My Adsense

17 Jan 2009

Hafalan Shalat Delisa


Aku sudah sering menitikan air mata ketika membaca berbagai cerita yang mengguratkan kisah berkesan di relung hati. Entah itu kisah bertemakan roman ataupun alur yang menggelayutkan pilu di hati. Tapi aku memberikan penilaian yang lain untuk novel “ Hafalan Shalat Delisa ”. Secara umum, ketika aku selesai membaca kisah ini, tergugahnya perasaanku mungkin bisa diwakilkan secara lisan dan sempurna melalui pendapat orang lain yang sudah terkenal dalam dunia sastra.

Seperti Habiburahman El Shirazy yang memandang bahwa kisah ini ditulis dalam kesadaran beribadah. Novel ini mengajak kita mencintai kehidupan, kematian, mencintai anugerah dan musibah, dan yang tidak kalah penting adalah mencintai hidayah.

Sungguhlah tepat, jika pendapat penulis ternama diatas, dikatakan sudah cukup mendeskripsikan makna yang dipetik setelah membaca novel “Hafalan Shalat Delisa”. Akan tetapi, tidak ada salahnya ika saya mencoba menilai kisah ini berdasarkan ‘rasa’ yang terasa sendiri ketika membaca. Karena bukankah kita harus mempercayai resensi sebuah novel , hanya setelah kita membaca tuntas isi novel tersebut.

Novel ini, menggiring aku ke masa kecil ku dulu. Kenangan indah, detik-detik kebersamaan dalam keluarga yang kucintai. Jika Novel “Hafalan Shalat Delisa” menceritakan sebuah keluarga yang hidup secara sederhana, penuh kebahagiaan dan sarat akan nilai Islami, seperti itu pula yang kuingat tentang keluargaku.

Dalam kisah ini, aku membayangkan sisi kehidupan dan kharakter sosok Delisa yang sangat mirip dengan adik bungsuku. Dia adalah peri kecil yang pandai dan rupawan, selalu menjadi sumber keceriaan dalam keluarga kami. Sifat ingin tahu diiringi pertanyaan manja Delisa, mengingatkan aku kembali kepada adikku yang kadang sering membuat aku kelimpungan untuk menjawab segala pertanyaanya.

Delisa rajin mengaji, mengingatkan masa kecil ku bersama teman seperjuangan di kota itu, yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain kami dengan berada di surau, serta mengingatkan aku pada kegiatan mengantarkan adikku untuk pergi mengaji. Layaknya sikap seorang kakak yang mencoba bijak dengan keinginan tulus, agar adiknya dapat mengerti dan mencintai Islam.

Orang-orang yang paling kucintai di dunia ini lah yang menjadi bayangan kenangan ketika membaca Novel “Hafalan Shalat Delisa”, karena aku yang jauh disini begitu menyimpan kerinduan yang menggebu-gebu terhadap rumah, keluarga dan Adik ku.

Mungkin persepsiku ini masih terkesan sensitife dan terlalu sederhana untuk mengungkapkan semuanya, dinilai terlalu menggelayut dalam bayangan sosok orang-orang yang kusayangi, seperti keluarga dan adik ku. Sehingga terkesan memaksakan diri untuk terbawa pilu, padahal aku baru membaca beberapa lembar awalnya saja.

Untuk itu, terus saja kubaca lembaran-lembaran selanjutnya dari kisah ini, aku ingin tahu ada cerita apa lagi yang masih tersembunyi. Awalnya, aku memang telah tertarik dan yakin novel ini memang bermakna.

Dan sekarang, ternyata memang benar, alur cerita ini terus saja membawa aku ke dalam bayangan tentang rasa kasih sayang yang semakin dalam terhadap orang sekelilingku, bukan lagi hanya keluarga dan Adik ku, tetapi yang terutama pada Islam, kehidupan dan kalian semua yang bernyawa. Karena kisah ini bukan hanya beralur cerita tentang kesederhanaan dan kekeluargaan, melainkan juga menemukan arti hidup setelah memahami keEsaan Ilahi, diiringi kesabaran menerima cobaan walaupun derita bagai kiamat yang meluluhlantakkan.

Awalnya yang membuat aku benar-benar terhanyut dalam perasaan kenangan kasih sayang adalah ketika Delisa mengucapkan “Delisa sayang Umi karena Allah”. Ya Allah, kalimat itu sungguh indah. Kalimat itu yang membuat hatiku meleleh dan melebur seketika dalam perasaan cintaku kepada Ibu.

Apakah kalimat itu terlalu indah, sehingga sampai detik ini pun aku belum pernah mengucapkan kalimat itu ke Ibu. Walaupun aku tahu, itu tak kan mengurangi setitik pun rasa cinta Ibu kepada diriku. Tapi, apa susahnya untuk mengucapkan secara langsung kalimat itu pada ibu ?. Bukankah dengan mengatakanya langsung, setidaknya dapat melepaskan rasa hina ku karena limpahan dosa yang sudah kuperbuat terhadap Ibu?.

Dengan berkata langung disertai niat yang tulus, sesungguhnya adalah perjanjian untuk terus membahagiakan Ibu, tidak akan mengulangi dosa yang menyakiti perasaan Ibu. Kata indah itu, tidak hanya harus direnungi oleh diriku, tetapi juga kalian, saudara-saudariku yang dilahirkan dari rahim suci Ibu.

Delisa mungil, begitu antusias dan berusaha agar dapat menghafal bacaan shalat. Dengan usia sekecil itu, dia sudah diberi hidayah untuk mencintai Allah melalui Islam. Sedangkan kita dengan usia yang telah kita lalui, bukanya susah untuk menghafal, bahkan ada yang sangat menghafal, tapi sengaja untuk melupakan shalat.

Seandainya kita mau berpikir, Allah maha memberi kemudahan pada setiap hambanya dalam beribadah dan menjalankan Islam. “Shalatlah “! Kalian tetap bisa shalat meski tak mengerti bacaanya, meski tak tahu bacaanya. Allah lebih dari mengerti, maha mendengarkan, maha melihat. Allah-lah yang menciptakan bahasa-bahasa, bagaimana mungkin ia akan kesulitan untuk mengerti “.

Kemudian, aku terus saja terbawa arus yang berputar dalam alur kisah. Hingga sampailah pada tahap dimana ketentraman dalam keluarga Delisa hancur, keceriaan yang dinaungi ketulusan dalam beribadah diluluhlantakkan oleh bencana Tsunami. Menjadi cikal bakal penemuan makna hidup yang akan dikisahkan dalam novel ini. Adalah keceriaan, kesabaran dan keteguhan hati Delisa dan tokoh-tokoh lain yang ada dalam cerita, menjadi makna sebuah cerita yang hampir sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Dan cerita ini akan menuju pada makna pencarian akan arti hidup sebenarnya yang dilandasi Islam sebagai agama sebenarnya.

Kalian hanya akan tergugah seperti atau bahkan bisa lebih dari saya, setelah membaca novel “Hafalan Shalat Delisa”. Tapi, karena hanya ingin menulis, saya coba guratkan makna-makna yang terkandung dalam novel ini. Lewat berbagai kata tanya penulis terhadap Allah, dikarenakan jiwa yang semakin dekat akan kehadiranya….

Tidak ada komentar: