Saya masih anak-anak, usia yang dikatakan sebagai masa dimana seorang manusia kecil masih begitu polos dan lugu mengartikan hidup, harusnya saya masih senang bermain bersama teman-teman yang lain, bergembira tanpa memikirkan beban apapun, yang ada tiap hari harusnya ceria kemudian pulang karena kelelahan bermain. Tapi ternyata tidak begitu adanya, hidup yang ditakdirkan bagi saya rasanya begitu keras dan itu harus saya terima semenjak terlahir ke dunia ini, dengan sendirinya saya menjadi dewasa melebihi umur sebenarnya, saya sudah menanggung beban hidup layaknya orang dewasa. Keinginan untuk bersekolah pun sudah saya buang jauh-jauh, hanya bisa iri melihat anak-anak seusia saya yang sudah bisa membaca dan menulis.
Saya adalah anak tanpa ayah dari seorang Ibu yang sudah buta semenjak lahir, kami hanya hidup berdua di dunia ini, tidak mengenal bagaimana rupa dari ayah, yang saya tahu hanya cerita tentang dia yang merupakan seorang preman di kota besar ini, tapi saya tidak mendapat informasi mendukung lain jika ingin mencari dia. Kenangan yang Ibu ceritakan, bagi saya seperti kisah pilu dalam alur dan runutan yang sulit dimengerti.
Wajah ibu sebenarnya bisa terlihat cukup cantik jika dia bukan seorang gelandangan, dia bisa terlihat menarik jika tidak berpakaian compang camping, dan pasti banyak pria yang menyukainya seandainya dia tidak ditakdirkan buta. Hingga mungkin hal itu bisa terbaca oleh lelaki yang dikatakan ayah saya itu, namun apa pantas dia dikatakan ayah jika waktu itu secara paksa telah menyakiti fisik dan batin ibu, dengan keji melakukan tindakan hina untuk tanamkan benihnya di rahim seorang wanita buta, kejadian beringas itu sepintas dan berlalu begitu saja, tengah malam di sudut emperan toko tempat ibu biasa tertidur jika selesai meminta-minta di gerbong kereta.
Hanya seperti itu saja cerita yang saya tahu dari Ibu, hingga kemudian dia diangkut oleh petugas ke tempat penampungan para gelandangan seperti kami ini, dan benih yang ditanamkan itu adalah saya, di tempat ini saya dilahirkan dan dibesarkan oleh sesama gelandangan lain. Kehadiran saya yang memang tidak diinginkan, saya sepertinya hanya menambah penderitaan Ibu di dunia. Tapi apa hendak dikata jika memang begitu perjalananya takdir yang harus diterima.
Setidaknya dengan adanya saya dapat sedikit menjadi penopang penderitaan yang dialami wanita yang usianya sudah semakin rapuh ini, meski dia juga tidak pernah tahu bagaimana rupa dari anak semata wayangnya yang kurus ini, hanya suara parau sebagai seorang bocah yang ikut menemani bakti saya terhadap wanita ini. Walau bagaimanapun dia ibu saya, dan kalian harusnya tahu arti Ibu bagi seorang anak.
Saya dan Ibu sudah terbiasa untuk bangun pagi-pagi sekali, jadi menurut pendapatku sendiri, tidak seluruhnya benar cerita tentang para gelandangan itu pemalas. Kami berangkat menuju stasiun kereta dengan berjalan kaki, lokasinya cukup jauh dari tempat penampungan, untuk kami tentu tidak ada istilah sarapan pagi selain air putih yang kami minta di warung-warung yang terlewati, hal yang biasa jika akhirnya kami kerap mendapat cibiran dari orang yang merasa terganggu dengan kehadiran sepintas kami. Tentu saja karena gelagat yang kami tunjukan tidak jauh dari memelas dan meminta-minta.
Aku berjalan perlahan sambil membimbing langkah kaki Ibu, salah satu tanganya sedang menengadah untuk meminta-minta, disertai suara rintihan kami berdua yang memang tidak mengada-ngada tentang betapa laparnya perut kami. Kami pindah-pindah dari satu gerbong kereta ke gerbong kereta lainya, cibiran dan pandangan menghina sudah menjadi hal biasa, apalagi jika kereta sedang penuh sesak, kami dianggap manusia pengganggu yang tidak pernah mengerti keadaan para penumpang terhormat di kereta yang sudah berpeluh keringat menahan gerah akibat penuh sesaknya penumpang. Tapi hanya saya yang bisa melihat dan menyaksikan semua itu, meskipun saya yakin ibu juga merasakan melalui mata hatinya, karena kami tetap manusia. Meski kami sudah tidak mempunyai bayangan akan tujuan hidup dikemudian hari. Apa yang kami jalani hari ini adalah untuk mempertahankan hidup hari ini, dan esok biarkan terjadi dengan takdirnya.
Kadang begitu susah meminta sepeserpun rasa iba dari para penumpang kereta, meski hanya recehan yang juga tidak berarti untuk bayar ongkos buang hajat di toilet umum. Wajarlah jika diantara mereka enggan memberikan begitu saja uang mereka tanpa pamrih, meski hanya sesen namun mereka raih dengan bekerja, tidak seperti kami yang hanya bisa meminta-minta. Arti keihklasan dalam beramal memang sulit dipahami dalam kenyataanya, susah untuk benar-benar tulus karena sifat manusia pada dasarnya tidak lepas dari tandeng aling-aling kodrat alami yang terikat oleh ego, cara pikir dan kepentingan lainya. Dan dengan pasrah saya mengerti akan hal itu.
Dikala siang, jika perut sudah terasa lapar, kami hanya makan nasi sisa hasil minta-minta di warung yang berada dekat stasiun. Uang yang kami dapatkan tidak mungkin cukup jika juga untuk membeli makanan kami berdua di siang hari. Saya dan Ibu pulang selepas maghrib, kembali berjalan kaki menuju rumah penampungan, singgah sebentar di warung itu lagi, tapi kali ini tidak untuk meminta-minta melainkan membeli sedikit nasi dan lauk ala kadarnya dari uang mengemis yang sengaja kami simpan, cukuplah itu buat makan saya dan ibu malam ini.
Rumah penampungan itu tiap malamnya selalu dipenuhi oleh para gelandangan dari berbagai usia, ada beberapa kepala keluarga disini. Rumah ini sengaja didirikan oleh pemerintah kota untuk menampung kami yang dianggap meresahkan jika tidur di jalan atau emperan toko. Tidak ada yang memperhatikan kami selain petugas yang memilih beberapa orang sesama gelandangan yang dirasa sanggup untuk bertanggung jawab jika seandainya terjadi masalah di rumah ini.
Diantara kami memang kerap terjadi perkelahian yang terbawa dari kehidupan keras di jalan tiap harinya, pernah juga ada yang meregang nyawa di tempat ini karena sakit atau mengakhiri nyawa karena tidak sanggup menanggung derita. Saya tidak ingin lebih jauh menjelaskan bagaimana keadaan atau kronologis kejadian-kejadian yang pernah terjadi, cukuplah dibayangkan seperti apa keadaan kami yang tinggal dalam satu atap ini. Kehidupan kami mungkin neraka dunia bagi kalian. Sebagai tambahan, tidak ada yang disebut kamar mandi selain sebuah sungai kecil yang berada di belakang rumah ini, kami juga manusia yang setidaknya juga mengerti tentang kebersihan, mandi, cuci dan kakus, meski jarang dan tidak terlalu mementingkan hal itu dalam keseharian.
Namun cerita-cerita seperti itu sudah terbiasa untuk saya yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran saja setelah lelah seharian meminta-minta, atau berkumpul dengan teman sebaya dan segera menghindar jika menyerempet masalah yang mengundang keributan. Ibu juga lebih banyak diam dalam keseharianya, hal seperti itu tidak terlalu dihiraukan oleh gelandangan lain karena sosialisasi yang terbentuk disini bukan seperti lumrahnya diluar sana. Kami gelandangan yang terbiasa hidup keras dan cara hidup kami tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh kalian yang terbiasa hidup normal dan bahagia. Lamunan orang depresi dan frustasi, bahkan penyakit gangguan jiwa juga hal yang lumrah ada di lingkungan kami.
Ibu memang menyimpan banyak trauma dan kelihatan sedikit frustasi dari apa yang sudah dialami dalam hidupnya, namun saya masih bersyukur karena setidaknya dia bukan bukan wanita gelandangan yang tidak waras akalnya, dia masih bisa berbicara dengan normal setidaknya dengan anaknya sendiri. Meskipun rasa sayang yang saya terima dari seorang Ibu sebenarnya agak susah untuk digambarkan.
Usia saya kini masih anak-anak. Bagaimana jika kalian merasakan hidup sebagai anak gelandangan dan mempunyai seorang Ibu yang juga tidak bisa melihat. Kalian sama sekali tidak pernah mendapatkan petuah-petuah bijak yang biasa didengar dari seorang Ibu, bukan ibu yang tertawa bersama kalian dan menina bobokan tidur kalian, tidak juga Ibu yang menyiapkan kalian makan, Ibu kalian bukan wanita zaman sekarang yang keibuan dan rajin bekerja, bukan Ibu yang dapat membahagiakan suami, anak dan keluarganya dalam rumah tentram mereka.
Ibu saya hanya wanita gelandangan buta dan lebih banyak membisu dalam keseharianya, Ibu yang tidak bisa memberikan apapun kepada anaknya, justru selain meminta pertolongan dan membutuhkan saya dalam hidupnya karena segala kekurangan yang ada pada dia. Tapi kenapa saya justru tidak pernah menyesali hal itu, saya justru sadar dengan sepenuh hati bahwa disebalik keadaanya itu ada rasa sayang teramat dalam terhadap saya, begitu juga sebaliknya rasa sayang saya sebagai anak terhadap dia.
Memang ada kemarahan mendalam dalam hati kecil saya, tapi itu terhadap takdir, wajar saja jika saya bertanya pada Tuhan “Adilkah Ini”, dan hingga sekarang saya masih menyimpan dendam terhadap lelaki bejat yang harusnya saya panggil ayah itu. Dan adakah seorang anak dalam dunia normal kalian yang bisa menyayangi rasa sayang saya sebagai seorang anak terhadap Ibunya.
Adakah rasa sayang yang setulus ini, seandainya hidup kalian ada pada hidupku yang sekarang. Sedangkan disaat kalian bahagia sekarang saja, kerap membuat Ibu kalian sakit hati, kalian suka membantah perintahnya sedari kecil, padahal Ibu sudah menyayangi kalian dengan setulus hati, dia berusaha memberikan apapun pada kalian selama hidup tapi tidak begitu dengan kalian, Ibu sangggup memberikan nyawa demi anaknya tapi apakah juga begitu bakti anak sekarang terhadap Ibunya.
Dua puluh tahun sudah kisah yang saya ceritakan ini terlewati, saya bukan anak kecil gelandangan lagi. Saya tumbuh sebagai lelaki kuat yang sudah terbiasa tegar dengan kerasnya hidup di jalan. Rumah penampungan itu sudah sangat lama dihancurkan karena ternyata gelandangan tetap selalu akan dianggap sampah masyarakat yang menurut mereka hanya patut disingkirkan dari dunia ini.
Wanita yang paling saya sayangi itu sudah tiada, akhirnya memang seperti itu takdir yang ditentukan untuknya, semakin lama depresi itu menahun dan Ibu kehilangan kewarasanya, dia meninggal tiba-tiba karena terjatuh pada saat terjadi tindakan pengusiran di rumah penampungan itu. Saat itu saya hanya bisa menangis sebisa mungkin tanpa ada yang memperdulikan, bahkan jenazah ibu dibawa seenaknya oleh mereka dan sampai sekarang saya tidak tahu dimana pusaranya.
Tepat pukul 22.30 WIB, malam ini saya sedang berada di salah satu lokasi pusat perbelanjaan terkenal yang ada di ibu kota. Saya mengenakan pakaian yang dapat dikatakan cukup rapi, layaknya seorang pengusaha, berkaca mata dan menggunakan sebuah tas ransel, waspada melihat keadaan sekitar. Ini diawali perjumpaan saya beberapa puluh tahun lalu dengan beberapa orang, yang akhirnya merubah secara total jalan hidup yang saya jalani, saya menjadi punya tujuan yang harus dituntaskan sekaligus sedikit terbersit rasa untuk membalas apa yang selama ini sudah saya alami.
Bertahun-tahun saya diajak ke tempat yang tidak pernah saya bayangkan, bertemu dengan orang-orang luar biasa, saya menjadi manusia yang banyak tahu dan tidak pernah dibayangkan sebelumnya, bahkan mungkin tidak akan pernah ada yang menyangka bahwa saya dulunya adalah seorang gelandangan. Tiap hari saya dilatih dan digembleng dengan doktrin yang membuat semangat untuk menuntaskan satu tujuan itu semakin membara, pada intinya saya harus menjadi manusia yang nantinya berakhir dengan berarti. Dan hari inilah saat yang paling saya tunggu selama bertahun-tahun. Puncak dari keberhasilan tujuan saya.
Tiba-tiba raut wajah saya berubah memerah, saya teringat kembali masa-masa ketika kecil, kehidupan jalan, teringat Ibu, lelaki itu, rumah penampungan, wajah-wajah orang kota dan para penumpang kereta, orang-orang yang pernah mencibir dan mengusir kami, mereka-mereka yang mengatasnamakan aparat dan biasa menakuti kami dengan senjata, mereka yang membawa jenazah ibu.
Dan air mata ini akhirnya menetes ketika saya teringat di hari terakhir itu, dimana ibu akhirnya harus pergi dengan kejadian yang tragis. Saya mengambil sebuah sapu tangan biru dari saku jaket kulit yang saya kenakan, kemudian menyeka air mata yang membasahi pipi.
Kembali mengamati keadaan dengan tenang dan menanti waktu yang sebentar lagi tiba. Semua rencana sudah dilakukan dengan matang dan terlaksana, hanya tinggal satu lagi yang paling penting untuk menuntaskan semua, itu ada di dalam tas ini.
Handphone dalam saku celana saya berdering dan kemudian
“…tit….tit..tit….BoOm !!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar