagi-bagikan kotak makanan itu nanti”. Jawab Rukmana.
Aku hanya mengangguk tanda setuju setelah mendengar kalimat terakhir Rukmana tadi, sepertinya persiapan konsumsi untuk acara Maulid Nabi malam nanti sudah rampung, InsyaAllah akan berjalan sesuai rencana.
Pembicaraan kamipun selesai sampai di situ, dan akhirnya acara Maulid Nabi yang sepintas di malam itupun berakhir.
4
Berawal dari perbincangan itu yang akan menciptakan romansa dalam cerita ini. Ihksan ahirnya kenal dengan seorang santri wanita yang sebenarnya sudah lama mengagumi dia. Sudah beberapa kali acara seperti Mulid Nabi malam itu diadakan, Rukmana dan Ihksan juga beberapa kali menjadi panitia. Tapi baru kali ini mereka bertemu bahkan berada dalam satu kepanitian.
Yang tidak diketahui oleh ihksan bahwa sebenarnya di waktu-waktu sebelumnya itu Rukmana sering menyempatkan pandanganya padanya. Malam tadi bukan baru pertama Rukmana berjumpa dengan Ihksan, dia sudah tahu siapa ihksan, karena dengan segala kelebihanya yang ada, santri mana di pesantren ini yang tidak kenal ihksan.
Entah apa maksud dari semua itu….tapi mungkin dikarenakan ada perasaan yang bermain dalam jiwa santri perempuan itu. Salahkah hal itu bagi ahkwat seperti Rukmana, sedangkan dia sama sekali tidak melecehkan hijabnya. Dia hanya tak bisa mengelak sebagai perempuan yang juga punya perasaan suka.
Dan adakah rasa yang sama tersimpan dalam hati Ihksan, karena dari perjumpaan malam itu sebenarnya dia juga menyiratkan kekaguman pada Rukmana…
Seandainya rasa itu memang terjadi di kemudian hari, mereka harus mengingat satu hal, apalagi sebagai santri mereka harusnya lebih mengerti dan dapat menjadi panutan.
Bahwa menjaga pergaulan dengan lawan jenis memang bukanlah hal yang mudah karena fitrah laki-laki adalah mencintai wanita dan begitulah sebaliknya. Hanya dengan keimanan yang kokoh dan mujahadah sajalah yang membuat mereka dapat istiqomah menjaga batas-batas itu.
Pagi ini sebelum pelajaran pertama dimulai, di dalam kelas cukup gaduh. Kawan-kawan sedang ramai membicarakan acara halal bihalal tadi malam.
“Subhanallah, akhwat yang berkerudung merah malam tadi cakep banget. Sampai enggak bisa tidur aku bayangin wajahnya…ha..ha..”. Kata si Pardi
“Kalau aku yang berkerudung merah jambu, mukanya kaya’ Aswarya hai” Timpal Mustafa.
Kami pun tertawa mendengar perkataannya, dan salah satu diantara kami, si Yusuf berteriak “Woi boy, aswarya hai kepalamu, salah kamu ngucapinya, Aswarya ray yang benar…”ha..ha…
Aku hanya bisa tersenyum mendengar apa yang mereka bicarakan dalam kegaduhan kelas ini. Pembicaraan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa jika kami bertemu dengan santri perempuan. Lantas kenapa aku hanya diam saja, tidak bergabung atau menimpali obrolan mereka. Apakah aku sama sekali tidak menemukan hal yang menarik dari acara halal bihalal malam tadi, bukankah banyak santri perempuan disana yang patut jadi bahan pembicaraan.
Mungkin aku sama seperti kawan-kawanku, turut mengagumi paras-paras dari beberapa santri yang kulihat malam tadi. Namun aku tidak ingin pikiran itu dapat mengurangi makna acara halal bihalal yang baru saja dilaksanakan, jadi cukuplah kawan-kawanku saja yang berbicara dan biarlah aku berusaha menganggap itu sebagai hal yang biasa saja. Meskipun aku menyadari sebuah kewajaran dalam usia kami, membicarakan ahkwat dengan berbagai sisi menariknya.
Tapi aku juga tidak dapat menyembunyikan ingatan itu, malam tadi aku sempat berkenalan dengan seorang santri perempuan. Rukmana…
Rukmana sebenarnya berasal dari daerah yang tidak jauh dari kampungnya ihksan, dan ternyata kedua orang tua mereka juga sudah saling mengenal. Tunggulah sampai akhirnya mereka berdua tahu semua itu.
Yang diawali dari kisah ini…
Sekarang sudah pukul setengah satu, pelajaran fiqih sudah selesai, waktunya istirahat dan makan siang. Setelah keluar kelas, akupun segera bergegas menuju ruang makan. Kali ini aku memilih meja makan yang letaknya tidak jauh dari dapur.
Belum semua ustad dan santri datang ke ruang makan. Sebelum acara makan siang dimulai aku mengobrol dengan bibi Inah, dia sudah sembilan tahun berada di pesantren ini, salah satu dari beberapa orang yang tugasnya memasak dan membagikan makanan di ruangan ini. Ibu ini sangat ramah dan enak diajak ngobrol, tapi hingga sekarang belum juga menikah.
Pernah dia bercerita padaku bahwa ada kisah pahit yang membuat dia trauma untuk menikah, selama di pesantren dia sering menjadi teman ku bercerita atau minta nasehat tentang apa saja, sepertinya dialah yang menggantikan posisi ibuku di sini, tempat aku menumpahkan segala cerita keseharian.
“Bi, makasih ya, udah bantu-bantu waktu acara halal bihalal kemarin itu”. Kataku
“Oh iya, sama-sama dik. Kan emang udah tugas Bibi juga untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan konsumsi”. Jawab Bi Inah.
Dia melanjutkan bicaranya “Eh ngomong-ngomong bagaimana dengan Rukmana?”. Sambil tersenyum dia mengatakan kalimat itu.
Aku sediit heran dengan pertanyaan bi Inah, “Bagaimana apanya?”…..
“Halah, bibi juga tahu, malam itu kalian berdua terlihat akrab berbincang. Diakan suka sama dik Ihksan”. Bibi Inah kembali tersenyum
Aku masih sedikit heran dan kaget dengan perkataan Bibi Inah. Tapi memang seperti itu gaya bicaranya, orangnya santai dan ceplas-ceplos, apalagi terhadap santri-santri yang sudah dekat denganya, kami menganggap dia seperti ibu sendiri.
“Ha..ha..emangnya bi Inah tau dari mana?”. Aku tertawa, melepas keherananku terhadap kalimat bi Inah barusan.
“Sepertinya begitu. Rukmana juga sering ngobrol sama bibi waktu di asrama mereka. Dia banyak nanya tentang dik Ihksan loh…”.
Selain di tempat pesantren laki-laki, bibi Inah dan beberapa temanya memang bertugas memasak di tempat santri perempuan, bergilir dan secara bergantian tiga kali dalam seminggu.
“Emang iya bi? Masa seeh”. Kemudian aku jadi semakin penasaran dengan perkataan Bi Inah tadi.
Tidak terasa semua ustad dan para santri sudah datang ke ruang makan. Acara makan siang akan segera dimulai. Aku berpindah tempat dan duduk di samping safei, juga bersama enam orang kawan sekamarku yang lain. Hari ini aku mendapat tugas memimpin doa makan siang, bi Inah juga sudah sibuk dengan tugasnya membagi-bagikan makanan.
Pembicaraan kami terhenti dengan senyum penuh tanyaku terhadap Bi Inah, Bi inah juga membalasnya dengan raut wajah yang semakin membuatku penasaran.
5
Aku sudah selesai membaca novel Laskar Pelangi, malam juga sudah sangat larut. Kawan-kawan sekamarku sudah tertidur semua, lucu juga melihat mereka jika sedang pulas. Aku memandang rupa-rupa alami dari raut wajah manusia yang sedang tidak sadarkan diri, posisi tidur sesuka hati yang membuat mereka nyaman meski hanya beralaskan tikar pandan dan berselimut kain sarung usang. Hanya aku dan safei yang tetap betah di atas ranjang bambu ini.
Seharusnya aku juga sudah pulas, tidak biasanya aku tidur selarut ini. Apalagi yang harus kukerjakan, shalat telah kutunaikan, tugas dan pekerjaan rumah juga sudah kelar. Jujur, sebenarnya ada satu nama yang terus terbayang-bayang dalam pikiranku sekarang, semenjak kejadian siang tadi di ruang makan, bi Inah telah mengingatkan aku pada Rukmana, tapi kenapa…..
Begitulah ceritanya hingga dimulai keesokan harinya, aku selalu saja memikirkan dia. Semua memang berawal dari cerita singkat bi Inah waktu itu, hingga aku yakin Rukmana juga menaruh hati padaku.
Tapi sudah, cukup sebatas itu saja, karena dari kalimatku tadi kalian juga sudah dapat membaca betapa dangkalnya caraku menaut kesimpulan tentang perasaan hati. Apa mungkin karena aku tidak ingin terlalu banyak mengumbar kata-kata mesra yang terlalu berlebihan dalam cerita ini, aku canggung atau lebih pantas dikatakan malu meski itu berkisah tentang kejujuran hatiku sendiri. Apa mungkin itu dikarenakan aku adalah seorang santri?.
Pada malam berikutnya, di waktu kawan yang lain juga sudah terlelap, aku masih dengan ingatan akan dia, dan justru membuat aku coba berpikir tentang bagaimana sikapku selama ini memahami perasaan-perasaan yang dikatakan cinta. Aku rasa, perlunya para santri yang bertabiat seperti aku menelaah secara kritis akan hakikat dan esensi mengenai perasaan suka terhadap perempuan.
Karena harus diakui bahwa untuk membahas cinta senormalnya yang terjadi di dunia luar, dalam kultur pesantren itu sama halnya melakukan hal yang kurang penting, meski bukan berarti kami lebih menyetujui macam-macam cara bercinta yang dapat ditemui di luar sana.
Hanya saja, konsep, teori dan definisi yang kami mengerti dari cinta dalam dunia santri ini rasanya hampa dan hambar. Dalam pesantren kehidupan kami berjalan dalam dunia sendiri yang terikat oleh aturan berdasarkan pedoman yang hakiki. Itu kami yakini adalah kebenaran, namun ada satu hal yang aku rasa bukanlah kesalahan namun kerap dianggap remeh, meski tetap sangat berarti dalam peralihan usia manusia normal seperti kami, adalah cinta.
Dan dalam hal ini, aku rasa ada sedikit kekeliruan akibat kesan “santri’ yang lebih dianggap sebagai orang alim yang tidak mau mengenal pacaran. Meskipun mereka punya rasa itu, namun ditahan dengan segala cara yang menyesakkan. Akhirnya cinta yang sebenarnya dekat terasa jauh, cinta seakan pergi mengembara tetapi tetap saja akan datang waktunya untuk dicari.
Jika melebur dalam perasaan seperti pacaran dan lain sebagainya, dalam kultur pesantren laksana mencampur barang haram dengan barang halal, atau ibarat barang najis yang jatuh ke tempat yang suci. Padahal, ini tidak berdasar dan tidak benar. Sebab, bukankah cinta itu juga berasal dari Allah SWT lewat perasaan dan jiwa manusia.
Jiwa juga merupakan wilayah yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu, sifat dasar jiwa itu adalah bebas, dan tidak bisa dikuasai apalagi diikat. Tapi jika hanya seperti itu kami boleh mengenal cinta, artinya pesantren seperti memenjarakan tubuh kami, boleh merampas hak dan kemerdekaan kami, namun sebenarnya tetap saja pesantren tidak akan mampu membatasi dan memenjarakan jiwa kami.
Dan sebelum pendapatku ini disalah artikan, tetap inti yang paling penting adalah bagaimana kami memahami hakikat cinta suci. Tidak memahami cinta hanya sebatas arti pacaran, hubungan lawan jenis yang ternodai oleh dosa, dan hubungan cinta-cinta romantik picisan yang hanya untuk kenikmatan semu semata, seperti ciuman, pertemuan, pegangan tangan, pelukan, dan saling merindu secara berlebihan. Cinta adalah anugerah yang Dia berikan juga, maka kita harus mensyukuri dengan memposisikan pada tempat yang benar, hingga tiba saat yang tepat ketika semuanya menjadi halal.
Secara otomatis, apapun usaha dan peraturan buatan manusia yang akan diterapkan, cinta akan selalu singgah dalam jiwa para santri, terutama para remaja seperti kami. Sekarang ini, jika di sekolah umum, aku bisa disetarakan masih duduk di bangku kelas dua SMP, namun karena cinta aku bisa menguraikan pendapatku seperti ini. Aneh dan menarik.
6
Assalamualaikum
Dengan nama Allah SWT yang penuh Ketinggian kuawali sebuah surat yang mengguratkan isi hatiku ini. Semoga kemurahanNya juga senantiasa menyertaimu untuk bersedia membaca surat ini.
Dik Rukmana….
Ini untuk yang keberapa kalinya aku menulis dan menitipkan surat untukmu melalui Bi Inah. Aku rasa dari sekian kalinya aku mengrimkan surat, adik pasti sudah tahu bagaimana keadaan jiwa dan perasaanku. Tidak pernah reda daripada pikiran tentang adik seorang.
Tapi surat ini juga belum sanggup menceritakan bagaimana keseluruhan perasaanku itu, karena aku kehabisan kata untuk menggambarkan betapa besar perasaan hati. Bahkan ini sudah semakin menjadi rindu yang buat aku lupa pada segala sesuatu.
Kadang¬ aku lupa hari apakah hari ini, aku lupa mengerjakan tugas, aku melupakan semua buku-buku yang belum selesai kubaca. Karena menulis surat ini aku bahkan lupa bahwa kawan-kawan sedang menungguku untuk latihan silat di sore ini.
Itu karena hatiku penuh dengan rindu pada adik. Pikiranku penuh dengan gambaran wajah adik yang hanya baru sekali aku temui, namun itu membekas hingga kini, karena aku yakin adik memang beda, mampu menarik hatiku pada pandangan pertama.
Dik Rukmana…
Akhirnya aku ingin sekali menebus segala rindu yang pernah tersirat disetiap surat-surat yang pernah kutuliskan. Betapa aku mulai tidak tenang menahan rasa rindu ini.
Tidak ada cara lain untuk mengobati semua ini selain bertemu dengan adik. Aku tidak punya foto-foto yang dapat mengingatkan adik, apalagi gambar-¬gambar kenangan tentang kita yang sebenarnya belum terjadi apa-apa dalam hubungan tulus ini.
Rasa ini berawal dari apa yang aku lihat pada pandangan pertama, kemudian berlanjut dari cerita bi Inah. Hingga akhirnya aku terkejut bahwa sebenarnya adik juga sudah lama ingin berkenalan denganku, seperti isi balasan surat sebelumnya yang adik kirimkan kembali padaku.
Kesimpulanya rindu semakin menggebu, aku ingin rasa ini dapat menjadi nyata. Begitulah aku, karena memang baru mengenal cinta.
Tapi aku rasa adikpun tahu, bagaimana kehidupan dalam pesantren kita ini. Kita tidak seperti pemuda-pemudi yang ada di luar sana, seperti apa mereka saling memadu kasih memang tidak sepenuhnya patut kita anggap baik dan sesuai dengan ajaran agama kita. Tapi bukan berarti perasaan kita ini salah, karena tetaplah rasa tulus suci ini datang dari Dia juga.
Hanya kita yang mengerti, meski tidak oleh pesantren kita sendiri.
Saking besarnya rasa rinduku ini, aku ingin memprotes tatanan kehidupan pesantren yang terlalu mengekang kita dan usia kita yang baru belajar memahami cinta sejati, tapi tentu aku juga akan salah jika terlalu berlebihan dalam hal ini, tanpa memperdulikan moral dan logika yang dibenarkan oleh agama kita.
Entahlah… aku sering berdoa dan berharap agar akan ada waktu yang dapat lunaskan segala rindu yang terpatri di hatiku kini.
Dik Rukmana…
Ingin sekali aku berada disamping adik senantiasa. Namun keadaan tidak mengizinkan kita bebas berbuat demikian, tapi bukan berarti kita tidak bisa. Masih ada hari minggu, waktu dimana semua santri di pesantren ini mendapatkan kesempatan untuk bisa keluar dari pesantren. Di saat itu aku ingin mengajakmu berjalan-jalan di taman. Aku harap kau membalas permintaaku ini lewat surat balasan.
Dan doaku, semoga Allah SWT sudi meridhoi rasa rinduku ini, hingga asaku dapat menjadi nyata dan semoga seperti itu juga rasa yang ada di hatimu.
Hanyalah dirimu dik Rukmana…..
Wassalam
Aku yang sekarang ini akhirnya kerap menyampaikan perasan hati melalui kata-kata indah dan tulus melalui surat-surat cinta yang kukirimkan secara sembunyi-sembunyi lewat seorang tukang masak yang sudah kuanggap seperti ibu sendiri, bi Inah.
Surat-suratku bukan yang pertama kali, bahkan dik Rukmanapun sudah membalasnya berkali-kali. Dari hal itu maka terbacalah semuanya, seperti kata bi Inah waktu itu, bahwa dik Rukmana sering bertanya tentang aku, dan dari surat-surat balasanya akhirnya aku juga tahu bahwa dia ternyata sudah banyak mendapat informasi tentang aku.
Mungkin egois kalau aku mengatakan dik Rukmanalah yang terlebih dahulu tertarik padaku. Tapi memangnya kenapa, itu bukanlah hal yang pantas disebut tabu, apalagi kemudian perguliran waktupun menghantarkan perasaanku yang sama dengan dirinya.Tak penting siapa yang memulai, tetapi karena aku lelaki, maka setelah semua ini sekarang aku harus terlebih dahulu mengambil inisiatif tentang kelanjutan perasaan kami.
Karena itu, isi surat-suratku selanjutnya semakin berani mengungkapkan kerinduan isi hati dan menginginkan persuaan yang nyata, seperti isi surat yang terakhir tadi.
Selepas makan siang, secara diam-diam surat itu kuberikan ke bi Inah, meski tetap ketahuan juga oleh safei dan nasrul yang kebetulan sedang mencariku. Mereka berdua hanya tersenyum, karena mereka juga sudah tahu akan kebiasaanku yang sering mengirimkan surat untuk dik Rukmana melalui bi Inah. Kepada siapa lagi kubercerita kalau bukan kawan dekat sendiri.
Bi inah, akhirnya dia menerima suratku dengan tersenyum.
Sore itu juga suratku disampaikan bi Inah kepada dia, dan diwaktu itu juga dik Rukmana menulis surat balasan untukku. Kebetulan malam ini bi Inah bertugas untuk menyediakan makanan bagi santri perempuan, hingga dia bisa punya banyak waktu untuk menunggu surat balasan untukku.
Inilah surat balasanya yang kuterima keesokan siangnya….
Assalamu’alaikum
wahai engkau yang melumpuhkan hatiku
Akhirnya kakak tahu bahwa aku sudah lama memendam rasa ini, rasa yang juga ingin segera diutarakan, tapi aku perempuan. Seandainya kakak tahu, selama ini aku selalu berusaha dekat meski dalam kesempatan yang hampir tidak pernah ada. Aku berjanji sendiri untuk berusaha tidak acuh jika bersua, dan itu terjadi dalam pertemuan secara langsung kita yang rasanya baru sekali di malam halal bihalal itu.
Di hadapan kakak waktu itu, aku berusaha tetap berlaku dengan normal, walau perlu usaha untuk mencapainya. Karena aku adalah perempuan.
Takukah juga wahai engkau yang mampu melumpuhkan hatiku?
Entah mengapa kini aku dengan mudah berkata “perasaan ini” kepada kakak meski hanya dalam tulisan. Dalam nyata, lisan ini pasti terkunci dan mengharapkan kakak yang terlebih dahulu memulai. Karena aku perempuan…
Dan aku merasa beruntung dari surat terakhir kakak ini menyiratkan arti itu, meski kita memang masih sama-sama menautkan perasaan lewat tulisan. Untuk itu aku menyetujui permintaan kakak untuk bertemu di hari minggu nanti, aku akan menunggu kakak di taman selepas lohor, atau siapa saja diantara kita yang terlebih dahulu ada di sana.
Jika boleh aku beralasan, apapun pendapat atau aturan yang ada dalam pesantren kita, mungkin itu dikarenakan jangan sampai cinta menjadi “illah” bagi kita.
Karena itu kita diwajibkan mengurung rasa itu jauh-jauh, namun yang dimaksudkan rasa seperti itu menurutku bukan cinta, tapi rasa suka yang hanya dilatarbelakangi hasrat semata hingga bisa sampai tidak perdulikan logika dan moral yang sesuai dengan ajaran agama.
Tapi InsyaAllah bukan itu rasa yang aku punya terhadap kakak sekarang ini, seperti aku juga yakin akan halnya perasaan kakak yang sama terhadapku. Maka tidak ada kesalahan dalam hal ini, karena pesantren dan ajaran agama kita tidak pernah melarang untuk perasaan suci yang seperti ini. Yang terpenting adalah bagaimana nantinya kita tetap kuat dengan keyakinan kita. Insyaallah.
Wahai engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Allah SWT, aku ingin meminta agar Dia mempercepat sang waktu, dimana disana ada keyakinanku bahwa aku akan menjadi jodoh kakak yang tepat, InsyaAllah. Inilah ungkapanku yang sangat berani sebagai santri perempuan, tapi aku tidak salah karena rasa suci ini memang sangat menggebu.
Wahai engkau yang sekarang menjadi biang kerinduanku, sebagai perempuan semoga keberaniaku untuk menyimpan rindu ini bukanlah kesalahan.
Wassalam
7
Di taman ini kami berbincang, tidak lagi ada kecanggungan, tapi kami masih tahu batasanya. Kami tidak terlihat seperti cara pemuda-pemudi kebanyakan yang sedang memadu kasih di zaman sekarang, itulah salah satu kesamaan sikap kami sebagai santri yang paham adab pergaulan dari keyakinan agama yang kami anut .
Obrolan yang terjadi juga sewajarnya saja. Kami berbincang tentang sekolah, keluarga, dan cita-cita ke depanya. Tapi sama sekali tidak ada tentang cinta, jika yang dimaksud adalah segala teori ucapan mendayu-dayu penuh rayuan dan remeh temeh puja dan puji.
Kami tidak perlu seperti itu, kedekatan dan keperdulian kami antara satu dan yang lain ada dalam hati yang tulus dan itu cukup ditunjukan dengan perbicangan ini saja. Dengan begitu, kami sudah merasa sangat bahagia di hari ini, dan menjelang sore kami kembali pulang ke pesantren untuk menuju asrama masing-masing.
Hanya sebegitu saja, dan mungkin dianggap tidak ada kisah-kisah romantis sama sekali. Tapi aku rasa itu sudah cukup karena hanya perasaan kami yang tahu.
Tidak terasa, sudah beberapa bulan aku tidak bertanya kabar tentang ayah dan ibuku di desa. Selama ini aku memang rutin mengirimkan surat untuk mereka tiap bulanya, aku terakhir pulang di liburan semester kemarin. Dan jika disamakan dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, tidak terasa sekarang aku sudah hampir memasuki ujian akhir di kelas tiga.
Memang seperti ini cara berkomunikasi yang paling mudah bagiku terhadap orang-orang yang dirindukan namun jauh dari pandangan, seperti dik Rukmana yang meski satu pesantren namun susah untuk kutemui, seperti juga kedua orang tuaku yang berada jauh di desa.
Aku coba mengguratkan kata-kata dalam secarik kertas surat ke kedua orang tuaku. Meski hanya melalui surat, mereka pastinya tahu bahwa anak satu-satunya ini selalu cinta dan ingin keadaan mereka baik-baik saja. Melalui surat ini aku juga ingin berbagi tentang kebahagiaanku saat ini.
Assalamualikum
Salam hormat dari anakmu.
Bagaimana kabar ayah dan Ibu di desa, ananda selalu berdoa agar ibu dan ayah selalu diberikan kesehatan dan ridho dari Allah SWT. Adapun kabar ananda disini Alhamdulillah sehat-sehat saja.
Rasanya sudah cukup lama ananda tidak memberikan kabar melalui surat yang biasanya selalu sempat dikirimkan tiap bulan.
Mungkin karena kesibukan di pondok yang akhir-akhir ini semakin bertambah menjelang ujian akhir. Tapi meski begitu tiap hari ananda selalu berdoa untuk ayah dan ibu yang juga sebagai penambat kerinduan ananda disini.
Kegiatan sehari-hari ananda di pesantren ini tetap seperti biasanya, belajar agama, mengkaji, mempelajari pelajaran umum, latihan silat, dan lainnya.
Tapi ada satu cerita yang ingin ananda ceritakan. Bahwa ananda telah kenal dengan seorang santri perempuan di pesantren ini. Mungkin ayah dan ibu kenal kedua orang tuanya, karena Rukmana berasal dari desa tetangga kita.
Sebenarnya ananda tersenyum ketika menulis surat ini, dan mungkin seperti itu juga ayah dan ibu. Ananda hanya ingin sekali menceritakan ini, karena ananda rasa ayah dan ibu juga mengerti jika usia ananda sudah pantas memasuki tahap-tahap itu.
Dia perempuan yang baik, santri yang termasuk pandai di pesantren kami. Hanya itu saja yang ananda ingin ceritakan tentang dia, kesimpulanya ananda sangat bahagia bisa berkenalan dengan dia, dan ingin membagi rasa bahagia itu terhadap ayah dan ibu. Semoga ibu dan ayah ikut merasakan betapa bahagianya ananda saat ini.
Sekian surat dari ananda, ananda selalu berdoa agar ayah dan Ibu selalu dilindungi oleh Allah SWT.
Wassalam
Ananda Ihksan.
8
Hari-hari terus berlalu dalam kehidupan kami sebagai santri di pesantren ini. Tidak terasa itu sudah berlangsung menahun. Jika diibaratkan dengan sekolah umum, aku yang sekarang sudah duduk di bangku kelas 2 SMA.
Sudah berkali-kali aku pulang ke desa setelah mengirimkan surat terakhir tadi. Dan cerita disebalik itu, adalah tentang aku yang juga sudah mengenal dik Rukmana dan keluarganya. Seperti yang telah diceritakan, akhirnya akupun tahu bahwa dik Rukmana dan orang tuanya tinggal di desa yang bertetangga dengan desa kami.
Yang membuatku sedikit terkejut akan kebenaran perkiraanku adalah ternyata kedua orang tuaku juga kenal dengan orang tua Rukmana. Bahkan sebelumnya mereka pernah bertemu, hanya saja aku dan Rukmana tidak mengetahui hal itu, seperti kami yang sebelumnya juga tidak pernah tahu akan dipertemukan dalam hubungan ini.
Tapi hubungan kami tetap tidak seperti kisah pemuda-pemudi kebanyakan di zaman ini, seperti apa yang dikenal dengan istilah pacaran. Bukan dikarenakan kami menyandang predikat santri, tapi pelajaran dan pemahaman yang kami dapat selama ini dengan sendirinya menyadarkan kami bahwa ada peraturan dan kaidah yang tetap harus dijaga dalam hubungan muda-mudi seperti ini.
Itupun berdasarkan keihklasan dari agama benar yang diyakini, bukan paksaan dan kepura-puraan. Kami berdua memang punya rasa itu, tapi menunjukkanya dengan kewajaran sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh agama.
Menyingkat cerita ini…
Hubungan ku dengan dik rukmana terus berlanjut hingga kami selesai menamatkan pendidikan di pesantren. Kami kerap berkirim-kirim surat melalui Bi Inah, dan rutin berjumpa di taman pada hari minggu. Di luar itu, kami bisa berjumpa pada saat acara interen pesantren yang memperbolehkan pertemuan antara santri perempuan dan laki-laki. Kami juga sering bertemu di desa jika bersama-sama sedang libur, pasti di saat itu aku menyempatkan diri bertamu ke rumahnya.
Hubungan kami bukan lagi menjadi hal yang ditutup-tutupi diantara santri-santri lain, apalagi beberapa diantara kawan-kawanku juga sama, ada yang memiliki hubungan dengan santri perempuan lainya.
Disebalik itu, kalian pasti hanya mengetahui kisah hubungan kami ini sebagai hal yang membosankan, tidak menarik, jika diibaratkan dengan istilah pacaran pemuda-pemudi zaman sekarang. Dapat menjadi anggapan hanya sebatas inilah kisah romantis dari kebanyakan santri.
Tapi apakah itu patut dipermasalahkan, sedangkan sebenarnya bukan tentang itu yang ingin kuangkat dalam cerita ini. Kalaupun iya, hanya sedikit kisah pemanis saja. Aku justru lebih suka membiarkan kisah tentang pesantren lebih dikenal dengan sejarahnya yang melahirkan para santri teladan, mereka yang faham dan fasih tentang ajaran agama Islam demi kepentingan umat manusia.
Lagipula, untuk kisah masa muda kami yang seperti itu, takaran maknanya tetap hanya hati kami yang bisa merasakanya. Seperti juga kalian yang pernah atau sedang mengalaminya. Hanya saja jika ada perbedaan, itu terletak pada keyakinan orang yang menentukan pilihan atas hubungan itu, di atas jalan yang benar atau malah tidak sesuai dengan ajaran agama.
Selain itu, selama dipesantren, kisahku tidak banyak menceritakan kawan-kawan yang lain. Hanya beberapa nama saja yang pernah kusebutkan. Begitupun ada seseorang yang dalam awal cerita ini juga tidak terlalu penting mengambil peran. Dia hanya dikisahkan sebagai santri yang dikenal nakal dalam asrama, seorang yang termasuk kawan sekamarku.
Belum keceritakan bahwa dia suka membantah terhadap siapa saja di pesantren ini, selain kerap juga membuat gaduh di kamar asrama kami. Tapi dia salah satu kawan baikku, termasuk salah satu santri pandai di pesantren ini. Dialah Safei Nasrullah.
Aku akan menceritakan awal runutan kisah ini. Jika diibaratkan sekolah umum lain, itu terjadi ketika kami sudah mulai memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama di pesantren. Pada tingkatan ini, artinya para santri sudah mulai memasuki tahap kedewasaan, baik secara usia maupun pemikiran.
Dengan sendirinya kami sadar untuk mulai berusaha mamahami ilmu yang diajarkan di pesantren secara lebih mendalam, khususnya tentang agama. Banyak diantara kami yang sudah menunjukkan jati diri sebagai seorang santri berdasarkan cara pikir yang diyakini masing-masing. Secara gamblang dapat dikatakan, diantara para santri mulai muncul rasa fanatik yang berlebihan, dan aku lebih ingin mengatakan itu sebagai rasa cinta kami yang mendalam terhadap Islam.
Ditambah lagi dengan situasi pada saat itu, dimana berita-berita media masa banyak yang memberitakan tentang permasalahan yang terjadi sehubungan dengan keterkaitan umat muslim. Para ustad di pesantren ini juga sering menyampaikan pesan-pesan dan amanat-amanat yang dihubungkan dengan permasalahan itu.
Jika diibaratkan waktu itu aku duduk di kelas dua sekolah menengah petama, pesantren kami pernah terkena imbasnya, dicurigai sebagai tempat yang mengajarkan pendidikan Islam secara salah.
Ada seorang ustad pesantren kami, ustad Mahmudi, yang dituduh pemerintah sebagai orang penting dalam jaringan Internasional. Organisasi itu telah mendunia dan salah satu yang menjadi akar masalah yang terjadi di negeri ini. Anggotanya dianggap sebagai biang terror yang telah buruk mencitrakan umat muslim di mata umat lain. Anehnya, tindakan mereka selalu mengatasnamakan kebenaran agama Islam.
Kebenaran apa yang mereka sampaikan jika itu melalui tindakan meneror manusia lain, mengancurkan segala asset kepentingan umum. Sangat kejam karena mereka juga tidak takut untuk menghabisi nyawa manusia lain dengan cara yang sangat brutal. Tubuh-tubuh meregang nyawa dengan hancur terluluh lantak diantara puing-puing benda sekitar yang ikut hancur, tak perduli siapa dan mengapa yang harus menjadi korban.
Yang aku tahu Agamaku bahkan seluruh agama yang ada di dunia ini tak pernah mengajarkan itu, maka mereka tidak pantas membawa-bawa ajaran agama dalam tindakan mereka. Menurutku itu murni kejahatan dengan alasan yang hanya diketahui oleh mereka sendiri. Tindakan mereka salah dan InsyaAllah takkan pernah mendapat ridho dari Allah SWT.
Secara tidak langsung itu juga membuat citra buruk bagi pesantren dan kami sebagai santri yang menuntut ilmu di dalamnya. Ustad Mahmudi sempat ditangkap, namun dibebaskan kembali karena petugas tidak mendapat cukup bukti.
Kami juga sangat tidak mempercayai hal itu. Ustad seperti dia, yang selama ini kami kenal sangat ramah terhadap siapa saja, termasuk ustad terbaik yang ada di pesantren ini, tidak pernah kami melihat gerak gerik dia yang mencurigakan dan bersikap keras terhadap para santri.
Apa mungkin seorang ustad seperti dia bisa dituduh menjadi otak dari tindakan yang sama sekali tidak manusiawi. Satu hal lagi, dia ustad yang akhir-ahir ini sangat dekat dengan Safei Nasrullah. Dan dari kejadian itu sempat membuat safei bersedih dan tiba-tiba menjadi pendiam. Meski akhinrya ustad mahmudi dibebaskan kembali, tetap ada yang berubah pada diri Safei.
Dia tidak lagi suka membantah dan membuat gaduh, predikat santri nakal seakan pudar dengan sendirinya, dia semakin rajin mengaji dan mengkaji ajaran Islam bersama ustad Mahmudi. Selain dia, ada beberapa kawanku yang juga ikut dalam pengajian itu.
Hal seperti itu sudah biasa di pesantren ini, para santri membuat kelompok pengajian dengan seorang ustad yang mereka pilih. Maka tentu hal ini tidak dilarang dalam pesantren kami, karena apa yang dikaji dan disampaikan juga sesuai dengan ajaran agama Islam. Lagipula tidak diketemukan bukti bahwa ustad Mahmudi pantas dinyatakan bersalah.
Tapi aku tidak ikut kelompok pengajian itu, meski banyak diantara mereka adalah kawan-kawan dekatku, seperti Safei Nasrullah. Aku sering diajak, namun ada rasa enggan setelah kejadian itu. Entah kenapa, tapi aku hanya meyakini perasaan hatiku saja.
Sepuluh hari menjelang ujian terakhir di pesantren ini, tak terasa sebentar lagi penentuan kelulusan kami, dan ada berita duka yang menimpa SafeI. Ayahnya meninggal karena sakit jantung.
Berita itu sangat mengguncang perasaannya, dan yang lebih memilukan hati karena safei tidak bisa pulang ke kampungnya yang jauh di timur negeri ini, sedangkan ujian akhir penentuan kelulusan kami hanya tinggal menghitung hari. Aku melihat ada ketabahan luar biasa dari seorang kawanku ini, meski disebalik perasaan hatinya itu sedang terguncang hebat, akibat ditinggalkan dan tidak bisa melihat ayah yang dicintainya untuk terakhir kali.
Kami berhasil menamatkan pendidikan di pesantren ini, seluruh kawan-kawan seangkatanku dinyatan lulus. Semua yang telah lulus dijemput dan pulang kembali ke rumah masing-masing. Kecuali safei yang tetap ingin tinggal di pesantren. Mungkin setelah lulus, pesantren dapat menerima dia sebagai salah satu guru, apalagi ilmu yang telah dia dapat sudah lumayan cukup untuk mengajarkan ilmu agama dasar bagi santri yang akan baru masuk. Mungkin disini dia akan tinggal dan terus belajar dengan ustad Mahmudi.
Ayah yang menjadi satu-satunya orang tua yang tersisa dalam hidup Safei telah dipanggil, adik-adiknya harus tinggal bersama kakaknya yang pertama. Mungkin Safei tidak ingin tambah merepotkan, dia ingin mandiri. Berita kematian ayahnya itu membuat dia semakin berubah, tidak lagi seperti safei yang dulu.
Keinginanya yang bertambah kuat untuk semakin memperdalam agama membulatkan tekadnya untuk tetap tinggal di pesantren bersama ustad Mahmudi. Namun sebenarnya ada keraguanku, apalagi semenjak permasalahan itu.
Meski ustad Mahmudi adalah ustad yang baik, tapi sepertinya dia berbeda dengan ustad yang lain, baik dari cara bersikap atau ajaran yang diajrakan olehnya. Tapi ya sudahlah, siapalah aku yang bisa memperkirakan semua itu.
Sampai disitu saja kehidupanku sebagai seorang santri, karena akhirnya au juga harus kembali ke desa, pulang ke rumah dan entah kapan akan ke pesantren ini lagi. Begitu juga dengan rukmana.
9
Setelah lulus dari pesantren, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan membantu ayah di sawah. Usianya semakin lanjut, rasanya dia sudah tidak harus bekerja yang terlalu berat lagi. Dia juga hanya mempunyai aku sebagai anak semata wayangnya.
Tapi sejak aku di pesantren hingga sekarang, ada seorang pemuda, susno namanya, seorang sepupu jauhku yang bersedia membantu ayah dan pekerjaanya yang lain. Susno ditinggal pergi oleh istrinya tanpa seorang anak, tak ada lagi keluarga yang paling dekat selain ayah, hingga dia memutuskan untuk tinggal bersama kami.
Ayah merasa sangat terbantu, orangnya ulet dan jujur, namun pemalu. Akupun senang dengan kehadiran sepupuku ini di rumah. Kadang ayah memberi dia upah dari hasil sawah, yang digunakan untuk biaya hidup sehari-harinya. Kini ayah sedang mencarikan wanita yang sesuai untuk dijadikan istri olehnya.
Aku juga sudah mempunyai aktifitas baru yang telah menjadi kewajibanku bersama ayah di desa ini, tiap selesai maghrib hingga menjelang Isya mengajarkan anak-anak desa ini mengaji. Sebenarnya aku dan ayah juga mendapat upah dari warga masyarakat, tapi itu hanya mereka berikan seihklasnya dan tidak terlalu kami harapkan jika hanya akan mengurangi nilai ibadah kami.
Aku kini telah dikenal sebagai ustad muda di desaku, dan yang ada dalam pikiranku sekarang adalah ingin membuat pesantren kecil-kecilan bagi mereka tiap minggunya. InsyaAllah ilmu yang pernah kudapatkan dipesantren tidak akan kusia-siakan. Semuanya tidak akan ada arti bila tidak dibagi kepada yang lain.
Usia Ibuku juga sudah semakin lanjut, tapi dia masih tangkas mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hanya satu yang terus ada dalam pikiranya sekarang ini, kapan aku akan berumah tangga dan dapat memberikanya cucu yang akan meramaikan rumah kami. Perbicangan tentang itu selalu ada ketika kami sedang berkumpul malam harinya.
Bertandang ke rumah Rukmana juga bukan hal yang baru untukku. Keluarganya dan keluargaku sudah merestui hubungan kami. Meski itu bukan berarti aku terlalu menunjukkan hubungan kami terhadap warga sekitar. Aku ingin membiarkan mereka tahu secara sewajarnya.
Rukmana juga menjadi ustadzah di desanya, mengajarkan anak-anak perempuan mengaji dan kerap sebagai pembicara di acara pengajian ibu-ibu. Pastinya yang selalu menjadi pertanyaan dari kedua keluarga kami adalah kapan hubungan kami ini akan diresmikan, supaya menjadi halal di mata masyarakat dan diridhoi oleh Allah SWT.
Aku dan Rukmana memang telah mengikrarkan janji, apalagi telah didapat persetujuan. Sudah ada pembicaraan antara keluarga kami. Dalam agama pernikahan memang harus segera dilangsungkan jika kedua pasangan telah merasa mampu lahir dan batin.
InsyaAllah aku memang berjodoh dengan wanita berjilbab yang baik dan kukenal sejak di pesantren dulu, dia yang setia dan taat beribadah, dik Rukmana.
Tapi, meski kami sudah yakin akan perasaan kami, aku merasa masih ada satu syarat lagi agar aku bisa dikatakan mampu untuk masuk ke jenjang itu. Adalah kesadaran yang kuyakini secara dewasa,bahwa pernikahan ini sebaiknya terjadi jika aku sudah mempunyai pekerjaan. Tidak perlu mapan, tapi setidaknya mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada bekerja di sawah dan mengharap upah dari kewajibanku sebagai seorang ustad yang seharusnya dilakukan dengan ihklas.
Hubungan kami cukup lama hingga enam tahun lamanya, pembicaraan antara dua keluarga juga sudah mulai serius, akhirnya akupun memberanikan diri untuk mengutarakan niatku merantau ke kota. Aku meminta waktu kepada dik Rukmana dan kedua keluarga kami agar aku diberi kesempatan mencari kerja di kota.
Awalnya susah mencari pekerjaan dengan modal pendidikan yang kumiliki, apalagi ijazah pesantren hanya dirasa pantas menjadi guru agama saja. Tapi, atas ijin Alllah akhirnya aku diterima bekerja sebagai pelayan hotel yang sekaligus restoran di dalamnya. Hotel itu termasuk salah satu hotel besar di kota.
Sedikit kebaikan yang kuterima dari pemilik hotel itu, dengan ijazah pesantrenku, dia tahu bahwa aku pernah menjadi seorang santri dan dianggap bisa jujur dalam mengemban tanggung jawab kerja nantinya. Alhamdulillah jika pendapat seperti itu yang kuterima dengan pernah menjadi seorang santri.
Awalnya aku sedikit canggung berkerja di hotel itu. Belum pernah aku bekerja sebagai pelayan, merapikan kamar hotel, melayani tamu restoran, membantu di dapur hotel, atau apa saja yang diperintahkan oleh atasan. Tak mengapa asalkan halal, dan bukankah dengan melayani aku sama saja menolong, jika secara ihklas itu juga merupakan ibadah.
Dari awal aku sudah berniat agar penghasilan yang kudapat dari bekerja di hotel ini sedikit demi sedikit harus bisa ditabung. Tiga bulan setelah bekerja, aku masih mengrimkan surat untuk kedua orang tuaku dan dik Rukmana, meminta agar dia mau sedikit lagi bersabar. Aku sudah bisa menyewa sebuah kontrakan murah yang cukuplah untuk ditempati jika kami menikah nanti.
Bekerja di kota dan memboyong dia kesini memang sudah rencanaku dari awal. Pernikahan kami nantinya juga tidak perlu dirayakan secara mewah, cukuplah seadanya dengan dihadiri oleh warga desa, kerabat dan kawan dekatku. Dengan ihktiar, InsyaAllah dalam waktu yang sebentar lagi aku bisa mendapatkan biaya untuk itu.
Sekarang sudah enam bulan aku di kota, lingkungan dan orang-orang sekitar membuat aku semakin betah dengan pekerjaan dan tempat tinggalku. Dan sepertinya kinilah saatnya…
Pemilik restoran tempatku bekerja, mau mengerti dan memberikan aku cuti selama seminggu. Aku sudah mengutarakan niatku itu kepada atasan dari jauh hari, dan beberapa minggu sebelumnya kabar itu sudah kusampaikan kepada kedua orang tuaku di desa. Mereka membutuhkan kepastian itu agar segera membuat persiapan untuk acara pernikahanku.
Akhirnya aku pulang ke desa dan melangsungkan pernikahan dengan rukmana. Doaku terkabul, wanita yang pertama dan terakhir kucintai itu dapat menjadi jodohku. Teringat kembali masa-masa di pesantren dulu, surat-surat yang sering kukirimkan secara sembunyi-sembunyi melalui seorang ibu yang jasanya takkan perah kulupakan.
Bi Inah juga hadir ke acara pernikahan kami, dia menangis terharu meilhat kami berdua bersanding di pelaminan. Ada beberapa kawan-kawan baik semasa di pesantren yang juga turut hadir, tapi itu masih kurang karena tanpa kehadiran Safei. Menurut cerita mereka, safei sudah setahun lalu tidak menjadi guru di pesantren, dia pergi bersama ustad Mahmudi. Sepertinya mereka mendapat pekerjaan lain di luar pesantren. Tapi tidak ada yang tahu mereka kemana.
10
Dalam shalat aku selalu berdoa, agar Allah membimbingku. Meski masih keluarga kecil, aku akan berusaha membuat istriku bahagia, hingga InyaAllah tercipta kehidupan dalam keluarga kami yang sakinah dan mawardah. Amien.
Setelah Rukmana kuboyong ke kota, aku kembali melanjutkan pekerjaanku sebagai pelayan hotel. Dirumah, Rukmana hanya menjadi Ibu rumah tangga biasa, tapi terkadang dia juga menerima cucian dari tetangga. Jika tabungan kami sudah mencukupi, aku juga ingin membeli sebuah mesin jahit, menerima jahitan akan jadi pekerjaan sambilan lain yang ingin dikerjakan Rukmana nanti.
Agama tetaplah harus menjadi tonggak dalam kehidupan kami. Segala kesederhanaan yang ada dalam keseharian akan kami syukuri. Hingga satu setengah tahun kemudian, akhirnya kami dikaruniai seorang anak perempuan, aku memberi dia nama Aisyah putrini Ihksan. Nama yang kupilih menyerupai nama istri Rosulullah.
11
Pagi ini indah seperti biasanya. Di ruangan tamu, sambil menyeruput secangkir kopi hangat, kupangku Aisyah, putri semata wayangku yang sedang asyik bermain dengan boneka yang kuberikan beberapa hari yang lalu, itu hadiah ulang tahunya. Wanita yang paling kucintai juga duduk disampingku, merekah senyum kami ketika melihat tingkah lucu putri kami.
Tidak dapat pula kusembunyikan keceriaan akhir-akhir ini, kecintaan tiada tara pada isteriku semakin bertambah setelah kutahu dia sedang hamil untuk yang kedua kalinya. Kami sedang menanti kelahiran satu lagi benih cinta dalam keluarga kecil kami.
Begitulah kebiasaan yang wajar terlihat dikala pagi sebelum aku berangkat kerja. Berusaha menyempatkan diri bercengkrama bersama, bercerita sejenak tentang apa saja yang mungkin akan dilewati hari ini.
Mereka berdualah cinta sekaligus asaku, selayaknya aku yang tulus mereka cintai dan tempat menumpukan harapan. Meskipun aku hanyalah seorang karyawan restoran yang berpenghasilan seadanya.
Pagi ini, akupun tidak memiliki firasat apapun tentang kejadian yang akan kulalui. Karena seperti biasa, aku berusaha membiarkan hidup mengalir sesuai kehendaknya. Bagi orang biasa sepertiku, hanya doa dan kerja keras yang menjadi modal untuk dapat bertahan hidup.
Setelah berkeluarga dan menjadi seorang ayah, aku giat berusaha, kulakukan pekerjaan dengan ihklas dan sungguh-sungguh, semua itu demi menafkahi keluarga yang kucintai. Menjadi tulang punggung keluarga adalah kewajiban dan kebahagianku, selain tersirat pula keinginan untuk dapat membahagiakan kedua orang tua di usia senja mereka. Sesekali ayah dan ibu berkunjung ke rumahku ini.
Kalau boleh bercerita, dalam waktu dekat ini, yang paling kunanti hanyalah satu. Atas izin Yang Maha Kuasa, maka akan tiba saat yang kunantikan itu. Andai saja waktu dapat bergulir cepat, ingin aku memohon segera hadir saat itu, dimana aku dapat menyaksikan kehadiran satu lagi benih cintaku di muka bumi ini.
Andai saja….
Dilokasi yang berbeda…
Pagi itu, dia tampak berkonsentrasi atas apa yang sedang dikerjakanya. Beberapa komponen keelektrikan yang berbeda ukuran dan jenisnya, berutas-utas kabel berwarna-warni bertebaran di lantai.
Sepertinya dia begitu cekatan merangkai komponen-komponen itu menjadi satu kesatuan peralatan yang fungsinya diatur menggunakan jam digital. Entahlah, hanya dia yang benar-benar paham apa yang sedang dikerjakan.
Lelaki itu sedang berada dalam kamar hotel tempat Ihksan bekerja. Sudah sekitar tiga bulan dia menginap, dan menurut rencana hari ini adalah hari terakhirnya di sini.
Semua barang-barang bawaan telah rapi dimasukkan ke dalam dua buah tas yang direbahkan di atas ranjang. Masih ada satu pekerjaan lagi yang harus diselesaikan olehnya, peralatan itu sepertinya begitu penting untuk segera dirangkai sebelum keberangkatannya dari hotel ini.
Penampilanya kali ini seperti biasanya, cukup menarik untuk dipandang. Raut wajah yang tetap tenang, menandakan kesopanan budi pekerti dan halus tutur katanya. Prasangka yang sudah menjadi kelumrahan masyarakat di negeri ini, untuk menilai seseorang dari penampilan luarnya terlebih dahulu.
Ada sekelumit sejarah yang patut diketahui tentang dia yang belum diceritakan dalam kisah ini. Cukup lama dia pergi meninggalkan keluarganya yang tersisa, kawan-kawan, tanpa kabar berita dan dengan sebuah alasan yang hingga sekarang hanya dia yang tahu.
Sempat dia sekali berpamitan pada keluarganya, namun itu hanya melalui surat. Dan karena begitu besar keyakinan keluarga padanya, membuat mereka rela dan mendukung niat lelaki itu untuk mengembara demi niat yang tertanam dalam hati.
Semenjak lulus dari pesantren, dia begitu dalam menuntut ilmu agama, dan entah dimana keberadaan seorang ustad yang pernah menjadi gurunya itu, dia juga cukup berperan dengan perubahan lelaki itu sekarang ini.
Ustad itu yang menanamkan pemahaman, atau lebih tepatnya dikatakan orang yang menjadi penyebab lelaki tadi terpahamkan. Pemahaman yang mengantarkan dia menemukan kawan, kelompok yang sama-sama memperjuangakan apa yang mereka pahami dan benarkan sendiri tentang keyakinan.
Di hotel tempat aku bekerja ini, hari masih sangat pagi, aku baru saja sampai dan belum banyak pengujung yang datang. Namun sebentar lagi, seperti biasanya pada saat penghuni hotel mulai beranjak melakukan aktifitas, kebanyakan dari mereka akan sarapan di restoran ini.
Apalagi pagi hari ini merupakan agenda rutin mingguan dari sekelompok pengusaha penting Negara. Jika mereka mengadakan pertemuan dipagi hari, itu sekaligus untuk sarapan di restoran ini.
Tentu saja, merupakan keharusan jika keamanan dalam hotel sekaligus restoran ini sangat diperhatikan, apalagi hotel tempatku bekerja merupakan salah satu yang paling mewah, maka sewajarnya jika pengunjungnya pun sebagian besar adalah orang-orang penting. Tidak sedikit juga yang berasal dari luar negeri.
Ketika restoran sudah mulai ramai oleh pengunjung, akupun mulai disibukkan dengan pekerjaan rutin, melayani dengan ramah para pengunjung yang ingin mendapatkan sarapan pagi.
Para pengusaha penting itu juga sudah menempati meja khusus yang sengaja disediakan. Aku berjalan menghampiri salah seorang dari mereka yang sudah cukup kukenal, bos besar pemilik salah satu perusahaan termuka di negeri ini. Terlebih dahulu kuawali dengan senyum dan tegur sapa, sebelum melaksanakan tugasku untuk mencatat pesanan yang mereka inginkan.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, sosok seorang lelaki berjalan perlahan memasuki pintu penghubung antara hotel dan restoran. Sambil menenteng sebuah tas dan menyandang ransel di pundaknya, dia berjalan semakin mendekat.
Ternyata, jadi juga dia check out pagi ini, dan mungkin saja dia ingin terlebih dahulu sarapan sebelum pergi. Aku mengenal dia, kawan lamaku di pesantren dulu, Safei.
Wajah yang memang sudah tidak asing bagiku, meski sebelumnya aku sempat terkejut pada saat perjumpaan kami setelah sangat lama tidak bertemu, dia sudah menginap sekaligus menjadi pengunjung tetap di restoran ini selama tiga bulan terakhir.
Aku bahkan sudah hafal kebiasaanya setiap datang, setelah memesan makanan dan minuman, dia langsung memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, mungkin agar dapat melihat pemandangan yang terlihat di luar restoran. Selain itu, dia juga kerap mengamati keadaan sekitar di dalam restoran.
Penampilanya yang sekarang kelihatan nyentrik, kami sempat bercerita tentang kenangan kami dulu ketika masih menjadi santri di pesantren. Namun, dia sepertinya bukan Safei yang dulu pernah kukenal, sekarang dia sudah jarang bicara, menjadi lebih ramah dan banyak tersenyum dalam setiap pembicaraan kami.
Beberapa hari yang lalu, ketika dia sedang menuggu datangnya pesanan makan siang di meja yang biasa dia tempati, aku melihat dia sedang memandang sebuah foto, ada wajah seorang gadis kecil berkerudung putih dalam bingkai foto itu.
Pembicaraan pun terjalin, akhirnya aku tahu yang di foto itu adalah anak gadisnya yang sudah lama tidak dijumpai. Namun entah kapan dan dengan siapa dia menikah?, aku hanyalah seorang kawan lama yang tidak tahu bagaimana kehidupanya setelah lulus dari pesantren.
Kemudian mulailah aku juga bercerita tentang kehidupan dan keluargaku, tentang anak gadisku yang sepertinya juga seumuran dengan anaknya. Perbincangan selanjutnya, dia kembali tidak banyak bicara, lebih banyak menyimak dan mengguratkan senyuman ketika aku bercerita.
Tapi ada yang menarik dalam perbincangan waktu itu. Ketika makan siang yang dia pesan telah tiba, dia ingin mengakhiri pembicaraan kami sambil mengeluarkan sebuah boneka dari saku jaketnya yang berukuran cukup besar. Boneka itu diberikan kepadaku, “Berikan ini sebagai hadiah untuk putri kecil mu”.
Serba kebetulan karena ternyata beberapa hari lagi anakku memang akan berulang tahun, dan boneka itu akan kuberikan sebagai hadiah ulang tahunya. Begitulah aku menceritakan tentang lelaki itu, dia yang merupakan kawan lamaku, namun sekarang aku menganggap dia sedikit misterius.
Saat ini aku menghampirinya, dia sedang berjalan menuju ke arah meja tempat diadakanya pertemuan oleh para pengusaha itu. Di meja pertemuan, tampaknya si bos yang kukenal tidak berada di tempatnya, terakhir aku melihat dia berjalan kearah toilet.
Namun, selang beberapa detik setelah itu, aku tidak ingat kejadian selanjutnya !.
Aku baru tersentak sadar, ketika kepala bagian kananku terasa sangat ngilu, seperti terkena hantaman benda keras yang sangat kuat. Ketika membuka mata, terkejut melihat seluruh bajuku bersimbah darah, dan aku terkapar di samping trotoar. Aku tahu tempat ini adalah jalan di depan restoran aku bekerja, tetapi kenapa aku disini ?.
Seluruh anggota tubuhku yang lain seperti mati rasa, kedua tangan dan kakiku tak dapat bergerak, seperti tidak melekat di tubuhku lagi. Aku belum sempat memastikan apa yang terjadi pada tubuhku, sebelum akhirya kembali tidak sadar. Hanya sayup-sayup mendengar suara seseorang sebelum aku sepenuhnya tak sadarkan diri, itu adalah suara si bos tadi. “Restoran telah di bom”.
Aku menjadi korban dari pemahaman orang yang mengaku seiman, kawan baikku sendiri. Kami meyakini kebenaran suci dari agama yang sama, namun kenapa nyawaku direnggut oleh saudaraku sendiri dengan satu alasan yang katanya ajaran agama. Benarkah itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar