Selama Tuhan pemilik langit dan bumi masih memberikan kita nafas, dan selama Tuhan yang maha pemberi ilmu masih memberikan kita ilmu pengetahuan, maka janganlah ragu untuk menulis. Tuliskan saja, dan editlah belakangan. Dengan begitu, kamupun menulis tanpa beban. PLONG!. Lega rasanya..
26 Mei 2009
kenapa kok nge-blog harus pakai hati
Ketika ditanya, kenapa kok nge-blog harus pakai hati? Sementara sekarang orang bisa tinggal pasang plug-in dan isi blog terbarui secara otomatis tanpa repot.
Karena “Dengan membuat sendiri setiap posting, mengumpulkan setiap remah ide menjadi bangunan utuh, kita bisa belajar banyak tentang proses. Proses memberi kita kesalahan, dan pelajaran. Ia menempa kita menjadi seorang blogger yang lebih baik, lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.” Itu juga akan menjadi pengalaman kita sebagai Blogger.
Walau sering diremehkan, tak terkatakan jasa nge-blog bagi pengasahan skill untuk menjadi seorang penulis.
Menulis bagaikan otot yang perlu dilatih sedikit-sedikit tapi konstan. Bagi yang ingin badannya sebesar Ade Rai, jangan mimpi bisa minum ramuan ajaib dan ototnya membuncah dalam semalam. Dia harus sering-sering ke gym dan berlatih dengan tekun. Bagi saya, ibarat langganan nge-gym, blog adalah sasana berlatih menulis yang nyaman dan ideal.
25 Mei 2009
Proses mencapai visi seorang Pemimpin Sejati
Jika melihat catatan sejarah, ada beberapa kesamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh besar pemimpin dunia hingga mengantarkan Negaranya mencapai kejayaan . Diantaranya adalah, para pemimpin tersebut memiliki visi yang besar dan jelas dalam memimpin, mereka juga konstituen secara tulus dan antusias terhadap visi tersebut.
Tentunya semua kejayaan tersebut tidak datang begitu saja, perlu ada tahapan yang berkesinambungan. Dari hal itu disimpulkan bahwa, jiwa seorang pemimpin terlihat dari bagaimana dia berproses dalam mencapai tujuan, hingga tercipta visi yang akan diembanya pada masa yang akan datang. Dalam proses tersebut, seorang pemimpin sejati dapat melihat lebih banyak dari pada yang dilihat orang lain, dia juga melihat lebih jauh dari pada yang dilihat orang lain, dan terlebih dahulu melihat sebelum orang lain melihat.
Seorang pemimpin tidak hanya diartikan sebagai pemegang kekuasaan penuh atas sebuah keputusan, tetapi seseorang yang telah terlebih dahulu mengalami proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam dirinya. Karena untuk menjadi seorang pemimpin haruslah melalui proses yang sangat panjang, apalagi untuk memimpin sebuah Negara yang terdiri dari beraneka ragam suku dan budaya.
Berawal dari proses atau penempaan itu, akhirnya tercipta kedamaian dalam diri, serta terbentuk karakter yang kokoh. Kemudian, setiap ucapan dan tindakanya memberikan pengaruh kepada orang banyak. Pada akhirnya, ketika keberadaannya sebagai pemimpin dapat mendorong perubahan masa depan ke arah yang lebih baik, pada saat itu diyakini bahwa proses selama ini tidak sia-sia dan bukti kepemimpinan sejati telah terukir.
Saya berharap, yang terpilih menjadi pemimpin bangsa ini bukanlah orang yang sekedar mengejar kekuasaan, tetapi seorang pribadi yang dari dalam dirinya memang telah tumbuh dan berkembang jiwa seorang pemimpin sejati. Menjadi seorang pemimpin sejati berarti, senantiasa berproses dan bertumbuh untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian Visi dan Misi. Semua hal itu tidak lain demi kemajuan bangsa dan kemashalatan masyarakat banyak.
22 Mei 2009
Saya bukanlah "Penggila Novel"
Saya bukanlah "Penggila Novel", karena hanya beberapa Novel yang pernah saya baca. Bahkan 'keamatiran' saya dalam dunia sastra yang satu ini, dapat ditandai dengan begitu seringnya saya lupa akan nama pengarang dan alur cerita dari novel yang sudah saya baca. Tapi semoga saja hal itu tidak sampai memupuskan semangat saya untuk menjadi pembaca yang dapat memetik makna.
Meskipun masih "Amatir", bukan berarti saya tidak bisa memberikan penilaian terhadap Novel yang pernah saya baca, setidaknya penilaian itu tertuju pada pemahaman diri saya pribadi. Menurut saya, begitu banyak penulis novel dari negeri barat yang sangat cerdas dalam mencari inspirasi melalui imajinasi mereka, tetapi diantara mereka tidak ada yang sejenius penulis Novel "Harry Potter" dan "Dunia Soffi" dalam menuangkan imajinasi liar mereka menjadi kisah yang fantastis.
Romeo and Juliete, memang menjadi kisah romantis yang tidak akan dilupakan sepanjang masa. Akan tetapi, penilaian saya menjadi sedikit berbeda setelah membaca novel "Laila dan Majnun". Meskipun tema dan inti cerita dari kedua kisah itu hampir sama, saya tidak peduli tentang urusan "jiplak-menjiplak" yang dapat menjadi perdebatan antara kedua novel tersebut. Dan "Seamatir" apapun saya sebagai pembaca, tetap tidak dapat berbohong mengenai kisah yang berkenan di hati. Mungkin karena ada kesamaan kultur dalam kisah "Laila Majnun", atau bisa saja kisah tesebut lebih mengena imajinasi saya yang terlalu dalam berkhayal tentang cinta.
Tentu saja saya juga pernah membaca novel yang dikarang oleh penulis dari negeri sendiri. Perbandingan kualitas novel lokal dan nonlokal memang cukup jauh, itu bukanlah suatu permasalahan atau bahkan tidak ada hubunganya sama sekali buat saya. Mungkin saja penulis-penulis dari negeri kita memang sengaja memiskinkan kreatifitas dan imajinasi mereka menjadi kisah sederhana yang biasa-biasa saja, agar dapat diterima oleh daya tangkap kebanyakan pembaca di negeri ini.
Akan tetapi tidak semua penulis dalam negeri seperti itu, ada yang berani melangkah mandiri dengan idealisme baru . Mereka tidak peduli, meski melanggar gaya sastra terdahulu dan cendrung dianggap meniru sastra asing. Saya berada diantara beberapa orang yang menyukai karya mereka. Diantaranya adalah Dewi Lestari,bagi saya dia adalah penulis wanita yang sangat berbakat, mungkin karena novel dia termasuk yang pertama kali saya baca dan langsung mengena di hati.
Andre Hirata adalah pahlawan bagi saya. Novel Laskar Pelanginya adalah yang terbaik dari semua novel dalam negeri yang pernah saya baca. Mungkin karena selama ini, ketika membaca sebuah novel saya hanya menemukan kisah-kisah yang dapat memuaskan ego dan perasaan saya semata, tetapi Novel Laskar Pelangi benar-benar telah merubah cara pandang saya tentang hidup antar sesama dan percaya akan kekuatan yang tersembunyi di balik mimpi.
Tere Liye. Namanya berada di urutan terakhir dalam tulisan ini, karena memang novelnya yang terakhir saya baca. Dan tentu telah terlupakan atau namanya tidak akan saya tulis, jika dia bukanlah termasuk penulis novel yang saya kagumi. Bagi saya, karya Tere Liye dapat disejajarkan dengan Andre Hirata. Jika air mata saya pernah menetes ketika membaca kisah kegigihan Andre Hirata dalam mewujudkan mimpinya dalam Novel Laskar Pelangi, Tere Liye sekali lagi membuat saya tersedan setelah membaca kisah-kisah sederhana dalam novelnya yang sarat akan pesan, serta jawaban religius yang selama ini kita pertanyakan tentang hidup.
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa penulis-penulis yang saya sebutkan di atas dikaruniakan anugerah berupa kemampuan untuk menulis kisah yang menggugah hati orang yang membacanya.
Meskipun masih "Amatir", bukan berarti saya tidak bisa memberikan penilaian terhadap Novel yang pernah saya baca, setidaknya penilaian itu tertuju pada pemahaman diri saya pribadi. Menurut saya, begitu banyak penulis novel dari negeri barat yang sangat cerdas dalam mencari inspirasi melalui imajinasi mereka, tetapi diantara mereka tidak ada yang sejenius penulis Novel "Harry Potter" dan "Dunia Soffi" dalam menuangkan imajinasi liar mereka menjadi kisah yang fantastis.
Romeo and Juliete, memang menjadi kisah romantis yang tidak akan dilupakan sepanjang masa. Akan tetapi, penilaian saya menjadi sedikit berbeda setelah membaca novel "Laila dan Majnun". Meskipun tema dan inti cerita dari kedua kisah itu hampir sama, saya tidak peduli tentang urusan "jiplak-menjiplak" yang dapat menjadi perdebatan antara kedua novel tersebut. Dan "Seamatir" apapun saya sebagai pembaca, tetap tidak dapat berbohong mengenai kisah yang berkenan di hati. Mungkin karena ada kesamaan kultur dalam kisah "Laila Majnun", atau bisa saja kisah tesebut lebih mengena imajinasi saya yang terlalu dalam berkhayal tentang cinta.
Tentu saja saya juga pernah membaca novel yang dikarang oleh penulis dari negeri sendiri. Perbandingan kualitas novel lokal dan nonlokal memang cukup jauh, itu bukanlah suatu permasalahan atau bahkan tidak ada hubunganya sama sekali buat saya. Mungkin saja penulis-penulis dari negeri kita memang sengaja memiskinkan kreatifitas dan imajinasi mereka menjadi kisah sederhana yang biasa-biasa saja, agar dapat diterima oleh daya tangkap kebanyakan pembaca di negeri ini.
Akan tetapi tidak semua penulis dalam negeri seperti itu, ada yang berani melangkah mandiri dengan idealisme baru . Mereka tidak peduli, meski melanggar gaya sastra terdahulu dan cendrung dianggap meniru sastra asing. Saya berada diantara beberapa orang yang menyukai karya mereka. Diantaranya adalah Dewi Lestari,bagi saya dia adalah penulis wanita yang sangat berbakat, mungkin karena novel dia termasuk yang pertama kali saya baca dan langsung mengena di hati.
Andre Hirata adalah pahlawan bagi saya. Novel Laskar Pelanginya adalah yang terbaik dari semua novel dalam negeri yang pernah saya baca. Mungkin karena selama ini, ketika membaca sebuah novel saya hanya menemukan kisah-kisah yang dapat memuaskan ego dan perasaan saya semata, tetapi Novel Laskar Pelangi benar-benar telah merubah cara pandang saya tentang hidup antar sesama dan percaya akan kekuatan yang tersembunyi di balik mimpi.
Tere Liye. Namanya berada di urutan terakhir dalam tulisan ini, karena memang novelnya yang terakhir saya baca. Dan tentu telah terlupakan atau namanya tidak akan saya tulis, jika dia bukanlah termasuk penulis novel yang saya kagumi. Bagi saya, karya Tere Liye dapat disejajarkan dengan Andre Hirata. Jika air mata saya pernah menetes ketika membaca kisah kegigihan Andre Hirata dalam mewujudkan mimpinya dalam Novel Laskar Pelangi, Tere Liye sekali lagi membuat saya tersedan setelah membaca kisah-kisah sederhana dalam novelnya yang sarat akan pesan, serta jawaban religius yang selama ini kita pertanyakan tentang hidup.
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa penulis-penulis yang saya sebutkan di atas dikaruniakan anugerah berupa kemampuan untuk menulis kisah yang menggugah hati orang yang membacanya.
16 Mei 2009
Apakah seperti itu diriku..
Gw sendiri terkadang sulit mengartikan kepribadian sendiri. Tapi dari sedikit buku phisikologi yang gw baca, ada yang menjelaskan tentang Tipe karakter yang memiliki keseimbangan psikologi antara introvert dan extrovert.
Tipe ambivert seperti karakter extrovert, suka bersosialisasi dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal, disisi lain mereka juga suka menyendiri dan menjauh dari lingkungan, seperti tipe introvert.
Tipe ini umumnya dapat bergaul akrab dengan lebih dari satu lingkup saja. Karena memiliki banyak lingkup akrab, golongan ambivert sering menjadi renggang perlahan dengan lingkup akrabnya yang memiliki kadar introvert. Sifatnya yang perasa kadang membuatnya jadi moody. Namun sifat easy going membuatnya jadi pribadi yang menyenangkan.
Apakah seperti itu diriku...
hanya Tuhan dan aku yang tahu, dan biarlah kalian yang menilai sesuka hati kalian...
Masalah Lingkungan Tersisih Dalam Kampanye
Pada saat pemilu, masyarakat negeri ini disuguhkan berbagai kampanye yang berisi janji-janji politik. Siapa lagi yang memberikan janji, kalau bukan mereka-mereka yang berniat mencalonkan diri untuk menjadi orang penting di negeri ini. Segala janji yang diumbar, tidak lain untuk mencari simpati dan partisipan yang akan mendukung mereka dalam pemilu.
Akan tetapi, berbagai kampanye lebih sering mengumbar keberhasilan yang ingin dicapai melalui pembangunan, berantas kemiskinan, masalah pendidikan, keadilan, berantas korupsi, dan lain sebagainya. Semua permasalahan itu, memang tepat dijadikan isu di tengah masyarakat yang sedang terpuruk dan ingin perubahan yang berarti.
Tapi adakah diantara kita yang menyadari, bahwa para pemberi janji itu sangat jarang mengumandangkan tema tentang lingkungan dalam setiap kampanye mereka. Hal itu tentunya membuat kita yang mencintai lingkungan harus berkecut hati, kenapa masalah lingkungan dipandang sebelah mata oleh mereka ?.
Yang jadi pertanyaan, pembangunan seperti apa yang menjadi tolak ukur dijaman modern ini?. Dalam kenyataanya, pembangunan sering berkaitan dengan perubahan negatif terhadap lingkungan. Tidak ada yang dapat mengelak bahwa pembangunan dan masa depan itu memang penting, tetapi bagaimana masa depan dapat dibangun, bila tidak dimulai dengan cara yang benar.
Pembangunan yang benar adalah dengan memperlakukan lingkungan secara baik, artinya sejalan dengan perbaikan dan pemeliharaan terhadap lingkungan. Lingkungan yang terpelihara sangat berperan untuk kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.
Untuk itu, seharusnya mereka yang memberikan janji pada kampanye memiliki pengetahuan yang cukup tentang lingkungan, sehingga paham akan pentingnya permasalahan ini. Setelah mereka mengerti dan paham benar tentang masalah lingkungan, mereka juga tidak perlu pesimis akan perolehan dukungan. Kecuali, selama ini kampanye mereka memang bersembunyi di balik kelompok pemberi dana yang gemar merusak lingkungan.
Perusak lingkungan adalah manusia-manusia yang perlahan ikut membantu kehancuran bumi ini, dan kita tidak pantas untuk mendukung orang-orang seperti itu.
11 Mei 2009
KPK ternodai
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah ternodai. Yang mengejutkan, tindakan nista ini dituduhkan kepada orang nomor satu dalam tubuh KPK. Sang ketua komisi, Antasari Azhar diduga terlibat dalam kasus pembunuhan. Berbagai isu yang melatar belakangi tindakan ini pun merebak, seiring bantahan dan sangkaan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Karena Indonesia adalah Negara hukum, kita hanya dapat menunggu pembuktianya melalui proses hukum.
Dan terselip kabar lain dari upaya penyelesaian kasus ini, semoga saja hal itu dapat menjadi awal yang baik. Meski sosok Antasari sangat berpengaruh di dalam lembaga penting seperti KPK, tidak menyebabkan kemunduran dalam proses penegakkan hukum atas dirinya. Sekaligus menyatakan bahwa pristiwa ini tidak mengurangi sikap patuh KPK terhadap hukum, yang cukup berdedikasi dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Pemerintah secara tegas menyatakan penetapan status tersangka terhadap Antasari. Sehubungan dengan hal itu, rapat jajaran pengurus KPK juga menetapkan penonaktifan Antasari, dan mengenai pelaksana harian KPK akan dipimpin secara periodik oleh pimpinan KPK yang lain. Status penonaktifan terhadap Antasari itu bisa saja berubah menjadi pemberhentian tetap melalui sebuah Keppres, dan Presiden SBY bisa saja mengeluarkan Keppres yang berisi pemberhentian tetap apabila Antasari terbukti telah melakukan kesalahan.
Bagaimana masa depan KPK setelah penonaktifan Antasari Azhar?. Semuanya tergantung bagaimana KPK sebagai pihak yang terseret dalam masalah ini menyikapi diri secara bijaksana. Ini momentum bagi KPK untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, bahwa KPK bukan hanya lembaga yang harus memiliki kejujuran dalam memberantas korupsi, tetapi juga sungguh-sungguh membela kebenaran, meski kesalahan itu datangnya dari kalangan sendiri.
Selain itu, KPK adalah sebuah lembaga besar yang di dalamnya terdiri dari banyak orang yang berjibaku dalam mengemban tugas. KPK tidak bisa diidentikan dengan salah satu pribadi, meskipun sosok itu merupakan pemimpinya. Apalagi jika pada akhirnya nanti, kasus yang dialami Antasari adalah kasus pembunuhan yang murni bersifat kriminal. Sementara, masalah korupsi adalah permasalahan lain, pemberantasanya merupakan cita-cita luhur yang harus terus didengungkan, meski tanpa Antasari.
Kita hanya bisa mempercayakan penyelesaian masalah ini pada hukum yang berlaku. Namun praduga tak bersalah, memang tetap dikedepankan dalam setiap kasus hukum, termasuk dalam kasus ini. Noda yang telah berbekas dalam tubuh KPK, hanya dapat dihapus jika KPK dapat membuktikan kesungguhanya ikut membantu membela kebenaran. Tapi tentunya noda itu akan semakin membesar, jika seadainya masih banyak pihak lain yang terlibat dan disembunyikan dalam oleh lembaga ini.
Prosa “aku”
MALDALIAS
PROSA
AKU
Kini sebagian ragaku ada padamu sampai nanti,
Apa kamu tahu…
aku tetap dekat dengamu,
membawa rasa yang tetap abadi untukmu.
Amateur_Blogger
Penerbit
Maldaz Prosa
PROSA AKU
Oleh: Maldalias
Copyright © 2010 by Maldalias
Penerbit
Maldaz Prosa
mxforefer.blogspot.com
mxforefer@hotmail.com
Desain Sampul:
Maldalias
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
“Gibran sasongko” itulah namaku.
(Untaian kata yang hampir menyerupai nama seorang pujangga terkenal).
Tidak pernah aku membayangkan kehidupan yang dilewati berbagai rintangan tak jelas. Oleh sebab itu, aku juga tidak yakin menyukai cara hidup seorang pujangga. Kehidupan mereka selalu ditorehi kelokan alur yang mewarnai perasaan dan cara berpikir.
Namun bila tetap disangkutkan dengan namaku, mungkin abstraknya kehidupan yang kualami hanyalah sebuah kebetulan. Kalaupun ada rentetan kesamaan, itupun hanya cara-Nya yang telah digariskan untuk ku.
Berbagai masalah yang mendera, terkadang membuat ku hilang bersama pikiran sendiri. Mereka yang tidak perduli, menjadikan aku tidak sepenuhnya ada di dunia ini.
Kasarnya aku dianggap manusia“Abnormal” yang sengaja memenuhi otak ku dengan pikiran sinting.
Tapi “Semua itu Fitnah”, berseberangan dengan kenyataan sebenarnya.Merekalah yang tidak sanggup untuk mengerti isi pikiranku yang melebihi batas kenormalan mereka.
Pada dasarnya aku juga menganggap basa-basi itu tak perlu, hanya perbuatan rendah. Entah darimana tercipta pendapat seperti itu, yang jelas aku bukan orang bodoh yang mau merendahkan diri sendiri.
Diam memang jalan terbaik, aku lebih senang bermain dengan nalar yang ada di kepalaku, dengan begitu aku bisa membuat peraturan yang kusuka sesuka hati. Untuk apa juga mengomentari sikap manusia lain, jika itu hanya akan menghasilkan sampah perdebatan yang mengotori pikiran.
Kalimat-kalimatku memang terdengar egois!. Tapi, bukankah itu juga sifat alami manusia yang terkadang diperlukan sebagai “tameng” pembelaan diri.
Bila sering direndahkan, egoislah yang lumrah menjadi pilihan supaya tetap jadi pemenang dalam keterasingan.
Tapi aku tidak merasa “egois” bila bersikukuh hidup yang kujalani bukanlah kutukan dari nama, tanggal lahir atau ramalan apapun. Lagipula apalah arti dari namaku ini, hanyalah untaian huruf yang sama sekali tidak punya makna berharga, ah “Masa bodo”!.
Yang kutahu, aku selalu bangga mengakui keadaan diri. Tanpa perlu malu dengan aku yang tidak tampan, kurang pintar, hanya menyimpan sedikit sikap sopan dan tertib, serta masih banyak kekurangan lain yang “Egois” ingin kusimpan sendiri.
Intinya dibalik sisi egois ku, masih ada keinginan untuk bersyukur, karena semuanya sudah kurasa cukup untuk ku.
“Persetan dengan yang lain jika mereka juga sama bersikap seperti itu kepadaku”, aku yakin hidup dapat dituntun dengan segala daya dan pikiran dasyat yang ada dalam otakku. Anggaplah mereka yang menganggapku “aneh bahkan sinting” hanyalah angin lalu.
Lagipula selama norma-norma itu masih dibuat oleh mereka, tidak ada gunanya mereka tahu kalau akulah yang lebih normal. Karena hanya untuk menjadi seorang normal dalam dunia mereka, memaksa aku untuk mengikuti segala tingkah yang bertentangan dengan pikiranku.
Sesekali aku memang pernah merasa ada baiknya menyenangkan hati mereka, mengikuti segala peraturan dan berlagak semuanya baik-baik saja. Tapi karena itu berawal dari keterpaksaan, aku malah semakin menjadi tidak betah dan memilih konsekuensi sebelumnya “berteman sepi”.
(Disebalik itu, tahukah kalian bila hingga sekarang tetap kunanti pengakuan jujur, bahwa merekalah yang sinting, “bukan aku!”).
Tapi aku juga manusia, seiring alunan waktu, pengucilan yang terasa tak berkesudahan itu membuat aku merasa beda. “Sendiri” telah membuat aku menjadi pecinta kesunyian, segalanya menjadi serba individual. Akhirnya terbit pemahaman ini, semakin lama terus berakar kokoh dalam pikiranku.
Tercipta kesadaran, bahwa hidup sendiri dapat mematikan rasa. Hanya mahkluk tak bernurani yang sanggup melewatinya. Jelas diriku bernurani dan hanya binatang yang tidak. Aku masih butuh keramaian dan hanya itu yang tersirat dalam pikiran di otakku sekarang ini.
Tak juga berguna jika aku mencari pelampiasan, kenapa sebelumnya sikapku sampai seperti itu. Meski aku juga yakin bahwa karakter terbentuk dari hal-hal paling dekat dalam hidup kita.
Lingkungan tempatku tumbuh adalah keluarga yang mengasihiku,memberlakukan aku sebagaimana mestinya. Mereka mengajariku teori “peduli sesama” sebagai syarat membaur dalam masyarakat.
Sempat aku mengecap situasi dan kondisi yang termasuk takaran rasa bahagia setiap manusia normal. Kesimpulanya, semua itu pernah aku terima dan berjalan apa adanya.
Hingga kedewasaan dan kehidupan bermasyarakatlah menjadi jawabanya, lambat laun menghantarkan aku menemukan pikiran bebas sendiri. Berusaha menelusuri setiap detik kehidupan dengan pemahaman yang kucipta sendiri.
“Patutkah ada yang disalahkan, jika aku berusaha menjadi manusia sempurna”?. Jika demikian, mereka yang menghinaku pantas menjadi sebab, hingga aku selalu menuntut “hormat” karena takut direndahkan.
Itulah hidupku sebagai seorang Gibran sasongko. Aku masih menjadi manusia yang mampu menjelajahi belukar kehidupan, meski berlalunya waktu hanya boleh dituntun oleh nalar cerdasku sendiri. Bertarung melawan deraan aral dengan prinsip yang dianggap “egois’.
Semuanya tetap berjalan apa adanya, dengan konsekuensi yang harus kuterima “tersisih dari keramaian”. Sampai pada suatu saat aku menemukan Dia. ”Bidadari pujaan hati”.
1
Hari ini, hari pertama aku menyandang predikat sebagai seorang mahasiswa. Jurusan Filsafat yang menjadi pilihan disalah satu perguruan tinggi negeri cukup ternama. Serta menjadi penghuni baru sebuah kontrakan yang terletak di dekat kampus tersebut.
Sebagai orang baru, tentunya aku harus mulai mengenal lingkungan dan masyarakat sekitar. Besar harapan agar di lingkungan ini, apa adanya diriku lebih dapat diterima, dibandingkan beberapa tempat tinggal terdahulu yang lebih sering membuat jengah.
Diriku memang seorang perantau yang acap kali berpindah tempat. Sejak SMA aku sudah berpisah dengan keluarga. Menilik latar belakang keluarga, aku dan saudara-saudariku adalah anak dari kedua orang tua yang sudah lama merantau. Maka kami adalah keluarga perantau.
Namun sejak SMA aku pergi, berusaha mencari jati diri sendiri sebagai seorang perantau. Berpisah dengan seluruh keluarga, mereka kutinggalkan di tanah rantau lain yang berada di ujung timur negeri ini.
Sebagai perantau, aku selalu menuruti kemana nasip mengarahkan hidup. Entahlah, aku pun tak tahu kenapa harus ditakdirkan sebagai manusia yang menyukai cara hidup Nomaden.Mungkin itu dikarenakan“kebebasan”, bukankah kata itu yang selalu dicari manusia seusiaku di zaman sekarang ini.
Begitu mudahnya aku berpindah tempat jika sudah mulai bosan dengan lingkungan sebelumnya. Selain ingin bebas, untuk mencari suasana baru sering dijadikan alasan yang paling tepat.
Tapi untuk sekarang ini, kenapa aku harus pindah adalah untuk mencari lokasi tempat tinggal yang jaraknya paling dekat menuju kampus.
Jika ingin ditelusuri awal kisah ini…
Pertama ku berjumpa denganya, hanya selintas kejadian yang tak disengaja. Yang kupahami saat itu, hanya sedang memandangi seorang gadis yang cukup cantik untuk penglihatan mata lelaki normal.
Hanya itu…
Toko bunga “kembang setaman”. Sepanjang mata memandang, berjejer aneka bunga indah yang menghiasi. Di tempat itu, nantinya terkenang sebagai awal perjumpaan yang mengawali kisah ini.
Ternyata persuaan itu bukanlah sekali. Meski awalnya hanya perjumpaan sepintas, tapi kejadian itu tersimpan dalam memori otakku. Inikah yang disebut takdir, jika ternyata toko bunga yang sering kulewati itulah merupakan tempat dimana aku sering bertemu denganya.
Jadi, kesimpulan sederhananya, di toko bunga itu ada seorang gadis yang sering kujumpai ketika berangkat dan pulang dari kampus, hanya itu…
(Biasa berkutat dengan pemikiran yang rumit, membuat aku terlatih untuk mengesampingkan permasalahan yang kuanggap sepele. Hanya masalah pendidikan dan upaya ‘mengisi perut’ yang lebih utama buat ku. Sedangkan kata-kata semisal ”Pacaran dan tetek bengek lainya” selalu tersisih di urutan yang paling belakang. Mungkin karena pengalaman yang kudapat hanya membuat aku paham pengertian secara teorinya saja).
(Masihkah ada manusia normal yang berminat menjalin kedekatan dengan diriku?, sedangkan aku merasa tak ada yang menarik dari pemuda yang selalu berkutat dengan buku dan pikiranya sendiri. Kalaupun mereka ada mungkin hanya beberapa, dan hanyalah manusia yang bernasip sama naasnya dengan diriku).
Tapi aku tidak dapat mengingkari kodrat sebagai lelaki sejati, hingga bagaimanapun cara aku menafikkan diri untuk menyembunyikan keinginan, pada akhirnya akan hadir jua perasaan itu.
Kisah yang berawal dari kekagumanku pada seorang gadis….
Sedikit menyingkat kisah ini,…
Sebelumnya, telah jujur kudeskripsikan keegoisan dan rasa tidak percaya diriku dalam menghadapi urusan “pacaran dan kroninya”. Tapi bukanlah sebuah kesalahan jika pada akhirnya akupun tak dapat menyangkal sisi kodratku sebagai lelaki. Sekian banyak berjumpa gadis dalam keseharianku, gadis di toko bunga itu yang kuakui mendapat nilai lebih untuk parasnya.
Hari-hari terlewati yang tak kuhiraukan perginya, hingga jadi berminggu-minggu yang juga berlalu tanpa kesan. Aku masih menjadi wajah baru di kota ini dan sama sekali tidak ada perihal yang mendorong niatku untuk mengenal dia lebih jauh, hingga kejadian itu terjadi….
Di pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku berangkat menuju kampus, menghitung langkah sambil memikul tas berisi diktat-diktat tebal.
Setelah beberapa jarak tertempuh, aku tepat berada di depan toko bunga itu…
”PRANG!!!!!” Suara bising yang cukup membuat kesadaran dan pendengaranku terhenyak. (terdengar seperti suara benda terjatuh dan pecah…).
Masih tersisa sedikit rasa kagetku ketika melirik arah datangnya suara. Dan dengan lirikan yang tidak jauh dari tempat ku berdiri, seseorang kelihatanya juga baru tersadar atas apa yang terjadi, dialah yang baru saja menjatuhkan sebuah vas bunga kaca. Kepingan vas bunga itu bertebaran di muka toko.
Sesaat kemudian, aku tetap memastikan pandangan kearahnya. Jarak kami berdua memang dapat terhitung hanya beberapa langkah, dan jikalau tidak rabun, mestinya kami dapat memastikan dengan jelas rupa dari paras masing-masing.
Cukup sekian detik aku memfokuskan penglihatan, kemudian dapat memastikan bahwa yang kupandang adalah seorang gadis. Tapi, terasa ada sesuatu yang lain dari dia yang kupandang ini.
Setelah coba mengingat-ngingat, ternyata dia adalah gadis yang sebelumnya sering kujumpai sepintas di toko bunga ini. Dan dari awal perjumpaan itu, aku memang mengakui bahwa gadis itu memiliki paras yang menarik.
Namun bila perjumpaan waktu itu, sisi menarik yang kupadang hanyalah kecantikanya, maka dimulai dari detik ini aku sungguh dapat memastikan kesalahan besar terhadap anggapanku.
(Persepsi dan makna kecantikan bagi setiap orang kemungkinan besar memang akan berbeda. Tetapi, naluri jujur lelaki normal tentunya akan sama untuk menentukan nilai kecantikan itu pertama kali. Sebuah rasa maha dasyat yang menurutku adalah seni visualisasi alami yang takaran penilaianya tentu menggunakan penglihatan sebagai indra pertama yang menerawangi. Akupun tidak menyalahkan pendapat manusia lain yang berbeda, karena siapalah aku, hanya lelaki awam yang menilai semuanya itu terlebih dulu dari apa yang kupandang).
Namun pada saat kejadian itu, aku menatap dia dengan jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan pertemuan sepintas sebelumnya. Disaat itu baru aku sadar, seharusnya bukan hanya secara biasa, tetapi ada kekaguman lebih yang kuberikan padanya.
Dia adalah seorang gadis dengan keseluruhan raga yang menawan. Lekukan tubuh rampingnya begitu indah dengan tinggi yang sesuai, rambut panjangnya tergerai lurus sampai ke pundak yang jenjang, sawo matang kulit tubuhnya yang halus.
Parasnya cantik dan meneduhkan setiap mata memandang, dikaruniakan mata bulat nan indah, alis tebal terhias alami dengan bulu mata yang lentik, serasi dengan bentuk dan ukuran hidung yang mancung. Bibirnya merekah, ranum dan semerah delima. Segala yang terlihat dari parasnya, terus saja menambah ketakjuban ku.
Itulah yang kumaksud kecantikan luar biasa yang terpancar alami dan tak pantas disebut biasa saja…
Aku memang cukup menyempatkan pandangan dalam waktu sepintas untuk melihat keseluruhan raga dari seorang hawa yang ada didepanku ini. Dan meski kesimpulan yang kubuat hanya sesaat, tetapi dengan segala kekaguman yang terasa, sudah pantas aku terpana terhadap anugerah yang diberikan pada gadis ini. Entah mengapa, yang pasti karena terpesona !,
Kemudian tergerak juga keinginanku untuk berani menyapa dia. Kalimat ini yang terucap pertama kali, sebagai titik awal perkenalan kami .
(Bukanlah kejadian istimewa, karena hanya perbincangan sesaat dan “aneh buat ku”. Biasanya aku sering tak acuh untuk mengawali pembicaraan dengan orang yang belum kukenal, apalagi untuk seorang gadis seperti dia, yang dengan memandangnya saja sudah cukup membuat hatiku bergetar).
“Waduh vas bunganya pecah ya?” (Entah mungkin karena gugup, suara ku terdengar berat. Sengaja kusunggingkan senyum yang sedikit dibuat-buat. Untuk beberapa saat aku seperti menanti jawaban gadis ini…)
Setelah menemukan arah datangnya suara, akhirnya gadis itu membalas kalimatku. “ehm…iya, aku yang kurang berhati-hati ”
(Tersungging senyumku ketika mendengar jawabanya. Tak apa sedikit malu, setidaknya terbesit rasa senang, karena dapat membuat gadis ini berbicara padaku untuk pertama kalinya. Tak juga mengapa, bila dia tidak benar-benar memandangku, mungkin aku saja yang salah memperhatikan. Beberapa kuntum anggrek yang kupungut, segera kuberikan ke tanganya…).
“oh iya,terima kasih…” (Jemari-jemari halusnya menyambut pemberianku. Bersamaan dengan itu, kembali lurus kulirik wajahnya. Tetapi, kejadian serupa itu menimbulkan tanya di hatiku, mengapa dia seakan tidak memandangku ketika menggapai bunga yang kuberikan).
(….derap langkah terdengar dari dalam toko, disertai suara seorang lelaki dewasa…). ”kan udah bapak bilang, kamu enggak usah repot-repot melakukan pekerjaan di toko, kalo kejadianya kaya’ gini, kan kamu sendiri yang susah”.
(Perkiraanku benar, dia memang seorang lelaki dewasa, badannya sedikit gemuk dengan ukuran tubuh yang termasuk “jangkung” untuk orang-orang di negaraku. Sekilas dari suaranya, mungkin dia adalah orang yang tegas dan berwibawa, selain tampak pula keramahan dari raut wajahnya).
“enggak papa ko’ pa, aku cuma tersandung aja tadi” gadis itu menjawab.
“ya sudah…, ayo papa antar kamu masuk ke dalam lagi”, (sambil membimbing gadis itu, lelaki dewasa tadi masuk ke dalam toko,…Tapi, seperti melupakan sesuatu, dia berbalik, sedikit melirik dan tersenyum akrab kepadaku…).
”ma kasih ya dik” katanya .
(Merasa kalimat itu sudah pasti ditujukan kepadaku, akupun tersenyum…). “oh iya, sama-sama pak” jawabku kemudian.
Selanjutnya, kejadian tadi berlalu. Mereka berdua telah masuk kedalam toko. Yang tampak sekarang adalah seorang pemuda bergegas membersihkan kepingan vas bunga, pecah dan bertebaran di muka toko. Mungkin orang itu adalah pekerja di toko bunga ini. Toko bunga “Kembang Setaman”.
Pagi ini, di depan toko “Bunga Setaman” sudah mulai ramai dengan berbagai aktifitas kendaraan dan pejalan kaki. Jalan ini yang menghubungkan kampus, pasar dan daerah-daerah perkantoran.
Kejadian sepintas tadi telah berlalu, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus. Sambil melangkah pergi, kutaut sendiri kesimpulan sederhana dari pristiwa yang baru terjadi.
Dari cara si gadis menyapa lelaki dewasa tadi, dia pasti ayahnya, selain terlihat pula kemiripan wajah antara mereka berdua”.
“Tapi kemudian, muncul pertanyaan yang tiba-tiba saja terbayang dalam ingatanku,…”.
Tapi, ah…sudahlah...
(Mungkin gadis itu malu dan merasa bersalah karena tidak sengaja memecahkan vas bunga!. Atau karena aku berani melirik dia dengan lirikan yang terpesona. Lagipula, sepertinya alasan yang kedua sama sekali tidak mungkin. Gadis secantik dia mengapa harus malu dan canggung sehingga tidak berani memandangku. Bukankah dia lebih pantas tersipu terhadap lirikan lelaki yang memenuhi kriteria untuk membuat banyak gadis kagum, dan hal itu tidak ada pada diriku. Ya sudah, biarkan dugaan tak jelasku ini berlalu).
“…lagi pula, sedikit geli aku membayangkan jika hal tersebut memang benar…”
Kesimpulan dan pertanyaan ringan itupun cuma sekedar pikiran lepas, berlalu setelah aku sampai tepat di depan gerbang kampus.
Walaupun hari-hari selanjutnya aku lebih sering memperhatikan si gadis dan lelaki dewasa tadi. Bahkan sekedar tegur sapa sering terjadi antara aku dengan lelaki dewasa itu.
Itu tetap seperti biasa, seperti bagaimana cara aku bersosialisasi…
(Aku masih menjadi manusia sedikit acuh, menyapa manusia sekitar dengan canggung dan kaku. Entah kenapa diriku memang kurang mahir untuk berbasa-basi, apalagi dengan orang yang baru kukenal).
2
Siang ini cuaca nampak kurang bersahabat, selubung awan mendung mengundang gerimis yang rintikanya perlahan mulai membasahi bumi. Terlihat kesigapan manusia sekitar seandainya akan turun hujan sebentar lagi. Sebenarnya aku kurang memaklumi keadaan ini, karena terjadi disaat jarakku menuju kontrakan masih harus ditempuh beberapa meter lagi.
“DRUS…”. Sekonyong-konyong hujan yang diperkirakan memang benar terjadi. Bergegas aku berlari kecil, mencari perlindungan dari basah.
Ketika sedang mempercepat langkah, terdengar seruan yang sepertinya ditujukan kepadaku .
“eh dik, berteduh di tempat bapak aja dulu”.(Dengan mempercepat langkah, perhatianku hanya tertuju pada tempat berteduh yang tidak jauh dari pandangan, tapi itu justru membuat aku lupa bahwa sekarang ini sedang berada di depan toko bunga ‘Kembang Setaman”).
(Seruan tadi berasal dari lelaki yang akhir-akhir ini sudah sering bertegur sapa sepintas jika aku melewati toko bunga “kembang setaman”, lelaki dewasa yang pernah kujumpai bersama si gadis).
“eh iya pak, sepertinya emang gak ada tempat berteduh yang lebih dekat ” jawab ku langsung.
(Toko bunga ”kembang setaman”, bentuk dan susunan dekorasinya dibuat seperti taman kecil beratap. Ada beberapa orang lain selain aku yang juga ikut berteduh di dalam toko bunga ini. Setelah menuruti ajakanya untuk berteduh, di dalam toko bunga ini aku kembali menaut kesimpulan sendiri, ”Toko bunga ini pasti milik dari Lelaki dewasa ini”).
(Dia kemudian mempersilahkan aku duduk di sebelahnya. Sambil tersenyum ramah mulai membuka obrolan pertama kami).
“wah, kalau tadi terus saja berlari, bisa kebasahan dong dik?”
“iya pak, apalagi tas saya ini bahanya tipis, dan gampang basah kalo kena air” jawabku datar. (Sambil mengibaskan tas dan bajuku dari cipratan gerimis yang masih menetes dari atap toko).
“enggak tau nih, kemarin cuacanya cerah, eh sekarang tiba-tiba saja hujan” jawabku lagi. (seakan memberanikan diri untuk lebih berbasa-basi).
“emang sih, kalau bulan–bulan begini cuacanya susah diperkirakan”jawabnya sembari tersenyum.
(Perbincangan awal ini pun perlahan mengalir, aku seperti orang yang sudah lama kenal dengan lelaki ini, karena biasanya cuma dengan orang yang sudah dikenal aku dapat sedikit santai ketika berbicara. Mungkin Karena pembawaan sikapnya juga tenang dan ramah).
(Jika menilik usianya, kemungkinan sudah berkepala empat, akan tetapi dari cara berbicara, raut tampang dan tubuhnya yang masih kokoh tegap, semuanya itu malah seperti bisa dibandingkan dengan perbedaaan usia yang tidak jauh dengan usiaku).
(Setelah obrolan perkenalan basa-basi yang cukup panjang, kami pun mulai bertanya tentang data diri masing-masing).
“Selama ini kita makin sering ketemu, tapi cuma sekedar menyapa saja. Bapak gak tau siapa nama adik?”.
“oh iya, saya yang salah, lupa mengenalkan diri. Panggil saja saya gibran pak”. Jawabku. (sedikit menyembunyikan rasa segan yang masih ada ketika berbicara).
“wah, bagus banget namanya dik, kaya’nya pernah dengar nama penulis terkenal yang persis dengan nama kamu”
“…kata orang sih begitu, tapi ah…biasa saja lah pak” jawabku lagi .
(Sambil menjabat tangan ku, bapak itu ikut memperkenalkan dirinya). ”kalau nama asli saya, Suprapto hasadi, panggil saja pak Ato. Orang-orang disekitar sini juga biasa memanggil bapak dengan sebutan itu”.
(Perbincangan masih terus bergulir, banyak pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Dan topik pembicaraan memang lebih aktif dikemukakan oleh pak Ato, karena sepertinya dia lebih mengetahui berbagai remeh temeh percakapan sehari-hari).
(Tapi, meski lebih sebagai pendengar dalam perkenalan ini, aku berusaha menjadi teman bicara yang tidak membosankan, tidak menunjukkan sikap seperti yang sudah-sudah. “Aku sering bersikap acuh, yang secara tidak sengaja mudah kutampakkan jika sedang berbicara dengan orang lain”. Jika ingin mulai beradaptasi, harapku perkenalan dengan bapak ini adalah awalnya ).
Hujan tampaknya sudah mulai reda, satu persatu orang yang menumpang berteduh di toko bunga “Kembang Setaman” perlahan beranjak, beberapa diantara mereka melemparkan senyum kearahnya. Sepertinya mereka sudah saling kenal atau mungkin ada yang bertempat tinggal di sekitar sini.
(Lelaki ini, yang kini kutahu disapa dengan sebutan pak Ato, dengan keramahanya pasti cukup banyak dikenal orang sekitar lingkungan ini).
Sedangkan, didalam toko bunga itu aku seperti enggan beranjak, betah berdiam diri lebih lama dengan obrolan lepas yang terjalin antara kami berdua. Sejauh pandangan, di dalam ruangan yang dihiasi pajangan aneka kembang bunga, hanya kami berdua yang berbincang.
Tapi disela-sela obrolan, aku sedikit terusik, kemudian tersadar, ketika arah lirikan sepasang mataku tergerak dibawa kebagian lain dari ruangan toko ini.
(Ternyata masih ada seseorang lagi disini, selain aku dan pak Ato. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seseorang yang sedang duduk dengan tenangnya. Dia sedang mendengarkan alunan lagu dari sebuah perangkat musik).
(Aku sangat mengingat rupa yang sedang kulihat ini, karena sosok dia adalah orang yang tidak bisa dilepaskan dari perkenalanku dengan pak Ato, serta yang membuat aku selalu mengingat toko bunga ini,”Dialah gadis itu”).
(Akupun menemukan pertanyaan baru dalam perbincangan kami). ”Dia gadis yang pernah memecahkan vas bunga tempo hari itu kan pak?”tanyaku sambil menunjuk ke arah yang kutuju.
(Pak Ato melihat arah telunjuk ku, kemudian terdiam untuk beberapa saat). “ehm….iya, namanya Nia, keponakan bapak’” jawabnya singkat.
(Mendengar jawaban itu, aku langsung berpikir untuk mengkoreksi kesimpulan kecil mengenai gadis ini yang pernah kubuat, “ternyata dia adalah keponakan pak Ato”).
“oh…saya sempat berpikir kalau dia itu anak gadis bapak” ujarku lagi.
(Tapi kalimat terakhirku itu sepertinya tidak mendapatkan tanggapan. Penglihatanya sedang tertuju pada bunga-bunga indah yang berada tidak jauh dari pandangan. Perbincangan ini pun terhenti beberapa saat, hingga kemudian pak Ato mengembalikan pandanganya).
“iya, dari kecil dia sudah memanggil bapak dengan sebutan papa. Eh dik, kayanya udah lohor, bapa’ mau sholat dulu”.
“oh iya, hujan sudah reda, sepertinya saya juga sudah harus pulang pak” balasku.
“lain kali kita lanjutkan obrolan kita, jangan sungkan-sungkan mampir ke tempat bapak ini”. Katanya, (masih dengan senyumnya yang ramah).
“iya pak, saya juga senang ngobrol dengan bapak” jawab ku lagi.
Perbincanganpun berakhir. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar, bersamaan dengan pak Ato yang masuk kedalam rumahnya.
(Dari perbincangan tadi, telah pula diceritakan bahwa letak rumah Pak Ato yang sekaligus menjadi toko bunganya. Diantara toko dan rumah, hanya dibatasi oleh sekat pintu masuk yang terletak di tengah-tengah. Awalnya, di tempat ini hanya menjadi lokasi bangunan rumahnya yang cukup luas, tapi kini sebagian besar ruangan dan taman rumah itu telah dipugar dan dijadikan toko bunga).
(Namun, dari banyaknya cerita yang bergulir pada perbincangan tadi, aku tidak mendengar pak Ato pernah menceritakan siapa-siapa saja yang menjadi penghuni bersamanya di dalam rumah ini).
(Bagaimana dengan gadis itu ?. Dia tidak pernah sekalipun menjadi obrolan dalam perbincangan kami tadi, dan kalaupun sempat bertanya tentang dia, adalah cuma sekedar pertanyaan sepintas. Akupun baru tersadar akan keberadaaanya, setelah beberapa saat perbincangan ini hampir selesai).
Sebelum hampir melangkah keluar dari toko bunga, aku memang sengaja menyempatkan pandangan sekali lagi kearah gadis itu berada. Di salah satu bagian sudut ruangan itu dia masih duduk tenang dengan segala keanggunanya.
Rambutnya yang lurus dibiarkan tergerai panjang hingga ke pinggang, kedua mata bulat yang indah sedikit tersembunyi karena arah pandanganya yang tertunduk. Aku tidak tahu apa yang dilamunkan dengan senandung yang mengalun di telinganya. Tapi mungkin hanya untaian syair lagu benar-benar mendayu di hati, yang mampu membuatnya bermain dalam dunia khayalanya sendiri. Hingga tanpa sengaja, tidak memperhatikan orang yang sedang memandangnya.
“Pikiranku menerawang, mengingat sebuah nama yang baru sekali diberitahukan dalam perbincangan tadi, Nia”.
3
Bangunan rumah yang tidak bisa dikatakan luas. Dari pudar desain dan coraknya yang telah usang, mungkin telah terbangun bisu dalam usia yang sangat lampau. Tidak ada pemandangan yang cukup, apalagi sangat menarik.
Di dalam bangunan itu terdapat ruang tamu, beserta sebuah meja kayu dan beberapa kursi. Lantai ubin yang kasar dan retak, tapi kelihatan bersih karena selalu disapu.
Pajangan lukisan murahan, namun kelihatan cukup sebagai penghias dinding. Rak buku, sarat terisi berbagai ukuran dan judul buku. Adapun sebuah tempat tidur serupa bale-bale, berteman kasur usang, namun tertata rapi dengan beberapa bantal.
Masih ada tiga ruangan yang belum disebutkan. Ruangan kakus yang ukuran paling kecil, juga dapur dan segala perkakasnya. Yang terakhir, hanyalah ruangan kosong, ditempati sebuah kursi panjang dari bambu. Mungkin cuma kursi itu, perkakas dalam rumah ini yang lebih pantas menjadi saksi dalam sepi.
(Dikursi itu aku biasa merebahkan diri, menghabiskan waktu malam untuk bermain dengan pikiran sendiri, setelah lelah seharian bernafas dengan segala konsekuensi hidup. Seperti biasa, cuma kesendirian yang dapat membuat nalar ini berjalan murni. Terpaku sunyi, termenung dalam keremangan suasana bangunan kontrakan murah yang menjadi tempat aku berteduh).
(Tapi tidak untuk sekarang, malam ini hatiku ceria seakan bernyanyi. Entah kenapa aku seperti melupakan kebiasaan, meratapi malam sepi dengan lamunan panjang pengantar tidur. Dalam kelam sepi ini, mesin dalam kepalaku tidak dapat berputar ruwet sebagaimana mestinya, yang ada dalam otakku hanya membayangkan Dia. Betapa sempurna paras yang dikaruniakan, rupa cantik yang meneduhkan setiap pandangan).
Pikiranku kembali berkelana, bisikan ingatan yang terus menggema di hati ku ”Nia”.
Takdir yang bergulir tentunya tak dapat ditolak oleh insan yang berperan sebagai material dalam perputaran roda kehidupan. Bukanlah suatu kesalahan jika aku berusaha mencari titik terang diantara sinar redup kehidupanku dulu. Belajar memahami makna terlahir dalam fana ini, mencoba bijak dan yakin kesemuanya itu akan menggiringku ke kehidupan yang sebenarnya.
Perjumpaan dan perkenalan itu kuyakini adalah alasan takdir semata, tapi bukanlah hal sepele, jika selanjutnya aku dan jiwaku mengalir menghadapi tahap-tahap yang memaksa aku meninggalkan segala prinsip yang dari dulu tidak kusadari semu. Penemuan akan sesuatu yang telah lama hilang dari jiwaku. Kisah yang sekarang adalah nafas baru kehidupan, terhirup setelah aku melewati perkenalan ini.
(Sebelumnya, perasaan yang bersemayam pada hati batuku sudah lama pongah dan angkuh untuk mengenal segala teori yang bertameng cinta. Jikalaupun ada, cuma sebatas mengagumi yang tidak melebihi ‘sekedar’, “aneh” kalau ternyata aku punya keinginan untuk lebih mengenal dia. ”Kemana perginya sikap dingin itu?”, mungkinkah karena jiwa lelakiku telah berbaur dengan rasa kagum akan pesonanya yang terlihat pertamakali ?).
Enam bulan sudah semua kejadian hidup yang telah kuceritakan itu telah berlalu. Jangka waktu yang cukup membuat hidup seseorang normal mengalami perubahan cukup berarti. “Mungkin aku bukan lagi sesosok gibran sasongko dengan segala perangkat tabiat seperti dulu. Aku yang sekarang lebih bisa mengerti akan makna hidup yang sebaiknya…”
Selama enam bulan, seperti biasanya, hidupku mengalir bersama detak waktu, hingga sampai suatu saat dimana aku tidak sanggup menggantikan semua perasaan yang terus bergelut dalam kalbu, “meski dengan syair pujangga apapun”. Karena perasaaan ini bukanlah seperti rekayasa yang tercipta dari sekedar perenungan.
Dunia ini memang terbentuk oleh cinta, karena itu aku tak kuasa menghindarinya.
Kalaupun dulu aku adalah manusia yang lebih memuja kesendirian, mungkin dikarenakan uluran waktu yang masih membiarkan diriku berkelana mencari pemulih semuanya itu.
Pantaslah jika aku mengatakan ini sebagai anugerah terindah dalam hidupku, karena kebahagiaan adalah perasaan unik batiniah yang kadar kenikmatanya tergantung dari orang yang mengecapnya.
Aku mengerti bahwa “Tak ada yang sempurna di dunia ini”, tapi kini kutahu “ketika mengenal cinta, dapat membuat manusia merasa sempurna”.
Meskipun…pada akhirnya nanti, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu apa pendapat manusia lain setelah mengetahui kisah yang tersembunyi dari alur cerita ini. Tunggulah sampai kalian mengetahui posisiku yang sebenarnya….
Jika menilik pribadiku yang pernah tersirat pada awal kisah ini, telah kujelaskan panjang lebar bagaimana sosokku dalam mengarungi kehidupan. Sering kuterima berbagai pengasingan yang kuanggap sebagai tempaan. Jiwa dan nalarku lebih suka melayang mencari arti yang dirasa pasti, pernah kucoba meraba hati mereka dengan mengikuti suasana yang ada, tapi tetap saja tabiatku adalah misteri dalam kemunafikan hidup.
Akhirnya aku tak peduli penilaian, biarlah semua berjalan apa adanya, tak usah lagi terlalu egois menemukan makna diri, kuhayati saja peranku sekarang karena esok adalah masa depan yang dimulai hari ini. Dan sekarang aku sudah dapat mentolerir bahwa suatu kewajaran bagi setiap manusia, menerima dengan tidak lumrah insan lain yang dianggap tidak senormal mereka.
Ingin kubercerita kembali mengulang waktu enam bulan itu …
Perkenalan awal itu memang bukan sekedar lagi, bahkan sebelum rentang waktu yang mencukupi perhitungan enam bulan, aku telah mulai merasakan diriku dapat diterima dengan apa adanya.
Dalam keseharian yang terus bergulir, Pak Ato sudah kuanggap seperti kerabat, kutemukan tempat mengadu layaknya keluarga sendiri. Setiap perbincangan yang telah terjalin, memberi masukan untuk memugar pemikiranku yang selama ini membingungkan.
Hubungan kekerabatan seperti itu yang akhirnya membuat Pak Ato tulus berbagi dan menceritakan semuanya. Kisah yang akhirnya menimbulkan banyak tanya padaku, “Siapa gadis itu?”
(Semuanya berawal dari kisah ini…Melewati sebuah alur kisah pilu yang merubah segalanya…)
4
Derita berkepanjangan mendera hubungan sepasang suami istri. Usia pernikahan mereka telah terjalin cukup lama. Entah itu “kutukan” dari pernikahan yang tak direstui atau dimuasalkan gejolak usia muda mereka yang yakin “keajaiban cinta” dapat menyangga segala problema hidup.
Kebahagiaan mungkin sedikit diraih ketika akhirnya mereka dikaruniai seorang anak. Namun, ternyata perputaran roda nasib lebih cepat dan tetap tidak seimbang bagi mereka.
‘Naas’ yang menjadi pemenang, sang ibu didiagnosa menderita penyakit akut dan dapat diperhitungkan sisa hidupnya yang tinggal sesaat. Gejala penyakit yang seharusnya sudah ditanggulangi dari awal, tapi karena tak kuasa dan nestapa yang bukan hal baru dalam kehidupanya,sang Ibu hanya bisa memasrahkan diri.
Akhirnya dia pergi menghadap Ilahi, ketika anak yang dilahirkanya itu baru berusia satu tahun. Pergi tanpa meninggalkan kesan kasih yang cukup terhadap benih cintanya.
Tak ada insan yang kuasa jika takdir telah tergurat. Lautan derita yang diarungi sendiri membuat seseorang hanyut dalam sepi dan kesedihan. Setengah bulan setelah kejadian itu, suaminya pun turut menghadap Ilahi, menyusul istri tercinta yang lebih dulu pergi.
Betapa malang bayi suci itu, mengapa dia harus dilahirkan dalam dunia kejam yang tega merenggut orang-orang pertama yang memberinya cinta?.
Kisah ini membuat aku tulus teriba. Terlebih lagi setelah tahu, bahwa Ibu dari bayi malang itu adalah adik pak Ato. Mungkin mereka juga tidak akan pernah diketahui keberadaanya,jika takdir tidak mempertemukan Pak Ato dengan suami adiknya sebelum meninggal.
Setelah semua kejadian pilu ini, Pak Ato yang merawat bayi itu sejak berusia satu tahun, “Usia tunas yang seharusnya mengecap kasih sayang kedua orang tua sedarah secara utuh”.
Dan masih ada runutan dari kisah itu….
Ternyata kehidupan yang diarungi oleh pak Ato juga setali tiga uang dengan kisah pilu adiknya. Mahligai perkawinan yang dijalani atas dasar cinta, betapa besar kasih yang tercurah demi mendapatkan kesetiaan masing-masing.
Sayangnya, ketulusan yang terlalu berlebih salah diartikan oleh sang istri. Dia pergi meninggalkan luka pedih, menjejakkan kisah perselingkuhan pahit yang memporak-porandakan semua jalinan kebahagian. Ini terjadi beberapa bulan sebelum berita kepergian adiknya.
Setelah itu, pa A’to seperti kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri, alkohol dan segala jenis putih serbuk neraka yang sebelumnya tidak pernah dikenal, justru telah menjadi satu-satunya sobat karib pelampiasan derita yang dikecapnya. Kehilangan orang yang dicintai membuat dia kehilangan jiwa dan semua yang menjadi pedoman hidup.
Berbulan-bulan dia terjerembab jauh dalam kawah kenikmatan semu, diikuti dengan perubahan segala tabiat, hingga kemudian berita kepergian adiknya mengantarkan kembali kesadaranya yang nyaris pergi. Bahkan setelah itu, pak Ato menjadi seseorang manusia yang lebih memahami arti sebenarnya kehidupan ini.
“Bayi mungil itu yang membangkitkan semangatnya untuk terus hidup”. Dia bukan hanya sebuah titipan, tetapi juga karunia yang diberikan untuk menyadarkan pak Ato, bahwa tidak ada sesuatu pun yang pantas disesali kalau masih banyak hal bermakna yang dapat diperbuat.
Kejamkah takdir?, jika semuanya itu hanyalah sesuatu yang memang harus bergulir. Seluruh Insan tidak dapat mengelaknya, karena segala penciptaan bukan atas kehendak yang tercipta.
Jika dikiaskan sekitar dua puluh tahun jarum waktu berdetak, selama itu juga semua kejadian yang diceritakan pak Ato telah berlalu. Merupakan perangsuran pak Ato merawat bayi itu dengan penuh kasih, hanya dia satu-satunya yang menjadi tempat luapan rasa cinta yang pernah tidak tercurahkan sepenuhnya.
Bayi itu sekarang tidak lagi menjadi mahkluk mungil. Beriringan dengan pertambahan usia, kini dia telah menjadi seorang gadis dengan segala anugerah kecantikan dari yang kuasa.
Dialah yang pertama kali kujumpai di toko bunga“kembang setaman”, gadis yang dapat mengkikis hati batuku dengan curahan segala kelebihanya, yang juga mengantarkan aku mengenal pak Ato.
(Dialah menjadi inti dari alur panjang cerita ini, dengan segala kisah perubahan yang membuat aku menemukan kehidupan baru. Tapi, bagaimana setelah akhirnya aku tahu semuanya…?).
Pendengaranku terkesiap, mendengar berita yang membuat nurani ini terjerembab ke kawah perasaanku yang paling dalam. Gelut segala perasaan yang bercampur aduk, mataku berkaca-kaca, seakan memaksa linangan air mata yang mendesak keluar. Sebagai manusia normal, hanya kalimat lirih yang dapat terujar “sungguh kejam hidup ini”….
“Sekali lagi ingin kubertanya”!!. Jika kalian berada pada posisiku, mampukah untuk yakin mengakui bahwa ini sebuah anugerah? apalagi melebihkan sebagai yang terindah…
“Semua kisah sedih Bapa’ ini ternyata belum sepenuhnya berakhir dik’Gibran’.’
(Aku cuma terpaku serius dalam diam, mimik mukaku sedari tadi lelah menahan beban kantung mata berkaca-kaca, yang ingin menumpahkan air mata tertahan. Masih ku tunggu kelanjutan cerita pak Ato. Sesaat, lirih hati ini berbisik ”Ya Tuhan, masih kurangkah derita pahit yang Kau cobakan, sehingga kisahnya yang bergulir masih dengan segala cerita pilu yang menyayat hati”).
(Pak Ato sejenak tertunduk diam, kelihatan seperti menahan emosi yang ada di relung hati. Mencoba menyembunyikan getar bibir yang diiringi bisik gemertak gigi, bukan karena hawa dingin tapi panas kesedihan yang membakar perasaanya).
(Sesekali pandanganya menengadah atau menjuruskan penglihatan ke segala arah yang tak jelas. Seakan tidak sanggup menceritakan kelanjutan kisah pilu itu).
“Sudahlah pak, kalau bapak tidak mau menceritakanya, toh semuanya itu telah berlalu dan menjadi kenangan bapak pribadi”. Kataku (mencoba menenangkan hati pa’ Ato yang sedang gundah).
(Cukup beberapa saat dia memandang lama mataku dengan wajah sendu, pandangan yang seakan mengiba tapi tanpa mengharapkan pertolongan).
“enggak ko’ dik, Bapa memang sudah lama ingin berbagi semua kisah ini. Kamu sudah dianggap seperti keluarga sendiri, jadi pantas untuk mendengar kisah kehidupan pribadi bapak.”. Lanjut pak Ato lagi .
“Kehadiran Nia memang merupakan sebuah mukzizat bagi bapak. Sejak kehadiranya, kesedihan bapak berangsur-angsur tersimpan dan sanggup mengingatnya secara tabah. Tidak ada yang patut disedihkan, karena hidup bapak sudah bahagia bersama keponakan bapak itu. Dari bayi, hingga dewasa, bapak selalu berusaha mencurahkan kasih sayang sebisanya. Tidak sedikit juga menutup-nutupi kejadian pilu yang dialami kedua orang tuanya”.
“Mungkin memang, rasa kasih yang bapak berikan tidak dapat menggantikan kerinduan dia akan wujud orang tua kandung. Tapi, yang terpenting adalah keponakan bapak itu dapat tumbuh seperti anak normal lainya”.
(Pak Ato masih ingin melanjutkan ceritanya lagi, …) “Sama sekali bapak tidak merasa sia-sia mencurahkan semua kasih sayang itu. Nia tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat patuh dan penyayang, dia sangat mengerti dengan kehidupan yang dijalani hanya bersama pamanya yang sudah mulai tua.
(Aku masih menyimak cerita pak Ato, merupakan alur murni kisah yang dramatis, seorang paman yang tulus menyerahkan sisa kehidupanya untuk merawat dan membahagiakan orang terdekat yang tersisa. Kebahagiaan yang mulai teraih kembali setelah terlunta-lunta diterpa badai derita).
Tetapi, dimanakah alur kesedihan itu jika kisah ini memang belum benar-benar mencapai klimaks bahagia ?
(Pak Ato kembali tertunduk, sekonyong-konyong suasana berubah, yang terlihat raut mukanya yang memerah. Lebih mengejutkan dengan disusul isakanya yang tertahan).
“Sudahlah pak, kaya’nya bapak sudah tidak sanggup untuk cerita”. Aku mencoba menenangkan hatinya.
(Wajar jika perasaan piluku ikut terbawa mendengarkan kisah ini, pria dewasa yang selama ini kuanggap sebagai lelaki tegar, tempat berkeluh kesah, ternyata masih banyak yang tersembunyi dibalik semuanya itu. Dari isakanya, dapat kurasakan betapa berat beban cobaan yang telah dialaminya).
(Kalimat terakhirku itu dapat sedikit menenangkan hatinya untuk kembali melanjutkan kisahnya yang terhenti).
“Bapak emang enggak sanggup menahan perasaan setiap ingin menceritakan kisah ini. Kebahagiaan yang bapak ceritakan tadi ternyata juga kembali mendapatkan cobaan”, lanjut pak Ato.
“Sebagai gadis yang beranjak dewasa tentunya dia juga harus melewati tahap-tahap perangsuran usianya. Sekitar empat tahun yang lalu, Nia masih kelas satu SMA. Keceriaan selalu tampak mengisi hari-harinya, tidak jauh beda dengan kehidupan anak gadis seumurnya, sampai akhirnya dia mengenal cinta”.
“Ada anak lelaki yang dikenalnya dari sekolah. Liyas mayusra nama anak itu,…
(Aku masih serius mendengarkan cerita pak Ato, yang sudah dapat kembali bercerita dengan wajah yang tenang …)
“Bapak memang percaya saja kepada Nia, gadis baik seperti dia tentunya tidak akan sembarangan untuk jatuh hati ke teman lelakinya. Bapak juga tidak mau mencampuri segala urusan yang menyangkut masa muda mereka. Dari awal berkenalan dengan anak lelaki itu, bapak memang langsung simpatik”.
“Liyas berpenampilan baik, orangnya ramah dan sopan. Juga tidak segan untuk mengaku sebagai teman lelaki Nia, biasanyakan anak seumuran dia masih suka malu-malu. Mungkin itu karena bapak selalu berusaha ramah kepada semua teman-teman yang dikenalkan Nia”.
(Pak Ato masih melanjutkan kalimatnya…).
“Sepengamatan bapak, sejak berkenalan dengan Liyas, kehidupan Nia bertambah ceria. Wajarlah buat anak remaja seperti dia yang baru mengenal “Pacaran”. Liyaspun tetap menunjukkan sikap apa adanya, bisa dibilang bapak sudah menganggap dia seperti keponakan sendiri”.
“Hubungan mereka terus berlanjut dalam hitungan tahun, waktu yang cukup lama. Apalagi untuk masa pacaran anak ramaja zaman sekarang. Mungkin karena mereka berdua melewati masa-masa itu sewajar usia belia mereka yang polos, saling memberikan kasih yang tulus. Tapi,…”(nada suara pa’ Ato sedikit tertahan).
“Selama itu bapak sama sekali belum mengetahui latar belakang keluarga Liyas. Hanya yang bapak ingat dari cerita Nia, Liyas itu berasal dari keluarga berkecukupan, itu saja yang bapa tahu.”
(Keheningan kembali terjadi dalam perbincangan ini, wajah itu kembali tertunduk, kenapa terlihat lagi raut sendunya yang tersembunyi?. Tak ingin kucoba bangkitkan emosinya jika memang akan bergulir lagi cerita sedih dari mulutnya, maka aku tidak berani lagi untuk bertanya. Biarlah Dia sendiri yang akan bercerita kembali)
“Hubungan mereka terus berlanjut, sampai dengan sendirinya bapak benar-benar tahu tentang asal-usul keluarga Liyas, bahkan lebih lengkap dari yang diketahui Nia. Liyas memang anak yang baik. Pengalaman juga mengajarkan bapak untuk bisa membaca sifat seseorang dari tingkah lakunya. Tapi, siapa sangka kalau anak sebaik dia ternyata berasal dari keluarga yang jahanam!”
(Aku terperanjat ketika mendengar kalimat itu, apa yang dimaksudkan oleh Pak Ato? Ada apa dengan keluarga anak lelaki itu, bukankah maksud dari kalimat-kalimat pak Ato sebelumnya, menyiratkan tentang segala kebaikan lelaki yang bernama Liyas itu).
(Nada suaranya juga tidak sedatar ketika dia bercerita beberapa menit yang lalu. Yang terlihat hanya luapan emosi, bahkan lebih dasyat dari sebelumnya. Sekarang aku lebih penasaran lagi akan kelanjutan cerita ini, kisah yang diceritakan seakan menempuh berbagai kelokan yang merubah alur cerita ini secara tiba-tiba, pak Ato seperti pencerita ulung yang pandai memainkan segala mimik rupa yang membuat penyimak seakan terbawa suasana yang sebenarnya).
“Maaf pak, kalau boleh saya bertanya, memangnya ada apa dengan keluarganya Liyas?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Jahanam!. Memang cuma kata itu yang pantas untuk keluarga dia.”Lanjut pak Ato. (masih dengan nada suaranya yang tinggi).
“Pernah bapak cerita kepada kamu, bagaimana kelamnya kehidupan rumah tangga bapak. Istri yang bapak cintai pergi berselingkuh dengan lelaki lain, tanpa alasan dan sebab yang jelas. Kehidupan bapak waktu itu nyaris hancur. Tapi, bapak belum menceritakan kepada kamu siapa lelaki yang tega merebut istri bapak itu.”
“Bayu Ariyanto, lelaki yang pernah bapak anggap lebih dari sahabat, karena hubungan pertemanan yang telah terjalin lama membuat dia sangat berarti dalam kehidupan bapak. Dia juga memiliki kehidupan yang sangat berkebalikan dengan keadaan bapak, berasal dari keluarga kaya yang berpendidikan. Tetapi, hal itu tidak menjadi penghalang dalam hubungan persahabatan kami, banyak sudah kisah sehidup semati yang dilewati bersama. Tetapi siapa yang dapat meramalkan kalau ternyata…”
“kamu pasti masih belum mengerti, dik Gibran?”.
(Aku dengan sendirinya sudah terbiasa dengan keadaan ini, atau apakah pak Ato memang selalu begini untuk menumpahkan perasaan sedihnya. Raut wajah yang memerah, tertunduk diiringi nafas yang tersengal perlahan, sebagai pertanda rasa emosi yang sebentar lagi akan diluapkanya. Permainan imajinasinya seakan berbalik ke alur silam kisah yang diceritakanya, sehingga dia benar-benar bisa merasakan kembali segala cita kehidupan lampau yang pernah dikecapnya)
“Apakah bapak memang kejam dan egois kalau semua derita yang pernah dialami, dituduhkan kepada dia!. Kisah persahabatan yang pernah terjadi sekian lama memang telah bapak buang jauh-jauh. Seandainya kamu di posisi bapak, bagaimana perasaan kamu, setelah tahu sahabatmu itu ternyata….!”
(Ruangan ini seakan hanya dihuni oleh kami berdua, suara pak Ato yang lebih sering terdengar, akupun sedari tadi setia bertahan mendengarkan semua kisah yang diceritakanya. Segala pertanyaan mengenai gadis itu terbalut kisah yang mengiringi perjalanan hidup pak Ato yang sama-sama menyimpan berbagai misteri).
5
Pantaslah jika persahabatan itu berubah menjadi kecewa dan kebencian yang mendalam. Semuanya terjadi, setelah pak Ato mengetahui bahwa persahabatan mereka hanya berakar dalam diri pak Ato seorang. Bayu ternyata perlahan menutup semuanya itu dengan kedok kemunafikan.
Tiara febriyanti nama wanita yang pernah menjadi istri pak Ato. Wanita yang ternyata juga pernah dicintai oleh Bayu, walaupun perasaan itu hanya disembunyikan tanpa diketahui siapapun. Lambat laun rasa hati itu akhirnya tidak dapat diendapkan lama dalam hati Bayu.
Sedangkan kehidupan rumah tangga yang ditempuh Pak Ato hanya dengan kesederhanaan. Dan tanpa keteguhan Iman “harta memang menjadi Tuhan”, janji sehidup semati yang telah diikrarkan pun pudar. Berkali lipat kekayaan yang dimiliki Bayu, bisa saja dapat membujuk Tiara untuk lebih mencintainya. Dan mungkin itu yang jadi penyebabnya.
Semuanya itu tidak pernah diperkirakan oleh Pak Ato, sampai akhirya Tiara mengutarakan niatnya untuk bercerai. Disaat itu rahasia masih tertutup rapat, bahkan Bayu tetap menjadi tempat pak Ato mencurahkan segala kesedihanya, tanpa menduga sang sahabatlah yang menjadi sebabnya.
Kepedihan tersamar tambah ditorehkan kepada sang sobat ketika Bayu malah memanfaatkan keputusasaan pak Ato dengan menjerumuskanya kedalam dunia kelam narkoba.
(Sebuah makna juga dapat terpetik disini, “pembenaran akan cinta yang memang buta, sehingga arti persahabatan pun dapat menjadi puing yang tak berarti”).
“Kalimat-kalimat dia masih terekam jelas di ingatan bapak”. Ujar pak Ato.
“Sudahlah To, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Nih, gue punya sesuatu yang bisa buat elo lupain semua masalah. Cuma sekali pakai, besok elo sudah kembali jadi Ato yang gue kenal.”
(Ternyata Bayu lah yang secara beruntun menghancurkan hidup sobatnya, sampai akhirnya terkuak semua yang tersembunyi,”Bayu adalah seorang bandar narkoba”. Dan yang lebih memilukan, dalam sayup kehidupan yang sudah tak terarah, akhirnya Pak Ato dengan sendirnya tahu kalau mantan istrinya telah menikah dengan sobatnya itu).
Begitulah kisah pilu masa lampau pak Ato yang pernah terjadi, tapi kurasa semuanya belum berakhir, apa hubungan semua kisah ini dengan seorang lelaki bernama Liyas?. Kisah mana yang bertaut dengan kehidupan Nia?.
“Bayu…manusia biadap itu! Ternyata dia adalah ayah dari Liyas mayusra”. Pak Ato kembali melanjutkan ceritanya . (masih dengan emosi yang meluap-luap).
“jadi!”. Aku seperti menemukan kesimpulan dari kalimat yang baru diucapkan pak Ato.
“iya, Liyas pastinya juga anak dari wanita yang pernah kunikahi itu”. Cepat pak Ato menyanggah seakan tahu maksud pembicaraanku.
(Bertambah lagi kerumitan kisah ini. Dan masih menyimpan tanya yang lain tentang gadis itu… Nia).
6
(Sudah lewat beberapa pekan setelah Pa’Ato menceritakan semua kisah itu,…).
Pertemuan yang terjadi berbalur kisah-kisah pilu yang diceritakan kepadaku. Aku pun perlahan menyelami sosok pak Ato dan kehidupanya. Lambat laun bukan lagi sekedar keingintahuan dengan berbagai tanya.
(Kami dipertemukan melalui iringan ketidaksengajaan waktu, melewati alur yang mengantarkan aku untuk mengetahui sebuah kisah kehidupan, meski belum seluruhnya kisah itu terungkap. Mungkin pula sudah digariskan, jika dari awal pertemuan kami, dimulai dengan berbagai tanya yang tersembunyi, yang untuk menjawab semua itu, ternyata harus memutar waktu hingga terperosok jauh ke massa yang telah lampau).
(Toko bunga “Kembang Setaman” tempat yang mempertemukan kami. Iringan waktu yang terus berlalu tidak dapat mensirnakan ingatan, saat pertama kali kesempurnaan itu terbias di mataku. Tanpa kusadari, kecantikan raganya menimbulkan rasa di hati, rasa yang membuat aku mengerti hidup, karena sebelumnya aku hanyalah manusia yang mati rasa).
Tidak ada kehidupan tanpa ‘pengorbanan dan kasih’, dan kedua kata itulah yang membuat keegoisan menjadi kalah. Keegoisan dapat membuat kita mencampakkan kodrat sebagai mahkluk sosial, meski kita tahu bahwa bukanlah hidup jika kita hanya sendiri.
”Kenapa gadis itu harus dibimbing waktu hendak masuk ke dalam toko ?, pertanyaan itu membuat aku kembali mereka ulang kejadian yang baru terlewat tadi, sedikit membuat aku berusaha mengingat-ingat kalau sepertinya gadis itu tidak benar-benar memandang ku ketika berbicara dan saat menyerahkan beberapa kuntum anggrek yang kupungut, meskipun masih ada ucapan terima kasih dan sedikit senyuman manis yang ditujukan terhadap ku “.
(Itulah kalimat-kalimat yang pernah menjadi pertanyaan namun kuacuhkan ketika perjumpaan awal ku dengan dirinya).
“Saat pertama kali aku tahu tentang semua jawaban itu, beku seluruh aliran darah dalam tubuhku!. Aku terperangah”.
(Ternyata jawabanya adalah bukan karena dia malu ataupun merasa bersalah telah memecahkan vas bunga. Bukan juga karena waktu itu aku berani melirik dia...”bukan !”, tapi karena dia…)
“Gadis buta !”….
7
Detak waktu tetap berdegup sebagaimana mestinya. Dan bagaimana dengan keadaan diriku yang sekarang” ?.
(Hingga detik ini, masih sedikit orang yang mengisi lingkup pergaulan dan keseharianku, tapi aku tetap tak pernah peduli akan penilaian, semua kubiarkan berjalan apa adanya. Aku tak lagi terlalu egois menemukan makna diri, aku hayati saja peranku yang sekarang)…
Nia sudah menjadi temanku…
Entah dari mana titik awal sebenarnya kedekatan kami ini, yang jelas aku hanya berusaha menunjukkan rasa simpatik ku dengan mengikuti aluran waktu yang bergulir. Aku sudah cukup tahu tentang dirinya dari semua kisah yang diceritakan PakAto, keseringan ku berkunjung ke toko bunga “Kembang Setaman” perlahan membuat aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih dekat.
Berawal dari kejadian ini….
Siang itu, selepas pulang kuliah aku menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke toko bunga ‘Kembang Setaman’, seperti biasa Pak Ato tetap menyambutku dengan ramah. Kami pun berbincang-bincang selumrahnya hari-hari kemarin.
(Tapi, di sela perbincangan kami itu, terdengar suara langkah pelan yang semakin mendekat. Aku belum tahu siapakah gerangan, hingga akhirnya aku melihatnya. Dia semakin mendekat, berjalan dengan langkah perlahan. Meskipun begitu, jika orang awam yang melihatnya, tentulah tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya dia…).
“mungkin karena seluk-beluk toko ini bukanlah sesuatu yang baru di ingatanya”
“Pa, beberapa hari kemarin, Nia sering mendengar papa ngobrol sama orang yang suaranya seperti pernah Nia dengar. Siapa pa?”
(…pertanyaan itu keluar sendiri dari bibir tipisnya yang merah, samar ingatanku akan suaranya, karena hanya sekali terdengar disaat perjumpaan kami yang pertama. Tapi ku sadar, suara itu pernah mampir di pendengaranku. Lembut suaranya mengucap kalimat yang teruntai perlahan )
“oh iya, papa’belum ngenalin ke kamu. Dik Gibran, kenalkan, gadis cantik ini keponakan semata wayang bapak, Nia”.
(Terpaku aku sejenak. Seandainya nalarku ku dapat menerawang melebihi kemampuan normal manusia, tentulah aku dapat tahu kalau saat inilah awalnya”).
“eh iya, saya Gibran, yang menjadi teman ngobrolnya Pak Ato selama ini, kita juga pernah ketemu beberapa bulan yang lalu, waktu kamu enggak sengaja memecahkan vas bunga di depan toko ini ”. Lanjut ku lagi...
(Adakah dua orang di depanku ini tahu bahwa lidah ku kelu ketika berbicara, tidak dapat kutahan campur aduknya perasaan di hati).
“oh, mas yang waktu itu ya? pantasan suaranya seperti pernah didengar, meski waktu itu kita hanya bertemu sebentar. Wah, jadi malu kalau ingat kejadian itu”. Masih tetap lembut kata-katanya teralun ramah.
(Pak Ato membimbing Nia duduk di kursi yang berada disebelahnya. Selanjutnya dalam ruangan ini tidak hanya terjadi perbincangan antara dua sosok, aku dan pak Ato, tetapi juga mengalir obrolan lepas bersamanya).
Aku tahu, apa yang terjadi hari ini memang harus dialami. Waktu jualah yang berperan, hingga akhirnya tiba saat seperti ini. Mungkinkah ada diantara kami yang mengetahui tentang “alam bawah sadar”?.
Bahwa pertemuan ini sebenarnya telah tersimpan dalam memori masa depan yang telah digariskan, kisah yang merupakan tahap perubahan hidupku. Bermula dari perasaanku terhadap dia. Atau ada yang menyadari, bahwa dengan sendirinya kami harus melewati torehan takdir ini.
(Sebenarnya, segala keterbatasan yang ada pada diri setiap manusia membuat mereka tidak bisa menetapkan secara pasti kehidupan apa yang akan diarungi esok nanti, hanya bisa mengalir sesuai dengan takdirNya. Layaknya Nia yang sama sekali tidak menyadari bahwa perkenalan ini yang menjadi tonggak perubahan hidup ku).
Seandainya dia tahu, “dirinyalah yang menjadi inti dari alur kisah ini”.
(Dan dalam perbincangan istimewa di hari itu, akhirnya ku dapatkan sebuah jawaban, yang dalam tanya ku sekalipun tidak pernah terlintas. Bukan pula dari cerita-cerita yang mengalir. Tapi dengan menyaksikan sendiri segala kondisi yang ada pada dirinya).
Nia adalah seorang ‘gadis buta’.
Lantas, apakah aku akan bersikap “egois”, setelah aku tahu semua itu?. Karena sebelumnya, telah ku ujarkan pandangan bahwa “keegoisan”merupakan kodrat yang telah melekat pada diri setiap manusia. Lantas “Disebut egoiskah”?, jika seorang manusia menginginkan yang terbaik buat hidupnya ?
(Perasaan itu memang tercipta semenjak awal perjumpaanku dengannya, aku memang lebih mengutamakan penglihatan sebagai tolak ukurnya. Sempurna parasnya yang mampu meluluhkan hatiku hingga tak kuasa menahan gejolak rasa. “Tapi bukankah semua itu hanyalah penilaian akan raga luar nya saja, “sebelum aku tahu bahwa dia adalah seorang gadis buta”…)
Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, sudah bulat tekadku untuk meninggalkan masa lalu sebagai manusia “sendiri”. Mungkin karena kekuatan niat itu yang mengantarkan aku ke tahap kehidupan yang merubah segalanya.
Perubahan yang diawali dengan perkenalan dengan Pak Ato, kisah-kisah hidup yang diceritakanya menyadarkan aku bahwa “aku tidak sendiri”, dan perlahan mensirnakan “Keegoisan”ku yang terlalu.
(Maka, apa yang menjadi pilihanku sekarang ?).
Setiap manusia memang menginginkan yang terbaik buat hidupnya, dan keinginan itu merupakan pilihan yang didasarkan pada tingkatan hakiki moral mereka. “Oleh karena itu, aku berhak menentukan pilihan ku sendiri dan biarlah waktu yang menilai sikapku”.
“Aku tidak perduli, walaupun dia gadis buta !”.
(“Kemanakah aku yang dulu?”, bukankah adalah suatu kebodohan jika aku tetap memiliki perasaan, setelah tahu dia hanyalah seorang gadis buta?).
Dulu, pemikiranku adalah karya yang berasal dari nalar, tak ada alasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nuraniku. Hingga sekarang ”aku tetap seperti itu”, meski perubahan telah terjadi, semuanya tetap dari apa yang kupikir.
Asalkan masih dari nuraniku, biarlah aku disebut “Egois” karena menyimpang dari pemikiran normal manusia lain (seandainya mereka dihadapkan untuk memilih gadis “buta). Daripada “egois” aku berpaling dari perasaan hati hanya karena “takdir” yang memang telah tercipta seperti itu untuk dia.
Perasaan tulus ini disebabkan misteri rumit yang ada di relung hati. Nurani tak dapat disangkal, karena itu aku tetap memilih dia. Atau mungkin aku terlalu berlebihan mendeskripsikan perasaan yang ada, hingga begitu bersemangat memberikan alasan.
Bisa saja penilaianku ini adalah cara terbaik untuk meyakinkan diri, sebagai pembelajaran agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Tapi bagaimana jika keputusan ini berpengaruh pada masa depanku nantinya?.
Intinya, aku hanya yakin bisa berpikir bijak, menguraikan berbagai alasan yang mendorong ku untuk meyakini keputusan yang kupilih, meninggalkan sifat ‘egois’ yang memenangkan diri sendiri, maka terserah, bagaimana orang lain memahami sikap ku ini.
Yang terpenting bagiku, telah memberikan jawaban “Mengapa aku memilih Dia?”.
(Atau memang terlalu cepatkah ku utarakan semuanya ?. Seakan sebagai suatu pilihan yang telah pasti. Persuaan yang terjadi kini memang bukan sekedar perkenalan lagi, karena tak perlu lagi berbagai tanya. Akan tetapi masih merupakan sesuatu yang baru terjalin, dan belum diketahui apa yang terjadi nanti. Seharusnya ”Niatku ini masih tersimpan di relung hati, dan biarlah kutunjukkan nanti, setelah jawaban yang ditunggu pasti adanya.
Pertanyaan-pertanyaan membingungkan ini terus saja bergelayut dalam pikiranku..
8
Keseharianku di kota ini masih bergulir seperti biasanya, menetap di sebuah kontrakan sederhana dan lingkungan yang semakin kusukai, seiring dengan kegiatan perkuliahan yang menjadi lebih sibuk dengan kenaikan semester.
Begitu juga dengan kebiasaanku yang selalu menyempatkan diri ke toko bunga “Kembang Setaman”, bahkan menjadi lebih sering. Mungkin setelah ku tahu ada seseorang lagi selain Pak Ato yang menjadi tujuan bertandang.
(Kekurangan dan kelebihan adalah sesuatu yang alami tercipta, syukur terhadap karunia merupakan kelumrahan, tapi mengapa sering kekurangan diri malah mengkerdilkan jiwa).
Tidak begitu dengan Nia, “kebutaan indera” tidak menjadikan dia pesimis, hanya keceriaan yang terlihat semenjak aku mulai mengenalnya. Tidak pula membuat dia rendah diri dan menutupi keramahan untuk berkenalan dengan orang baru seperti diriku. Hal itu yang menghilangkan rasa segan, aku tidak perlu lagi menjadi manusia yang kaku untuk memulai perkenalan.
Bahkan sikap dan suasana hati yang ditunjukkanya itu membuat aku lupa kalau dia...
Dengan bergulirnya waktu, kedekatan kami sebagai orang yang baru kenal semakin bertambah. Bahkan perbincangan yang terjalin sering diiringi canda.
Entah kenapa dalam jangka waktu yang singkat, aku merasa sebagai manusia yang menyenangkan. Atau mungkin talenta itu memang sudah lama ada, hanya saja kehidupan lampau yang membuatnya terpendam dan menunggu situasi yang tepat untuk kembali.
“Aku tidak tahu”, yang jelas aku senang dengan sikapku yang sekarang
Menyingkat cerita…
Setiap perjumpaan kami dimaknai dengan perbincangan akrab, perlahan kedekatan itu membuat aku setulus mungkin menyempatkan diri untuk menghiburnya di setiap pertemuan.
(Terimakasih Allah, telah kau hadirkan perguliran waktu ini, semoga saja akan terus terjalin).
Aku memang bukan seorang yang baru lagi di toko bunga “Kembang Setaman”. Seringnya bertandang membuat aku mengetahui denah yang membentuk bangunanya, begitu juga keadaan sekitar yang melingkupi.
Diantara toko bunga dan rumah Pak Ato masih terdapat sebuah taman kecil. Tidak jauh berbeda keindahan yang tampak, karena juga dikelilingi aneka bunga dan semerbaknya. Taman ini yang sering menjadi tempat perjumpaan kami, setelah aku tahu waktu keseharianya lebih banyak dihabiskan disini.
Seperti disaat senja itu..
“Apa kabar gadis cantik…?”. ( Kalimat “ganjil” yang menggelikan. “Kenapa tidak”?. Tentunya semua orang yang mengenalku, akan terheran-heran jika tahu kalimat “genit” itu terlontar dari mulutku. Tapi itulah perubahan yang telah terjadi, setidaknya rasa canggung sudah tidak hadir dalam setiap pertemuan kami ).
“eh, mas Gibran, Alhamdulillah keadaan Nia baik-baik saja”. Senyum manis mengiringi jawabanya.
“Sudah dari tadi ya mas?. Nia lagi ngelamun, enggak sadar kalo ada yang datang he..he..” lanjut kalimatnya kemudian .
“enggak ko’, baru aja nyampai. (Sebenarnya aku sudah cukup lama menyempatkan diri melihat dia yang termenung sendiri).
Emang lagi ngelamunin apa? Ngelamunin saya ya?”candaku
“ah, mas Gibran bisa aja” jawabnya sambil tersenyum.
(Seperti itu awal percakapan lumrah yang sering terjadi, apa saja dapat menjadi bahan pembicaraan kami ketika bertemu, masing-masing sepertinya selalu menganggap pertemuan yang terjadi adalah waktu yang tepat untuk menuangkan berbagai kisah. Semakin hari keakraban itu semakin bertambah ).
Hingga Pak Ato pun mulai merasa ada sesuatu yang terjalin antara kami berdua, yang secara diam-diam ataupun tidak sengaja sering diperhatikan olehnya. Kami memang mudah menjadi perhatian, keseharian di dalam toko bunga hanya dihuni oleh beberapa pekerja yang datang dan pergi, selebihnya hanya kami bertiga yang saling memperhatikan layaknya keluarga.
Siang itu, aktifitas jual-beli di dalam toko “Bunga Kembang Setaman” terlihat lengang. Aku baru saja pulang dari kampus, dan seperti biasa datang bertandang, kemudian berpapasan dengan pak Ato yang seperti sudah menunggu kedatanganku, kamipun saling menyapa dan terjadilah perbincangan itu.
“ Gimana kuliahnya dik Gibran ? Tanya Pak Ato.
“Alhamdulilah lancar-lancar saja pak, emang sih sedikit lebih sibuk, soalnya kenaikan semester menambah mata kuliah baru yang harus saya ambil. Tapi, untung saja saya tidak mengulang mata kuliah semester lalu” jawabku santai.
(Pak Ato tersenyum mendengar jawabanku, kemudian melanjutkan pembicaraan ).
“Baguslah kalau begitu, ngomong-ngomong sebenarnya ada yang ingin bapak bicarakan sama dik Gibran, ada waktu kan?” Lanjut Pak Ato .
“Oh iya, emang ada hal penting apa yang ingin dibicarakan pak?. Tanyaku
“Enggak ko’, cuma pingin ngobrol saja” Jawab Pak Ato.
(Kami berdua mencari tempat ngobrol yang terletak di sudut ruangan toko. Suasana yang terasa lebih santai, apalagi diiringi semilir angin yang berhembus pelan dan merembes ke dalam ruangan. Selang beberapa waktu kemudian, yang terjadi adalah keheningan sesaat. Pak Ato memikirkan kalimat pembuka apa yang akan mengawali obrolan kami di siang ini).
“Ehm,…begini dik Gibran, akhir-akhir ini bapak lihat kamu sudah semakin akrab dengan Nia”. ( kalimatnya diiringi senyum ).
“Bapak sangat senang melihatnya, sudah lama enggak tampak keceriaan seperti sekarang ini di wajah Nia. Makanya bapak sangat berterimakasih sama dik Gibran“.
( Sedikit tersanjung setelah aku mengetahui maksud kalimat itu, walaupun awalnya terbersit rasa malu, karena ternyata keakraban kami selama ini juga diperhatikan Pak Ato).
“Ah, biasa saja lah pak, apa bedanya dengan bapak yang udah saya anggap seperti keluarga sendiri. Dan semenjak kenal Nia, kaya’nya dia emang nyambung aja buat diajak ngobrol”.
(Pak Ato masih tetap tersenyum mendengarkan kalimat-kalimatku, bukanlah suatu hal yang baru, karena “senyuman” adalah sesuatu yang sering ditampakkan pada setiap pertemuan kami).
(Tapi akupun sudah hafal betul ekspresi wajahnya ketika berbincang, seperti saat ini, raut mukanya tiba-tiba berubah serius seperti akan mengutarakan kalimat yang cukup penting… ).
“Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya bapak melihat sesuatu yang lebih dari perkenalan kalian”
( “Apa maksud kalimatnya ?”… )
“Entah benar atau tidak, tapi perasaan bapak mengatakan dari keakraban kalian itu, sepertinya dik Gibran juga menaruh hati kepada Nia”. Ujar pak Ato yang kembali mencoba santai dengan senyumnya.
(Suasana kembali hening, karena aku langsung terdiam setelah mendengar kalimat terakhir itu. Tahukah Pak Ato bahwa kalimat itu membuat aku terkejut?, membersitkan pertanyaan dalam hati “apakah sangat terlihat seperti itu sikap ku selama ini ?”).
“Ha..ha..emang bapak ngeliat kedekatan kami seperti itu ya ?, hanya berteman biasa saja ko’ pak, engga’ sampai sejauh itu”. (Aku gugup dan sedikit terbata-bata ketika berkata, tapi sengaja kututupi dengan ocehan yang kubuat canda. Sekian detik kalimat itu terujar, makna kalimat yang baru terucap adalah sanggahan yang kubuat sendiri. Tapi kenapa ada rasa ragu dalam kalimat itu ?, belum sempat aku coba memikirkan kembali tapi kemudian Pak Ato melanjutkan pembicaraan…).
“ kamu enggak usah segan jika perasaan itu memang benar, enggak ada salahnya ko’, kalian kan memang sudah saling kenal. Bapak juga sudah tau benar dik Gibran orangnya seperti apa, apalagi Nia selalu senang kalau ketemu dik Gibran “.
( sejenak kalimatnya terhenti, kemudian…).
‘‘Tapi, bapak juga enggak perlu menutupi apa yang sudah diketahui. Dik Gibran sudah tahu semua ceritanya, Nia kan hanya seorang,…”
(Perbincangan tiba-tiba terhenti sesaat .“Aku tidak menyangka jika setelah itu ada raut sedih di wajahnya “).
“enggak tahu bapak harus mulai darimana. Sebenarnya bapa sudah dapat menduga akan terjadi seperti ini. Ketika mengenalkan Nia kepada dik Gibran, dari cara adik memandangnya sudah dapat terlihat. Bukankah pandangan tidak bisa menipu ?.
(Aku tetap menyimak semua kalimat yang sedari tadi mengalir, perlahan ku mulai tahu arah pembicaraan, meskipun terputus-putus oleh kalimat pak Ato yang sering terucap tidak sampai selesai. Yang terlihat adalah raut wajah memerah dan matanya yang berkaca-kaca, menahan sedih. Aku mengerti dan turut merasakanya, tapi hanya bisa menanti kalimat selanjutnya).
“Bapak hanya tidak ingin ada kekecewaan diantara kalian berdua. Bapak terlalu menyayangi Nia meskipun dia harus menerima nasip sebagai gadis yang buta. Tidak ingin hatinya tersakiti untuk yang kedua kali. Sedangkan dik Gibran sudah bapak anggap sebagai keluarga sendiri, bapak mengerti dari kisah-kisah kehidupan keluarga bapak yang pernah diceritakan pasti membuat dik Gibran ikut merasakan sedih. Tapi, merupakan kesalahan jika dik Gibran menaruh hati kepada Nia hanya dikarenakan perasaan iba semata. Masih banyak gadis yang lebih sempurna di luar sana yang bisa dijadikan penambat hati buat dik Gibran. Jangan karena kasihan, dik Gibran harus memilih keputusan yang akan mengecewakan dikemudian hari”.
(Kalimat yang cukup panjang, terujar lancar dari mulut Pak Ato. Sedikit tegas cara bicaranya kali ini. Aku pun tetap terdiam untuk memahami kata demi kata dari kalimatnya itu. Tidak pun ingin mencoba menyanggah kalimat yang diutarakan. Mungkin karena aku tidak bisa lagi berpura-pura santai, terasa kaku raut wajahku yang sedikit tertunduk. Tapi isi perasaan ku tidak ikut diam, perlahan suara hatiku mulai berbicara sendiri…).
Aku bahkan belum mengakui secara nyata kebenaran akan perasaan itu. Tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini keakraban antara aku dan Nia memang telah terjalin. Tapi dimana salahnya jika hubungan itu terjalin?.
Bagaimana jika yang terjadi sebenarnya, hanya karena Nia adalah orang yang bisa diajak berbagi kisah. Memang apa salahnya keakraban antara aku dan dia, apakah hanya karena dia seorang gadis buta?.
Bagaimana jika aku malah merasa ada sesuatu dalam kedekatan kami itu?. “Sungguh masih ‘egois’nya aku, jika harus menafikan hubungan yang memang telah terjalin akrab, hanya karena dia memiliki kekurangan diri”.
Lalu kenapa aku terus saja menambah rumit masalah ini dengan berbagai pertanyaan yang mengambang, kesimpulanya “bagaimana sebenarnya perasaanku kepada Nia”?.
Suara hatiku terus saja bergelut untuk menemukan jawaban atas perasaanku. Ini memang masalah yang rumit dan membutuhkan berulang kali jawaban untuk menemukan sebuah kepastian. Ataukah aku hanya bisa pasrah menunggu, membiarkan pikiranku menemukan kejujuran yang nanti harus ku utarakan. Bahwa aku…..
“Baiklah pak, saya akan berkata jujur, bapak memang benar, perasaan itu ada di hati saya. Sudah lama dipendam semenjak pertama kali bertemu dengan Nia. Tapi, emang apa salahnya pak ?”.
“Saya sudah tahu kekurangan yang ada pada Nia, tapi kenapa bapak menyangka saya akan mempermasalahkan hal itu. Toh, saya juga merasa yang sedang kami jalani sekarang masih pertemanan biasa saja”.
(Kalimat ku terucap dengan intonasi sedikit tinggi. Bukan berkurang rasa hormatku, tapi aku hanya ingin Pak Ato merasakan kesungguhan hatiku menyatakan kejujuran ini).
“Bapak bisa mengerti. Tapi, bagaimana jika dikemudian hari perasaan dik Gibran itu benar-benar terjadi ? ( raut wajahnya kembali sedih…).
“Maafkan bapak, bukanya tidak suka dengan kedekatan kalian, tapi sebenarnya apa yang bapak katakan ini adalah yang terbaik buat kalian berdua”.
(Kali ini, aku tidak bisa lagi berkata. Kalimat terakhir yang diucapkan Pak Ato adalah maksud utama yang tersimpan dalam pembicaraan ini. Aku kembali bimbang terhadap jawaban terakhir yang kuutarakan, karena apa yang dikatakan pak Ato seakan menegaskan diriku untuk berpikir, gunakan logika layaknya manusia dewasa).
(Kini, aku hanya bisa termenung, entah sanggahan apa lagi yang bisa kuberikan. Tapi aku malah berpendapat, seharusnya aku membiarkan nurani yang mencari dan menemukan jawabanya, bukan logika yang justru membuat aku terus saja bimbang dengan kenyataan).
( Sejenak kubiarkan helaan nafas kembali teratur, riak perasaan yang tadi meluap berangsur tenang. Setelah merasa siap, aku mulai berbicara lagi).
“Jadi, apa yang harus saya lakukan pak? harus menjauh dari Nia?. Padahal semenjak kenal Nia, hidup saya jadi lebih bahagia. Tiap kali bertemu, saya juga selalu berusaha bisa buat dia tersenyum. Bukankah dengan menjauh, malah bisa membuat masing-masing dari kami merasa kehilangan “.
“Bapak sama sekali tidak melarang dik Gibran untuk bertemu dengan Nia. Bapak juga mengerti, kalau keceriaan Nia ada semenjak kenal dik Gibran. Tapi…
( Sepertinya pak Ato tidak tega mengatakan kalimat selanjutnya…)
“Sekali lagi bapak mohon maaf. Tapi, sebaiknya kedekatan kalian kedepanya lebih sebagai hubungan kakak beradik. Bukankah kita memang sudah seperti keluarga?. Cobalah dik Gibran melihat kenyataan yang ada. Sebagai orang yang berusia lebih tua, bapak mengerti kalau usia muda penuh dengan gejolak. Tapi berpikirlah matang-matang dalam menentukan keputusan, agar tidak menyesal di kemudian hari “.
( Hanya sesaat setelah kalimat terakhir itu, aku beranjak dari tempat duduk dan berniat terlebih dahulu mengakhiri pembicaraan).
“ Baiklah pak kalau begitu, saya sudah mengerti. Sekarang saya mohon pamit dulu, ada tugas kuliah yang harus saya kerjakan…”
(Aku masih menyisakan sedikit senyum ketika berpamitan, walaupun galau perasaan yang sebenarnya enggan untuk berbasa basi. Pak Ato pun sepertinya mengerti, dia membalas senyum ku disertai sedikit kalimat penutup perbincangan kami).
“Oh iya, enggak terasa sudah cukup lama kita ngobrol, terima kasih ya sudah mau meluangkan waktunya…”
(Aku hanya mengangguk pelan kemudian melangkah pergi,…).
9
( Sendiri aku di keremangan ruangan. Seperti biasa, terduduk di kursi panjang itu. Redup cahaya lampu, menyetarakan keadaan di luar rumah yang sama sepi ketika diliputi malam. Dua buah buku tebal tergeletak di lantai, sudah lelah kubaca sedari sore. Pengertian-pengertian sulit dari ilmu filsafat yang tersirat dalam buku itu, menambah letih pikiran di kepala. Tidak dapat lagi kupaksakan kedua mata untuk terus membaca, perlahan kesunyian suasana menggiring ku melamun jauh, bersama isi hati yang sedang sendu).
Dua pekan terlewati, setelah perbincangan dengan Pak Ato. Aku sudah jarang bertandang ke toko bunga miliknya. Kalaupun singgah, hanya sepintas menegur sapa.
Tidak bisa menyembunyikan perasaanku yang masih segan, atau berpura-pura seperti biasanya. Apalagi aku orang yang tidak pandai berbasa-basi. Situasi yang menjadikanku serba salah, membuat aku kembali pada keseharian yang membosankan.
Mungkin kegiatan perkuliahan dapat membuat aku sedikit beraktifitas, tapi setelah itu, kembali hidup sendiri. Jika sebelumnya, rasa bosan sehari-hari mudah sirna dengan bertandang ke toko bunga ‘’Kembang Setaman’’, sekarang aku seperti tidak mengenal tempat itu. Dan tidak tahu pasti alasanya.
Keputusan dari perbincangan waktu itu telah menimbulkan kegalauan. Hidupku yang mulai tersenyum, kembali berganti murung. Apakah aku memang tercipta, sebagai insan yang tidak pantas mengenal kebahagiaan?.
Sejak pertama bertemu, aku selalu memikirkanya, hingga sosok itu sering bersemayam dalam khayalku, kemudian terbit keinginan untuk mengenal dia. Mungkin kesungguhan niatku didengar uluran waktu, yang mengantarkan pada persuaan nyata. Keadaan yang akhirnya terjalin, hadirkan ceria yang sebelumnya susah kutemui.
Tapi haruskah waktu itu cuma sesaat, dikala aku belum pantas menyebut itu sebagai penemuan. Penemuan akan rasa yang selama ini kunanti, rasa yang dapat mencairkan beku hatiku. “Aku adalah manusia normal yang tidak sanggup lagi menahan derita sepi”.
’’Eh, dik Gibran,ko’ sekarang udah jarang singgah ke toko bapak?.
“ Lagi sibuk kuliah Pak ” Jawabku.
“ Oh gitu, bapak cuma ngerasa ada yang beda aja, biasanya dik Gibran sering jadi teman ngobrol bapak“ Lanjut Pa Ato.
“ Nanti kalau ada waktu lenggang, saya juga pasti kesini Pak” ( Kalimat terakhir ini, diiringi senyum yang kupaksakan. Tidak ingin ku perlihatkan raut kecut di depan Pak Ato, walaupun seperti itu yang pantas mewakili perasaan hatiku saat ini).
“Kalau begitu, saya berangkat ke kampus dulu Pak.”.
“Oh iya, hati-hati ya dik”Jawabnya kemudian
(Percakapan yang terjadi di pagi hari, saat aku hendak berangkat menuju kampus dan tak sengaja berpapasan dengan pak Ato di muka tokonya. Melewati tokonya adalah satu-satunya jalan yang bisa kutempuh untuk menuju kampus).
(Dari kalimatnya, sepertinya Pak Ato sudah merasa ada kejanggalan dengan sikapku akhir-akhir ini, dan dia pasti tahu apa penyebabnya. Walaupun masing-masing dari kami menyikapi seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa).
Aku sendiri sebenarnya merasa tidak enak hati dengan tingkah laku beberapa pekan ini. Toko bunga “Kembang Setaman” yang sering menjadi tempat persinggahan dan berbincang-bincang, kini hanya kulalui sepintas ketika berangkat dan pulang dari kampus. Entah kenapa, aku seakan menghindar dari tempat itu.
(Tapi, mungkin sikap seperti itu yang diharapkan oleh Pak Ato, bukankah dengan begitu bisa mengurangi kedekatan ku dengan Nia. Sikap ini, kupilih berdasarkan perenungan malam itu, saat berada di kontrakan. Tapi belum kuceritakan, berurai air mata untuk meyakini keputusan itu).
(Masalah benar atau tidaknya keputusan ini, masih menyiratkan kebimbangan. Mungkin saja di kala perbincangan waktu itu, aku sedang terbawa perasaan, hingga tidak memandang permasalahan dari berbagai sisi. Haruskah aku menghindar dari Pak Ato, hanya karena dia merasa berbuat yang terbaik. Sedangkan selama ini, tulus dia menganggap ku seperti keluarganya).
(Membuat aku kembali merenung dalam mencari sebuah kepastian, apakah benar perasaanku pada Nia adalah…..cinta….?).
(Tidak kuingkari, bahwa pernah melewati tahap dimana ingatan akan sosok dia telah mencapai stadium yang membuat aku sangat ingin mengenalnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dia, selalu membuat isi dadaku berdegup kencang. Tapi tidak ada salahnya jika aku hanya ingin memastikanya lagi).
Bukan ‘cinta’ jika hanya dipengaruhi perasaan sesaat, oleh karena itu tidak pantas tergesa-gesa menyatakanya. Terpesona oleh paras adalah hal lumrah yang bisa sirna,jika tanpa disertai ‘cinta’.
Hanya jika kekurangan dapat diterima seutuhnya,maka rasa itu akan abadi. Itulah yang dinamakan “cinta”…
”Apakah aku sungguh-sungguh dapat menerima kekurangan yang ada pada diri Nia,…”?.
Manusia bimbang ini, untuk kesekian kali menaut kesimpulan hati. Dan yang kuputuskan sekarang adalah, “biarlah semua mengalir adanya dan kembali seperti sedia kala”. Sungguh salah jika aku mengacuhkan Pak Ato yang telah berbaik hati padaku.
Hal itu hanya akan berujung pada aku yang akan kembali menjadi manusia sepi. Dan seharusnya, tidak ada yang pantas disalahkan, selain perasaan ku yang tak jelas arah.
(Mungkin karena diriku ini terlalu lama menderita sepi, hingga begitu menggebu mencari cinta. Kerasionalanku dalam berpikir hilang. Jika dunia ini luas, tentu masih banyak wanita lain untuk diriku di luar sana. Biarkanlah waktu yang mengantarkan aku untuk kembali mencari dan menemukanya).
Nia tetap menjadi wanita yang pantas kukagumi, karena keanggunan paras dan sikapnya. Sampai saat kisah ini, dia tetap menjadi penyemangat hidupku. Wanita yang pertama kali membuat aku merasa sebagai manusia menyenangkan. Tapi, aku memang tidak boleh memiliki perasaan yang berlebih, karena untuk yakin akan rasa itu saja, diriku masih diliput kebimbangan.
(Dalam dunia logika, keadaan kami sangat berbeda dan akan banyak tentangan jika berani melawan kenormalan itu. Bukankah aku dan dia hidup di dunia nyata?, tidak dalam mimpi yang kuturut sesuka hati bersama imajinasi khayalku sendiri. Hanya dalam bualan romantis semua kisah ini dapat berarti. Aku harus berhenti bermimpi untuk menjadi seorang pahlawan cinta “Mencintai seorang gadis tuna netra, dan bersedia hidup semati bersamanya”).
(Menjumpainya di taman, tempat biasanya kami berbincang)
“Assalamualaikum”. Sapa ku
(Hening sejenak)
“Walaikumsallam”, Mas Gibran yach…?. (Tergurat senyum riang diwajahnya, ketika menyadari kehadiranku. Seperti seseorang yang sudah sangat lama menanti perjumpaan ini).
“Uuhh, kemana aja?”. (Suaranya terdengar manja, bersamaan gerakan tubuhnya untuk beranjak dari tempat duduk).
“Udah berapa minggu ini Nia selalu bertanya-tanya, mas Gibran ko’ engga’ pernah lagi datang ?” (tatapan matanya menerka-nerka pandangan yang tepat kearah ku).
“Sorry-sorry, lagi banyak tugas kuliah neh. Nah, sekarang aku udah datang buat ketemu nona Nia yang cantik. He..he..”(Seperti biasa, ternyata aku belum kehilangan gaya bicara dan candaan yang sering terlontar kalau bertemu denganya).
“Ah, Gombal, he..he…apa kabar mas?. Gimana, ada cerita seru apa nih?. Udah lama enggak ngedengarin suara mas Gibran ” .
“Baik-baik aja non, cerita seru? Eh iya, kemarin ada nenek-nenek berantem di mall, gara-gara ngerebutin brondong, he..he….” Candaku
“Wah, nenek-nenek gaul dong..ha..ha….”
(Berdua kami tertawa bebas, menggambarkan begitu lepas keceriaan yang tampak dikala itu.)
Suasana dan keceriaan seperti ini yang sebenarnya membuat aku selalu ingin bertemu denganya. Dalam setiap pertemuan, selalu diiringi perbincangan hangat dan senyum canda.
Hanya bersama dia, aku bisa tertawa lepas dan menyirnakan sementara penat dalam keseharian. Seorang lelaki seperti diriku, memang susah memungkiri bahwa cukup dengan keanggunan seseorang gadis, dapat menimbulkan cita tersendiri yang meredakan semua masalah di hati.
Apalagi diriku adalah manusia yang sangat jarang memberikan kesan yang berarti bagi orang lain. Jika dalam setiap pertemuan, aku dapat mengguratkan senyum bahagia di wajahnya, bukankah itu adalah salah satu nilai tambah yang sangat istimewa.
Nia, adalah gadis berparas anggun dengan sisi kepribadian yang dapat membuat aku lupa akan diriku yang terdahulu. Akan tetapi, keceriaan dan perubahan itu tetaplah menyiratkan sesuatu layaknya hubungan kakak beradik. Karena aku harus berusaha menganggap itu adalah hal yang biasa saja, tidak lebih.
Meskipun sebelumnya, setiap pertemuan denganya sering dibayangi oleh berbagai pikiran sendiri. Kini aku harus sadar, hal itu dapat tumbuh menjadi asa dalam mimpi yang mengharap nyata suatu saat nanti. Namun hal itu sangat tidak mungkin dan aku harus yakin akan kesalahan itu .
Begitulah alur yang harus kujalani, jika ingin meyakinkan orang-orang dekat diseitar kami, seperti pak Ato.
“Meskipun sudah jengah terhadap sepi, aku tak akan terbuai oleh mimpi bodoh untuk mendambakan seorang gadis buta”.
(Sungguh memilukan sekaligus membingungkan ketika aku mengucapkan kalimat tadi. Kalimat pilu yang berputar-putar diantara kebimbangan hingga menunjukkan kepongahan yang begitu tega. Ini semua karena tak jelas apa isi suara hatiku yang sebenarnya).
(Tapi, memang seperti itulah yang kurasakan. Aku sempat serampangan berpikir tentang “cinta”, dan jika memang di dalamnya ada “keajaiban”, sanggupkah itu tercipta dalam kehidupanku yang rumit sekarang ini, kehidupan yang harus tunduk dan terkukung oleh aturan dunia logika. Ataukah kebimbangan ini adalah bagian dari keajaiban yang akan memberikan jawaban benar-benar pasti suatu saat nanti ?).
10
Kini, Pak Ato tak perlu lagi ragu akan hubungan yang terjalin antara diriku dengan Nia. Hatinya cukup lega untuk meyakini, bahwa aku tidak lagi memendam perasaan berlebih terhadap Nia, selain hanya sebagai hubungan kakak beradik yang memang telah terlihat seperti itu diantara kami. Aku sendiri, perlahan harus dapat menerima semuanya terjalin seperti itu.
(Entahlah, menurutku memang itu yang dibutuhkan untuk tetap membuat hidup ku ceria. “Rasa peduli dan mempedulikan”. Karena sesungguhnya, manusia hanya bisa menghargai hidup, jika ada manusia disekeliling yang turut menghargai dia).
(Jadi, untuk apa lagi aku susah seperti manusia-manusia lain dalam mencari hasrat yang dinamakan “Cinta”?. Bukankah arti dari cinta itu sendiri adalah perasaan nyaman karena saling memberi kebahagiaan).
(Dengan kehidupan ku yang sekarang, ada segelintir orang yang dapat membuatku selalu tersenyum dan bahagia. Walaupun hanya segelintir, setidaknya dengan orang-orang seperti Nia dan pak Ato, aku merasa telah meraih “cinta” itu. Lalu, apa lagi yang kucari ?).
(Setiap manusia tidak akan bahagia, jika tak pernah berlapang hati dan selalu merasa tidak pernah puas. Aku juga akan seperti itu, jika terus berharap menggapai mimpi dan perasaan hati terhadap Nia, sedangkan jelas sama sekali aku tidak dapat mewujudkanya. Dengan berlapang hati, berarti menanti hal itu jika benar dapat menjadi nyata, cukuplah dengan kepasrahan pada alunan waktu sang takdir).
Waktu itu, di kala sore..
(Aku berdiri sambil memperhatikan mereka berdua, disamping pintu masuk ke dalam toko bunga “Kembang Setaman”, berdekatan dengan tempat duduk pak Ato, Nia berdiri tidak jauh darinya. Aku juga sudah tahu, ada yang ingin diutarakan Nia kepada pamanya).
(Pa’ Ato menyadari kehadiran kami, tetapi masih saja serius membaca nota-nota transaksi pembelian bunga yang terhampar di meja kerjanya. Selang beberapa saat, dia baru menengadahkan kepala, tersenyum kepada kami, dan mulai berbicara).
“Ada apa nehh. Ada yang ingin dibicarakan ya ?. Kata pak Ato
(Nia tersenyum menanggapi kalimat pamanya, sambil mencari arah pandangan mata yang tepat…). Iya nih Pa, Nia mau minta ijin pergi jalan-jalan sama mas Gibran “.
(Pa’ Ato terdiam sejenak, seperti ingin memahami kalimat itu). “Jalan-jalan ?. Emang mau jalan-jalan kemana ?”. Tanya pa’ Ato kemudian
“Dekat ko’ pa, cuma ke taman kota yang di sebarang jalan itu, Nia pingin “Refreshing” aja, bosan di rumah melulu”. Lanjut Nia.
(Pak Ato hanya tersenyum dan memandang ke arahku, seakan ingin mencari suatu kepastian. Akupun hanya bisa mengira-ngira dalam hati, kemudian membalas senyumanya. Meskipun sebenarnya, kala itu aku benar-benar salah tingkah. Bagaimana seandainya pak Ato salah paham terhadap apa yang telah dikatakan Nia. Tetapi, aku tetap berusaha berdiri dengan tenang.)
(Meskipun telah jarang berbincang lama, tetapi dengan sikapku akhir-akhir ini, aku rasa sudah cukup menyakinkan pak Ato, bahwa aku sudah benar-benar paham akan maksud pembicaraanya waktu itu. Dengan sebuah kesimpulan, aku akan menganggap hubungan yang terjalin dengan Nia layaknya seperti kakak dan adik).
“Ya udah, enggak papa kalau perginya memang sama dik Gibran, tapi pulangnya jangan kesorean ya” . Ujar pak Ato bijak. (Diiringi senyum yang tetap mengalun khas dari bibirnya).
“Iya pa, kalau begitu Nia ke kamar dulu, mau siap-siap” . (Nia membalikkan badan ke arahku dan melangkah pelan menuju kamarnya. Aku meraih tangan yang sedang mereka-reka sesuatu di hadapanya, sedikit membantu arahkan langkah kakinya, selanjutnya Nia berjalan sendiri, hafal kemana kakinya harus melangkah).
(Setelah melihat Nia masuk ke kamarnya, pandangan mata ku kembali tertuju ke arah tempat duduk pak Ato. Dia tetap tersenyum melihatku, dan seperti ingin berkata sesuatu).
“Ehm, dik Gibran, ada yang mau bapa’ bicarakan sebentar”.
“Oh iya pak”.Jawabku kemudian
(Langkah ku bergegas menuju ke arahnya).
“Terimakasih ya dik Gibran, selama ini Nia tidak pernah mau kalau bapak ajak jalan-jalan keluar dari rumah ini. Kalaupun dulu sempat, itu juga sudah lama sekali. Sekarang, waktu bapak banyak tersita dengan kegiatan jual-beli di toko. Tidak ada orang yang bisa bapak percayakan untuk mengajak Nia berjalan-jalan, tapi untung saja ada dik Gibran. Terima kasih ya”.
“Mengenai pembicaraan bapak waktu itu, bapak rasa dik Gibran sudah dapat memahaminya. Waduh, enggak tahu bapak harus ngomong apa, sepertinya bapak akan banyak balas budi ke dik Gibran”. Lanjut pa’ Ato lagi. (Dari raut wajahnya, aku dapat tahu bahwa rasa terima kasih itu benar-benar tulus diungkapkan).
( Ungkapannya itu aku dengar dengan seksama, tidak juga aku sangat bangga, walaupun sedikit tersanjung. Yang jelas, sikap ku terhadap Nia memang tulus, tanpa pamrih, karena berasal dari lubuk hatiku).
“Ah, biasa aja lah pak. Kan saya sudah menganggap Nia seperti adik saya sendiri. Selagi saya bisa, akan saya lakukan apapun untuk menyenangkan hati dia”.Jawabku dibarengi senyum.
11
(Bukan hanya kami berdua yang berada di taman ini, banyak muda-mudi yang bercengkrama, berjalan-jalan atau hanya duduk-duduk sambil bercerita dan menikmati suasana. Ada juga yang sedang berkumpul bersama keluarga diiringi canda. Angin yang berhembus pelan di sore itu, menemani keceriaan, ada celoteh keriangan anak-anak yang sedang bermain dan berlari kecil di taman).
(Aku berjalan pelan disamping Nia, tangannya memegang tanganku yang membimbing dia. Sambil berjalan, sekali kami berbicang santai, membicarakan apa saja yang membuat hati kami merasa nyaman, ditambah suasana yang memang menyejukkan hati. Setelah cukup lama berjalan, aku melihat bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang).
“Disana ada tempat duduk, gimana kalau kita istirahat dulu sebentar?”.Kata ku.
“Iya deh mas, kaki Nia juga sudah pegel nehh…”. Ujar Nia
(Dengan langkah perlahan, aku membimbing Nia menuju ke tempat duduk itu. Waktu yang berlanjut kemudian, dilewati dengan berbagai obrolan lepas antara kami berdua).
Terima kasih Tuhan, telah kau berikan sore yang begitu indah di hari ini. Sekarang ini aku sedang duduk disebelahnya, mengobrol santai tentang apa saja yang membuat kami bertambah akrab dan dekat, layaknya sepasang keluarga atau sahabat tentunya.
Tapi disela obrolan kami, tiba-tiba terbit pertanyaan dalam pikiranku. Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan tentang hal ini. Karena belum pernah aku diberitahu, meski sudah diceritakan oleh pak Ato tentang kehidupanya yang termasuk juga tentang Nia. Maka disaat obrolan kami sedang terhenti, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Nia, boleh enggak kalo mas bertanya tentang masalah yang mungkin agak pribadi buat Nia?”.
“Masalah tentang apa mas ?.(Sepertinya Nia bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang akan kutanyakan).
“Kalo emang bisa menjawabnya, pasti Nia akan jawab. (Nia tersenyum).
“Tapi mas takut Nia tersinggung’. Kataku lagi.
“Enggak ko’, lagipula enggak mungkin kan mas Gibran sengaja bertanya untuk menyinggung perasaan Nia ?.”(Masih tetap tersenyum)
“Iya juga seeh.” Jawab ku.
“Ehm, kalau boleh tahu, bagaimana awalnya sampai bisa ini terjadi sama Nia?’. (Aku sangat canggung untuk menanyakan ini. Tapi karena ini juga keingintahuanku yang tulus tanpa bermaksud apa-apa, maka cukup menguatkan niatku untuk bertanya).
“Maksud mas tentang kebutaan yang sekarang Nia alami”.
“Iya, maaf ya. Engga’ usah dijawab kalau emang Nia enggak mau jawab”. (Aku masih tak enak hati).
“Ceritanya panjang mas…”
(Tiba-tiba Nia diam, keadaan menjadi hening)
(Akupun masih menanti kelanjutan dari kalimatnya, tapi biarkan saja, itu juga kalau Nia memang ingin melanjutkan ceritanya kembali).
“Yang jadi sebab utamanya karena kejadian itu, tepatnya empat tahun yang lalu, kedua mata Nia terkena cairan obat tanaman yang jatuh dari atas lemari. Karena kecerobohan Nia yang kurang berhati-hati”.
(Nia masih bisa menceritakan runutan kejadian pilu yang pernah dialaminya itu dengan santai. Meski yang diceritakan hanya sepintas , tapi bukankah ini adalah kejadian yang sangat mempengaruhi kehidupanya. Tapi kenapa sama sekali tidak tampak raut kesedihan di wajahnya, atau mungkin karena kejadian ini sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, bisa saja merupakan waktu yang cukup baginya untuk menguatkan ketabahan. Meski menurutku, tetap sangat pahit bagi gadis seperti dia untuk menerima kenyataan sebagai orang buta).
(Jarang ada orang seperti dia, aku saja yang lelaki mungkin tidak sanggup setabah gadis ini. Dan dari perkataan Nia tadi, aku dapat menyimpulan masih ada runutan lain di belakang kejadian itu. Tapi menurutku Nia mungkin sengaja tidak ingin menceritakan semuanya. Ya sudahlah, aku dapat memakluminya. Cukuplah apa yang kuketahui kini).
Setelah itu kami kembali berbincang mengenai pembicaraan yang lain. Seperti sebelumnya, yang kami bicarakan hanya topik obrolan santai, membuat kami berdua bisa tersenyum bersama.
Tapi kemudian disela pembicaraan kami itu, Nia kemudian mengutarakan sesuatu…
“Mas, kalau sekarang Nia yang nanya, boleh enggak?”.
(Aku berpikir sejenak, kira-kira apa yang ingin ditanyakan Nia kepadaku)
‘Oh, tentu saja boleh, ayo Nia mau nanya apa”. (Akupun menjawabnya santai dengan masih sedikit bercanda).
“Selama ini mas Gibran rasanya sudah dekat banget sama Nia, Nia sudah menganggap mas Gibran seperti kakak atau sahabat sendiri. Tapi…”
(Pembicaraanya terhenti…).
“Tapi, kenapa ?” Tanyaku.
“Kenapa, mas Gibran mau dekat dengan Nia yang buta ini?.” Lanjut Nia
(Pertanyaan itu sedikit membuatku terkejut, apakah ini saatnya untuk menjawabnya secara langsung kepada dia. Tapi darimana aku harus memulainya?).
“Kenapa Nia bertanya seperti itu ?. Mas mau dekat dengan Nia tentu saja karena Nia orangnya baik dan enak untuk diajak ngobrol. Itu saja. Sama sekali enggak ada dalam pikiran mas mempermasalahkan tentang apa yang dialami Nia”.
(Kejadian selanjutnya, kami sama-sama diam. Aku asyik memperhatikan keadaan di sekitar taman ini, sedangkan Nia terdiam dengan lamunanya sendiri . Sebelum akhirnya dia berujar kembali..).
“Nia tidak ingin mas Gibran dekat sama Nia karena kasihan aja…..”
(Kalimatnya mengalir tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit serak, seperti disertai isakan yang tertahan. Dan aku bertanya-tanya sendiri, apa maksud kalimatnya?).
“Nia sebenarnya udah tahu apa yang dibicakan papa ke mas Gibran waktu itu”.
(Pembicaraan mana yang dimaksudkan oleh Nia. Apakah yang waktu itu, lantas).
“Ya, tanpa sengaja Nia mendengarkan semuanya. Dan menurut Nia apa yang dikatakan papa emang benar. Nia enggak perlu dikasihani, kalau emang karena hal itu yang buat mas Gibran ingin mendekati Nia”. (Nia tetap berbicara dengan santai, tapi aku tahu ada kesedihan dari kalimatnya itu).
“Udah, Nia enggak usah berpikiran begitu, emang selama ini sikap mas Gibran keliatan seperti itu ?. Enggak kan, Mas Gibran udah menganggap Nia juga sebagai adik, sahabat, dan segalanya..he..he..
(Terlihat sekali aku sengaja menyiratkan canda, agar suasana pembicaraan kami yang terasa sedikit kaku dapat kembali mencair).
(Gadis ini tidak tahu bahwa untuk meyakinkan kata hatiku ini, hingga sekarang aku masih bergelut dengan perasaan dan egoku sendiri. Hingga sekarang, dimana aku masih belum kalah dan juga belum menjadi pemenang terhadap kata hatiku sendiri).
Tak terasa hari sudah sore, sudah cukup lama kami berdua di taman ini. Sekarang waktunya untuk pulang, akupun harus mengantarkan Nia kembali ke rumahnya tepat waktu seperti yang telah dijanjikan ke pak Ato.
12
Sore itu ketika jarak menuju toko bunga “Kembang Setaman” tinggal beberapa hitungan langkah, gerak kakiku tertahan oleh apa yang kusaksikan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku melihat Pak Ato sedang berbicara dengan seorang pemuda.
Perbincangan mereka sepertinya serius, dari kejauhan aku melihat ada emosi yang terlihat dari wajah pak Ato. Mereka juga tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikan. Entah kenapa dari hal itu aku jadi mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Nia, tidak jadi bertandang ke toko bunga “Kembang Setaman”.
Apa mungkin karena tidak ingin mengganggu perbincangan serius mereka, sepertinya bukan karena itu juga, entahlah aku sulit menjelaskan kenapa, fellingku saja yang berperan untuk situasi ini. Ahirnya aku pulang…
(Meski sebenarnya terbersit juga tanya dalam hatiku, apa yang sebenarnya mereka perbincangkan).
(Pemuda itulah yang bernama Liyas Mayusra. Lelaki yang sebelumnya penah disebutkan mengenai peranya dalam cerita ini. Siang tadi dia sampai ke negeri ini, setelah empat tahun lamanya tinggal luar negeri. Dia pergi menuntut ilmu dan menyelesaikan pendidikanya untuk meraih gelar dokter).
Kedatanganya yang tak terduga membuat Pak Ato sangat terkejut. Sekian lama mereka tidak bertemu, beberapa saat mereka saling terdiam, tidak ada yang ingin berkata-kata terlebih dahulu.
Liyas sendiri sebenarnya sudah tak dapat memendam kerinduan terhadap tempat ini, dulu dia sering kesini, dan gadis itu tentunya menjadi tujuan kerinduanya yang lebih tak terkira. Gadis yang hingga sekarang masih sangat dicintainya, meski dia sama sekali belum tahu bagaimana keadaanya sekarang. Gadis itu adalah Nia.
Pak Ato juga adalah sosok yang tidak bisa dilupakan, dia adalah satu-satunya orang terdekat Nia yang secara tulus ramah terhadapnya. Tapi mungkin itu dulu.
Karena sekarang, entah bagaimana juga perasaan pak Ato terhadap pertemuan ini, sangat sulit diperkirakan. Adakah dia merasa kerinduan yang sama terhadap orang yang dikenal dan sekian lama tidak berjumpa, atau itu masih berbalut benci dan dendam yang lama dipendam.
Meski seharusnya pak Ato tidak pantas menganggap dia sebagai pihak yang patut disalahkan dalam pristiwa itu, Liyas layaknya Nia hanya menjadi korban masa lalu yang tidak mereka mengerti. Namun, semuanya memang berubah semenjak kejadian itu…..
(Setelah beberapa tahun lamanya, sebenanya kini Liyas telah tahu semuanya. Seperti yang telah diceritakan, tentang pak Ato yang pernah menjadi sobat karib dari lelaki yang juga suami ibunya, juga berbagai pristiwa yang akhirnya menjadi biang permusuhan antara mereka. Dan bagaimana kelanjutan hubungan persahabatan mereka, masih terkesan kabur sampai dengan kisah yang ini).
(Masih ada rahasia tersembunyi lainya. Semuanya disimpan Lias, dia yang lebih banyak mengetahui semua itu. Mungkin saat ini dia akan mengungkapnya).
“Apa kabar pak”. Liyas memulai pembicaraan. Seakan-akan tidak merasa kehadiranya cukup membuat kejutan di ruangan ini.
(Pak Ato yang masih belum dapat menyembunyikan keterkejutanya, masih terdiam dan memandangi wajah pemuda ini. Setelah cukup tenang baru dia dapat berbicara. Tapi bukan menjawab apa yang ditanyakan, melainkan balik bertanya dengan intonasi seakan menyelidiki). ’‘Kapan kamu datang?”.
“Siang tadi, apa kabar pak ?. Liyas kembali mengulang pertanyaanya. (Entah mungkin karena liyas sebenarnya juga gugup untuk memulai pembicaran ini).
“Baik”. Pak Ato hanya menjawab singkat dengan acuh.
(Kemudian pak Ato melanjutkan kalimatnya. Tapi kali ini intonasi suaranya lebih tinggi, seakan tidak senang dengan kedatangan Liyas). “Untuk apa kamu datang kesini lagi”.
(Liyas hanya terdiam kecut mendengarkan kalimat pak Ato, kemudian dia memberanikan diri untuk menjawab). “Saya sudah lama tidak kesini pak. Sudah lama tidak bertemu bapak, dan juga… Nia”
“Saya rasa kamu sudah tahu, bahwa semenjak kejadian itu, saya tidak pernah mengijinkan kamu untuk datang kesini. Itu sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan kami sudah berusaha melupakan segala yang berhubungan dengan kamu dan keluargamu. Lantas secara tiba-tiba, sekarang kamu datang, apa maksudnya?, jangan usik kehidupan keluarga kecil saya ini. Sebaiknya sekarang juga kamu pergi”.
(Intonasi kalimat pak Ato semakin tinggi).
(Dengan ekspresi wajah yang tulus mengiba, Liyas melanjutkan bicaranya) “Saya mohon. Beri saya kesempatan untuk bertemu Nia pak. Saya tidak bermaksud apa-apa, dengan pristiwa waktu itu saya tahu hubungan kami tidak akan pernah bapak restui. Tapi saya hanya ingin bertemu untuk meminta maaf kepada Nia. Waktu itu saya pergi tanpa sempat memberi tahu dia, karena memang seperti itu juga yang bapak inginkan. Bapak tidak memberikan ijin pada saya waktu hendak berpamitan, sebelum saya harus berangkat karena menerima beasiswa studi ke luar negeri. Jujur, semenjak hari itu hingga sekarang saya selalu terkurung dalam rasa bersalah. Jadi, tolong ijinkan saya pak”.
(Pak ato terdiam. Mukanya merah seperti ingin meluapkan emosi yang tertahan. Situasi seperti ini yang biasa dipahami oleh Gibran jika mereka sedang bercerita. Pak ato pasti akan meluapkan semua emosinya melalui kalimat-kalimat yang akan diutarakan).
“Jadi!, kamu ingin bertemu Nia?!......”
(Pak Ato menghentikan sebentar kalimatnya, dia menarik nafas dan menenangkan diri, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi). ”Tapi kamu harus berjanji satu hal. Jika hari ini saya pertemukan kamu dengan Nia, itu adalah yang terakhir kali. Dan kamu tidak boleh menyapanya, hanya boleh melihat saja. Karena saya tidak ingin menambah pedih luka di hati keponakan saya yang kini sudah berangsur pulih. Kamu juga akan tahu bagaimana dia sekarang setelah melihatnya nanti!”.
(Pak Ato kemudian masuk ke dalam ruangan rumahnya, dia seperti memberi isyarat agar Liyas mengikutinya. Kemudian dia menuju ke halaman itu. Disana ada Nia. Pak Ato berdiri cukup jauh supaya tidak diketehui kehadiranya oleh Nia. Lias berada tepat di belakangnya, berdiri memandang orang yang sama, Nia).
Perasaan kerinduan itu memang sudah lama terpendam, detik ini Liyas sungguh tidak dapat menahan perasaan itu. Air matanya jatuh…
Hal itu diperhatikan oleh pak Ato. Sepertinya dia paham akan perasaan pemuda ini, tapi itu tidak lantas membuat dia tunjukkan sikap yang melunak. Akhirnya pak Ato berkata lagi dengan intonasi suara yang sedikit rendah agar tidak sampai terdengar Nia.…
“ Sudah kamu lihat dia, sekarang kamu ingin tahu satu hal lagi, Nia sekarang sudah tidak dapat melihat”.
“Apa??!!” (Liyas sangat terkejut mendengar berita itu. Matanya semakin berkaca-kaca selain raut wajah yang menyiratkan kekalutan hati, dalam waktu yang cukup lama dia terus saja memadang wajah pak Ato seakan tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya).
Sedangkan di taman itu, Nia duduk dengan tenangnya. Entah apa lagi yang dilamunkanya. Nia juga sama-sekali tidak menyadari bahwa Gibran tak akan datang sore ini. Tahukah dia kalau sekarang pamanya sedang berbincang dengan pemuda yang telah lama jadi tambatan kerinduannya, perasaan hati yang juga berbalut duka perih untuknya.
Kenangan itu menyiratkan tanpa sebab yang jelas mengapa pemuda itu pergi meninggalkanya. Hingga Nia selalu menghabiskan waktunya untuk menangisi kepergian seseorang yang sudah dianggapnya sebagai kekasih sejati.
Hari-hari yang dilalui sendu kelabu. Semenjak pristiwa itu, dia seperti menjadi gadis yang sedang digundah kebingungan, sering melamunkan kepergian kekasihnya, kian pemurung dan kehilangan konsentrasi dalam setiap aktifitas keseharinya.
Suatu hari tanpa sengaja dia menyenggol lemari yang biasa digunakan untuk menaruh obat-obatan kimia tanaman di toko bunga “Kembang Setaman”, botol- botol obat itu jatuh, kedua matanya terkena cairan kimianya, itulah yang menyebabkan kedua matanya tidak bisa melihat lagi.
13
Di sore itu, kondisi toko bunga “Kembang Setaman” lengang dari kegiatan transaksi jual beli, di dalam ruanganya masih terjadi perbincangan seru antara Liyas dan pak Ato.
“Sekarang apa lagi yang kamu tunggu, bukankah kamu sudah melihat Nia. Sekarang kamu sudah tahukan bagaimana keadaan dia. Saya rasa kamu sudah boleh pergi, dan ingat! ini untuk yang terakhir kalinya kamu ke sini’. (Berulang kembali kalimat berintonasi tinggi yang diarahkan pak Ato terhadap Liyas).
“Baiklah pak, tapi sebelumnya ijinkan saya untuk mengatakan sesuatu pada bapak. Ini adalah janji saya terhadap almarhum Ibu…..” (Liyas mengucapkan kalimat itu dengan mata yang tiba-tiba kembali berkaca-kaca. Sepertinya banyak kesedihan dialaminya hari ini, tak pelak itu merupakan endapan kejadian yang terjadi dalam kehidupan di waktu sebelumnya).
“Apa!! jadi Ibumu”(Pak Ato tercengang mendengar kabar itu, lebih terkejut dibandingkan mengetahui kedatangan Liyas sore ini. Biar bagaimanapun perempuan itu pernah menjadi orang yang sangat dicintainya, atau bahkan sekarang rasa itu masih ada. Betapa dalam rasa cinta sejati, sulit untuk dilupakan meski kita telah tersakiti, karena memang itulah sebenarnya pengertian murni dari cinta)
(Kemudian hanya sendu yang tiba-tiba terlihat dari raut wajah pak Ato. Dia tak kuasa menahan air mata. Pandanganya jauh seperti mengenang kembali semua kisah yang pernah terjadi bersamanya, termasuk kejadian pahit yang mengakhiri semuanya. Liyas pun turut sedih melihat sosok di depanya ini. Dia tahu bahwa pak Ato sebenarnya juga sangat mencintai Ibunya).
“Iya pak, Ibu pergi dikarenakan penyakit yang lebih dikarenakan siksanan batin yang lama dipendamnya. Semasa hidup, dia meninggalkan orang yang sangat dicintainya, untuk dipaksa masuk ke dalam kehidupan pahit bersama lelaki lain yang sangat dia benci, kemudian hidup sendiri membanting tulang demi membesarkanku. Puncak kesedihanya pada saat kejadian itu, disaat Ibu tahu aku menjalin hubungan dengan Nia, keponakan dari mantan suami yang sampai akhir hayat tetap dicintainya”.
(Dengan raut wajah yang masih sedih, kalimat terakhir Liyas tadi membut pak Ato semakin terpaku untuk terus mendengarkan apa yang dikatakanya. Tidak ada lagi kesan kemarahan yang sedari tadi ditujukanya kepada liyas. Karena biar bagaimanapun tabiat aslinya bukanlah seorang pembenci).
“Ibu juga menceritakan suatu rahasia yang bertahun-tahun disembunyikanya. Ini bukan hanya tentang kehidupan saya,….(Liyas mengehentikan kata-katanya sejenak)…tapi juga tentang bapak sendiri”
“Apa maksud kalimatmu” Kata pak Ato
“Sebelum meninggal Ibu akhirnya menceritakan sebuah rahasia, tentang saya yang sebenarnya bukan anak dari lelaki itu, dia yang hari ini akan keluar dari penjara dan kembali menghirup udara bebas”.
“Apa!!”
(Ada apalagi ini, terungkap lagi sebuah rahasia dalam kisah ini. Kali ini pak Ato yang yang dibuat tidak mengerti akan kerumitan jalinan cerita yang berhubungan dengan hidupnya sendiri).
“Lantas, siapa ayahmu” Pak Ato melanjutkan kalimatnya, terlihat keingintahuanya yang sebegitu besar.
“Ayahku adalah suami Ibuku sebelumnya….”
14
(Dalam perbincangan sore itu, ahirnya terungkaplah inti semua rahasia yang ternyata selama ini disimpan rapat oleh Tiara Febriyanti, Ibu dari Liyas Mayusra. Dialah sebenarnya yang mengetahui simpul yang mengikat kisah ini dalam belitan kisruh yang membingungkan).
(Hingga berujung pada kisah lain yang menaut garis nasip pak Ato bersama keponakanya Nia. Ada pula sesosok pemuda yang awalnya tidak tahu apa-apa, namun terdorong oleh perasaan sejatinya hingga terpaksa melebur pula dalam jalinan kisah ini. Meski dia lebih pantas disebut pendengar atau mungkin saja dia yang menceritakan kisah ini pada kalian).
Kedatangan liyas di sore itu adalah saat yang sudah lama dinantikanya, dia masih sangat mencintai seorang gadis yang pernah ditinggalkan karena bukan atas keinginannya, itu bermuasal dari lika-liku kehidupan sebelumnya yang dia sendiri tidak paham. Untuk itu dia datang kembali dengan maksud meluruskan semuanya, setelah betapa tak kuasa menahan rasa bersalah yang selama ini selalu membayangi.
Adapun waktu ini dianggap tepat, setelah dia menunaikan janji suci terhadap sang Ibu, wanita tangguh yang telah membesarkanya seorang diri tanpa kehadiran seorang ayah. Janji untuk menyelesaikan pendidikanya di bidang kedokteran.
Wanita yang dia panggil Ibu itu juga tidak dapat menolak datangnya waktu untuk dipanggil olehNya, terjadi disaat anak tercintanya sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir dalam dunia pendidikan yang sedang dijalani. Wanita itu tidak sempat melihat anak kebangganya menepati janji, menjadi seorang sarjana kedokteran.
Anaknya juga tak pernah mengenal ayah secara utuh dalam hidupnya, yang dia tahu hanya lelaki yang telah mendekam dalam penjara semenjak dia masih bayi. Lelaki yang tidak pernah dia lihat rupanya secara langsung, dan di hari ini juga dia bermaksud untuk bertemu denganya, menuntaskan janji lain yang pernah diikrarkan pada Ibu.
Di hari ini lelaki itu dinyatakan bebas secara hukum, setelah berpuluh-puluh tahun lamanya terkurung dalam ruangan pengap berjeruji. Dialah Bayu Arianto, seorang sahabat yang lebih pantas disebut musuh, karena kenyataanya dia punya niat yang tersembunyi, menikam sahabatnya sendiri dari belakang. Pak Ato tentu sangat mengenalnya.
Tentulah hanya Ibu yang tahu ayah dari anaknya sendiri. Walau bagaimanapun rahasia itu pasti akan terungkap, Ibu mana yang tega biarkan anaknya terus terpenjara dalam kebingungan karena tidak mengetahui sang ayah. Tapi Liyas juga tidak pernah membayangkan jika ayahnya yang sebenarnya adalah pak Ato.
(Rahasia yang terungkap setelah liyas menemukan secarik kertas yang tersimpan rapi didalam kotak warisan peninggalan Ibunya. Di kertas itu tertulis semuanya, bahwa lelaki yang berada di penjara itu tidak lebih dari seorang penjahat yang pantas untuk dilaknat. Bersyukur Liyas merasa tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ayah).
Ibunya dipaksa untuk meninggalkan suami yang dicintai. Bayu memaksa dia menikah dengannya dibawah ancaman bahwa sang suami akan dibunuh jika dia tidak menuruti. Lagipula saat itu, siapa yang tidak mengenal Bayu, anak dari keluarga kaya raya dan ternama. Bisa dan pernah melakukan apa saja dengan harta mereka.
Karena rasa cinta yang tulus terhadap suaminya yang membuat Tiara Febriyanti akhirnya terpaksa menuruti kemauan Bayu. Meski akhirnya hal itu yang merubah jalan kehidupan dan tujuan masa depan yang selama ini diimpikanya. Suami yang dicintainya justru balik menistanya, dia dianggap tak lebih sebagai perempuan yang rela menjual tubuhnya demi harta.
Kebencian sang suami terhadap dirinya terus tumbuh seakan tak termaafkan, hingga perlahan dia mencoba jadi wanita yang harus tegar untuk menerima semua ini. Meski dia tetaplah seorang wanita, yang akan jatuh terhadap perasaan hati mendalamnya sendiri, wanita kerap terpuruk kalau dia sudah merasa sangat nista.
Tiara merasa tidak guna hal sebenarnya terungkap jika tidak lagi ada kecusian yang pantas diserahkan pada orang yang dicintainya. Akhirnya jadikan dia tabah menerima jalan hidup yang sudah ditentukan.
Bayu, lelaki laknat itu juga akhirnya dipenjara karena kebusukannya yang telah tercium, tapi meski begitu Tiara tetap menyimpan rahasia ini rapat. Disaat itu dia sedang menanti kehadiran seorang buah hati yang telah beberapa bulan dikandunganya, benih cinta yang ada sebelum pristiwa pilu ini terjadi, itu adalah anak dari suaminya yang sebenarnya. Anak dari pak Ato.
15
Banyak sudah rahasia yang terungkap di hari ini. Sedari sore mereka berbincang dan kini hari telah menjelang malam. Ahirnya banyak kesedihan yang tak terelakkan dari kisah-kisah itu. Pak Ato dan Liyas terpaku dalam endapan perasaan pilu masing-masing, ada yang mendengarkan dan ada yang menceritakan rahasia tentang hidup yang selama ini sudah mereka jalani sendiri. Terungkaplah semua.
Liyas sudah pergi beberapa waktu lalu, berpamitan dengan sedu sedan. Pak Ato kemudian juga tidak lagi bersikap kasar seperti saat kedatangan Liyas sore tadi. Justru ketika Liyas pamit, ditanggapi pa Ato dengan diam seribu bahasa. Tak ada ekspresi apapun. Perasaanya diselubungi kegundahan akan kebingungan hatinya sendiri. Benarkah semua kisah ini….
Meskipun dia akhirnya meminta Liyas untuk jangan pergi, tetap disini dan menemukan kembali bagaimana seharusnya hubungan ini kembali terjalin, jika Liyas memang benar anaknya, hasil dari rasa cinta terhadap seorang wanita yang sampai akhir hayatnya menderita akibat kesalahpahaman mereka.
Wanita itu yang paling menderita dalam kisah ini, dia sanggup berkorban menahan kepedihan perasaan yang menahun demi rasa cintanya sejatinya terhadap orang-orang yang dikasihi. Begitulah wanita dan karena itu mereka diciptakan untuk menjadi seorang Ibu.
Dengan kembali membayangkan Tiara, membuat perasaan hati pak Ato semakin perih.
Tapi Liyas tetap membulatkan tekadnya untuk pergi, meski ini mungkin bukan terakhir kalinya dia disini. Karena masih ada satu janji terhadap Ibunya yang harus ditunaikan di hari ini, yaitu bertemu dengan lelaki itu.
Lantas bagaimana dengan Nia?. Dia belum meminta maaf terhadap gadis itu, tapi apa gunanya? dengan melihat keadaan Nia yang sekarang saja malah semakin membuat dia merasa bersalah, lantas bertemu hanya akan menambah masalah. Meski itu membuat hatinya semakin perih.
(Luluh lantak perasaanya melihat semua kenyataan ini, ada perasaan berdosa karena dia merasa ikut ambil andil terhadap kebutaan yang dialami Nia. Gadis itu tetap dicintainya, meski dengan cara yang lain. Dia akan menghilang, membawa semua perasaan dan kenangan itu, semoga dengan begitu cintanya akan tetap abadi).
Di dalam kontrakan, seperti biasa, saat sore menjelang malam aku sering mengisi waktu dengan membaca buku-buku filsafat yang berjajar rapi di rak buku dalam ruangan ini. Namun hatiku sebenarnya tidak tenang, entah kenapa…
Sore tadi aku tidak jadi bertandang ke toko bunga “Kembang Setaman”, tidak menepati janji untuk bertemu Nia, tapi bukan karena itu yang membuatku tidak tenang kali ini.
Aku juga baru saja menerima telpon dari kedua orang tua yang berada jauh di ujung timur negeri ini, memintaku agar liburan semester depan mau pulang untuk bertemu mereka.
Akupun mengiyakan permintaan mereka. Jika tak berhalangan, dilibur semester depan aku akan pulang bertemu orang tua dan anggota keluargaku yang lain. Terakhir pulang waktu itu aku masih kelas dua SMA, sudah lama sekali, pantaslah sekarang ini aku memendam kerinduan yang dalam terhadap mereka.
Dan disela asyiknya membaca buku, perutku mulai terasa lapar. Biasanya tidak seperti ini, bukankah sekarang belum waktunya untuk makan malam. Tapi apa yang mau dikata jika situasi menghendaki seperti itu. Aku menghentikan bacaan, hendak keluar untuk membeli makan malam di warung langganan yang lokasinya terletak diantara kontrakan dan toko bunga “Kembang Setaman”.
Sesampainya di warung, tanpa banyak basa-basi aku langsung memesan sebungkus porsi makanan. Sambil menunggu penjaga warung membungkus makanan, aku menyaksikan siaran berita televisi di warung itu
Di layar televisi menyiarkan berita tentang pembebasan seorang Napi kasus narkoba yang terjadi sore tadi. Dia dipenjara karena menjadi pelaku utama penyeludupan narkoba terbesar yang pernah ada di negeri ini. Sekitar dua puluh tahun dia dipenjara dan hari ini adalah waktu baginya untuk menghirup udara bebas kembali. Bayu Arianto nama orang itu.
Aku terkejut mendengar nama itu. Sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi dimana dan kapan?. Setelah coba mengingat-ngingat kembali akhirnya aku menemukan jawabanya, tapi apakah benar bayu yang dimaksudkan adalah dia. Bayu Arianto yang pernah menjadi sobat karib pak Ato dan juga tertangkap karena kasus narkoba. Apakah dia Bayu Arianto yang pernah diceritakan oleh pak Ato waktu itu?.
Setelah membayar sebungkus porsi makan malam, aku pergi. Tapi bukan kembali ke kontrakan melainkan menuju toko bunga “Kembang Setaman”. Ada yang harus kuberitahukan kepada pak Ato, jika Bayu yang dimaksud oleh penyiar televisi tadi memang Bayu seperti yang kuperkirakan. Mungkin saja pak Ato juga tidak menyaksikan berita televisi hari ini. Selain itu aku juga dapat sekaligus bertemu Nia, meski mungkin hanya sebentar setidaknya menggantikan waktu yang harusnya sore tadi.
16
Tapi aku menyaksikan pemadangan yang mengejutkan setelah hampir sampai di depan toko bunga “Kembang Setaman”. Melihat pak Ato sedang bertengkar hebat dengan seorang lelaki. Tampang dan pakaian yang dikenakan lelaki itu sepertinya sangat tidak terurus, dia seperti baru keluar dari tempat yang sangat terpencil.
Disana juga ada pemuda yang sedang berbincang dengan pak Ato sore tadi. Dia tidak kalah tegangnya menyaksikan pertengkaran pak Ato dengan lelaki itu. Akupun berjalan mendekati mereka secara perlahan, dan sayup-sayup mendengar suara diantara mereka.
“Waktu ini yang sudah lama kunantikan, bertemu dengan kau Ato!, menuntut pembalsan dendamku” Ujar lelaki itu dengan penuh kemarahan. (Tangan kananya tersembunyi di sebalik baju, seperti ingin mengambil sesuatu).
(Kemudian dia menoleh ke pemuda yang berada tidak jauh disampingnya). “Dan kau anak haram!! Jangan kau pikir aku tidak tahu semuanya, kau bukan anakku dan pastinya juga ingin membalas semua perlakukanku terhadap Ibumu. Kau sama nistanya dengan kedua orang tuamu. Ayahmu adalah orang yang berdiri di hadapanku ini dan Ibumu tidak lebih dari seorang pelacur jalanan. Kalau saja dia belum tewas, mestinya dia juga menyaksikan kejadian malam ini.ha..ha….
(Lelaki itu tertawa lepas. Tapi apa maksud perkataanya, aku hanya dapat mencernanya dari jarak dan pandangan yang tersembunyi oleh mereka. Suasana dan gelap malam sedikit menutup kehadiranku disini).
Mendengar ucapan lelaki itu, pak Ato dan pemuda tadi tiba-tiba menjadi marah besar. Melihat gelagat itu, dengan cepat lelaki tadi mengeluarkan benda yang ada disebalik bajunya. Ternyata itu adalah senjata api, dia menodongkan senjata itu ke arah pak Ato yang sudah siap menerjangnya.
Tapi, mungkin dia kalah cepat, pemuda disampingnya segera menendang tangannya yang sedang memegang senjata dan cepat menghujamkan pukulan telak kearah wajah lelaki itu. Dia tersungkur dan senjatanya jatuh tidak jauh darinya.
Pak Ato yang juga sudah melancarkan serangan dengan sigap coba meringkusnya. Setelah melihat kejadian itu akupun berlari kencang kearah mereka. Ternyata lelaki itu masih sanggup bergerak dan dengan tangkas meraih senjatanya kembali, dia menodongkan kembali kearah pak Ato.
Disaat itu aku sudah berlari mendekati mereka, dan mereka sama sekali tidak memperhatikan kehadiranku. Senjata yang sudah siap ditembakkan ke arah pak Ato membuatku dengan reflex melompat dan mendororong tubuh pak Ato.
Door!!!senjata itu meletus. Pak Ato tersungkur ke sebelah kanan. Dadaku terasa perih tak tertahankan, seperti ada besi panas yang menikam hingga ke jantung.
(Tiba-tiba kesadaranku sepertinya perlahan menghilang, tapi sempat menyaksikan sekilas pemuda itu dengan cepat menghajar lelaki tadi secara bertubi-tubi, setelah menghempaskan jauh senjata api miliknya. Kemudian aku tidak tahu apa-apa……….)
“Bangsat!!!Aku juga tidak akan pernah memanggilmu ayah. Rasakan ini…..”(Liyas menghajar Bayu secara bertubi-tubi seperti orang yang sedang kesetanan, itu terjadi setelah senjata api yang diletuskan Bayu telak mengenai dada Gibran).
“Kau benar, inilah janjiku pada Ibuku, aku harus menuntut balas atas apa yang selama ini kau lakukan kedalam kehidupan kami, Ibuku (Liyas memukul wajahnya), Pak Ato (memukul lagi), Aku (sekali lagi), Nia (lagi), dan juga pemuda ini (pukulanya terakhirnya yang paling keras di ulu hati)”.
(Perkelahian yang tak seimbang buat mereka berdua, Bayu hanya menjadi sasaran kemarahan Liyas yang sudah tak kuasa memendam amarah. Itu dilakukan sambil tak kuasa menahan derai air matanya, karena kalut dan mengingat masa-masa sedih yang pernah dilalui dia bersama Ibunya, juga apa yang dialami pa Ato dan Nia)
Disudut lain pak Ato sedang berteriak meminta pertolongan kepada warga kampung, dia tidak sempat melihat Bayu yang dihajar habis-habisan oleh Liyas. Gibran luka terkena tembakan. Di dadanya mengalir darah segar, batas kesadaranya juga sudah mulai hilang, pak Ato hanya mendengar dia mengucapkan sepatah kata yang itu-itu saja “ Nia’.
Bayu telah terbujur berdarah-darah di tanah, pukulan telak Liyas yang telak mengenai ulu hatinya membuat dia tak sadarkan diri. Tak lama berselang, polisi yang dihubungi warga sekitar datang bersamaan dengan dua mobil ambulance.
Bayu dimasukkan ke dalam mobil ambulance ditemani beberapa orang polisi yang akan memeriksanya nanti, berdasarkan kesaksian sementara, dia mungkin akan kembali dinyatakan sebagai tersangka untuk kasus yang berbeda dari sebelumnya, pristiwa yang terjadi malam ini adalah upaya pembunuhan…
Dan entah bagaimana dengan keadaan Gibran.
Gibran ikut ke dalam mobil ambulance yang satunya lagi, turut serta pak Ato dan Liyas yang menemaninya.
Tapi dimana Nia….
(Pak Ato sudah mempunyai prasangka atas kejadian ini semanjak kedatangan Liyas sore tadi, karena itu dia sengaja menelpon istri dari seorang temanya yang cukup dekat untuk mau mengajak Nia bermalam di rumahnya beberapa hari, dengan alasan dia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis penjualan bunganya. Jadi segala pristiwa yang terjadi mulai sore tadi sama sekali tidak diketahui oleh Nia, mungkin itu lebih baik tapi bagaimana dengan akhir kisah ini nanti ?.).
17
(Ketika tersadar, sepertinya aku sedang berada dalam ruangan sempit yang sedang melaju kencang, samar-samar penglihatan dari kedua mata yang kubuka perlahan. Wajah-wajah buram itu makin lama dapat kulihat dengan jelas, ada pak Ato, pemuda tadi, dan dua orang mengenakan pakaian serba putih seperti perawat, dan akhirnya aku menyadari keberadaanku yang sekarang ini di dalam mobil ambulance).
(Pak Ato sedang menanangis melihatku, pemuda tadi hanya memandangku dengan penuh iba sambil memegang botol infus. Aku sempat melihat tubuhku yang sudah tidak berbaju, dadaku dililit ferban putih dan ada bercak merah darah banyak sekali).
“Sabar ya dik, kamu pasti akan sembuh” Kata pak Ato.
(Aku tidak tahu ingin menjawab apa karena masih diliputi ketakutan terhadap apa yang sedang kulihat, apa yang baru saja kualami ?, kenapa bisa begitu ngeri aku melihat tubuhku sendiri).
(Tapi ada sesuatu yang aneh kemudian terjadi, pikiran dalam otakku seperti berputar ke masa lalu. Aku mengingat semua kejadian yang kulewati di kota ini. Rasa sakitku hilang. Aku ingat bagaimana pertama kali datang ke kota ini, kontrakanku dan seluruh isinya, Toko bunga “Kembang Setaman”, Pak Ato, taman itu……Nia, dan hal tak jelas lainya).
(Semua hal itu silih berganti, beberapa kali berkelabut dalam ingatanku, kemudian hilang. Selanjutnya aku kembali ke kejadian malam tadi, melihat lelaki yang menembakku….Kemudian gelap, semuanya gelap).
(Tiba-tiba datang seorang wanita di hadapanku, aku mengenal rupanya, dia adalah ibuku. Dia tersenyum tapi tak berkata apa-apa, kemudian hilang. Aku melihat Nia, tapi dia tidak memandangku, seperti sedang dalam kesedihan, dan terus memanggil namaku).
Aku kembali sadar, sekarang masih berada di dalam mobil ambulance ini. Pak Ato dan pemuda tadi sepertinya sedikit senang karena aku telah kembali sadar. Di hadapanku, ada seperangkat alat kedokteran yang dipegang pemuda itu, aku pernah melihat alat ini sebelumnya, meski tak tahu apa namanya.
Sepertinya itu untuk memompa jantung dengan cara ditekankan ke dada, pemuda itu mungkin tahu caranya dan baru saja menggunakanya di tubuhku. Semua hal itu masih bisa kubayangkan dalam pikiran, meski hanya sekelebat dengan pemandangan kabur secara silih berganti.
Tiba-tiba…..
(Apa itu, aku melihat cahaya terang di atas kepalaku. Mahkluk apa ini, terus mendekat dan membentuk wujud seperti manusia, tapi jika benar, seumur hidup aku baru melihat manusia yang seperti ini).
(Sulit untuk dijelaskan, dia tersusun dari cahaya yang menyilaukan, membuat aku sulit untuk melihat rupa yang sesungguhnya. Seharusnya aku terkejut tapi tidak, hanya terpaku dalam suasana yang tidak kupahami, itu terjadi ketika akhirnya aku tahu mahkluk ini juga bisa berbicara. Bukan bahasa yang selama ini biasa kugunakan, tapi kenapa aku dapat memahaminya, kalimat itu ditujukan padaku).
“Sebutkan permintaan terakhirmu pada mereka”. Hanya itu kalimatnya…
Setelah itu, tiba-tiba semuanya kembali kulihat denga jelas. Pak Ato, pemuda itu dan kedua perawat masih berada di depan pandanganku. Mereka sepertinya sudah tahu dan menanti apa yang akan kukatakan.
(Kalimat ini mengalir saja dari tenggorakan, aku mengucapkanya dengan terbata-bata, seperti tertahan oleh napas yang kian sesak).
“Tolong bilang ke orang tua saya, ibu saya…..” (kini aku baru bisa merasakan sakit yang perih di dadaku. Setelah berusaha menahanya, kemudian aku berkata lagi..) “juga sumbangkan dua mata saya ini untuk Nia”…….
Napasku tersengal-sengal, dadaku melonjak kuat beberapa kali turun naik, mereka tak mampu menahanku, aku seperti memberontak terhadap tarikan yang sangat kuat, sebelum akhirnya aku tenang dengan sendirinya.
Berawal dari ujung kuku hingga ke sekujur tubuh, akhirnya seluruh tubuhku membiru dan dingin sekali.
Ini kalimat terakhir yang sempat ku ucapkan…..
“Ashaduallaillahaillallah..
waashaduannamuhhamadarasullah”…..
18
Lahan yang cukup luas ini kelihatan seperti ladang yang baru saja habis dibabat secara tidak merata. Dataranya ditumbuhi rumput-rumput tipis, tapi masih tersisa belukar, dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh tak beraturan.
Dengan datangnya musim panas, kegersangan tambah terlihat, meski ada beberapa pohon besar yang cukup rindang tapi itu tidak banyak. Kerikil-kerikil terhampar pastinya terasa panas jika dipijak bertelanjang kaki.
Keheningan suasana di tempat ini sangat terasa, tapi mungkin lebih pantas disebut tempat yang suram. Semilir angin hembusanya terasa berbeda, sesekali ada suara kicau burung dan sekelompok manusia yang berdatangan, namun tetap saja tempat ini dekat dengan sepi.
Pagi mungkin sama cerah tapi tetap saja ada yang terasa berbeda, siangpun tetap sama mencirikan suasana janggal terlepas dari terik ataupun tidak. Apalagi saat malam tiba, membawa kelam yang menambah suram tempat ini.
Padahal sebenarnya lahan ini berada di tengah-tengah kota dan bersebelahan dengan jalan ramai, sekelilingnya berpagar besi yang yang mudah tampak dari jalan umum tersebut. Namun tetap saja tempat seperti ini sejak dulu menyimpan misterinya sendiri dalam sunyi.
Di sanalah batu-batu nisan bertuliskan nama berderet rapi dengan berbagai ukuran tubuh yang pernah ditimbun di dalamnya. Mereka sudah tidak bernyawa lagi, entah bertahun-tahun atau mungkin masih segar dengan bau tanah yang belum lama. Semua itu bisa diperkirakan dari corak nisan pemiliknya, sudah usang, mulai pecah-pecah, atau masih terlihat baru dengan tinta nama yang masih jelas terbaca.
Siang ini, jumat 17 desember 2010, empat tahun yang lalu di hari dan tanggal yang sama pristiwa itu terjadi. Sepanjang waktu itu juga wanita yang sekarang ini berdiri di depan batu nisan itu rutin mengunjungi setiap minggu dan selalu saja di hari jumat.
Ini sudah seperti kebiasaan untuknya, jika datang dia selalu menyempatkan diri untuk berdoa, membersihkan sepetak tanah yang bernisan ini, atau berbicara tentang apa saja, namun entah dengan siapa dia berbicara.
‘Gibran Sasongko. Jakarta, 3 maret 1986 - 17 desember 2006”. Di sini, empat tahun lalu tubuhnya yang telah tak bernyawa terkubur, ditimbun dan terurai tanah hingga kini mungkin tinggal tersisa tulang. Tapi sosok dia tidak mungkin dilupakan oleh wanita tadi, dan beberapa orang terdekat yang diceritakan dalam kisah ini.
Mungkin kalian tahu siapa wanita yang sekarang ini sedang berdiri di depan batu nisan Gibran, dia adalah Nia. Pristiwa penembakan itu telah merenggut nyawa orang yang kini sangat berarti untuknya.
(Waktu itu Nia belum benar-benar mengenal dia, karena bagaimana rupanya hingga kini hanyalah misteri bagi Nia. Kisah yang pernah terjadi bahkan belum pantas disebut permulaan, dan seandainya pristiwa itu tak terjadi mungkin tidak akan seperti ini perasaan Nia terhadap dia).
(Gibran pernah hadir dalam kehidupan Nia secara tiba-tiba, kemudian perkenalan mereka sebatas kedekatan sewajarnya saja, layaknya saudara ataupun keluarga. Keramahan dan kebaikanya memang menimbulkan rasa simpatik di hati Nia, tapi belum menampakkan apa-apa karena ada suatu keadaan yang harus membuat masing-masing dari mereka menahan rasa).
(Nia telah menyadari keadaanya. Ihklas untuk takkan pernah menerima sebuah rasa jika hanya dikarenakan iba semata, meski sebenarnya penilaian seperti itu tidaklah tepat untuk Gibran, dari awal sampai akhir hayatnya dia tetap menyimpan rasa yang ketulusanya hanya dia yang lebih tahu).
(Hingga akhirnya dengan kejadian itu, Nia baru mengerti arti dari perasaanya yang sejati. Itu bukan cinta, jika diartikan lebih dari sekedar rasa ketertarikan semata. Cinta yang dimiliki manusia kadang masih bermain dengan ego, tidak mau menerima kekurangan pasanganya. Kekuatan cinta terkadang hanya dikarenakan balutan semu fisik).
(Jikalaupun ini dikatakan cinta, adakah cinta yang tidak mengagungkan kiasan klise, keihklasan berkorban demi cinta meski tanpa harus memiliki. Gibran selama hidup tidak pernah tahu arti cinta, tapi justru di penghujung nafasnya dia dapat membuktikan itu melebihi pengertian cinta yang selama ini diyakini banyak orang).
(Itu karena persembahan terakhir yang dia berikan, kematian adalah batas pengorbanan tertinggi yang diberikan manusia selama hidup. Dan disaat ajalnya itu, dia tetap mengingat gadis yang selalu ada di hatinya, dia merelakan jasadnya bersemayam tanpa raga yang lengkap, memberikan kedua matanya untuk Nia, menyiratkan cintanya yang tak lekang oleh waktu).
(Meski rasa sejati itu didapatkan setelah dia pergi, dan dia tak dapat mengecapnya secara nyata, namun karena itulah cintanya dikatakan abadi. Gibran tetap diingat dan didoakan oleh orang yang mencintainya, kisahnya menjadi sejarah tentang cinta sejati yang pernah terjadi.
Jika dulu sering aku bertanya, “kenapa begini kehidupan”?, sekarang telah kutemui tempat berlabuh. Aku pernah terdampar di tanjung kelam, karena tapakku jauh melangkah mencari tanda deburan takdir.
Hidup ku dulu bagaikan buih diantara ombak. Kini kutahu itu sebuah kesalahan, “jiwaku selama ini pongah”. Kemudian hidup yang terus berjalan membuat aku sadar, aku harus berarti dalam kehadiran di bumi yang hanya untuk sekejap.
Dia yang pernah ku mohon untuk merasakan sesuatu yang bisa merubah segalanya. Kisah persuaan yang kuyakini hadir karena perantaraan takdir Ilahi.
Segala sesuatu telah tergurat rapi didalam buku takdirNya. Aku sebagai pemain yang diharuskan memainkan permainan sesuai dengan tata peraturan kekal yang sudah ada, apa daya mengelak dengan segala pembangkangan, jika ‘pulang’ adalah kepastian yang abadi.
Semuanya tergantung bagaimana kita ingin berpindah dari fana ini. Untuk memahami semua itu kembalilah ke anugerah nalar yang tercipta untuk hidup bijak dan tidak dipecundangi diri sendiri.
Mahkluk bernurani memang sudah dikaruniakan berbagai perasaan naluriah. Iba nestapa dan kasih bahagia adalah karunia terindah. Tanpa salah satunya kehidupan hanya akan diam, dipenuhi kehambaran dan kita tidak akan pernah mengerti pemahaman dari semuanya itu.
Keuntungan dari derita adalah agar kau tahu betapa pentingnya berusaha meraih bahagia. Selama masih bernafas maksud dan tujuan kehidupan hanyalah bekal untuk mati, tapi apalah artinya insan bernalar jika kehidupan dan kematian hanyalah sia-sia. Dan aku bersyukur tidak seperti itu, setidaknya kepergianku tidak lantas membuat rasa itu turut sirna untuk orang yang kukasihi.
Nia, kini sebagian ragaku ada padamu terus sampai nanti. Apa kamu tahu…aku tetap dekat denganmu, membawa rasa yang tetap abadi untukmu.
PROSA
AKU
Kini sebagian ragaku ada padamu sampai nanti,
Apa kamu tahu…
aku tetap dekat dengamu,
membawa rasa yang tetap abadi untukmu.
Amateur_Blogger
Penerbit
Maldaz Prosa
PROSA AKU
Oleh: Maldalias
Copyright © 2010 by Maldalias
Penerbit
Maldaz Prosa
mxforefer.blogspot.com
mxforefer@hotmail.com
Desain Sampul:
Maldalias
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
“Gibran sasongko” itulah namaku.
(Untaian kata yang hampir menyerupai nama seorang pujangga terkenal).
Tidak pernah aku membayangkan kehidupan yang dilewati berbagai rintangan tak jelas. Oleh sebab itu, aku juga tidak yakin menyukai cara hidup seorang pujangga. Kehidupan mereka selalu ditorehi kelokan alur yang mewarnai perasaan dan cara berpikir.
Namun bila tetap disangkutkan dengan namaku, mungkin abstraknya kehidupan yang kualami hanyalah sebuah kebetulan. Kalaupun ada rentetan kesamaan, itupun hanya cara-Nya yang telah digariskan untuk ku.
Berbagai masalah yang mendera, terkadang membuat ku hilang bersama pikiran sendiri. Mereka yang tidak perduli, menjadikan aku tidak sepenuhnya ada di dunia ini.
Kasarnya aku dianggap manusia“Abnormal” yang sengaja memenuhi otak ku dengan pikiran sinting.
Tapi “Semua itu Fitnah”, berseberangan dengan kenyataan sebenarnya.Merekalah yang tidak sanggup untuk mengerti isi pikiranku yang melebihi batas kenormalan mereka.
Pada dasarnya aku juga menganggap basa-basi itu tak perlu, hanya perbuatan rendah. Entah darimana tercipta pendapat seperti itu, yang jelas aku bukan orang bodoh yang mau merendahkan diri sendiri.
Diam memang jalan terbaik, aku lebih senang bermain dengan nalar yang ada di kepalaku, dengan begitu aku bisa membuat peraturan yang kusuka sesuka hati. Untuk apa juga mengomentari sikap manusia lain, jika itu hanya akan menghasilkan sampah perdebatan yang mengotori pikiran.
Kalimat-kalimatku memang terdengar egois!. Tapi, bukankah itu juga sifat alami manusia yang terkadang diperlukan sebagai “tameng” pembelaan diri.
Bila sering direndahkan, egoislah yang lumrah menjadi pilihan supaya tetap jadi pemenang dalam keterasingan.
Tapi aku tidak merasa “egois” bila bersikukuh hidup yang kujalani bukanlah kutukan dari nama, tanggal lahir atau ramalan apapun. Lagipula apalah arti dari namaku ini, hanyalah untaian huruf yang sama sekali tidak punya makna berharga, ah “Masa bodo”!.
Yang kutahu, aku selalu bangga mengakui keadaan diri. Tanpa perlu malu dengan aku yang tidak tampan, kurang pintar, hanya menyimpan sedikit sikap sopan dan tertib, serta masih banyak kekurangan lain yang “Egois” ingin kusimpan sendiri.
Intinya dibalik sisi egois ku, masih ada keinginan untuk bersyukur, karena semuanya sudah kurasa cukup untuk ku.
“Persetan dengan yang lain jika mereka juga sama bersikap seperti itu kepadaku”, aku yakin hidup dapat dituntun dengan segala daya dan pikiran dasyat yang ada dalam otakku. Anggaplah mereka yang menganggapku “aneh bahkan sinting” hanyalah angin lalu.
Lagipula selama norma-norma itu masih dibuat oleh mereka, tidak ada gunanya mereka tahu kalau akulah yang lebih normal. Karena hanya untuk menjadi seorang normal dalam dunia mereka, memaksa aku untuk mengikuti segala tingkah yang bertentangan dengan pikiranku.
Sesekali aku memang pernah merasa ada baiknya menyenangkan hati mereka, mengikuti segala peraturan dan berlagak semuanya baik-baik saja. Tapi karena itu berawal dari keterpaksaan, aku malah semakin menjadi tidak betah dan memilih konsekuensi sebelumnya “berteman sepi”.
(Disebalik itu, tahukah kalian bila hingga sekarang tetap kunanti pengakuan jujur, bahwa merekalah yang sinting, “bukan aku!”).
Tapi aku juga manusia, seiring alunan waktu, pengucilan yang terasa tak berkesudahan itu membuat aku merasa beda. “Sendiri” telah membuat aku menjadi pecinta kesunyian, segalanya menjadi serba individual. Akhirnya terbit pemahaman ini, semakin lama terus berakar kokoh dalam pikiranku.
Tercipta kesadaran, bahwa hidup sendiri dapat mematikan rasa. Hanya mahkluk tak bernurani yang sanggup melewatinya. Jelas diriku bernurani dan hanya binatang yang tidak. Aku masih butuh keramaian dan hanya itu yang tersirat dalam pikiran di otakku sekarang ini.
Tak juga berguna jika aku mencari pelampiasan, kenapa sebelumnya sikapku sampai seperti itu. Meski aku juga yakin bahwa karakter terbentuk dari hal-hal paling dekat dalam hidup kita.
Lingkungan tempatku tumbuh adalah keluarga yang mengasihiku,memberlakukan aku sebagaimana mestinya. Mereka mengajariku teori “peduli sesama” sebagai syarat membaur dalam masyarakat.
Sempat aku mengecap situasi dan kondisi yang termasuk takaran rasa bahagia setiap manusia normal. Kesimpulanya, semua itu pernah aku terima dan berjalan apa adanya.
Hingga kedewasaan dan kehidupan bermasyarakatlah menjadi jawabanya, lambat laun menghantarkan aku menemukan pikiran bebas sendiri. Berusaha menelusuri setiap detik kehidupan dengan pemahaman yang kucipta sendiri.
“Patutkah ada yang disalahkan, jika aku berusaha menjadi manusia sempurna”?. Jika demikian, mereka yang menghinaku pantas menjadi sebab, hingga aku selalu menuntut “hormat” karena takut direndahkan.
Itulah hidupku sebagai seorang Gibran sasongko. Aku masih menjadi manusia yang mampu menjelajahi belukar kehidupan, meski berlalunya waktu hanya boleh dituntun oleh nalar cerdasku sendiri. Bertarung melawan deraan aral dengan prinsip yang dianggap “egois’.
Semuanya tetap berjalan apa adanya, dengan konsekuensi yang harus kuterima “tersisih dari keramaian”. Sampai pada suatu saat aku menemukan Dia. ”Bidadari pujaan hati”.
1
Hari ini, hari pertama aku menyandang predikat sebagai seorang mahasiswa. Jurusan Filsafat yang menjadi pilihan disalah satu perguruan tinggi negeri cukup ternama. Serta menjadi penghuni baru sebuah kontrakan yang terletak di dekat kampus tersebut.
Sebagai orang baru, tentunya aku harus mulai mengenal lingkungan dan masyarakat sekitar. Besar harapan agar di lingkungan ini, apa adanya diriku lebih dapat diterima, dibandingkan beberapa tempat tinggal terdahulu yang lebih sering membuat jengah.
Diriku memang seorang perantau yang acap kali berpindah tempat. Sejak SMA aku sudah berpisah dengan keluarga. Menilik latar belakang keluarga, aku dan saudara-saudariku adalah anak dari kedua orang tua yang sudah lama merantau. Maka kami adalah keluarga perantau.
Namun sejak SMA aku pergi, berusaha mencari jati diri sendiri sebagai seorang perantau. Berpisah dengan seluruh keluarga, mereka kutinggalkan di tanah rantau lain yang berada di ujung timur negeri ini.
Sebagai perantau, aku selalu menuruti kemana nasip mengarahkan hidup. Entahlah, aku pun tak tahu kenapa harus ditakdirkan sebagai manusia yang menyukai cara hidup Nomaden.Mungkin itu dikarenakan“kebebasan”, bukankah kata itu yang selalu dicari manusia seusiaku di zaman sekarang ini.
Begitu mudahnya aku berpindah tempat jika sudah mulai bosan dengan lingkungan sebelumnya. Selain ingin bebas, untuk mencari suasana baru sering dijadikan alasan yang paling tepat.
Tapi untuk sekarang ini, kenapa aku harus pindah adalah untuk mencari lokasi tempat tinggal yang jaraknya paling dekat menuju kampus.
Jika ingin ditelusuri awal kisah ini…
Pertama ku berjumpa denganya, hanya selintas kejadian yang tak disengaja. Yang kupahami saat itu, hanya sedang memandangi seorang gadis yang cukup cantik untuk penglihatan mata lelaki normal.
Hanya itu…
Toko bunga “kembang setaman”. Sepanjang mata memandang, berjejer aneka bunga indah yang menghiasi. Di tempat itu, nantinya terkenang sebagai awal perjumpaan yang mengawali kisah ini.
Ternyata persuaan itu bukanlah sekali. Meski awalnya hanya perjumpaan sepintas, tapi kejadian itu tersimpan dalam memori otakku. Inikah yang disebut takdir, jika ternyata toko bunga yang sering kulewati itulah merupakan tempat dimana aku sering bertemu denganya.
Jadi, kesimpulan sederhananya, di toko bunga itu ada seorang gadis yang sering kujumpai ketika berangkat dan pulang dari kampus, hanya itu…
(Biasa berkutat dengan pemikiran yang rumit, membuat aku terlatih untuk mengesampingkan permasalahan yang kuanggap sepele. Hanya masalah pendidikan dan upaya ‘mengisi perut’ yang lebih utama buat ku. Sedangkan kata-kata semisal ”Pacaran dan tetek bengek lainya” selalu tersisih di urutan yang paling belakang. Mungkin karena pengalaman yang kudapat hanya membuat aku paham pengertian secara teorinya saja).
(Masihkah ada manusia normal yang berminat menjalin kedekatan dengan diriku?, sedangkan aku merasa tak ada yang menarik dari pemuda yang selalu berkutat dengan buku dan pikiranya sendiri. Kalaupun mereka ada mungkin hanya beberapa, dan hanyalah manusia yang bernasip sama naasnya dengan diriku).
Tapi aku tidak dapat mengingkari kodrat sebagai lelaki sejati, hingga bagaimanapun cara aku menafikkan diri untuk menyembunyikan keinginan, pada akhirnya akan hadir jua perasaan itu.
Kisah yang berawal dari kekagumanku pada seorang gadis….
Sedikit menyingkat kisah ini,…
Sebelumnya, telah jujur kudeskripsikan keegoisan dan rasa tidak percaya diriku dalam menghadapi urusan “pacaran dan kroninya”. Tapi bukanlah sebuah kesalahan jika pada akhirnya akupun tak dapat menyangkal sisi kodratku sebagai lelaki. Sekian banyak berjumpa gadis dalam keseharianku, gadis di toko bunga itu yang kuakui mendapat nilai lebih untuk parasnya.
Hari-hari terlewati yang tak kuhiraukan perginya, hingga jadi berminggu-minggu yang juga berlalu tanpa kesan. Aku masih menjadi wajah baru di kota ini dan sama sekali tidak ada perihal yang mendorong niatku untuk mengenal dia lebih jauh, hingga kejadian itu terjadi….
Di pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku berangkat menuju kampus, menghitung langkah sambil memikul tas berisi diktat-diktat tebal.
Setelah beberapa jarak tertempuh, aku tepat berada di depan toko bunga itu…
”PRANG!!!!!” Suara bising yang cukup membuat kesadaran dan pendengaranku terhenyak. (terdengar seperti suara benda terjatuh dan pecah…).
Masih tersisa sedikit rasa kagetku ketika melirik arah datangnya suara. Dan dengan lirikan yang tidak jauh dari tempat ku berdiri, seseorang kelihatanya juga baru tersadar atas apa yang terjadi, dialah yang baru saja menjatuhkan sebuah vas bunga kaca. Kepingan vas bunga itu bertebaran di muka toko.
Sesaat kemudian, aku tetap memastikan pandangan kearahnya. Jarak kami berdua memang dapat terhitung hanya beberapa langkah, dan jikalau tidak rabun, mestinya kami dapat memastikan dengan jelas rupa dari paras masing-masing.
Cukup sekian detik aku memfokuskan penglihatan, kemudian dapat memastikan bahwa yang kupandang adalah seorang gadis. Tapi, terasa ada sesuatu yang lain dari dia yang kupandang ini.
Setelah coba mengingat-ngingat, ternyata dia adalah gadis yang sebelumnya sering kujumpai sepintas di toko bunga ini. Dan dari awal perjumpaan itu, aku memang mengakui bahwa gadis itu memiliki paras yang menarik.
Namun bila perjumpaan waktu itu, sisi menarik yang kupadang hanyalah kecantikanya, maka dimulai dari detik ini aku sungguh dapat memastikan kesalahan besar terhadap anggapanku.
(Persepsi dan makna kecantikan bagi setiap orang kemungkinan besar memang akan berbeda. Tetapi, naluri jujur lelaki normal tentunya akan sama untuk menentukan nilai kecantikan itu pertama kali. Sebuah rasa maha dasyat yang menurutku adalah seni visualisasi alami yang takaran penilaianya tentu menggunakan penglihatan sebagai indra pertama yang menerawangi. Akupun tidak menyalahkan pendapat manusia lain yang berbeda, karena siapalah aku, hanya lelaki awam yang menilai semuanya itu terlebih dulu dari apa yang kupandang).
Namun pada saat kejadian itu, aku menatap dia dengan jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan pertemuan sepintas sebelumnya. Disaat itu baru aku sadar, seharusnya bukan hanya secara biasa, tetapi ada kekaguman lebih yang kuberikan padanya.
Dia adalah seorang gadis dengan keseluruhan raga yang menawan. Lekukan tubuh rampingnya begitu indah dengan tinggi yang sesuai, rambut panjangnya tergerai lurus sampai ke pundak yang jenjang, sawo matang kulit tubuhnya yang halus.
Parasnya cantik dan meneduhkan setiap mata memandang, dikaruniakan mata bulat nan indah, alis tebal terhias alami dengan bulu mata yang lentik, serasi dengan bentuk dan ukuran hidung yang mancung. Bibirnya merekah, ranum dan semerah delima. Segala yang terlihat dari parasnya, terus saja menambah ketakjuban ku.
Itulah yang kumaksud kecantikan luar biasa yang terpancar alami dan tak pantas disebut biasa saja…
Aku memang cukup menyempatkan pandangan dalam waktu sepintas untuk melihat keseluruhan raga dari seorang hawa yang ada didepanku ini. Dan meski kesimpulan yang kubuat hanya sesaat, tetapi dengan segala kekaguman yang terasa, sudah pantas aku terpana terhadap anugerah yang diberikan pada gadis ini. Entah mengapa, yang pasti karena terpesona !,
Kemudian tergerak juga keinginanku untuk berani menyapa dia. Kalimat ini yang terucap pertama kali, sebagai titik awal perkenalan kami .
(Bukanlah kejadian istimewa, karena hanya perbincangan sesaat dan “aneh buat ku”. Biasanya aku sering tak acuh untuk mengawali pembicaraan dengan orang yang belum kukenal, apalagi untuk seorang gadis seperti dia, yang dengan memandangnya saja sudah cukup membuat hatiku bergetar).
“Waduh vas bunganya pecah ya?” (Entah mungkin karena gugup, suara ku terdengar berat. Sengaja kusunggingkan senyum yang sedikit dibuat-buat. Untuk beberapa saat aku seperti menanti jawaban gadis ini…)
Setelah menemukan arah datangnya suara, akhirnya gadis itu membalas kalimatku. “ehm…iya, aku yang kurang berhati-hati ”
(Tersungging senyumku ketika mendengar jawabanya. Tak apa sedikit malu, setidaknya terbesit rasa senang, karena dapat membuat gadis ini berbicara padaku untuk pertama kalinya. Tak juga mengapa, bila dia tidak benar-benar memandangku, mungkin aku saja yang salah memperhatikan. Beberapa kuntum anggrek yang kupungut, segera kuberikan ke tanganya…).
“oh iya,terima kasih…” (Jemari-jemari halusnya menyambut pemberianku. Bersamaan dengan itu, kembali lurus kulirik wajahnya. Tetapi, kejadian serupa itu menimbulkan tanya di hatiku, mengapa dia seakan tidak memandangku ketika menggapai bunga yang kuberikan).
(….derap langkah terdengar dari dalam toko, disertai suara seorang lelaki dewasa…). ”kan udah bapak bilang, kamu enggak usah repot-repot melakukan pekerjaan di toko, kalo kejadianya kaya’ gini, kan kamu sendiri yang susah”.
(Perkiraanku benar, dia memang seorang lelaki dewasa, badannya sedikit gemuk dengan ukuran tubuh yang termasuk “jangkung” untuk orang-orang di negaraku. Sekilas dari suaranya, mungkin dia adalah orang yang tegas dan berwibawa, selain tampak pula keramahan dari raut wajahnya).
“enggak papa ko’ pa, aku cuma tersandung aja tadi” gadis itu menjawab.
“ya sudah…, ayo papa antar kamu masuk ke dalam lagi”, (sambil membimbing gadis itu, lelaki dewasa tadi masuk ke dalam toko,…Tapi, seperti melupakan sesuatu, dia berbalik, sedikit melirik dan tersenyum akrab kepadaku…).
”ma kasih ya dik” katanya .
(Merasa kalimat itu sudah pasti ditujukan kepadaku, akupun tersenyum…). “oh iya, sama-sama pak” jawabku kemudian.
Selanjutnya, kejadian tadi berlalu. Mereka berdua telah masuk kedalam toko. Yang tampak sekarang adalah seorang pemuda bergegas membersihkan kepingan vas bunga, pecah dan bertebaran di muka toko. Mungkin orang itu adalah pekerja di toko bunga ini. Toko bunga “Kembang Setaman”.
Pagi ini, di depan toko “Bunga Setaman” sudah mulai ramai dengan berbagai aktifitas kendaraan dan pejalan kaki. Jalan ini yang menghubungkan kampus, pasar dan daerah-daerah perkantoran.
Kejadian sepintas tadi telah berlalu, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus. Sambil melangkah pergi, kutaut sendiri kesimpulan sederhana dari pristiwa yang baru terjadi.
Dari cara si gadis menyapa lelaki dewasa tadi, dia pasti ayahnya, selain terlihat pula kemiripan wajah antara mereka berdua”.
“Tapi kemudian, muncul pertanyaan yang tiba-tiba saja terbayang dalam ingatanku,…”.
Tapi, ah…sudahlah...
(Mungkin gadis itu malu dan merasa bersalah karena tidak sengaja memecahkan vas bunga!. Atau karena aku berani melirik dia dengan lirikan yang terpesona. Lagipula, sepertinya alasan yang kedua sama sekali tidak mungkin. Gadis secantik dia mengapa harus malu dan canggung sehingga tidak berani memandangku. Bukankah dia lebih pantas tersipu terhadap lirikan lelaki yang memenuhi kriteria untuk membuat banyak gadis kagum, dan hal itu tidak ada pada diriku. Ya sudah, biarkan dugaan tak jelasku ini berlalu).
“…lagi pula, sedikit geli aku membayangkan jika hal tersebut memang benar…”
Kesimpulan dan pertanyaan ringan itupun cuma sekedar pikiran lepas, berlalu setelah aku sampai tepat di depan gerbang kampus.
Walaupun hari-hari selanjutnya aku lebih sering memperhatikan si gadis dan lelaki dewasa tadi. Bahkan sekedar tegur sapa sering terjadi antara aku dengan lelaki dewasa itu.
Itu tetap seperti biasa, seperti bagaimana cara aku bersosialisasi…
(Aku masih menjadi manusia sedikit acuh, menyapa manusia sekitar dengan canggung dan kaku. Entah kenapa diriku memang kurang mahir untuk berbasa-basi, apalagi dengan orang yang baru kukenal).
2
Siang ini cuaca nampak kurang bersahabat, selubung awan mendung mengundang gerimis yang rintikanya perlahan mulai membasahi bumi. Terlihat kesigapan manusia sekitar seandainya akan turun hujan sebentar lagi. Sebenarnya aku kurang memaklumi keadaan ini, karena terjadi disaat jarakku menuju kontrakan masih harus ditempuh beberapa meter lagi.
“DRUS…”. Sekonyong-konyong hujan yang diperkirakan memang benar terjadi. Bergegas aku berlari kecil, mencari perlindungan dari basah.
Ketika sedang mempercepat langkah, terdengar seruan yang sepertinya ditujukan kepadaku .
“eh dik, berteduh di tempat bapak aja dulu”.(Dengan mempercepat langkah, perhatianku hanya tertuju pada tempat berteduh yang tidak jauh dari pandangan, tapi itu justru membuat aku lupa bahwa sekarang ini sedang berada di depan toko bunga ‘Kembang Setaman”).
(Seruan tadi berasal dari lelaki yang akhir-akhir ini sudah sering bertegur sapa sepintas jika aku melewati toko bunga “kembang setaman”, lelaki dewasa yang pernah kujumpai bersama si gadis).
“eh iya pak, sepertinya emang gak ada tempat berteduh yang lebih dekat ” jawab ku langsung.
(Toko bunga ”kembang setaman”, bentuk dan susunan dekorasinya dibuat seperti taman kecil beratap. Ada beberapa orang lain selain aku yang juga ikut berteduh di dalam toko bunga ini. Setelah menuruti ajakanya untuk berteduh, di dalam toko bunga ini aku kembali menaut kesimpulan sendiri, ”Toko bunga ini pasti milik dari Lelaki dewasa ini”).
(Dia kemudian mempersilahkan aku duduk di sebelahnya. Sambil tersenyum ramah mulai membuka obrolan pertama kami).
“wah, kalau tadi terus saja berlari, bisa kebasahan dong dik?”
“iya pak, apalagi tas saya ini bahanya tipis, dan gampang basah kalo kena air” jawabku datar. (Sambil mengibaskan tas dan bajuku dari cipratan gerimis yang masih menetes dari atap toko).
“enggak tau nih, kemarin cuacanya cerah, eh sekarang tiba-tiba saja hujan” jawabku lagi. (seakan memberanikan diri untuk lebih berbasa-basi).
“emang sih, kalau bulan–bulan begini cuacanya susah diperkirakan”jawabnya sembari tersenyum.
(Perbincangan awal ini pun perlahan mengalir, aku seperti orang yang sudah lama kenal dengan lelaki ini, karena biasanya cuma dengan orang yang sudah dikenal aku dapat sedikit santai ketika berbicara. Mungkin Karena pembawaan sikapnya juga tenang dan ramah).
(Jika menilik usianya, kemungkinan sudah berkepala empat, akan tetapi dari cara berbicara, raut tampang dan tubuhnya yang masih kokoh tegap, semuanya itu malah seperti bisa dibandingkan dengan perbedaaan usia yang tidak jauh dengan usiaku).
(Setelah obrolan perkenalan basa-basi yang cukup panjang, kami pun mulai bertanya tentang data diri masing-masing).
“Selama ini kita makin sering ketemu, tapi cuma sekedar menyapa saja. Bapak gak tau siapa nama adik?”.
“oh iya, saya yang salah, lupa mengenalkan diri. Panggil saja saya gibran pak”. Jawabku. (sedikit menyembunyikan rasa segan yang masih ada ketika berbicara).
“wah, bagus banget namanya dik, kaya’nya pernah dengar nama penulis terkenal yang persis dengan nama kamu”
“…kata orang sih begitu, tapi ah…biasa saja lah pak” jawabku lagi .
(Sambil menjabat tangan ku, bapak itu ikut memperkenalkan dirinya). ”kalau nama asli saya, Suprapto hasadi, panggil saja pak Ato. Orang-orang disekitar sini juga biasa memanggil bapak dengan sebutan itu”.
(Perbincangan masih terus bergulir, banyak pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Dan topik pembicaraan memang lebih aktif dikemukakan oleh pak Ato, karena sepertinya dia lebih mengetahui berbagai remeh temeh percakapan sehari-hari).
(Tapi, meski lebih sebagai pendengar dalam perkenalan ini, aku berusaha menjadi teman bicara yang tidak membosankan, tidak menunjukkan sikap seperti yang sudah-sudah. “Aku sering bersikap acuh, yang secara tidak sengaja mudah kutampakkan jika sedang berbicara dengan orang lain”. Jika ingin mulai beradaptasi, harapku perkenalan dengan bapak ini adalah awalnya ).
Hujan tampaknya sudah mulai reda, satu persatu orang yang menumpang berteduh di toko bunga “Kembang Setaman” perlahan beranjak, beberapa diantara mereka melemparkan senyum kearahnya. Sepertinya mereka sudah saling kenal atau mungkin ada yang bertempat tinggal di sekitar sini.
(Lelaki ini, yang kini kutahu disapa dengan sebutan pak Ato, dengan keramahanya pasti cukup banyak dikenal orang sekitar lingkungan ini).
Sedangkan, didalam toko bunga itu aku seperti enggan beranjak, betah berdiam diri lebih lama dengan obrolan lepas yang terjalin antara kami berdua. Sejauh pandangan, di dalam ruangan yang dihiasi pajangan aneka kembang bunga, hanya kami berdua yang berbincang.
Tapi disela-sela obrolan, aku sedikit terusik, kemudian tersadar, ketika arah lirikan sepasang mataku tergerak dibawa kebagian lain dari ruangan toko ini.
(Ternyata masih ada seseorang lagi disini, selain aku dan pak Ato. Di salah satu sudut ruangan, terlihat seseorang yang sedang duduk dengan tenangnya. Dia sedang mendengarkan alunan lagu dari sebuah perangkat musik).
(Aku sangat mengingat rupa yang sedang kulihat ini, karena sosok dia adalah orang yang tidak bisa dilepaskan dari perkenalanku dengan pak Ato, serta yang membuat aku selalu mengingat toko bunga ini,”Dialah gadis itu”).
(Akupun menemukan pertanyaan baru dalam perbincangan kami). ”Dia gadis yang pernah memecahkan vas bunga tempo hari itu kan pak?”tanyaku sambil menunjuk ke arah yang kutuju.
(Pak Ato melihat arah telunjuk ku, kemudian terdiam untuk beberapa saat). “ehm….iya, namanya Nia, keponakan bapak’” jawabnya singkat.
(Mendengar jawaban itu, aku langsung berpikir untuk mengkoreksi kesimpulan kecil mengenai gadis ini yang pernah kubuat, “ternyata dia adalah keponakan pak Ato”).
“oh…saya sempat berpikir kalau dia itu anak gadis bapak” ujarku lagi.
(Tapi kalimat terakhirku itu sepertinya tidak mendapatkan tanggapan. Penglihatanya sedang tertuju pada bunga-bunga indah yang berada tidak jauh dari pandangan. Perbincangan ini pun terhenti beberapa saat, hingga kemudian pak Ato mengembalikan pandanganya).
“iya, dari kecil dia sudah memanggil bapak dengan sebutan papa. Eh dik, kayanya udah lohor, bapa’ mau sholat dulu”.
“oh iya, hujan sudah reda, sepertinya saya juga sudah harus pulang pak” balasku.
“lain kali kita lanjutkan obrolan kita, jangan sungkan-sungkan mampir ke tempat bapak ini”. Katanya, (masih dengan senyumnya yang ramah).
“iya pak, saya juga senang ngobrol dengan bapak” jawab ku lagi.
Perbincanganpun berakhir. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar, bersamaan dengan pak Ato yang masuk kedalam rumahnya.
(Dari perbincangan tadi, telah pula diceritakan bahwa letak rumah Pak Ato yang sekaligus menjadi toko bunganya. Diantara toko dan rumah, hanya dibatasi oleh sekat pintu masuk yang terletak di tengah-tengah. Awalnya, di tempat ini hanya menjadi lokasi bangunan rumahnya yang cukup luas, tapi kini sebagian besar ruangan dan taman rumah itu telah dipugar dan dijadikan toko bunga).
(Namun, dari banyaknya cerita yang bergulir pada perbincangan tadi, aku tidak mendengar pak Ato pernah menceritakan siapa-siapa saja yang menjadi penghuni bersamanya di dalam rumah ini).
(Bagaimana dengan gadis itu ?. Dia tidak pernah sekalipun menjadi obrolan dalam perbincangan kami tadi, dan kalaupun sempat bertanya tentang dia, adalah cuma sekedar pertanyaan sepintas. Akupun baru tersadar akan keberadaaanya, setelah beberapa saat perbincangan ini hampir selesai).
Sebelum hampir melangkah keluar dari toko bunga, aku memang sengaja menyempatkan pandangan sekali lagi kearah gadis itu berada. Di salah satu bagian sudut ruangan itu dia masih duduk tenang dengan segala keanggunanya.
Rambutnya yang lurus dibiarkan tergerai panjang hingga ke pinggang, kedua mata bulat yang indah sedikit tersembunyi karena arah pandanganya yang tertunduk. Aku tidak tahu apa yang dilamunkan dengan senandung yang mengalun di telinganya. Tapi mungkin hanya untaian syair lagu benar-benar mendayu di hati, yang mampu membuatnya bermain dalam dunia khayalanya sendiri. Hingga tanpa sengaja, tidak memperhatikan orang yang sedang memandangnya.
“Pikiranku menerawang, mengingat sebuah nama yang baru sekali diberitahukan dalam perbincangan tadi, Nia”.
3
Bangunan rumah yang tidak bisa dikatakan luas. Dari pudar desain dan coraknya yang telah usang, mungkin telah terbangun bisu dalam usia yang sangat lampau. Tidak ada pemandangan yang cukup, apalagi sangat menarik.
Di dalam bangunan itu terdapat ruang tamu, beserta sebuah meja kayu dan beberapa kursi. Lantai ubin yang kasar dan retak, tapi kelihatan bersih karena selalu disapu.
Pajangan lukisan murahan, namun kelihatan cukup sebagai penghias dinding. Rak buku, sarat terisi berbagai ukuran dan judul buku. Adapun sebuah tempat tidur serupa bale-bale, berteman kasur usang, namun tertata rapi dengan beberapa bantal.
Masih ada tiga ruangan yang belum disebutkan. Ruangan kakus yang ukuran paling kecil, juga dapur dan segala perkakasnya. Yang terakhir, hanyalah ruangan kosong, ditempati sebuah kursi panjang dari bambu. Mungkin cuma kursi itu, perkakas dalam rumah ini yang lebih pantas menjadi saksi dalam sepi.
(Dikursi itu aku biasa merebahkan diri, menghabiskan waktu malam untuk bermain dengan pikiran sendiri, setelah lelah seharian bernafas dengan segala konsekuensi hidup. Seperti biasa, cuma kesendirian yang dapat membuat nalar ini berjalan murni. Terpaku sunyi, termenung dalam keremangan suasana bangunan kontrakan murah yang menjadi tempat aku berteduh).
(Tapi tidak untuk sekarang, malam ini hatiku ceria seakan bernyanyi. Entah kenapa aku seperti melupakan kebiasaan, meratapi malam sepi dengan lamunan panjang pengantar tidur. Dalam kelam sepi ini, mesin dalam kepalaku tidak dapat berputar ruwet sebagaimana mestinya, yang ada dalam otakku hanya membayangkan Dia. Betapa sempurna paras yang dikaruniakan, rupa cantik yang meneduhkan setiap pandangan).
Pikiranku kembali berkelana, bisikan ingatan yang terus menggema di hati ku ”Nia”.
Takdir yang bergulir tentunya tak dapat ditolak oleh insan yang berperan sebagai material dalam perputaran roda kehidupan. Bukanlah suatu kesalahan jika aku berusaha mencari titik terang diantara sinar redup kehidupanku dulu. Belajar memahami makna terlahir dalam fana ini, mencoba bijak dan yakin kesemuanya itu akan menggiringku ke kehidupan yang sebenarnya.
Perjumpaan dan perkenalan itu kuyakini adalah alasan takdir semata, tapi bukanlah hal sepele, jika selanjutnya aku dan jiwaku mengalir menghadapi tahap-tahap yang memaksa aku meninggalkan segala prinsip yang dari dulu tidak kusadari semu. Penemuan akan sesuatu yang telah lama hilang dari jiwaku. Kisah yang sekarang adalah nafas baru kehidupan, terhirup setelah aku melewati perkenalan ini.
(Sebelumnya, perasaan yang bersemayam pada hati batuku sudah lama pongah dan angkuh untuk mengenal segala teori yang bertameng cinta. Jikalaupun ada, cuma sebatas mengagumi yang tidak melebihi ‘sekedar’, “aneh” kalau ternyata aku punya keinginan untuk lebih mengenal dia. ”Kemana perginya sikap dingin itu?”, mungkinkah karena jiwa lelakiku telah berbaur dengan rasa kagum akan pesonanya yang terlihat pertamakali ?).
Enam bulan sudah semua kejadian hidup yang telah kuceritakan itu telah berlalu. Jangka waktu yang cukup membuat hidup seseorang normal mengalami perubahan cukup berarti. “Mungkin aku bukan lagi sesosok gibran sasongko dengan segala perangkat tabiat seperti dulu. Aku yang sekarang lebih bisa mengerti akan makna hidup yang sebaiknya…”
Selama enam bulan, seperti biasanya, hidupku mengalir bersama detak waktu, hingga sampai suatu saat dimana aku tidak sanggup menggantikan semua perasaan yang terus bergelut dalam kalbu, “meski dengan syair pujangga apapun”. Karena perasaaan ini bukanlah seperti rekayasa yang tercipta dari sekedar perenungan.
Dunia ini memang terbentuk oleh cinta, karena itu aku tak kuasa menghindarinya.
Kalaupun dulu aku adalah manusia yang lebih memuja kesendirian, mungkin dikarenakan uluran waktu yang masih membiarkan diriku berkelana mencari pemulih semuanya itu.
Pantaslah jika aku mengatakan ini sebagai anugerah terindah dalam hidupku, karena kebahagiaan adalah perasaan unik batiniah yang kadar kenikmatanya tergantung dari orang yang mengecapnya.
Aku mengerti bahwa “Tak ada yang sempurna di dunia ini”, tapi kini kutahu “ketika mengenal cinta, dapat membuat manusia merasa sempurna”.
Meskipun…pada akhirnya nanti, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu apa pendapat manusia lain setelah mengetahui kisah yang tersembunyi dari alur cerita ini. Tunggulah sampai kalian mengetahui posisiku yang sebenarnya….
Jika menilik pribadiku yang pernah tersirat pada awal kisah ini, telah kujelaskan panjang lebar bagaimana sosokku dalam mengarungi kehidupan. Sering kuterima berbagai pengasingan yang kuanggap sebagai tempaan. Jiwa dan nalarku lebih suka melayang mencari arti yang dirasa pasti, pernah kucoba meraba hati mereka dengan mengikuti suasana yang ada, tapi tetap saja tabiatku adalah misteri dalam kemunafikan hidup.
Akhirnya aku tak peduli penilaian, biarlah semua berjalan apa adanya, tak usah lagi terlalu egois menemukan makna diri, kuhayati saja peranku sekarang karena esok adalah masa depan yang dimulai hari ini. Dan sekarang aku sudah dapat mentolerir bahwa suatu kewajaran bagi setiap manusia, menerima dengan tidak lumrah insan lain yang dianggap tidak senormal mereka.
Ingin kubercerita kembali mengulang waktu enam bulan itu …
Perkenalan awal itu memang bukan sekedar lagi, bahkan sebelum rentang waktu yang mencukupi perhitungan enam bulan, aku telah mulai merasakan diriku dapat diterima dengan apa adanya.
Dalam keseharian yang terus bergulir, Pak Ato sudah kuanggap seperti kerabat, kutemukan tempat mengadu layaknya keluarga sendiri. Setiap perbincangan yang telah terjalin, memberi masukan untuk memugar pemikiranku yang selama ini membingungkan.
Hubungan kekerabatan seperti itu yang akhirnya membuat Pak Ato tulus berbagi dan menceritakan semuanya. Kisah yang akhirnya menimbulkan banyak tanya padaku, “Siapa gadis itu?”
(Semuanya berawal dari kisah ini…Melewati sebuah alur kisah pilu yang merubah segalanya…)
4
Derita berkepanjangan mendera hubungan sepasang suami istri. Usia pernikahan mereka telah terjalin cukup lama. Entah itu “kutukan” dari pernikahan yang tak direstui atau dimuasalkan gejolak usia muda mereka yang yakin “keajaiban cinta” dapat menyangga segala problema hidup.
Kebahagiaan mungkin sedikit diraih ketika akhirnya mereka dikaruniai seorang anak. Namun, ternyata perputaran roda nasib lebih cepat dan tetap tidak seimbang bagi mereka.
‘Naas’ yang menjadi pemenang, sang ibu didiagnosa menderita penyakit akut dan dapat diperhitungkan sisa hidupnya yang tinggal sesaat. Gejala penyakit yang seharusnya sudah ditanggulangi dari awal, tapi karena tak kuasa dan nestapa yang bukan hal baru dalam kehidupanya,sang Ibu hanya bisa memasrahkan diri.
Akhirnya dia pergi menghadap Ilahi, ketika anak yang dilahirkanya itu baru berusia satu tahun. Pergi tanpa meninggalkan kesan kasih yang cukup terhadap benih cintanya.
Tak ada insan yang kuasa jika takdir telah tergurat. Lautan derita yang diarungi sendiri membuat seseorang hanyut dalam sepi dan kesedihan. Setengah bulan setelah kejadian itu, suaminya pun turut menghadap Ilahi, menyusul istri tercinta yang lebih dulu pergi.
Betapa malang bayi suci itu, mengapa dia harus dilahirkan dalam dunia kejam yang tega merenggut orang-orang pertama yang memberinya cinta?.
Kisah ini membuat aku tulus teriba. Terlebih lagi setelah tahu, bahwa Ibu dari bayi malang itu adalah adik pak Ato. Mungkin mereka juga tidak akan pernah diketahui keberadaanya,jika takdir tidak mempertemukan Pak Ato dengan suami adiknya sebelum meninggal.
Setelah semua kejadian pilu ini, Pak Ato yang merawat bayi itu sejak berusia satu tahun, “Usia tunas yang seharusnya mengecap kasih sayang kedua orang tua sedarah secara utuh”.
Dan masih ada runutan dari kisah itu….
Ternyata kehidupan yang diarungi oleh pak Ato juga setali tiga uang dengan kisah pilu adiknya. Mahligai perkawinan yang dijalani atas dasar cinta, betapa besar kasih yang tercurah demi mendapatkan kesetiaan masing-masing.
Sayangnya, ketulusan yang terlalu berlebih salah diartikan oleh sang istri. Dia pergi meninggalkan luka pedih, menjejakkan kisah perselingkuhan pahit yang memporak-porandakan semua jalinan kebahagian. Ini terjadi beberapa bulan sebelum berita kepergian adiknya.
Setelah itu, pa A’to seperti kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri, alkohol dan segala jenis putih serbuk neraka yang sebelumnya tidak pernah dikenal, justru telah menjadi satu-satunya sobat karib pelampiasan derita yang dikecapnya. Kehilangan orang yang dicintai membuat dia kehilangan jiwa dan semua yang menjadi pedoman hidup.
Berbulan-bulan dia terjerembab jauh dalam kawah kenikmatan semu, diikuti dengan perubahan segala tabiat, hingga kemudian berita kepergian adiknya mengantarkan kembali kesadaranya yang nyaris pergi. Bahkan setelah itu, pak Ato menjadi seseorang manusia yang lebih memahami arti sebenarnya kehidupan ini.
“Bayi mungil itu yang membangkitkan semangatnya untuk terus hidup”. Dia bukan hanya sebuah titipan, tetapi juga karunia yang diberikan untuk menyadarkan pak Ato, bahwa tidak ada sesuatu pun yang pantas disesali kalau masih banyak hal bermakna yang dapat diperbuat.
Kejamkah takdir?, jika semuanya itu hanyalah sesuatu yang memang harus bergulir. Seluruh Insan tidak dapat mengelaknya, karena segala penciptaan bukan atas kehendak yang tercipta.
Jika dikiaskan sekitar dua puluh tahun jarum waktu berdetak, selama itu juga semua kejadian yang diceritakan pak Ato telah berlalu. Merupakan perangsuran pak Ato merawat bayi itu dengan penuh kasih, hanya dia satu-satunya yang menjadi tempat luapan rasa cinta yang pernah tidak tercurahkan sepenuhnya.
Bayi itu sekarang tidak lagi menjadi mahkluk mungil. Beriringan dengan pertambahan usia, kini dia telah menjadi seorang gadis dengan segala anugerah kecantikan dari yang kuasa.
Dialah yang pertama kali kujumpai di toko bunga“kembang setaman”, gadis yang dapat mengkikis hati batuku dengan curahan segala kelebihanya, yang juga mengantarkan aku mengenal pak Ato.
(Dialah menjadi inti dari alur panjang cerita ini, dengan segala kisah perubahan yang membuat aku menemukan kehidupan baru. Tapi, bagaimana setelah akhirnya aku tahu semuanya…?).
Pendengaranku terkesiap, mendengar berita yang membuat nurani ini terjerembab ke kawah perasaanku yang paling dalam. Gelut segala perasaan yang bercampur aduk, mataku berkaca-kaca, seakan memaksa linangan air mata yang mendesak keluar. Sebagai manusia normal, hanya kalimat lirih yang dapat terujar “sungguh kejam hidup ini”….
“Sekali lagi ingin kubertanya”!!. Jika kalian berada pada posisiku, mampukah untuk yakin mengakui bahwa ini sebuah anugerah? apalagi melebihkan sebagai yang terindah…
“Semua kisah sedih Bapa’ ini ternyata belum sepenuhnya berakhir dik’Gibran’.’
(Aku cuma terpaku serius dalam diam, mimik mukaku sedari tadi lelah menahan beban kantung mata berkaca-kaca, yang ingin menumpahkan air mata tertahan. Masih ku tunggu kelanjutan cerita pak Ato. Sesaat, lirih hati ini berbisik ”Ya Tuhan, masih kurangkah derita pahit yang Kau cobakan, sehingga kisahnya yang bergulir masih dengan segala cerita pilu yang menyayat hati”).
(Pak Ato sejenak tertunduk diam, kelihatan seperti menahan emosi yang ada di relung hati. Mencoba menyembunyikan getar bibir yang diiringi bisik gemertak gigi, bukan karena hawa dingin tapi panas kesedihan yang membakar perasaanya).
(Sesekali pandanganya menengadah atau menjuruskan penglihatan ke segala arah yang tak jelas. Seakan tidak sanggup menceritakan kelanjutan kisah pilu itu).
“Sudahlah pak, kalau bapak tidak mau menceritakanya, toh semuanya itu telah berlalu dan menjadi kenangan bapak pribadi”. Kataku (mencoba menenangkan hati pa’ Ato yang sedang gundah).
(Cukup beberapa saat dia memandang lama mataku dengan wajah sendu, pandangan yang seakan mengiba tapi tanpa mengharapkan pertolongan).
“enggak ko’ dik, Bapa memang sudah lama ingin berbagi semua kisah ini. Kamu sudah dianggap seperti keluarga sendiri, jadi pantas untuk mendengar kisah kehidupan pribadi bapak.”. Lanjut pak Ato lagi .
“Kehadiran Nia memang merupakan sebuah mukzizat bagi bapak. Sejak kehadiranya, kesedihan bapak berangsur-angsur tersimpan dan sanggup mengingatnya secara tabah. Tidak ada yang patut disedihkan, karena hidup bapak sudah bahagia bersama keponakan bapak itu. Dari bayi, hingga dewasa, bapak selalu berusaha mencurahkan kasih sayang sebisanya. Tidak sedikit juga menutup-nutupi kejadian pilu yang dialami kedua orang tuanya”.
“Mungkin memang, rasa kasih yang bapak berikan tidak dapat menggantikan kerinduan dia akan wujud orang tua kandung. Tapi, yang terpenting adalah keponakan bapak itu dapat tumbuh seperti anak normal lainya”.
(Pak Ato masih ingin melanjutkan ceritanya lagi, …) “Sama sekali bapak tidak merasa sia-sia mencurahkan semua kasih sayang itu. Nia tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat patuh dan penyayang, dia sangat mengerti dengan kehidupan yang dijalani hanya bersama pamanya yang sudah mulai tua.
(Aku masih menyimak cerita pak Ato, merupakan alur murni kisah yang dramatis, seorang paman yang tulus menyerahkan sisa kehidupanya untuk merawat dan membahagiakan orang terdekat yang tersisa. Kebahagiaan yang mulai teraih kembali setelah terlunta-lunta diterpa badai derita).
Tetapi, dimanakah alur kesedihan itu jika kisah ini memang belum benar-benar mencapai klimaks bahagia ?
(Pak Ato kembali tertunduk, sekonyong-konyong suasana berubah, yang terlihat raut mukanya yang memerah. Lebih mengejutkan dengan disusul isakanya yang tertahan).
“Sudahlah pak, kaya’nya bapak sudah tidak sanggup untuk cerita”. Aku mencoba menenangkan hatinya.
(Wajar jika perasaan piluku ikut terbawa mendengarkan kisah ini, pria dewasa yang selama ini kuanggap sebagai lelaki tegar, tempat berkeluh kesah, ternyata masih banyak yang tersembunyi dibalik semuanya itu. Dari isakanya, dapat kurasakan betapa berat beban cobaan yang telah dialaminya).
(Kalimat terakhirku itu dapat sedikit menenangkan hatinya untuk kembali melanjutkan kisahnya yang terhenti).
“Bapak emang enggak sanggup menahan perasaan setiap ingin menceritakan kisah ini. Kebahagiaan yang bapak ceritakan tadi ternyata juga kembali mendapatkan cobaan”, lanjut pak Ato.
“Sebagai gadis yang beranjak dewasa tentunya dia juga harus melewati tahap-tahap perangsuran usianya. Sekitar empat tahun yang lalu, Nia masih kelas satu SMA. Keceriaan selalu tampak mengisi hari-harinya, tidak jauh beda dengan kehidupan anak gadis seumurnya, sampai akhirnya dia mengenal cinta”.
“Ada anak lelaki yang dikenalnya dari sekolah. Liyas mayusra nama anak itu,…
(Aku masih serius mendengarkan cerita pak Ato, yang sudah dapat kembali bercerita dengan wajah yang tenang …)
“Bapak memang percaya saja kepada Nia, gadis baik seperti dia tentunya tidak akan sembarangan untuk jatuh hati ke teman lelakinya. Bapak juga tidak mau mencampuri segala urusan yang menyangkut masa muda mereka. Dari awal berkenalan dengan anak lelaki itu, bapak memang langsung simpatik”.
“Liyas berpenampilan baik, orangnya ramah dan sopan. Juga tidak segan untuk mengaku sebagai teman lelaki Nia, biasanyakan anak seumuran dia masih suka malu-malu. Mungkin itu karena bapak selalu berusaha ramah kepada semua teman-teman yang dikenalkan Nia”.
(Pak Ato masih melanjutkan kalimatnya…).
“Sepengamatan bapak, sejak berkenalan dengan Liyas, kehidupan Nia bertambah ceria. Wajarlah buat anak remaja seperti dia yang baru mengenal “Pacaran”. Liyaspun tetap menunjukkan sikap apa adanya, bisa dibilang bapak sudah menganggap dia seperti keponakan sendiri”.
“Hubungan mereka terus berlanjut dalam hitungan tahun, waktu yang cukup lama. Apalagi untuk masa pacaran anak ramaja zaman sekarang. Mungkin karena mereka berdua melewati masa-masa itu sewajar usia belia mereka yang polos, saling memberikan kasih yang tulus. Tapi,…”(nada suara pa’ Ato sedikit tertahan).
“Selama itu bapak sama sekali belum mengetahui latar belakang keluarga Liyas. Hanya yang bapak ingat dari cerita Nia, Liyas itu berasal dari keluarga berkecukupan, itu saja yang bapa tahu.”
(Keheningan kembali terjadi dalam perbincangan ini, wajah itu kembali tertunduk, kenapa terlihat lagi raut sendunya yang tersembunyi?. Tak ingin kucoba bangkitkan emosinya jika memang akan bergulir lagi cerita sedih dari mulutnya, maka aku tidak berani lagi untuk bertanya. Biarlah Dia sendiri yang akan bercerita kembali)
“Hubungan mereka terus berlanjut, sampai dengan sendirinya bapak benar-benar tahu tentang asal-usul keluarga Liyas, bahkan lebih lengkap dari yang diketahui Nia. Liyas memang anak yang baik. Pengalaman juga mengajarkan bapak untuk bisa membaca sifat seseorang dari tingkah lakunya. Tapi, siapa sangka kalau anak sebaik dia ternyata berasal dari keluarga yang jahanam!”
(Aku terperanjat ketika mendengar kalimat itu, apa yang dimaksudkan oleh Pak Ato? Ada apa dengan keluarga anak lelaki itu, bukankah maksud dari kalimat-kalimat pak Ato sebelumnya, menyiratkan tentang segala kebaikan lelaki yang bernama Liyas itu).
(Nada suaranya juga tidak sedatar ketika dia bercerita beberapa menit yang lalu. Yang terlihat hanya luapan emosi, bahkan lebih dasyat dari sebelumnya. Sekarang aku lebih penasaran lagi akan kelanjutan cerita ini, kisah yang diceritakan seakan menempuh berbagai kelokan yang merubah alur cerita ini secara tiba-tiba, pak Ato seperti pencerita ulung yang pandai memainkan segala mimik rupa yang membuat penyimak seakan terbawa suasana yang sebenarnya).
“Maaf pak, kalau boleh saya bertanya, memangnya ada apa dengan keluarganya Liyas?” aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Jahanam!. Memang cuma kata itu yang pantas untuk keluarga dia.”Lanjut pak Ato. (masih dengan nada suaranya yang tinggi).
“Pernah bapak cerita kepada kamu, bagaimana kelamnya kehidupan rumah tangga bapak. Istri yang bapak cintai pergi berselingkuh dengan lelaki lain, tanpa alasan dan sebab yang jelas. Kehidupan bapak waktu itu nyaris hancur. Tapi, bapak belum menceritakan kepada kamu siapa lelaki yang tega merebut istri bapak itu.”
“Bayu Ariyanto, lelaki yang pernah bapak anggap lebih dari sahabat, karena hubungan pertemanan yang telah terjalin lama membuat dia sangat berarti dalam kehidupan bapak. Dia juga memiliki kehidupan yang sangat berkebalikan dengan keadaan bapak, berasal dari keluarga kaya yang berpendidikan. Tetapi, hal itu tidak menjadi penghalang dalam hubungan persahabatan kami, banyak sudah kisah sehidup semati yang dilewati bersama. Tetapi siapa yang dapat meramalkan kalau ternyata…”
“kamu pasti masih belum mengerti, dik Gibran?”.
(Aku dengan sendirinya sudah terbiasa dengan keadaan ini, atau apakah pak Ato memang selalu begini untuk menumpahkan perasaan sedihnya. Raut wajah yang memerah, tertunduk diiringi nafas yang tersengal perlahan, sebagai pertanda rasa emosi yang sebentar lagi akan diluapkanya. Permainan imajinasinya seakan berbalik ke alur silam kisah yang diceritakanya, sehingga dia benar-benar bisa merasakan kembali segala cita kehidupan lampau yang pernah dikecapnya)
“Apakah bapak memang kejam dan egois kalau semua derita yang pernah dialami, dituduhkan kepada dia!. Kisah persahabatan yang pernah terjadi sekian lama memang telah bapak buang jauh-jauh. Seandainya kamu di posisi bapak, bagaimana perasaan kamu, setelah tahu sahabatmu itu ternyata….!”
(Ruangan ini seakan hanya dihuni oleh kami berdua, suara pak Ato yang lebih sering terdengar, akupun sedari tadi setia bertahan mendengarkan semua kisah yang diceritakanya. Segala pertanyaan mengenai gadis itu terbalut kisah yang mengiringi perjalanan hidup pak Ato yang sama-sama menyimpan berbagai misteri).
5
Pantaslah jika persahabatan itu berubah menjadi kecewa dan kebencian yang mendalam. Semuanya terjadi, setelah pak Ato mengetahui bahwa persahabatan mereka hanya berakar dalam diri pak Ato seorang. Bayu ternyata perlahan menutup semuanya itu dengan kedok kemunafikan.
Tiara febriyanti nama wanita yang pernah menjadi istri pak Ato. Wanita yang ternyata juga pernah dicintai oleh Bayu, walaupun perasaan itu hanya disembunyikan tanpa diketahui siapapun. Lambat laun rasa hati itu akhirnya tidak dapat diendapkan lama dalam hati Bayu.
Sedangkan kehidupan rumah tangga yang ditempuh Pak Ato hanya dengan kesederhanaan. Dan tanpa keteguhan Iman “harta memang menjadi Tuhan”, janji sehidup semati yang telah diikrarkan pun pudar. Berkali lipat kekayaan yang dimiliki Bayu, bisa saja dapat membujuk Tiara untuk lebih mencintainya. Dan mungkin itu yang jadi penyebabnya.
Semuanya itu tidak pernah diperkirakan oleh Pak Ato, sampai akhirya Tiara mengutarakan niatnya untuk bercerai. Disaat itu rahasia masih tertutup rapat, bahkan Bayu tetap menjadi tempat pak Ato mencurahkan segala kesedihanya, tanpa menduga sang sahabatlah yang menjadi sebabnya.
Kepedihan tersamar tambah ditorehkan kepada sang sobat ketika Bayu malah memanfaatkan keputusasaan pak Ato dengan menjerumuskanya kedalam dunia kelam narkoba.
(Sebuah makna juga dapat terpetik disini, “pembenaran akan cinta yang memang buta, sehingga arti persahabatan pun dapat menjadi puing yang tak berarti”).
“Kalimat-kalimat dia masih terekam jelas di ingatan bapak”. Ujar pak Ato.
“Sudahlah To, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Nih, gue punya sesuatu yang bisa buat elo lupain semua masalah. Cuma sekali pakai, besok elo sudah kembali jadi Ato yang gue kenal.”
(Ternyata Bayu lah yang secara beruntun menghancurkan hidup sobatnya, sampai akhirnya terkuak semua yang tersembunyi,”Bayu adalah seorang bandar narkoba”. Dan yang lebih memilukan, dalam sayup kehidupan yang sudah tak terarah, akhirnya Pak Ato dengan sendirnya tahu kalau mantan istrinya telah menikah dengan sobatnya itu).
Begitulah kisah pilu masa lampau pak Ato yang pernah terjadi, tapi kurasa semuanya belum berakhir, apa hubungan semua kisah ini dengan seorang lelaki bernama Liyas?. Kisah mana yang bertaut dengan kehidupan Nia?.
“Bayu…manusia biadap itu! Ternyata dia adalah ayah dari Liyas mayusra”. Pak Ato kembali melanjutkan ceritanya . (masih dengan emosi yang meluap-luap).
“jadi!”. Aku seperti menemukan kesimpulan dari kalimat yang baru diucapkan pak Ato.
“iya, Liyas pastinya juga anak dari wanita yang pernah kunikahi itu”. Cepat pak Ato menyanggah seakan tahu maksud pembicaraanku.
(Bertambah lagi kerumitan kisah ini. Dan masih menyimpan tanya yang lain tentang gadis itu… Nia).
6
(Sudah lewat beberapa pekan setelah Pa’Ato menceritakan semua kisah itu,…).
Pertemuan yang terjadi berbalur kisah-kisah pilu yang diceritakan kepadaku. Aku pun perlahan menyelami sosok pak Ato dan kehidupanya. Lambat laun bukan lagi sekedar keingintahuan dengan berbagai tanya.
(Kami dipertemukan melalui iringan ketidaksengajaan waktu, melewati alur yang mengantarkan aku untuk mengetahui sebuah kisah kehidupan, meski belum seluruhnya kisah itu terungkap. Mungkin pula sudah digariskan, jika dari awal pertemuan kami, dimulai dengan berbagai tanya yang tersembunyi, yang untuk menjawab semua itu, ternyata harus memutar waktu hingga terperosok jauh ke massa yang telah lampau).
(Toko bunga “Kembang Setaman” tempat yang mempertemukan kami. Iringan waktu yang terus berlalu tidak dapat mensirnakan ingatan, saat pertama kali kesempurnaan itu terbias di mataku. Tanpa kusadari, kecantikan raganya menimbulkan rasa di hati, rasa yang membuat aku mengerti hidup, karena sebelumnya aku hanyalah manusia yang mati rasa).
Tidak ada kehidupan tanpa ‘pengorbanan dan kasih’, dan kedua kata itulah yang membuat keegoisan menjadi kalah. Keegoisan dapat membuat kita mencampakkan kodrat sebagai mahkluk sosial, meski kita tahu bahwa bukanlah hidup jika kita hanya sendiri.
”Kenapa gadis itu harus dibimbing waktu hendak masuk ke dalam toko ?, pertanyaan itu membuat aku kembali mereka ulang kejadian yang baru terlewat tadi, sedikit membuat aku berusaha mengingat-ingat kalau sepertinya gadis itu tidak benar-benar memandang ku ketika berbicara dan saat menyerahkan beberapa kuntum anggrek yang kupungut, meskipun masih ada ucapan terima kasih dan sedikit senyuman manis yang ditujukan terhadap ku “.
(Itulah kalimat-kalimat yang pernah menjadi pertanyaan namun kuacuhkan ketika perjumpaan awal ku dengan dirinya).
“Saat pertama kali aku tahu tentang semua jawaban itu, beku seluruh aliran darah dalam tubuhku!. Aku terperangah”.
(Ternyata jawabanya adalah bukan karena dia malu ataupun merasa bersalah telah memecahkan vas bunga. Bukan juga karena waktu itu aku berani melirik dia...”bukan !”, tapi karena dia…)
“Gadis buta !”….
7
Detak waktu tetap berdegup sebagaimana mestinya. Dan bagaimana dengan keadaan diriku yang sekarang” ?.
(Hingga detik ini, masih sedikit orang yang mengisi lingkup pergaulan dan keseharianku, tapi aku tetap tak pernah peduli akan penilaian, semua kubiarkan berjalan apa adanya. Aku tak lagi terlalu egois menemukan makna diri, aku hayati saja peranku yang sekarang)…
Nia sudah menjadi temanku…
Entah dari mana titik awal sebenarnya kedekatan kami ini, yang jelas aku hanya berusaha menunjukkan rasa simpatik ku dengan mengikuti aluran waktu yang bergulir. Aku sudah cukup tahu tentang dirinya dari semua kisah yang diceritakan PakAto, keseringan ku berkunjung ke toko bunga “Kembang Setaman” perlahan membuat aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih dekat.
Berawal dari kejadian ini….
Siang itu, selepas pulang kuliah aku menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke toko bunga ‘Kembang Setaman’, seperti biasa Pak Ato tetap menyambutku dengan ramah. Kami pun berbincang-bincang selumrahnya hari-hari kemarin.
(Tapi, di sela perbincangan kami itu, terdengar suara langkah pelan yang semakin mendekat. Aku belum tahu siapakah gerangan, hingga akhirnya aku melihatnya. Dia semakin mendekat, berjalan dengan langkah perlahan. Meskipun begitu, jika orang awam yang melihatnya, tentulah tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya dia…).
“mungkin karena seluk-beluk toko ini bukanlah sesuatu yang baru di ingatanya”
“Pa, beberapa hari kemarin, Nia sering mendengar papa ngobrol sama orang yang suaranya seperti pernah Nia dengar. Siapa pa?”
(…pertanyaan itu keluar sendiri dari bibir tipisnya yang merah, samar ingatanku akan suaranya, karena hanya sekali terdengar disaat perjumpaan kami yang pertama. Tapi ku sadar, suara itu pernah mampir di pendengaranku. Lembut suaranya mengucap kalimat yang teruntai perlahan )
“oh iya, papa’belum ngenalin ke kamu. Dik Gibran, kenalkan, gadis cantik ini keponakan semata wayang bapak, Nia”.
(Terpaku aku sejenak. Seandainya nalarku ku dapat menerawang melebihi kemampuan normal manusia, tentulah aku dapat tahu kalau saat inilah awalnya”).
“eh iya, saya Gibran, yang menjadi teman ngobrolnya Pak Ato selama ini, kita juga pernah ketemu beberapa bulan yang lalu, waktu kamu enggak sengaja memecahkan vas bunga di depan toko ini ”. Lanjut ku lagi...
(Adakah dua orang di depanku ini tahu bahwa lidah ku kelu ketika berbicara, tidak dapat kutahan campur aduknya perasaan di hati).
“oh, mas yang waktu itu ya? pantasan suaranya seperti pernah didengar, meski waktu itu kita hanya bertemu sebentar. Wah, jadi malu kalau ingat kejadian itu”. Masih tetap lembut kata-katanya teralun ramah.
(Pak Ato membimbing Nia duduk di kursi yang berada disebelahnya. Selanjutnya dalam ruangan ini tidak hanya terjadi perbincangan antara dua sosok, aku dan pak Ato, tetapi juga mengalir obrolan lepas bersamanya).
Aku tahu, apa yang terjadi hari ini memang harus dialami. Waktu jualah yang berperan, hingga akhirnya tiba saat seperti ini. Mungkinkah ada diantara kami yang mengetahui tentang “alam bawah sadar”?.
Bahwa pertemuan ini sebenarnya telah tersimpan dalam memori masa depan yang telah digariskan, kisah yang merupakan tahap perubahan hidupku. Bermula dari perasaanku terhadap dia. Atau ada yang menyadari, bahwa dengan sendirinya kami harus melewati torehan takdir ini.
(Sebenarnya, segala keterbatasan yang ada pada diri setiap manusia membuat mereka tidak bisa menetapkan secara pasti kehidupan apa yang akan diarungi esok nanti, hanya bisa mengalir sesuai dengan takdirNya. Layaknya Nia yang sama sekali tidak menyadari bahwa perkenalan ini yang menjadi tonggak perubahan hidup ku).
Seandainya dia tahu, “dirinyalah yang menjadi inti dari alur kisah ini”.
(Dan dalam perbincangan istimewa di hari itu, akhirnya ku dapatkan sebuah jawaban, yang dalam tanya ku sekalipun tidak pernah terlintas. Bukan pula dari cerita-cerita yang mengalir. Tapi dengan menyaksikan sendiri segala kondisi yang ada pada dirinya).
Nia adalah seorang ‘gadis buta’.
Lantas, apakah aku akan bersikap “egois”, setelah aku tahu semua itu?. Karena sebelumnya, telah ku ujarkan pandangan bahwa “keegoisan”merupakan kodrat yang telah melekat pada diri setiap manusia. Lantas “Disebut egoiskah”?, jika seorang manusia menginginkan yang terbaik buat hidupnya ?
(Perasaan itu memang tercipta semenjak awal perjumpaanku dengannya, aku memang lebih mengutamakan penglihatan sebagai tolak ukurnya. Sempurna parasnya yang mampu meluluhkan hatiku hingga tak kuasa menahan gejolak rasa. “Tapi bukankah semua itu hanyalah penilaian akan raga luar nya saja, “sebelum aku tahu bahwa dia adalah seorang gadis buta”…)
Pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, sudah bulat tekadku untuk meninggalkan masa lalu sebagai manusia “sendiri”. Mungkin karena kekuatan niat itu yang mengantarkan aku ke tahap kehidupan yang merubah segalanya.
Perubahan yang diawali dengan perkenalan dengan Pak Ato, kisah-kisah hidup yang diceritakanya menyadarkan aku bahwa “aku tidak sendiri”, dan perlahan mensirnakan “Keegoisan”ku yang terlalu.
(Maka, apa yang menjadi pilihanku sekarang ?).
Setiap manusia memang menginginkan yang terbaik buat hidupnya, dan keinginan itu merupakan pilihan yang didasarkan pada tingkatan hakiki moral mereka. “Oleh karena itu, aku berhak menentukan pilihan ku sendiri dan biarlah waktu yang menilai sikapku”.
“Aku tidak perduli, walaupun dia gadis buta !”.
(“Kemanakah aku yang dulu?”, bukankah adalah suatu kebodohan jika aku tetap memiliki perasaan, setelah tahu dia hanyalah seorang gadis buta?).
Dulu, pemikiranku adalah karya yang berasal dari nalar, tak ada alasan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nuraniku. Hingga sekarang ”aku tetap seperti itu”, meski perubahan telah terjadi, semuanya tetap dari apa yang kupikir.
Asalkan masih dari nuraniku, biarlah aku disebut “Egois” karena menyimpang dari pemikiran normal manusia lain (seandainya mereka dihadapkan untuk memilih gadis “buta). Daripada “egois” aku berpaling dari perasaan hati hanya karena “takdir” yang memang telah tercipta seperti itu untuk dia.
Perasaan tulus ini disebabkan misteri rumit yang ada di relung hati. Nurani tak dapat disangkal, karena itu aku tetap memilih dia. Atau mungkin aku terlalu berlebihan mendeskripsikan perasaan yang ada, hingga begitu bersemangat memberikan alasan.
Bisa saja penilaianku ini adalah cara terbaik untuk meyakinkan diri, sebagai pembelajaran agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Tapi bagaimana jika keputusan ini berpengaruh pada masa depanku nantinya?.
Intinya, aku hanya yakin bisa berpikir bijak, menguraikan berbagai alasan yang mendorong ku untuk meyakini keputusan yang kupilih, meninggalkan sifat ‘egois’ yang memenangkan diri sendiri, maka terserah, bagaimana orang lain memahami sikap ku ini.
Yang terpenting bagiku, telah memberikan jawaban “Mengapa aku memilih Dia?”.
(Atau memang terlalu cepatkah ku utarakan semuanya ?. Seakan sebagai suatu pilihan yang telah pasti. Persuaan yang terjadi kini memang bukan sekedar perkenalan lagi, karena tak perlu lagi berbagai tanya. Akan tetapi masih merupakan sesuatu yang baru terjalin, dan belum diketahui apa yang terjadi nanti. Seharusnya ”Niatku ini masih tersimpan di relung hati, dan biarlah kutunjukkan nanti, setelah jawaban yang ditunggu pasti adanya.
Pertanyaan-pertanyaan membingungkan ini terus saja bergelayut dalam pikiranku..
8
Keseharianku di kota ini masih bergulir seperti biasanya, menetap di sebuah kontrakan sederhana dan lingkungan yang semakin kusukai, seiring dengan kegiatan perkuliahan yang menjadi lebih sibuk dengan kenaikan semester.
Begitu juga dengan kebiasaanku yang selalu menyempatkan diri ke toko bunga “Kembang Setaman”, bahkan menjadi lebih sering. Mungkin setelah ku tahu ada seseorang lagi selain Pak Ato yang menjadi tujuan bertandang.
(Kekurangan dan kelebihan adalah sesuatu yang alami tercipta, syukur terhadap karunia merupakan kelumrahan, tapi mengapa sering kekurangan diri malah mengkerdilkan jiwa).
Tidak begitu dengan Nia, “kebutaan indera” tidak menjadikan dia pesimis, hanya keceriaan yang terlihat semenjak aku mulai mengenalnya. Tidak pula membuat dia rendah diri dan menutupi keramahan untuk berkenalan dengan orang baru seperti diriku. Hal itu yang menghilangkan rasa segan, aku tidak perlu lagi menjadi manusia yang kaku untuk memulai perkenalan.
Bahkan sikap dan suasana hati yang ditunjukkanya itu membuat aku lupa kalau dia...
Dengan bergulirnya waktu, kedekatan kami sebagai orang yang baru kenal semakin bertambah. Bahkan perbincangan yang terjalin sering diiringi canda.
Entah kenapa dalam jangka waktu yang singkat, aku merasa sebagai manusia yang menyenangkan. Atau mungkin talenta itu memang sudah lama ada, hanya saja kehidupan lampau yang membuatnya terpendam dan menunggu situasi yang tepat untuk kembali.
“Aku tidak tahu”, yang jelas aku senang dengan sikapku yang sekarang
Menyingkat cerita…
Setiap perjumpaan kami dimaknai dengan perbincangan akrab, perlahan kedekatan itu membuat aku setulus mungkin menyempatkan diri untuk menghiburnya di setiap pertemuan.
(Terimakasih Allah, telah kau hadirkan perguliran waktu ini, semoga saja akan terus terjalin).
Aku memang bukan seorang yang baru lagi di toko bunga “Kembang Setaman”. Seringnya bertandang membuat aku mengetahui denah yang membentuk bangunanya, begitu juga keadaan sekitar yang melingkupi.
Diantara toko bunga dan rumah Pak Ato masih terdapat sebuah taman kecil. Tidak jauh berbeda keindahan yang tampak, karena juga dikelilingi aneka bunga dan semerbaknya. Taman ini yang sering menjadi tempat perjumpaan kami, setelah aku tahu waktu keseharianya lebih banyak dihabiskan disini.
Seperti disaat senja itu..
“Apa kabar gadis cantik…?”. ( Kalimat “ganjil” yang menggelikan. “Kenapa tidak”?. Tentunya semua orang yang mengenalku, akan terheran-heran jika tahu kalimat “genit” itu terlontar dari mulutku. Tapi itulah perubahan yang telah terjadi, setidaknya rasa canggung sudah tidak hadir dalam setiap pertemuan kami ).
“eh, mas Gibran, Alhamdulillah keadaan Nia baik-baik saja”. Senyum manis mengiringi jawabanya.
“Sudah dari tadi ya mas?. Nia lagi ngelamun, enggak sadar kalo ada yang datang he..he..” lanjut kalimatnya kemudian .
“enggak ko’, baru aja nyampai. (Sebenarnya aku sudah cukup lama menyempatkan diri melihat dia yang termenung sendiri).
Emang lagi ngelamunin apa? Ngelamunin saya ya?”candaku
“ah, mas Gibran bisa aja” jawabnya sambil tersenyum.
(Seperti itu awal percakapan lumrah yang sering terjadi, apa saja dapat menjadi bahan pembicaraan kami ketika bertemu, masing-masing sepertinya selalu menganggap pertemuan yang terjadi adalah waktu yang tepat untuk menuangkan berbagai kisah. Semakin hari keakraban itu semakin bertambah ).
Hingga Pak Ato pun mulai merasa ada sesuatu yang terjalin antara kami berdua, yang secara diam-diam ataupun tidak sengaja sering diperhatikan olehnya. Kami memang mudah menjadi perhatian, keseharian di dalam toko bunga hanya dihuni oleh beberapa pekerja yang datang dan pergi, selebihnya hanya kami bertiga yang saling memperhatikan layaknya keluarga.
Siang itu, aktifitas jual-beli di dalam toko “Bunga Kembang Setaman” terlihat lengang. Aku baru saja pulang dari kampus, dan seperti biasa datang bertandang, kemudian berpapasan dengan pak Ato yang seperti sudah menunggu kedatanganku, kamipun saling menyapa dan terjadilah perbincangan itu.
“ Gimana kuliahnya dik Gibran ? Tanya Pak Ato.
“Alhamdulilah lancar-lancar saja pak, emang sih sedikit lebih sibuk, soalnya kenaikan semester menambah mata kuliah baru yang harus saya ambil. Tapi, untung saja saya tidak mengulang mata kuliah semester lalu” jawabku santai.
(Pak Ato tersenyum mendengar jawabanku, kemudian melanjutkan pembicaraan ).
“Baguslah kalau begitu, ngomong-ngomong sebenarnya ada yang ingin bapak bicarakan sama dik Gibran, ada waktu kan?” Lanjut Pak Ato .
“Oh iya, emang ada hal penting apa yang ingin dibicarakan pak?. Tanyaku
“Enggak ko’, cuma pingin ngobrol saja” Jawab Pak Ato.
(Kami berdua mencari tempat ngobrol yang terletak di sudut ruangan toko. Suasana yang terasa lebih santai, apalagi diiringi semilir angin yang berhembus pelan dan merembes ke dalam ruangan. Selang beberapa waktu kemudian, yang terjadi adalah keheningan sesaat. Pak Ato memikirkan kalimat pembuka apa yang akan mengawali obrolan kami di siang ini).
“Ehm,…begini dik Gibran, akhir-akhir ini bapak lihat kamu sudah semakin akrab dengan Nia”. ( kalimatnya diiringi senyum ).
“Bapak sangat senang melihatnya, sudah lama enggak tampak keceriaan seperti sekarang ini di wajah Nia. Makanya bapak sangat berterimakasih sama dik Gibran“.
( Sedikit tersanjung setelah aku mengetahui maksud kalimat itu, walaupun awalnya terbersit rasa malu, karena ternyata keakraban kami selama ini juga diperhatikan Pak Ato).
“Ah, biasa saja lah pak, apa bedanya dengan bapak yang udah saya anggap seperti keluarga sendiri. Dan semenjak kenal Nia, kaya’nya dia emang nyambung aja buat diajak ngobrol”.
(Pak Ato masih tetap tersenyum mendengarkan kalimat-kalimatku, bukanlah suatu hal yang baru, karena “senyuman” adalah sesuatu yang sering ditampakkan pada setiap pertemuan kami).
(Tapi akupun sudah hafal betul ekspresi wajahnya ketika berbincang, seperti saat ini, raut mukanya tiba-tiba berubah serius seperti akan mengutarakan kalimat yang cukup penting… ).
“Tapi kalau boleh jujur, sebenarnya bapak melihat sesuatu yang lebih dari perkenalan kalian”
( “Apa maksud kalimatnya ?”… )
“Entah benar atau tidak, tapi perasaan bapak mengatakan dari keakraban kalian itu, sepertinya dik Gibran juga menaruh hati kepada Nia”. Ujar pak Ato yang kembali mencoba santai dengan senyumnya.
(Suasana kembali hening, karena aku langsung terdiam setelah mendengar kalimat terakhir itu. Tahukah Pak Ato bahwa kalimat itu membuat aku terkejut?, membersitkan pertanyaan dalam hati “apakah sangat terlihat seperti itu sikap ku selama ini ?”).
“Ha..ha..emang bapak ngeliat kedekatan kami seperti itu ya ?, hanya berteman biasa saja ko’ pak, engga’ sampai sejauh itu”. (Aku gugup dan sedikit terbata-bata ketika berkata, tapi sengaja kututupi dengan ocehan yang kubuat canda. Sekian detik kalimat itu terujar, makna kalimat yang baru terucap adalah sanggahan yang kubuat sendiri. Tapi kenapa ada rasa ragu dalam kalimat itu ?, belum sempat aku coba memikirkan kembali tapi kemudian Pak Ato melanjutkan pembicaraan…).
“ kamu enggak usah segan jika perasaan itu memang benar, enggak ada salahnya ko’, kalian kan memang sudah saling kenal. Bapak juga sudah tau benar dik Gibran orangnya seperti apa, apalagi Nia selalu senang kalau ketemu dik Gibran “.
( sejenak kalimatnya terhenti, kemudian…).
‘‘Tapi, bapak juga enggak perlu menutupi apa yang sudah diketahui. Dik Gibran sudah tahu semua ceritanya, Nia kan hanya seorang,…”
(Perbincangan tiba-tiba terhenti sesaat .“Aku tidak menyangka jika setelah itu ada raut sedih di wajahnya “).
“enggak tahu bapak harus mulai darimana. Sebenarnya bapa sudah dapat menduga akan terjadi seperti ini. Ketika mengenalkan Nia kepada dik Gibran, dari cara adik memandangnya sudah dapat terlihat. Bukankah pandangan tidak bisa menipu ?.
(Aku tetap menyimak semua kalimat yang sedari tadi mengalir, perlahan ku mulai tahu arah pembicaraan, meskipun terputus-putus oleh kalimat pak Ato yang sering terucap tidak sampai selesai. Yang terlihat adalah raut wajah memerah dan matanya yang berkaca-kaca, menahan sedih. Aku mengerti dan turut merasakanya, tapi hanya bisa menanti kalimat selanjutnya).
“Bapak hanya tidak ingin ada kekecewaan diantara kalian berdua. Bapak terlalu menyayangi Nia meskipun dia harus menerima nasip sebagai gadis yang buta. Tidak ingin hatinya tersakiti untuk yang kedua kali. Sedangkan dik Gibran sudah bapak anggap sebagai keluarga sendiri, bapak mengerti dari kisah-kisah kehidupan keluarga bapak yang pernah diceritakan pasti membuat dik Gibran ikut merasakan sedih. Tapi, merupakan kesalahan jika dik Gibran menaruh hati kepada Nia hanya dikarenakan perasaan iba semata. Masih banyak gadis yang lebih sempurna di luar sana yang bisa dijadikan penambat hati buat dik Gibran. Jangan karena kasihan, dik Gibran harus memilih keputusan yang akan mengecewakan dikemudian hari”.
(Kalimat yang cukup panjang, terujar lancar dari mulut Pak Ato. Sedikit tegas cara bicaranya kali ini. Aku pun tetap terdiam untuk memahami kata demi kata dari kalimatnya itu. Tidak pun ingin mencoba menyanggah kalimat yang diutarakan. Mungkin karena aku tidak bisa lagi berpura-pura santai, terasa kaku raut wajahku yang sedikit tertunduk. Tapi isi perasaan ku tidak ikut diam, perlahan suara hatiku mulai berbicara sendiri…).
Aku bahkan belum mengakui secara nyata kebenaran akan perasaan itu. Tidak bisa dipungkiri akhir-akhir ini keakraban antara aku dan Nia memang telah terjalin. Tapi dimana salahnya jika hubungan itu terjalin?.
Bagaimana jika yang terjadi sebenarnya, hanya karena Nia adalah orang yang bisa diajak berbagi kisah. Memang apa salahnya keakraban antara aku dan dia, apakah hanya karena dia seorang gadis buta?.
Bagaimana jika aku malah merasa ada sesuatu dalam kedekatan kami itu?. “Sungguh masih ‘egois’nya aku, jika harus menafikan hubungan yang memang telah terjalin akrab, hanya karena dia memiliki kekurangan diri”.
Lalu kenapa aku terus saja menambah rumit masalah ini dengan berbagai pertanyaan yang mengambang, kesimpulanya “bagaimana sebenarnya perasaanku kepada Nia”?.
Suara hatiku terus saja bergelut untuk menemukan jawaban atas perasaanku. Ini memang masalah yang rumit dan membutuhkan berulang kali jawaban untuk menemukan sebuah kepastian. Ataukah aku hanya bisa pasrah menunggu, membiarkan pikiranku menemukan kejujuran yang nanti harus ku utarakan. Bahwa aku…..
“Baiklah pak, saya akan berkata jujur, bapak memang benar, perasaan itu ada di hati saya. Sudah lama dipendam semenjak pertama kali bertemu dengan Nia. Tapi, emang apa salahnya pak ?”.
“Saya sudah tahu kekurangan yang ada pada Nia, tapi kenapa bapak menyangka saya akan mempermasalahkan hal itu. Toh, saya juga merasa yang sedang kami jalani sekarang masih pertemanan biasa saja”.
(Kalimat ku terucap dengan intonasi sedikit tinggi. Bukan berkurang rasa hormatku, tapi aku hanya ingin Pak Ato merasakan kesungguhan hatiku menyatakan kejujuran ini).
“Bapak bisa mengerti. Tapi, bagaimana jika dikemudian hari perasaan dik Gibran itu benar-benar terjadi ? ( raut wajahnya kembali sedih…).
“Maafkan bapak, bukanya tidak suka dengan kedekatan kalian, tapi sebenarnya apa yang bapak katakan ini adalah yang terbaik buat kalian berdua”.
(Kali ini, aku tidak bisa lagi berkata. Kalimat terakhir yang diucapkan Pak Ato adalah maksud utama yang tersimpan dalam pembicaraan ini. Aku kembali bimbang terhadap jawaban terakhir yang kuutarakan, karena apa yang dikatakan pak Ato seakan menegaskan diriku untuk berpikir, gunakan logika layaknya manusia dewasa).
(Kini, aku hanya bisa termenung, entah sanggahan apa lagi yang bisa kuberikan. Tapi aku malah berpendapat, seharusnya aku membiarkan nurani yang mencari dan menemukan jawabanya, bukan logika yang justru membuat aku terus saja bimbang dengan kenyataan).
( Sejenak kubiarkan helaan nafas kembali teratur, riak perasaan yang tadi meluap berangsur tenang. Setelah merasa siap, aku mulai berbicara lagi).
“Jadi, apa yang harus saya lakukan pak? harus menjauh dari Nia?. Padahal semenjak kenal Nia, hidup saya jadi lebih bahagia. Tiap kali bertemu, saya juga selalu berusaha bisa buat dia tersenyum. Bukankah dengan menjauh, malah bisa membuat masing-masing dari kami merasa kehilangan “.
“Bapak sama sekali tidak melarang dik Gibran untuk bertemu dengan Nia. Bapak juga mengerti, kalau keceriaan Nia ada semenjak kenal dik Gibran. Tapi…
( Sepertinya pak Ato tidak tega mengatakan kalimat selanjutnya…)
“Sekali lagi bapak mohon maaf. Tapi, sebaiknya kedekatan kalian kedepanya lebih sebagai hubungan kakak beradik. Bukankah kita memang sudah seperti keluarga?. Cobalah dik Gibran melihat kenyataan yang ada. Sebagai orang yang berusia lebih tua, bapak mengerti kalau usia muda penuh dengan gejolak. Tapi berpikirlah matang-matang dalam menentukan keputusan, agar tidak menyesal di kemudian hari “.
( Hanya sesaat setelah kalimat terakhir itu, aku beranjak dari tempat duduk dan berniat terlebih dahulu mengakhiri pembicaraan).
“ Baiklah pak kalau begitu, saya sudah mengerti. Sekarang saya mohon pamit dulu, ada tugas kuliah yang harus saya kerjakan…”
(Aku masih menyisakan sedikit senyum ketika berpamitan, walaupun galau perasaan yang sebenarnya enggan untuk berbasa basi. Pak Ato pun sepertinya mengerti, dia membalas senyum ku disertai sedikit kalimat penutup perbincangan kami).
“Oh iya, enggak terasa sudah cukup lama kita ngobrol, terima kasih ya sudah mau meluangkan waktunya…”
(Aku hanya mengangguk pelan kemudian melangkah pergi,…).
9
( Sendiri aku di keremangan ruangan. Seperti biasa, terduduk di kursi panjang itu. Redup cahaya lampu, menyetarakan keadaan di luar rumah yang sama sepi ketika diliputi malam. Dua buah buku tebal tergeletak di lantai, sudah lelah kubaca sedari sore. Pengertian-pengertian sulit dari ilmu filsafat yang tersirat dalam buku itu, menambah letih pikiran di kepala. Tidak dapat lagi kupaksakan kedua mata untuk terus membaca, perlahan kesunyian suasana menggiring ku melamun jauh, bersama isi hati yang sedang sendu).
Dua pekan terlewati, setelah perbincangan dengan Pak Ato. Aku sudah jarang bertandang ke toko bunga miliknya. Kalaupun singgah, hanya sepintas menegur sapa.
Tidak bisa menyembunyikan perasaanku yang masih segan, atau berpura-pura seperti biasanya. Apalagi aku orang yang tidak pandai berbasa-basi. Situasi yang menjadikanku serba salah, membuat aku kembali pada keseharian yang membosankan.
Mungkin kegiatan perkuliahan dapat membuat aku sedikit beraktifitas, tapi setelah itu, kembali hidup sendiri. Jika sebelumnya, rasa bosan sehari-hari mudah sirna dengan bertandang ke toko bunga ‘’Kembang Setaman’’, sekarang aku seperti tidak mengenal tempat itu. Dan tidak tahu pasti alasanya.
Keputusan dari perbincangan waktu itu telah menimbulkan kegalauan. Hidupku yang mulai tersenyum, kembali berganti murung. Apakah aku memang tercipta, sebagai insan yang tidak pantas mengenal kebahagiaan?.
Sejak pertama bertemu, aku selalu memikirkanya, hingga sosok itu sering bersemayam dalam khayalku, kemudian terbit keinginan untuk mengenal dia. Mungkin kesungguhan niatku didengar uluran waktu, yang mengantarkan pada persuaan nyata. Keadaan yang akhirnya terjalin, hadirkan ceria yang sebelumnya susah kutemui.
Tapi haruskah waktu itu cuma sesaat, dikala aku belum pantas menyebut itu sebagai penemuan. Penemuan akan rasa yang selama ini kunanti, rasa yang dapat mencairkan beku hatiku. “Aku adalah manusia normal yang tidak sanggup lagi menahan derita sepi”.
’’Eh, dik Gibran,ko’ sekarang udah jarang singgah ke toko bapak?.
“ Lagi sibuk kuliah Pak ” Jawabku.
“ Oh gitu, bapak cuma ngerasa ada yang beda aja, biasanya dik Gibran sering jadi teman ngobrol bapak“ Lanjut Pa Ato.
“ Nanti kalau ada waktu lenggang, saya juga pasti kesini Pak” ( Kalimat terakhir ini, diiringi senyum yang kupaksakan. Tidak ingin ku perlihatkan raut kecut di depan Pak Ato, walaupun seperti itu yang pantas mewakili perasaan hatiku saat ini).
“Kalau begitu, saya berangkat ke kampus dulu Pak.”.
“Oh iya, hati-hati ya dik”Jawabnya kemudian
(Percakapan yang terjadi di pagi hari, saat aku hendak berangkat menuju kampus dan tak sengaja berpapasan dengan pak Ato di muka tokonya. Melewati tokonya adalah satu-satunya jalan yang bisa kutempuh untuk menuju kampus).
(Dari kalimatnya, sepertinya Pak Ato sudah merasa ada kejanggalan dengan sikapku akhir-akhir ini, dan dia pasti tahu apa penyebabnya. Walaupun masing-masing dari kami menyikapi seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa).
Aku sendiri sebenarnya merasa tidak enak hati dengan tingkah laku beberapa pekan ini. Toko bunga “Kembang Setaman” yang sering menjadi tempat persinggahan dan berbincang-bincang, kini hanya kulalui sepintas ketika berangkat dan pulang dari kampus. Entah kenapa, aku seakan menghindar dari tempat itu.
(Tapi, mungkin sikap seperti itu yang diharapkan oleh Pak Ato, bukankah dengan begitu bisa mengurangi kedekatan ku dengan Nia. Sikap ini, kupilih berdasarkan perenungan malam itu, saat berada di kontrakan. Tapi belum kuceritakan, berurai air mata untuk meyakini keputusan itu).
(Masalah benar atau tidaknya keputusan ini, masih menyiratkan kebimbangan. Mungkin saja di kala perbincangan waktu itu, aku sedang terbawa perasaan, hingga tidak memandang permasalahan dari berbagai sisi. Haruskah aku menghindar dari Pak Ato, hanya karena dia merasa berbuat yang terbaik. Sedangkan selama ini, tulus dia menganggap ku seperti keluarganya).
(Membuat aku kembali merenung dalam mencari sebuah kepastian, apakah benar perasaanku pada Nia adalah…..cinta….?).
(Tidak kuingkari, bahwa pernah melewati tahap dimana ingatan akan sosok dia telah mencapai stadium yang membuat aku sangat ingin mengenalnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dia, selalu membuat isi dadaku berdegup kencang. Tapi tidak ada salahnya jika aku hanya ingin memastikanya lagi).
Bukan ‘cinta’ jika hanya dipengaruhi perasaan sesaat, oleh karena itu tidak pantas tergesa-gesa menyatakanya. Terpesona oleh paras adalah hal lumrah yang bisa sirna,jika tanpa disertai ‘cinta’.
Hanya jika kekurangan dapat diterima seutuhnya,maka rasa itu akan abadi. Itulah yang dinamakan “cinta”…
”Apakah aku sungguh-sungguh dapat menerima kekurangan yang ada pada diri Nia,…”?.
Manusia bimbang ini, untuk kesekian kali menaut kesimpulan hati. Dan yang kuputuskan sekarang adalah, “biarlah semua mengalir adanya dan kembali seperti sedia kala”. Sungguh salah jika aku mengacuhkan Pak Ato yang telah berbaik hati padaku.
Hal itu hanya akan berujung pada aku yang akan kembali menjadi manusia sepi. Dan seharusnya, tidak ada yang pantas disalahkan, selain perasaan ku yang tak jelas arah.
(Mungkin karena diriku ini terlalu lama menderita sepi, hingga begitu menggebu mencari cinta. Kerasionalanku dalam berpikir hilang. Jika dunia ini luas, tentu masih banyak wanita lain untuk diriku di luar sana. Biarkanlah waktu yang mengantarkan aku untuk kembali mencari dan menemukanya).
Nia tetap menjadi wanita yang pantas kukagumi, karena keanggunan paras dan sikapnya. Sampai saat kisah ini, dia tetap menjadi penyemangat hidupku. Wanita yang pertama kali membuat aku merasa sebagai manusia menyenangkan. Tapi, aku memang tidak boleh memiliki perasaan yang berlebih, karena untuk yakin akan rasa itu saja, diriku masih diliput kebimbangan.
(Dalam dunia logika, keadaan kami sangat berbeda dan akan banyak tentangan jika berani melawan kenormalan itu. Bukankah aku dan dia hidup di dunia nyata?, tidak dalam mimpi yang kuturut sesuka hati bersama imajinasi khayalku sendiri. Hanya dalam bualan romantis semua kisah ini dapat berarti. Aku harus berhenti bermimpi untuk menjadi seorang pahlawan cinta “Mencintai seorang gadis tuna netra, dan bersedia hidup semati bersamanya”).
(Menjumpainya di taman, tempat biasanya kami berbincang)
“Assalamualaikum”. Sapa ku
(Hening sejenak)
“Walaikumsallam”, Mas Gibran yach…?. (Tergurat senyum riang diwajahnya, ketika menyadari kehadiranku. Seperti seseorang yang sudah sangat lama menanti perjumpaan ini).
“Uuhh, kemana aja?”. (Suaranya terdengar manja, bersamaan gerakan tubuhnya untuk beranjak dari tempat duduk).
“Udah berapa minggu ini Nia selalu bertanya-tanya, mas Gibran ko’ engga’ pernah lagi datang ?” (tatapan matanya menerka-nerka pandangan yang tepat kearah ku).
“Sorry-sorry, lagi banyak tugas kuliah neh. Nah, sekarang aku udah datang buat ketemu nona Nia yang cantik. He..he..”(Seperti biasa, ternyata aku belum kehilangan gaya bicara dan candaan yang sering terlontar kalau bertemu denganya).
“Ah, Gombal, he..he…apa kabar mas?. Gimana, ada cerita seru apa nih?. Udah lama enggak ngedengarin suara mas Gibran ” .
“Baik-baik aja non, cerita seru? Eh iya, kemarin ada nenek-nenek berantem di mall, gara-gara ngerebutin brondong, he..he….” Candaku
“Wah, nenek-nenek gaul dong..ha..ha….”
(Berdua kami tertawa bebas, menggambarkan begitu lepas keceriaan yang tampak dikala itu.)
Suasana dan keceriaan seperti ini yang sebenarnya membuat aku selalu ingin bertemu denganya. Dalam setiap pertemuan, selalu diiringi perbincangan hangat dan senyum canda.
Hanya bersama dia, aku bisa tertawa lepas dan menyirnakan sementara penat dalam keseharian. Seorang lelaki seperti diriku, memang susah memungkiri bahwa cukup dengan keanggunan seseorang gadis, dapat menimbulkan cita tersendiri yang meredakan semua masalah di hati.
Apalagi diriku adalah manusia yang sangat jarang memberikan kesan yang berarti bagi orang lain. Jika dalam setiap pertemuan, aku dapat mengguratkan senyum bahagia di wajahnya, bukankah itu adalah salah satu nilai tambah yang sangat istimewa.
Nia, adalah gadis berparas anggun dengan sisi kepribadian yang dapat membuat aku lupa akan diriku yang terdahulu. Akan tetapi, keceriaan dan perubahan itu tetaplah menyiratkan sesuatu layaknya hubungan kakak beradik. Karena aku harus berusaha menganggap itu adalah hal yang biasa saja, tidak lebih.
Meskipun sebelumnya, setiap pertemuan denganya sering dibayangi oleh berbagai pikiran sendiri. Kini aku harus sadar, hal itu dapat tumbuh menjadi asa dalam mimpi yang mengharap nyata suatu saat nanti. Namun hal itu sangat tidak mungkin dan aku harus yakin akan kesalahan itu .
Begitulah alur yang harus kujalani, jika ingin meyakinkan orang-orang dekat diseitar kami, seperti pak Ato.
“Meskipun sudah jengah terhadap sepi, aku tak akan terbuai oleh mimpi bodoh untuk mendambakan seorang gadis buta”.
(Sungguh memilukan sekaligus membingungkan ketika aku mengucapkan kalimat tadi. Kalimat pilu yang berputar-putar diantara kebimbangan hingga menunjukkan kepongahan yang begitu tega. Ini semua karena tak jelas apa isi suara hatiku yang sebenarnya).
(Tapi, memang seperti itulah yang kurasakan. Aku sempat serampangan berpikir tentang “cinta”, dan jika memang di dalamnya ada “keajaiban”, sanggupkah itu tercipta dalam kehidupanku yang rumit sekarang ini, kehidupan yang harus tunduk dan terkukung oleh aturan dunia logika. Ataukah kebimbangan ini adalah bagian dari keajaiban yang akan memberikan jawaban benar-benar pasti suatu saat nanti ?).
10
Kini, Pak Ato tak perlu lagi ragu akan hubungan yang terjalin antara diriku dengan Nia. Hatinya cukup lega untuk meyakini, bahwa aku tidak lagi memendam perasaan berlebih terhadap Nia, selain hanya sebagai hubungan kakak beradik yang memang telah terlihat seperti itu diantara kami. Aku sendiri, perlahan harus dapat menerima semuanya terjalin seperti itu.
(Entahlah, menurutku memang itu yang dibutuhkan untuk tetap membuat hidup ku ceria. “Rasa peduli dan mempedulikan”. Karena sesungguhnya, manusia hanya bisa menghargai hidup, jika ada manusia disekeliling yang turut menghargai dia).
(Jadi, untuk apa lagi aku susah seperti manusia-manusia lain dalam mencari hasrat yang dinamakan “Cinta”?. Bukankah arti dari cinta itu sendiri adalah perasaan nyaman karena saling memberi kebahagiaan).
(Dengan kehidupan ku yang sekarang, ada segelintir orang yang dapat membuatku selalu tersenyum dan bahagia. Walaupun hanya segelintir, setidaknya dengan orang-orang seperti Nia dan pak Ato, aku merasa telah meraih “cinta” itu. Lalu, apa lagi yang kucari ?).
(Setiap manusia tidak akan bahagia, jika tak pernah berlapang hati dan selalu merasa tidak pernah puas. Aku juga akan seperti itu, jika terus berharap menggapai mimpi dan perasaan hati terhadap Nia, sedangkan jelas sama sekali aku tidak dapat mewujudkanya. Dengan berlapang hati, berarti menanti hal itu jika benar dapat menjadi nyata, cukuplah dengan kepasrahan pada alunan waktu sang takdir).
Waktu itu, di kala sore..
(Aku berdiri sambil memperhatikan mereka berdua, disamping pintu masuk ke dalam toko bunga “Kembang Setaman”, berdekatan dengan tempat duduk pak Ato, Nia berdiri tidak jauh darinya. Aku juga sudah tahu, ada yang ingin diutarakan Nia kepada pamanya).
(Pa’ Ato menyadari kehadiran kami, tetapi masih saja serius membaca nota-nota transaksi pembelian bunga yang terhampar di meja kerjanya. Selang beberapa saat, dia baru menengadahkan kepala, tersenyum kepada kami, dan mulai berbicara).
“Ada apa nehh. Ada yang ingin dibicarakan ya ?. Kata pak Ato
(Nia tersenyum menanggapi kalimat pamanya, sambil mencari arah pandangan mata yang tepat…). Iya nih Pa, Nia mau minta ijin pergi jalan-jalan sama mas Gibran “.
(Pa’ Ato terdiam sejenak, seperti ingin memahami kalimat itu). “Jalan-jalan ?. Emang mau jalan-jalan kemana ?”. Tanya pa’ Ato kemudian
“Dekat ko’ pa, cuma ke taman kota yang di sebarang jalan itu, Nia pingin “Refreshing” aja, bosan di rumah melulu”. Lanjut Nia.
(Pak Ato hanya tersenyum dan memandang ke arahku, seakan ingin mencari suatu kepastian. Akupun hanya bisa mengira-ngira dalam hati, kemudian membalas senyumanya. Meskipun sebenarnya, kala itu aku benar-benar salah tingkah. Bagaimana seandainya pak Ato salah paham terhadap apa yang telah dikatakan Nia. Tetapi, aku tetap berusaha berdiri dengan tenang.)
(Meskipun telah jarang berbincang lama, tetapi dengan sikapku akhir-akhir ini, aku rasa sudah cukup menyakinkan pak Ato, bahwa aku sudah benar-benar paham akan maksud pembicaraanya waktu itu. Dengan sebuah kesimpulan, aku akan menganggap hubungan yang terjalin dengan Nia layaknya seperti kakak dan adik).
“Ya udah, enggak papa kalau perginya memang sama dik Gibran, tapi pulangnya jangan kesorean ya” . Ujar pak Ato bijak. (Diiringi senyum yang tetap mengalun khas dari bibirnya).
“Iya pa, kalau begitu Nia ke kamar dulu, mau siap-siap” . (Nia membalikkan badan ke arahku dan melangkah pelan menuju kamarnya. Aku meraih tangan yang sedang mereka-reka sesuatu di hadapanya, sedikit membantu arahkan langkah kakinya, selanjutnya Nia berjalan sendiri, hafal kemana kakinya harus melangkah).
(Setelah melihat Nia masuk ke kamarnya, pandangan mata ku kembali tertuju ke arah tempat duduk pak Ato. Dia tetap tersenyum melihatku, dan seperti ingin berkata sesuatu).
“Ehm, dik Gibran, ada yang mau bapa’ bicarakan sebentar”.
“Oh iya pak”.Jawabku kemudian
(Langkah ku bergegas menuju ke arahnya).
“Terimakasih ya dik Gibran, selama ini Nia tidak pernah mau kalau bapak ajak jalan-jalan keluar dari rumah ini. Kalaupun dulu sempat, itu juga sudah lama sekali. Sekarang, waktu bapak banyak tersita dengan kegiatan jual-beli di toko. Tidak ada orang yang bisa bapak percayakan untuk mengajak Nia berjalan-jalan, tapi untung saja ada dik Gibran. Terima kasih ya”.
“Mengenai pembicaraan bapak waktu itu, bapak rasa dik Gibran sudah dapat memahaminya. Waduh, enggak tahu bapak harus ngomong apa, sepertinya bapak akan banyak balas budi ke dik Gibran”. Lanjut pa’ Ato lagi. (Dari raut wajahnya, aku dapat tahu bahwa rasa terima kasih itu benar-benar tulus diungkapkan).
( Ungkapannya itu aku dengar dengan seksama, tidak juga aku sangat bangga, walaupun sedikit tersanjung. Yang jelas, sikap ku terhadap Nia memang tulus, tanpa pamrih, karena berasal dari lubuk hatiku).
“Ah, biasa aja lah pak. Kan saya sudah menganggap Nia seperti adik saya sendiri. Selagi saya bisa, akan saya lakukan apapun untuk menyenangkan hati dia”.Jawabku dibarengi senyum.
11
(Bukan hanya kami berdua yang berada di taman ini, banyak muda-mudi yang bercengkrama, berjalan-jalan atau hanya duduk-duduk sambil bercerita dan menikmati suasana. Ada juga yang sedang berkumpul bersama keluarga diiringi canda. Angin yang berhembus pelan di sore itu, menemani keceriaan, ada celoteh keriangan anak-anak yang sedang bermain dan berlari kecil di taman).
(Aku berjalan pelan disamping Nia, tangannya memegang tanganku yang membimbing dia. Sambil berjalan, sekali kami berbicang santai, membicarakan apa saja yang membuat hati kami merasa nyaman, ditambah suasana yang memang menyejukkan hati. Setelah cukup lama berjalan, aku melihat bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang).
“Disana ada tempat duduk, gimana kalau kita istirahat dulu sebentar?”.Kata ku.
“Iya deh mas, kaki Nia juga sudah pegel nehh…”. Ujar Nia
(Dengan langkah perlahan, aku membimbing Nia menuju ke tempat duduk itu. Waktu yang berlanjut kemudian, dilewati dengan berbagai obrolan lepas antara kami berdua).
Terima kasih Tuhan, telah kau berikan sore yang begitu indah di hari ini. Sekarang ini aku sedang duduk disebelahnya, mengobrol santai tentang apa saja yang membuat kami bertambah akrab dan dekat, layaknya sepasang keluarga atau sahabat tentunya.
Tapi disela obrolan kami, tiba-tiba terbit pertanyaan dalam pikiranku. Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan tentang hal ini. Karena belum pernah aku diberitahu, meski sudah diceritakan oleh pak Ato tentang kehidupanya yang termasuk juga tentang Nia. Maka disaat obrolan kami sedang terhenti, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Nia, boleh enggak kalo mas bertanya tentang masalah yang mungkin agak pribadi buat Nia?”.
“Masalah tentang apa mas ?.(Sepertinya Nia bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang akan kutanyakan).
“Kalo emang bisa menjawabnya, pasti Nia akan jawab. (Nia tersenyum).
“Tapi mas takut Nia tersinggung’. Kataku lagi.
“Enggak ko’, lagipula enggak mungkin kan mas Gibran sengaja bertanya untuk menyinggung perasaan Nia ?.”(Masih tetap tersenyum)
“Iya juga seeh.” Jawab ku.
“Ehm, kalau boleh tahu, bagaimana awalnya sampai bisa ini terjadi sama Nia?’. (Aku sangat canggung untuk menanyakan ini. Tapi karena ini juga keingintahuanku yang tulus tanpa bermaksud apa-apa, maka cukup menguatkan niatku untuk bertanya).
“Maksud mas tentang kebutaan yang sekarang Nia alami”.
“Iya, maaf ya. Engga’ usah dijawab kalau emang Nia enggak mau jawab”. (Aku masih tak enak hati).
“Ceritanya panjang mas…”
(Tiba-tiba Nia diam, keadaan menjadi hening)
(Akupun masih menanti kelanjutan dari kalimatnya, tapi biarkan saja, itu juga kalau Nia memang ingin melanjutkan ceritanya kembali).
“Yang jadi sebab utamanya karena kejadian itu, tepatnya empat tahun yang lalu, kedua mata Nia terkena cairan obat tanaman yang jatuh dari atas lemari. Karena kecerobohan Nia yang kurang berhati-hati”.
(Nia masih bisa menceritakan runutan kejadian pilu yang pernah dialaminya itu dengan santai. Meski yang diceritakan hanya sepintas , tapi bukankah ini adalah kejadian yang sangat mempengaruhi kehidupanya. Tapi kenapa sama sekali tidak tampak raut kesedihan di wajahnya, atau mungkin karena kejadian ini sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, bisa saja merupakan waktu yang cukup baginya untuk menguatkan ketabahan. Meski menurutku, tetap sangat pahit bagi gadis seperti dia untuk menerima kenyataan sebagai orang buta).
(Jarang ada orang seperti dia, aku saja yang lelaki mungkin tidak sanggup setabah gadis ini. Dan dari perkataan Nia tadi, aku dapat menyimpulan masih ada runutan lain di belakang kejadian itu. Tapi menurutku Nia mungkin sengaja tidak ingin menceritakan semuanya. Ya sudahlah, aku dapat memakluminya. Cukuplah apa yang kuketahui kini).
Setelah itu kami kembali berbincang mengenai pembicaraan yang lain. Seperti sebelumnya, yang kami bicarakan hanya topik obrolan santai, membuat kami berdua bisa tersenyum bersama.
Tapi kemudian disela pembicaraan kami itu, Nia kemudian mengutarakan sesuatu…
“Mas, kalau sekarang Nia yang nanya, boleh enggak?”.
(Aku berpikir sejenak, kira-kira apa yang ingin ditanyakan Nia kepadaku)
‘Oh, tentu saja boleh, ayo Nia mau nanya apa”. (Akupun menjawabnya santai dengan masih sedikit bercanda).
“Selama ini mas Gibran rasanya sudah dekat banget sama Nia, Nia sudah menganggap mas Gibran seperti kakak atau sahabat sendiri. Tapi…”
(Pembicaraanya terhenti…).
“Tapi, kenapa ?” Tanyaku.
“Kenapa, mas Gibran mau dekat dengan Nia yang buta ini?.” Lanjut Nia
(Pertanyaan itu sedikit membuatku terkejut, apakah ini saatnya untuk menjawabnya secara langsung kepada dia. Tapi darimana aku harus memulainya?).
“Kenapa Nia bertanya seperti itu ?. Mas mau dekat dengan Nia tentu saja karena Nia orangnya baik dan enak untuk diajak ngobrol. Itu saja. Sama sekali enggak ada dalam pikiran mas mempermasalahkan tentang apa yang dialami Nia”.
(Kejadian selanjutnya, kami sama-sama diam. Aku asyik memperhatikan keadaan di sekitar taman ini, sedangkan Nia terdiam dengan lamunanya sendiri . Sebelum akhirnya dia berujar kembali..).
“Nia tidak ingin mas Gibran dekat sama Nia karena kasihan aja…..”
(Kalimatnya mengalir tiba-tiba, suaranya terdengar sedikit serak, seperti disertai isakan yang tertahan. Dan aku bertanya-tanya sendiri, apa maksud kalimatnya?).
“Nia sebenarnya udah tahu apa yang dibicakan papa ke mas Gibran waktu itu”.
(Pembicaraan mana yang dimaksudkan oleh Nia. Apakah yang waktu itu, lantas).
“Ya, tanpa sengaja Nia mendengarkan semuanya. Dan menurut Nia apa yang dikatakan papa emang benar. Nia enggak perlu dikasihani, kalau emang karena hal itu yang buat mas Gibran ingin mendekati Nia”. (Nia tetap berbicara dengan santai, tapi aku tahu ada kesedihan dari kalimatnya itu).
“Udah, Nia enggak usah berpikiran begitu, emang selama ini sikap mas Gibran keliatan seperti itu ?. Enggak kan, Mas Gibran udah menganggap Nia juga sebagai adik, sahabat, dan segalanya..he..he..
(Terlihat sekali aku sengaja menyiratkan canda, agar suasana pembicaraan kami yang terasa sedikit kaku dapat kembali mencair).
(Gadis ini tidak tahu bahwa untuk meyakinkan kata hatiku ini, hingga sekarang aku masih bergelut dengan perasaan dan egoku sendiri. Hingga sekarang, dimana aku masih belum kalah dan juga belum menjadi pemenang terhadap kata hatiku sendiri).
Tak terasa hari sudah sore, sudah cukup lama kami berdua di taman ini. Sekarang waktunya untuk pulang, akupun harus mengantarkan Nia kembali ke rumahnya tepat waktu seperti yang telah dijanjikan ke pak Ato.
12
Sore itu ketika jarak menuju toko bunga “Kembang Setaman” tinggal beberapa hitungan langkah, gerak kakiku tertahan oleh apa yang kusaksikan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh aku melihat Pak Ato sedang berbicara dengan seorang pemuda.
Perbincangan mereka sepertinya serius, dari kejauhan aku melihat ada emosi yang terlihat dari wajah pak Ato. Mereka juga tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikan. Entah kenapa dari hal itu aku jadi mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Nia, tidak jadi bertandang ke toko bunga “Kembang Setaman”.
Apa mungkin karena tidak ingin mengganggu perbincangan serius mereka, sepertinya bukan karena itu juga, entahlah aku sulit menjelaskan kenapa, fellingku saja yang berperan untuk situasi ini. Ahirnya aku pulang…
(Meski sebenarnya terbersit juga tanya dalam hatiku, apa yang sebenarnya mereka perbincangkan).
(Pemuda itulah yang bernama Liyas Mayusra. Lelaki yang sebelumnya penah disebutkan mengenai peranya dalam cerita ini. Siang tadi dia sampai ke negeri ini, setelah empat tahun lamanya tinggal luar negeri. Dia pergi menuntut ilmu dan menyelesaikan pendidikanya untuk meraih gelar dokter).
Kedatanganya yang tak terduga membuat Pak Ato sangat terkejut. Sekian lama mereka tidak bertemu, beberapa saat mereka saling terdiam, tidak ada yang ingin berkata-kata terlebih dahulu.
Liyas sendiri sebenarnya sudah tak dapat memendam kerinduan terhadap tempat ini, dulu dia sering kesini, dan gadis itu tentunya menjadi tujuan kerinduanya yang lebih tak terkira. Gadis yang hingga sekarang masih sangat dicintainya, meski dia sama sekali belum tahu bagaimana keadaanya sekarang. Gadis itu adalah Nia.
Pak Ato juga adalah sosok yang tidak bisa dilupakan, dia adalah satu-satunya orang terdekat Nia yang secara tulus ramah terhadapnya. Tapi mungkin itu dulu.
Karena sekarang, entah bagaimana juga perasaan pak Ato terhadap pertemuan ini, sangat sulit diperkirakan. Adakah dia merasa kerinduan yang sama terhadap orang yang dikenal dan sekian lama tidak berjumpa, atau itu masih berbalut benci dan dendam yang lama dipendam.
Meski seharusnya pak Ato tidak pantas menganggap dia sebagai pihak yang patut disalahkan dalam pristiwa itu, Liyas layaknya Nia hanya menjadi korban masa lalu yang tidak mereka mengerti. Namun, semuanya memang berubah semenjak kejadian itu…..
(Setelah beberapa tahun lamanya, sebenanya kini Liyas telah tahu semuanya. Seperti yang telah diceritakan, tentang pak Ato yang pernah menjadi sobat karib dari lelaki yang juga suami ibunya, juga berbagai pristiwa yang akhirnya menjadi biang permusuhan antara mereka. Dan bagaimana kelanjutan hubungan persahabatan mereka, masih terkesan kabur sampai dengan kisah yang ini).
(Masih ada rahasia tersembunyi lainya. Semuanya disimpan Lias, dia yang lebih banyak mengetahui semua itu. Mungkin saat ini dia akan mengungkapnya).
“Apa kabar pak”. Liyas memulai pembicaraan. Seakan-akan tidak merasa kehadiranya cukup membuat kejutan di ruangan ini.
(Pak Ato yang masih belum dapat menyembunyikan keterkejutanya, masih terdiam dan memandangi wajah pemuda ini. Setelah cukup tenang baru dia dapat berbicara. Tapi bukan menjawab apa yang ditanyakan, melainkan balik bertanya dengan intonasi seakan menyelidiki). ’‘Kapan kamu datang?”.
“Siang tadi, apa kabar pak ?. Liyas kembali mengulang pertanyaanya. (Entah mungkin karena liyas sebenarnya juga gugup untuk memulai pembicaran ini).
“Baik”. Pak Ato hanya menjawab singkat dengan acuh.
(Kemudian pak Ato melanjutkan kalimatnya. Tapi kali ini intonasi suaranya lebih tinggi, seakan tidak senang dengan kedatangan Liyas). “Untuk apa kamu datang kesini lagi”.
(Liyas hanya terdiam kecut mendengarkan kalimat pak Ato, kemudian dia memberanikan diri untuk menjawab). “Saya sudah lama tidak kesini pak. Sudah lama tidak bertemu bapak, dan juga… Nia”
“Saya rasa kamu sudah tahu, bahwa semenjak kejadian itu, saya tidak pernah mengijinkan kamu untuk datang kesini. Itu sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan kami sudah berusaha melupakan segala yang berhubungan dengan kamu dan keluargamu. Lantas secara tiba-tiba, sekarang kamu datang, apa maksudnya?, jangan usik kehidupan keluarga kecil saya ini. Sebaiknya sekarang juga kamu pergi”.
(Intonasi kalimat pak Ato semakin tinggi).
(Dengan ekspresi wajah yang tulus mengiba, Liyas melanjutkan bicaranya) “Saya mohon. Beri saya kesempatan untuk bertemu Nia pak. Saya tidak bermaksud apa-apa, dengan pristiwa waktu itu saya tahu hubungan kami tidak akan pernah bapak restui. Tapi saya hanya ingin bertemu untuk meminta maaf kepada Nia. Waktu itu saya pergi tanpa sempat memberi tahu dia, karena memang seperti itu juga yang bapak inginkan. Bapak tidak memberikan ijin pada saya waktu hendak berpamitan, sebelum saya harus berangkat karena menerima beasiswa studi ke luar negeri. Jujur, semenjak hari itu hingga sekarang saya selalu terkurung dalam rasa bersalah. Jadi, tolong ijinkan saya pak”.
(Pak ato terdiam. Mukanya merah seperti ingin meluapkan emosi yang tertahan. Situasi seperti ini yang biasa dipahami oleh Gibran jika mereka sedang bercerita. Pak ato pasti akan meluapkan semua emosinya melalui kalimat-kalimat yang akan diutarakan).
“Jadi!, kamu ingin bertemu Nia?!......”
(Pak Ato menghentikan sebentar kalimatnya, dia menarik nafas dan menenangkan diri, kemudian melanjutkan kalimatnya lagi). ”Tapi kamu harus berjanji satu hal. Jika hari ini saya pertemukan kamu dengan Nia, itu adalah yang terakhir kali. Dan kamu tidak boleh menyapanya, hanya boleh melihat saja. Karena saya tidak ingin menambah pedih luka di hati keponakan saya yang kini sudah berangsur pulih. Kamu juga akan tahu bagaimana dia sekarang setelah melihatnya nanti!”.
(Pak Ato kemudian masuk ke dalam ruangan rumahnya, dia seperti memberi isyarat agar Liyas mengikutinya. Kemudian dia menuju ke halaman itu. Disana ada Nia. Pak Ato berdiri cukup jauh supaya tidak diketehui kehadiranya oleh Nia. Lias berada tepat di belakangnya, berdiri memandang orang yang sama, Nia).
Perasaan kerinduan itu memang sudah lama terpendam, detik ini Liyas sungguh tidak dapat menahan perasaan itu. Air matanya jatuh…
Hal itu diperhatikan oleh pak Ato. Sepertinya dia paham akan perasaan pemuda ini, tapi itu tidak lantas membuat dia tunjukkan sikap yang melunak. Akhirnya pak Ato berkata lagi dengan intonasi suara yang sedikit rendah agar tidak sampai terdengar Nia.…
“ Sudah kamu lihat dia, sekarang kamu ingin tahu satu hal lagi, Nia sekarang sudah tidak dapat melihat”.
“Apa??!!” (Liyas sangat terkejut mendengar berita itu. Matanya semakin berkaca-kaca selain raut wajah yang menyiratkan kekalutan hati, dalam waktu yang cukup lama dia terus saja memadang wajah pak Ato seakan tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya).
Sedangkan di taman itu, Nia duduk dengan tenangnya. Entah apa lagi yang dilamunkanya. Nia juga sama-sekali tidak menyadari bahwa Gibran tak akan datang sore ini. Tahukah dia kalau sekarang pamanya sedang berbincang dengan pemuda yang telah lama jadi tambatan kerinduannya, perasaan hati yang juga berbalut duka perih untuknya.
Kenangan itu menyiratkan tanpa sebab yang jelas mengapa pemuda itu pergi meninggalkanya. Hingga Nia selalu menghabiskan waktunya untuk menangisi kepergian seseorang yang sudah dianggapnya sebagai kekasih sejati.
Hari-hari yang dilalui sendu kelabu. Semenjak pristiwa itu, dia seperti menjadi gadis yang sedang digundah kebingungan, sering melamunkan kepergian kekasihnya, kian pemurung dan kehilangan konsentrasi dalam setiap aktifitas keseharinya.
Suatu hari tanpa sengaja dia menyenggol lemari yang biasa digunakan untuk menaruh obat-obatan kimia tanaman di toko bunga “Kembang Setaman”, botol- botol obat itu jatuh, kedua matanya terkena cairan kimianya, itulah yang menyebabkan kedua matanya tidak bisa melihat lagi.
13
Di sore itu, kondisi toko bunga “Kembang Setaman” lengang dari kegiatan transaksi jual beli, di dalam ruanganya masih terjadi perbincangan seru antara Liyas dan pak Ato.
“Sekarang apa lagi yang kamu tunggu, bukankah kamu sudah melihat Nia. Sekarang kamu sudah tahukan bagaimana keadaan dia. Saya rasa kamu sudah boleh pergi, dan ingat! ini untuk yang terakhir kalinya kamu ke sini’. (Berulang kembali kalimat berintonasi tinggi yang diarahkan pak Ato terhadap Liyas).
“Baiklah pak, tapi sebelumnya ijinkan saya untuk mengatakan sesuatu pada bapak. Ini adalah janji saya terhadap almarhum Ibu…..” (Liyas mengucapkan kalimat itu dengan mata yang tiba-tiba kembali berkaca-kaca. Sepertinya banyak kesedihan dialaminya hari ini, tak pelak itu merupakan endapan kejadian yang terjadi dalam kehidupan di waktu sebelumnya).
“Apa!! jadi Ibumu”(Pak Ato tercengang mendengar kabar itu, lebih terkejut dibandingkan mengetahui kedatangan Liyas sore ini. Biar bagaimanapun perempuan itu pernah menjadi orang yang sangat dicintainya, atau bahkan sekarang rasa itu masih ada. Betapa dalam rasa cinta sejati, sulit untuk dilupakan meski kita telah tersakiti, karena memang itulah sebenarnya pengertian murni dari cinta)
(Kemudian hanya sendu yang tiba-tiba terlihat dari raut wajah pak Ato. Dia tak kuasa menahan air mata. Pandanganya jauh seperti mengenang kembali semua kisah yang pernah terjadi bersamanya, termasuk kejadian pahit yang mengakhiri semuanya. Liyas pun turut sedih melihat sosok di depanya ini. Dia tahu bahwa pak Ato sebenarnya juga sangat mencintai Ibunya).
“Iya pak, Ibu pergi dikarenakan penyakit yang lebih dikarenakan siksanan batin yang lama dipendamnya. Semasa hidup, dia meninggalkan orang yang sangat dicintainya, untuk dipaksa masuk ke dalam kehidupan pahit bersama lelaki lain yang sangat dia benci, kemudian hidup sendiri membanting tulang demi membesarkanku. Puncak kesedihanya pada saat kejadian itu, disaat Ibu tahu aku menjalin hubungan dengan Nia, keponakan dari mantan suami yang sampai akhir hayat tetap dicintainya”.
(Dengan raut wajah yang masih sedih, kalimat terakhir Liyas tadi membut pak Ato semakin terpaku untuk terus mendengarkan apa yang dikatakanya. Tidak ada lagi kesan kemarahan yang sedari tadi ditujukanya kepada liyas. Karena biar bagaimanapun tabiat aslinya bukanlah seorang pembenci).
“Ibu juga menceritakan suatu rahasia yang bertahun-tahun disembunyikanya. Ini bukan hanya tentang kehidupan saya,….(Liyas mengehentikan kata-katanya sejenak)…tapi juga tentang bapak sendiri”
“Apa maksud kalimatmu” Kata pak Ato
“Sebelum meninggal Ibu akhirnya menceritakan sebuah rahasia, tentang saya yang sebenarnya bukan anak dari lelaki itu, dia yang hari ini akan keluar dari penjara dan kembali menghirup udara bebas”.
“Apa!!”
(Ada apalagi ini, terungkap lagi sebuah rahasia dalam kisah ini. Kali ini pak Ato yang yang dibuat tidak mengerti akan kerumitan jalinan cerita yang berhubungan dengan hidupnya sendiri).
“Lantas, siapa ayahmu” Pak Ato melanjutkan kalimatnya, terlihat keingintahuanya yang sebegitu besar.
“Ayahku adalah suami Ibuku sebelumnya….”
14
(Dalam perbincangan sore itu, ahirnya terungkaplah inti semua rahasia yang ternyata selama ini disimpan rapat oleh Tiara Febriyanti, Ibu dari Liyas Mayusra. Dialah sebenarnya yang mengetahui simpul yang mengikat kisah ini dalam belitan kisruh yang membingungkan).
(Hingga berujung pada kisah lain yang menaut garis nasip pak Ato bersama keponakanya Nia. Ada pula sesosok pemuda yang awalnya tidak tahu apa-apa, namun terdorong oleh perasaan sejatinya hingga terpaksa melebur pula dalam jalinan kisah ini. Meski dia lebih pantas disebut pendengar atau mungkin saja dia yang menceritakan kisah ini pada kalian).
Kedatangan liyas di sore itu adalah saat yang sudah lama dinantikanya, dia masih sangat mencintai seorang gadis yang pernah ditinggalkan karena bukan atas keinginannya, itu bermuasal dari lika-liku kehidupan sebelumnya yang dia sendiri tidak paham. Untuk itu dia datang kembali dengan maksud meluruskan semuanya, setelah betapa tak kuasa menahan rasa bersalah yang selama ini selalu membayangi.
Adapun waktu ini dianggap tepat, setelah dia menunaikan janji suci terhadap sang Ibu, wanita tangguh yang telah membesarkanya seorang diri tanpa kehadiran seorang ayah. Janji untuk menyelesaikan pendidikanya di bidang kedokteran.
Wanita yang dia panggil Ibu itu juga tidak dapat menolak datangnya waktu untuk dipanggil olehNya, terjadi disaat anak tercintanya sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir dalam dunia pendidikan yang sedang dijalani. Wanita itu tidak sempat melihat anak kebangganya menepati janji, menjadi seorang sarjana kedokteran.
Anaknya juga tak pernah mengenal ayah secara utuh dalam hidupnya, yang dia tahu hanya lelaki yang telah mendekam dalam penjara semenjak dia masih bayi. Lelaki yang tidak pernah dia lihat rupanya secara langsung, dan di hari ini juga dia bermaksud untuk bertemu denganya, menuntaskan janji lain yang pernah diikrarkan pada Ibu.
Di hari ini lelaki itu dinyatakan bebas secara hukum, setelah berpuluh-puluh tahun lamanya terkurung dalam ruangan pengap berjeruji. Dialah Bayu Arianto, seorang sahabat yang lebih pantas disebut musuh, karena kenyataanya dia punya niat yang tersembunyi, menikam sahabatnya sendiri dari belakang. Pak Ato tentu sangat mengenalnya.
Tentulah hanya Ibu yang tahu ayah dari anaknya sendiri. Walau bagaimanapun rahasia itu pasti akan terungkap, Ibu mana yang tega biarkan anaknya terus terpenjara dalam kebingungan karena tidak mengetahui sang ayah. Tapi Liyas juga tidak pernah membayangkan jika ayahnya yang sebenarnya adalah pak Ato.
(Rahasia yang terungkap setelah liyas menemukan secarik kertas yang tersimpan rapi didalam kotak warisan peninggalan Ibunya. Di kertas itu tertulis semuanya, bahwa lelaki yang berada di penjara itu tidak lebih dari seorang penjahat yang pantas untuk dilaknat. Bersyukur Liyas merasa tidak pernah memanggilnya dengan sebutan ayah).
Ibunya dipaksa untuk meninggalkan suami yang dicintai. Bayu memaksa dia menikah dengannya dibawah ancaman bahwa sang suami akan dibunuh jika dia tidak menuruti. Lagipula saat itu, siapa yang tidak mengenal Bayu, anak dari keluarga kaya raya dan ternama. Bisa dan pernah melakukan apa saja dengan harta mereka.
Karena rasa cinta yang tulus terhadap suaminya yang membuat Tiara Febriyanti akhirnya terpaksa menuruti kemauan Bayu. Meski akhirnya hal itu yang merubah jalan kehidupan dan tujuan masa depan yang selama ini diimpikanya. Suami yang dicintainya justru balik menistanya, dia dianggap tak lebih sebagai perempuan yang rela menjual tubuhnya demi harta.
Kebencian sang suami terhadap dirinya terus tumbuh seakan tak termaafkan, hingga perlahan dia mencoba jadi wanita yang harus tegar untuk menerima semua ini. Meski dia tetaplah seorang wanita, yang akan jatuh terhadap perasaan hati mendalamnya sendiri, wanita kerap terpuruk kalau dia sudah merasa sangat nista.
Tiara merasa tidak guna hal sebenarnya terungkap jika tidak lagi ada kecusian yang pantas diserahkan pada orang yang dicintainya. Akhirnya jadikan dia tabah menerima jalan hidup yang sudah ditentukan.
Bayu, lelaki laknat itu juga akhirnya dipenjara karena kebusukannya yang telah tercium, tapi meski begitu Tiara tetap menyimpan rahasia ini rapat. Disaat itu dia sedang menanti kehadiran seorang buah hati yang telah beberapa bulan dikandunganya, benih cinta yang ada sebelum pristiwa pilu ini terjadi, itu adalah anak dari suaminya yang sebenarnya. Anak dari pak Ato.
15
Banyak sudah rahasia yang terungkap di hari ini. Sedari sore mereka berbincang dan kini hari telah menjelang malam. Ahirnya banyak kesedihan yang tak terelakkan dari kisah-kisah itu. Pak Ato dan Liyas terpaku dalam endapan perasaan pilu masing-masing, ada yang mendengarkan dan ada yang menceritakan rahasia tentang hidup yang selama ini sudah mereka jalani sendiri. Terungkaplah semua.
Liyas sudah pergi beberapa waktu lalu, berpamitan dengan sedu sedan. Pak Ato kemudian juga tidak lagi bersikap kasar seperti saat kedatangan Liyas sore tadi. Justru ketika Liyas pamit, ditanggapi pa Ato dengan diam seribu bahasa. Tak ada ekspresi apapun. Perasaanya diselubungi kegundahan akan kebingungan hatinya sendiri. Benarkah semua kisah ini….
Meskipun dia akhirnya meminta Liyas untuk jangan pergi, tetap disini dan menemukan kembali bagaimana seharusnya hubungan ini kembali terjalin, jika Liyas memang benar anaknya, hasil dari rasa cinta terhadap seorang wanita yang sampai akhir hayatnya menderita akibat kesalahpahaman mereka.
Wanita itu yang paling menderita dalam kisah ini, dia sanggup berkorban menahan kepedihan perasaan yang menahun demi rasa cintanya sejatinya terhadap orang-orang yang dikasihi. Begitulah wanita dan karena itu mereka diciptakan untuk menjadi seorang Ibu.
Dengan kembali membayangkan Tiara, membuat perasaan hati pak Ato semakin perih.
Tapi Liyas tetap membulatkan tekadnya untuk pergi, meski ini mungkin bukan terakhir kalinya dia disini. Karena masih ada satu janji terhadap Ibunya yang harus ditunaikan di hari ini, yaitu bertemu dengan lelaki itu.
Lantas bagaimana dengan Nia?. Dia belum meminta maaf terhadap gadis itu, tapi apa gunanya? dengan melihat keadaan Nia yang sekarang saja malah semakin membuat dia merasa bersalah, lantas bertemu hanya akan menambah masalah. Meski itu membuat hatinya semakin perih.
(Luluh lantak perasaanya melihat semua kenyataan ini, ada perasaan berdosa karena dia merasa ikut ambil andil terhadap kebutaan yang dialami Nia. Gadis itu tetap dicintainya, meski dengan cara yang lain. Dia akan menghilang, membawa semua perasaan dan kenangan itu, semoga dengan begitu cintanya akan tetap abadi).
Di dalam kontrakan, seperti biasa, saat sore menjelang malam aku sering mengisi waktu dengan membaca buku-buku filsafat yang berjajar rapi di rak buku dalam ruangan ini. Namun hatiku sebenarnya tidak tenang, entah kenapa…
Sore tadi aku tidak jadi bertandang ke toko bunga “Kembang Setaman”, tidak menepati janji untuk bertemu Nia, tapi bukan karena itu yang membuatku tidak tenang kali ini.
Aku juga baru saja menerima telpon dari kedua orang tua yang berada jauh di ujung timur negeri ini, memintaku agar liburan semester depan mau pulang untuk bertemu mereka.
Akupun mengiyakan permintaan mereka. Jika tak berhalangan, dilibur semester depan aku akan pulang bertemu orang tua dan anggota keluargaku yang lain. Terakhir pulang waktu itu aku masih kelas dua SMA, sudah lama sekali, pantaslah sekarang ini aku memendam kerinduan yang dalam terhadap mereka.
Dan disela asyiknya membaca buku, perutku mulai terasa lapar. Biasanya tidak seperti ini, bukankah sekarang belum waktunya untuk makan malam. Tapi apa yang mau dikata jika situasi menghendaki seperti itu. Aku menghentikan bacaan, hendak keluar untuk membeli makan malam di warung langganan yang lokasinya terletak diantara kontrakan dan toko bunga “Kembang Setaman”.
Sesampainya di warung, tanpa banyak basa-basi aku langsung memesan sebungkus porsi makanan. Sambil menunggu penjaga warung membungkus makanan, aku menyaksikan siaran berita televisi di warung itu
Di layar televisi menyiarkan berita tentang pembebasan seorang Napi kasus narkoba yang terjadi sore tadi. Dia dipenjara karena menjadi pelaku utama penyeludupan narkoba terbesar yang pernah ada di negeri ini. Sekitar dua puluh tahun dia dipenjara dan hari ini adalah waktu baginya untuk menghirup udara bebas kembali. Bayu Arianto nama orang itu.
Aku terkejut mendengar nama itu. Sepertinya aku pernah mendengarnya, tapi dimana dan kapan?. Setelah coba mengingat-ngingat kembali akhirnya aku menemukan jawabanya, tapi apakah benar bayu yang dimaksudkan adalah dia. Bayu Arianto yang pernah menjadi sobat karib pak Ato dan juga tertangkap karena kasus narkoba. Apakah dia Bayu Arianto yang pernah diceritakan oleh pak Ato waktu itu?.
Setelah membayar sebungkus porsi makan malam, aku pergi. Tapi bukan kembali ke kontrakan melainkan menuju toko bunga “Kembang Setaman”. Ada yang harus kuberitahukan kepada pak Ato, jika Bayu yang dimaksud oleh penyiar televisi tadi memang Bayu seperti yang kuperkirakan. Mungkin saja pak Ato juga tidak menyaksikan berita televisi hari ini. Selain itu aku juga dapat sekaligus bertemu Nia, meski mungkin hanya sebentar setidaknya menggantikan waktu yang harusnya sore tadi.
16
Tapi aku menyaksikan pemadangan yang mengejutkan setelah hampir sampai di depan toko bunga “Kembang Setaman”. Melihat pak Ato sedang bertengkar hebat dengan seorang lelaki. Tampang dan pakaian yang dikenakan lelaki itu sepertinya sangat tidak terurus, dia seperti baru keluar dari tempat yang sangat terpencil.
Disana juga ada pemuda yang sedang berbincang dengan pak Ato sore tadi. Dia tidak kalah tegangnya menyaksikan pertengkaran pak Ato dengan lelaki itu. Akupun berjalan mendekati mereka secara perlahan, dan sayup-sayup mendengar suara diantara mereka.
“Waktu ini yang sudah lama kunantikan, bertemu dengan kau Ato!, menuntut pembalsan dendamku” Ujar lelaki itu dengan penuh kemarahan. (Tangan kananya tersembunyi di sebalik baju, seperti ingin mengambil sesuatu).
(Kemudian dia menoleh ke pemuda yang berada tidak jauh disampingnya). “Dan kau anak haram!! Jangan kau pikir aku tidak tahu semuanya, kau bukan anakku dan pastinya juga ingin membalas semua perlakukanku terhadap Ibumu. Kau sama nistanya dengan kedua orang tuamu. Ayahmu adalah orang yang berdiri di hadapanku ini dan Ibumu tidak lebih dari seorang pelacur jalanan. Kalau saja dia belum tewas, mestinya dia juga menyaksikan kejadian malam ini.ha..ha….
(Lelaki itu tertawa lepas. Tapi apa maksud perkataanya, aku hanya dapat mencernanya dari jarak dan pandangan yang tersembunyi oleh mereka. Suasana dan gelap malam sedikit menutup kehadiranku disini).
Mendengar ucapan lelaki itu, pak Ato dan pemuda tadi tiba-tiba menjadi marah besar. Melihat gelagat itu, dengan cepat lelaki tadi mengeluarkan benda yang ada disebalik bajunya. Ternyata itu adalah senjata api, dia menodongkan senjata itu ke arah pak Ato yang sudah siap menerjangnya.
Tapi, mungkin dia kalah cepat, pemuda disampingnya segera menendang tangannya yang sedang memegang senjata dan cepat menghujamkan pukulan telak kearah wajah lelaki itu. Dia tersungkur dan senjatanya jatuh tidak jauh darinya.
Pak Ato yang juga sudah melancarkan serangan dengan sigap coba meringkusnya. Setelah melihat kejadian itu akupun berlari kencang kearah mereka. Ternyata lelaki itu masih sanggup bergerak dan dengan tangkas meraih senjatanya kembali, dia menodongkan kembali kearah pak Ato.
Disaat itu aku sudah berlari mendekati mereka, dan mereka sama sekali tidak memperhatikan kehadiranku. Senjata yang sudah siap ditembakkan ke arah pak Ato membuatku dengan reflex melompat dan mendororong tubuh pak Ato.
Door!!!senjata itu meletus. Pak Ato tersungkur ke sebelah kanan. Dadaku terasa perih tak tertahankan, seperti ada besi panas yang menikam hingga ke jantung.
(Tiba-tiba kesadaranku sepertinya perlahan menghilang, tapi sempat menyaksikan sekilas pemuda itu dengan cepat menghajar lelaki tadi secara bertubi-tubi, setelah menghempaskan jauh senjata api miliknya. Kemudian aku tidak tahu apa-apa……….)
“Bangsat!!!Aku juga tidak akan pernah memanggilmu ayah. Rasakan ini…..”(Liyas menghajar Bayu secara bertubi-tubi seperti orang yang sedang kesetanan, itu terjadi setelah senjata api yang diletuskan Bayu telak mengenai dada Gibran).
“Kau benar, inilah janjiku pada Ibuku, aku harus menuntut balas atas apa yang selama ini kau lakukan kedalam kehidupan kami, Ibuku (Liyas memukul wajahnya), Pak Ato (memukul lagi), Aku (sekali lagi), Nia (lagi), dan juga pemuda ini (pukulanya terakhirnya yang paling keras di ulu hati)”.
(Perkelahian yang tak seimbang buat mereka berdua, Bayu hanya menjadi sasaran kemarahan Liyas yang sudah tak kuasa memendam amarah. Itu dilakukan sambil tak kuasa menahan derai air matanya, karena kalut dan mengingat masa-masa sedih yang pernah dilalui dia bersama Ibunya, juga apa yang dialami pa Ato dan Nia)
Disudut lain pak Ato sedang berteriak meminta pertolongan kepada warga kampung, dia tidak sempat melihat Bayu yang dihajar habis-habisan oleh Liyas. Gibran luka terkena tembakan. Di dadanya mengalir darah segar, batas kesadaranya juga sudah mulai hilang, pak Ato hanya mendengar dia mengucapkan sepatah kata yang itu-itu saja “ Nia’.
Bayu telah terbujur berdarah-darah di tanah, pukulan telak Liyas yang telak mengenai ulu hatinya membuat dia tak sadarkan diri. Tak lama berselang, polisi yang dihubungi warga sekitar datang bersamaan dengan dua mobil ambulance.
Bayu dimasukkan ke dalam mobil ambulance ditemani beberapa orang polisi yang akan memeriksanya nanti, berdasarkan kesaksian sementara, dia mungkin akan kembali dinyatakan sebagai tersangka untuk kasus yang berbeda dari sebelumnya, pristiwa yang terjadi malam ini adalah upaya pembunuhan…
Dan entah bagaimana dengan keadaan Gibran.
Gibran ikut ke dalam mobil ambulance yang satunya lagi, turut serta pak Ato dan Liyas yang menemaninya.
Tapi dimana Nia….
(Pak Ato sudah mempunyai prasangka atas kejadian ini semanjak kedatangan Liyas sore tadi, karena itu dia sengaja menelpon istri dari seorang temanya yang cukup dekat untuk mau mengajak Nia bermalam di rumahnya beberapa hari, dengan alasan dia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis penjualan bunganya. Jadi segala pristiwa yang terjadi mulai sore tadi sama sekali tidak diketahui oleh Nia, mungkin itu lebih baik tapi bagaimana dengan akhir kisah ini nanti ?.).
17
(Ketika tersadar, sepertinya aku sedang berada dalam ruangan sempit yang sedang melaju kencang, samar-samar penglihatan dari kedua mata yang kubuka perlahan. Wajah-wajah buram itu makin lama dapat kulihat dengan jelas, ada pak Ato, pemuda tadi, dan dua orang mengenakan pakaian serba putih seperti perawat, dan akhirnya aku menyadari keberadaanku yang sekarang ini di dalam mobil ambulance).
(Pak Ato sedang menanangis melihatku, pemuda tadi hanya memandangku dengan penuh iba sambil memegang botol infus. Aku sempat melihat tubuhku yang sudah tidak berbaju, dadaku dililit ferban putih dan ada bercak merah darah banyak sekali).
“Sabar ya dik, kamu pasti akan sembuh” Kata pak Ato.
(Aku tidak tahu ingin menjawab apa karena masih diliputi ketakutan terhadap apa yang sedang kulihat, apa yang baru saja kualami ?, kenapa bisa begitu ngeri aku melihat tubuhku sendiri).
(Tapi ada sesuatu yang aneh kemudian terjadi, pikiran dalam otakku seperti berputar ke masa lalu. Aku mengingat semua kejadian yang kulewati di kota ini. Rasa sakitku hilang. Aku ingat bagaimana pertama kali datang ke kota ini, kontrakanku dan seluruh isinya, Toko bunga “Kembang Setaman”, Pak Ato, taman itu……Nia, dan hal tak jelas lainya).
(Semua hal itu silih berganti, beberapa kali berkelabut dalam ingatanku, kemudian hilang. Selanjutnya aku kembali ke kejadian malam tadi, melihat lelaki yang menembakku….Kemudian gelap, semuanya gelap).
(Tiba-tiba datang seorang wanita di hadapanku, aku mengenal rupanya, dia adalah ibuku. Dia tersenyum tapi tak berkata apa-apa, kemudian hilang. Aku melihat Nia, tapi dia tidak memandangku, seperti sedang dalam kesedihan, dan terus memanggil namaku).
Aku kembali sadar, sekarang masih berada di dalam mobil ambulance ini. Pak Ato dan pemuda tadi sepertinya sedikit senang karena aku telah kembali sadar. Di hadapanku, ada seperangkat alat kedokteran yang dipegang pemuda itu, aku pernah melihat alat ini sebelumnya, meski tak tahu apa namanya.
Sepertinya itu untuk memompa jantung dengan cara ditekankan ke dada, pemuda itu mungkin tahu caranya dan baru saja menggunakanya di tubuhku. Semua hal itu masih bisa kubayangkan dalam pikiran, meski hanya sekelebat dengan pemandangan kabur secara silih berganti.
Tiba-tiba…..
(Apa itu, aku melihat cahaya terang di atas kepalaku. Mahkluk apa ini, terus mendekat dan membentuk wujud seperti manusia, tapi jika benar, seumur hidup aku baru melihat manusia yang seperti ini).
(Sulit untuk dijelaskan, dia tersusun dari cahaya yang menyilaukan, membuat aku sulit untuk melihat rupa yang sesungguhnya. Seharusnya aku terkejut tapi tidak, hanya terpaku dalam suasana yang tidak kupahami, itu terjadi ketika akhirnya aku tahu mahkluk ini juga bisa berbicara. Bukan bahasa yang selama ini biasa kugunakan, tapi kenapa aku dapat memahaminya, kalimat itu ditujukan padaku).
“Sebutkan permintaan terakhirmu pada mereka”. Hanya itu kalimatnya…
Setelah itu, tiba-tiba semuanya kembali kulihat denga jelas. Pak Ato, pemuda itu dan kedua perawat masih berada di depan pandanganku. Mereka sepertinya sudah tahu dan menanti apa yang akan kukatakan.
(Kalimat ini mengalir saja dari tenggorakan, aku mengucapkanya dengan terbata-bata, seperti tertahan oleh napas yang kian sesak).
“Tolong bilang ke orang tua saya, ibu saya…..” (kini aku baru bisa merasakan sakit yang perih di dadaku. Setelah berusaha menahanya, kemudian aku berkata lagi..) “juga sumbangkan dua mata saya ini untuk Nia”…….
Napasku tersengal-sengal, dadaku melonjak kuat beberapa kali turun naik, mereka tak mampu menahanku, aku seperti memberontak terhadap tarikan yang sangat kuat, sebelum akhirnya aku tenang dengan sendirinya.
Berawal dari ujung kuku hingga ke sekujur tubuh, akhirnya seluruh tubuhku membiru dan dingin sekali.
Ini kalimat terakhir yang sempat ku ucapkan…..
“Ashaduallaillahaillallah..
waashaduannamuhhamadarasullah”…..
18
Lahan yang cukup luas ini kelihatan seperti ladang yang baru saja habis dibabat secara tidak merata. Dataranya ditumbuhi rumput-rumput tipis, tapi masih tersisa belukar, dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh tak beraturan.
Dengan datangnya musim panas, kegersangan tambah terlihat, meski ada beberapa pohon besar yang cukup rindang tapi itu tidak banyak. Kerikil-kerikil terhampar pastinya terasa panas jika dipijak bertelanjang kaki.
Keheningan suasana di tempat ini sangat terasa, tapi mungkin lebih pantas disebut tempat yang suram. Semilir angin hembusanya terasa berbeda, sesekali ada suara kicau burung dan sekelompok manusia yang berdatangan, namun tetap saja tempat ini dekat dengan sepi.
Pagi mungkin sama cerah tapi tetap saja ada yang terasa berbeda, siangpun tetap sama mencirikan suasana janggal terlepas dari terik ataupun tidak. Apalagi saat malam tiba, membawa kelam yang menambah suram tempat ini.
Padahal sebenarnya lahan ini berada di tengah-tengah kota dan bersebelahan dengan jalan ramai, sekelilingnya berpagar besi yang yang mudah tampak dari jalan umum tersebut. Namun tetap saja tempat seperti ini sejak dulu menyimpan misterinya sendiri dalam sunyi.
Di sanalah batu-batu nisan bertuliskan nama berderet rapi dengan berbagai ukuran tubuh yang pernah ditimbun di dalamnya. Mereka sudah tidak bernyawa lagi, entah bertahun-tahun atau mungkin masih segar dengan bau tanah yang belum lama. Semua itu bisa diperkirakan dari corak nisan pemiliknya, sudah usang, mulai pecah-pecah, atau masih terlihat baru dengan tinta nama yang masih jelas terbaca.
Siang ini, jumat 17 desember 2010, empat tahun yang lalu di hari dan tanggal yang sama pristiwa itu terjadi. Sepanjang waktu itu juga wanita yang sekarang ini berdiri di depan batu nisan itu rutin mengunjungi setiap minggu dan selalu saja di hari jumat.
Ini sudah seperti kebiasaan untuknya, jika datang dia selalu menyempatkan diri untuk berdoa, membersihkan sepetak tanah yang bernisan ini, atau berbicara tentang apa saja, namun entah dengan siapa dia berbicara.
‘Gibran Sasongko. Jakarta, 3 maret 1986 - 17 desember 2006”. Di sini, empat tahun lalu tubuhnya yang telah tak bernyawa terkubur, ditimbun dan terurai tanah hingga kini mungkin tinggal tersisa tulang. Tapi sosok dia tidak mungkin dilupakan oleh wanita tadi, dan beberapa orang terdekat yang diceritakan dalam kisah ini.
Mungkin kalian tahu siapa wanita yang sekarang ini sedang berdiri di depan batu nisan Gibran, dia adalah Nia. Pristiwa penembakan itu telah merenggut nyawa orang yang kini sangat berarti untuknya.
(Waktu itu Nia belum benar-benar mengenal dia, karena bagaimana rupanya hingga kini hanyalah misteri bagi Nia. Kisah yang pernah terjadi bahkan belum pantas disebut permulaan, dan seandainya pristiwa itu tak terjadi mungkin tidak akan seperti ini perasaan Nia terhadap dia).
(Gibran pernah hadir dalam kehidupan Nia secara tiba-tiba, kemudian perkenalan mereka sebatas kedekatan sewajarnya saja, layaknya saudara ataupun keluarga. Keramahan dan kebaikanya memang menimbulkan rasa simpatik di hati Nia, tapi belum menampakkan apa-apa karena ada suatu keadaan yang harus membuat masing-masing dari mereka menahan rasa).
(Nia telah menyadari keadaanya. Ihklas untuk takkan pernah menerima sebuah rasa jika hanya dikarenakan iba semata, meski sebenarnya penilaian seperti itu tidaklah tepat untuk Gibran, dari awal sampai akhir hayatnya dia tetap menyimpan rasa yang ketulusanya hanya dia yang lebih tahu).
(Hingga akhirnya dengan kejadian itu, Nia baru mengerti arti dari perasaanya yang sejati. Itu bukan cinta, jika diartikan lebih dari sekedar rasa ketertarikan semata. Cinta yang dimiliki manusia kadang masih bermain dengan ego, tidak mau menerima kekurangan pasanganya. Kekuatan cinta terkadang hanya dikarenakan balutan semu fisik).
(Jikalaupun ini dikatakan cinta, adakah cinta yang tidak mengagungkan kiasan klise, keihklasan berkorban demi cinta meski tanpa harus memiliki. Gibran selama hidup tidak pernah tahu arti cinta, tapi justru di penghujung nafasnya dia dapat membuktikan itu melebihi pengertian cinta yang selama ini diyakini banyak orang).
(Itu karena persembahan terakhir yang dia berikan, kematian adalah batas pengorbanan tertinggi yang diberikan manusia selama hidup. Dan disaat ajalnya itu, dia tetap mengingat gadis yang selalu ada di hatinya, dia merelakan jasadnya bersemayam tanpa raga yang lengkap, memberikan kedua matanya untuk Nia, menyiratkan cintanya yang tak lekang oleh waktu).
(Meski rasa sejati itu didapatkan setelah dia pergi, dan dia tak dapat mengecapnya secara nyata, namun karena itulah cintanya dikatakan abadi. Gibran tetap diingat dan didoakan oleh orang yang mencintainya, kisahnya menjadi sejarah tentang cinta sejati yang pernah terjadi.
Jika dulu sering aku bertanya, “kenapa begini kehidupan”?, sekarang telah kutemui tempat berlabuh. Aku pernah terdampar di tanjung kelam, karena tapakku jauh melangkah mencari tanda deburan takdir.
Hidup ku dulu bagaikan buih diantara ombak. Kini kutahu itu sebuah kesalahan, “jiwaku selama ini pongah”. Kemudian hidup yang terus berjalan membuat aku sadar, aku harus berarti dalam kehadiran di bumi yang hanya untuk sekejap.
Dia yang pernah ku mohon untuk merasakan sesuatu yang bisa merubah segalanya. Kisah persuaan yang kuyakini hadir karena perantaraan takdir Ilahi.
Segala sesuatu telah tergurat rapi didalam buku takdirNya. Aku sebagai pemain yang diharuskan memainkan permainan sesuai dengan tata peraturan kekal yang sudah ada, apa daya mengelak dengan segala pembangkangan, jika ‘pulang’ adalah kepastian yang abadi.
Semuanya tergantung bagaimana kita ingin berpindah dari fana ini. Untuk memahami semua itu kembalilah ke anugerah nalar yang tercipta untuk hidup bijak dan tidak dipecundangi diri sendiri.
Mahkluk bernurani memang sudah dikaruniakan berbagai perasaan naluriah. Iba nestapa dan kasih bahagia adalah karunia terindah. Tanpa salah satunya kehidupan hanya akan diam, dipenuhi kehambaran dan kita tidak akan pernah mengerti pemahaman dari semuanya itu.
Keuntungan dari derita adalah agar kau tahu betapa pentingnya berusaha meraih bahagia. Selama masih bernafas maksud dan tujuan kehidupan hanyalah bekal untuk mati, tapi apalah artinya insan bernalar jika kehidupan dan kematian hanyalah sia-sia. Dan aku bersyukur tidak seperti itu, setidaknya kepergianku tidak lantas membuat rasa itu turut sirna untuk orang yang kukasihi.
Nia, kini sebagian ragaku ada padamu terus sampai nanti. Apa kamu tahu…aku tetap dekat denganmu, membawa rasa yang tetap abadi untukmu.
Langganan:
Postingan (Atom)