Selama Tuhan pemilik langit dan bumi masih memberikan kita nafas, dan selama Tuhan yang maha pemberi ilmu masih memberikan kita ilmu pengetahuan, maka janganlah ragu untuk menulis. Tuliskan saja, dan editlah belakangan. Dengan begitu, kamupun menulis tanpa beban. PLONG!. Lega rasanya..
31 Okt 2008
(CERPEN)Cinta Yang Nyaris Pupus
Keremangan suasana, menambah kesunyian ruangan. Yang terdengar hanya lagu yang berbisik syahdu, alunan syair “Patah Hati” lirih bersenandung. Sebuah ruangan sempit, tidak ada yang menarik di dalamnya. Di kamar ini, hanya terdapat beberapa perkakas usang, yang sedikit saja bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Tubuh bertelanjang dada yang sedang gontai, biarkan bebas terbujur di lantai tanpa beralas apapun. Semakin lunglai dengan bayangan pikiran yang terawang-awang. Saat ini, aku tidak dapat membedakan antara redup cahaya lampu atau penglihatan sendiri yang sedang sayu.
…Masih ada sedikit sadar,…semua barang di kamarku ini telah berserakan, berantakan dan tidak tertata rapi seperti biasanya. Sayup-sayup terlihat segala yang ada di hadapanku, cairan bening itu masih tersisa dalam botol bermerek Chevas Reagal. Seingatku, yang sebagian lagi telah kuteguk sendiri, perlahan kutuang sesuai takaran seloki.
Dalam situasi lelah untuk berpikir, hanya aku dan isi kepala yang menghuni ruangan pengab ini. Yang ku inginkan sekarang hanya tidur dengan lelap sekali. Entah dalam keadaan apa aku akan terbangun nanti, mungkin esok aku pun tidak menyadari sebagian hal yang telah kulakukan malam ini.
Yang jelas, perasaan itu tentunya masih terasa perih di hatiku…
Dia gadis yang telah meluluh-lantakkan hati batu ku pada pandangan pertama. Parasnya yang anggun, tidak kalah sempurna dengan keramahan sikap yang terpancar di keseharianya. Senyumnya yang terlihat tulus dalam setiap persuaan, ditebarkan kepada siapa saja orang yang dikenal.
Tapi, senyuman itu tidak pernah ditujukan pada diri ku. Karena hingga detik ini, gadis itu sama sekali tidak pernah mengenal aku. Apa yang tersirat hanyalah penafsiran dari apa yang kuperhatikan secara sembunyi-sembunyi, setelah perjumpaan waktu itu (kami saling memandang ketika sedang berada di perpustakaan kampus). Hanya pandangan sesaat, setelah itu dia pun berlalu dengan segala keanggunanya, dan tidak pernah tahu bahwa kekagumanku terus membekas hingga detik ini.
Semenjak itu, isi pikiran dalam kepalaku semakin dekat dengan sosok bayanganya. Apalagi setelah mendengar kabar, bahwa dia baru saja “Patah Hati”. Aku pun mulai merencanakan sesuatu diiringi niat yang tulus untuk dapat mendekatinya. Sebuah keinginan yang bermuara dari pikiran ku sebagai manusia awam dalam menyatakan cinta.
…tidak langsung menjumpainya…” bukan karena cara itu terkesan terlalu dini bagi seorang pria untuk mendekati wanita”, tapi hanyalah dalih untuk menutupi sikap ku yang sering “bodoh” jika berhadapan dengan “cinta”. Pantaslah jika aku belum pernah mengenal “cinta sejati”, karena “perkenalan” yang merupakan awalnya saja aku tidak pandai melakukanya.
Akhirnya, hanya dengan “sembunyi”yang dapat kulakukan. Jika itu dikatakan “perkenalan”, mungkin hanya pikiranku sendiri yang memakluminya. Untaian kata-kata yang menjadi modalku, ku guratkan kalimat-kalimat tulus yang mencurahkan luapan keinginan untuk dapat berkenalan denganya.
Aku tetap menjadi manusia “bodoh” untuk mengungkapkan cinta. Besar perasaan yang tak terbendung, seakan cukup kukiaskan dengan kata-kata yang hanya dapat bersua lisan denganya. Aku tidak tahu, atau mungkin perasaanku saja yang mengatakan hal itu dapat membuat dia penasaran.
Walau mendapat balasan, lisan ku disambut dengan lisan pula. Sesungguhnya bukan dia pemeran utamanya, aku yang membuat keputusan jika ingin perkenalan ini menjadi nyata. Terkecuali aku betah menjadi manusia “bodoh”, bahkan bertambah “dungu” untuk ingin diakui sebagai “sang pujangga antah berantah yang tersesat di peraturan cinta dunia nyata” .
Apa hendak dikata, aku memang belum siap semuanya menjadi nyata. Ternyata bukan hanya bodoh dalam mengungkapkan cinta, tapi aku juga sadar untuk bercermin diri. Mungkin ini sisi positif, karena “aku tahu diri”. Tapi yang mana dikatakan positif ?, jika rasa “tau diri” itu, sejak dulu telah membuatku merasa rendah di hadapan semua gadis.
Selanjutnya, aku hanya berkubang dalam perkenalan semu. Kami berdua masih tetap bertemu dalam dunia lisan, dunia yang dapat merubah ku menjadi insan menyenangkan sekaligus perhatian (sebuah perasangka yang mungkin hanya tumbuh di taman hatiku seorang).
Bisa saja dia membalas perkenalan lisan ini, hanya karena kebaikan hatinya yang tak tega menyakiti “manusia bodoh” yang begitu berhasrat karena cinta.
“Mustahil”…membuat gadis itu meyakini kesungguhan hati dari seseorang yang tidak pernah menampakkan seluk beluk perasaanya secara nyata, kecuali aku adalah seorang pangeran yang ketampanan dan kedermawananya sudah tersebar di berbagai kabar.
Tapi sebenarnya, jika gadis itu mempunyai keinginan untuk tahu siapakah orang “bodoh” yang memendam perasaan ini, mungkin dapat membuat secercah harapan….
“Aku adalah orang yang dapat memendam cinta sedemikian dalam. Bahkan rela bertahan untuk tidak memperlihatkan getas cintaku. Cinta dalam diri ku ibarat syair sendu yang sering menjadi inspirasi lamunan, sengaja kugubah dengan pengarang yang tidak diketahui. Biarlah tiap saat aku menderita karena rindu, walau kadang mencaci diri yang tak bernyali untuk mengungkapkan cinta.
Sesungguhnya, itu disebabkan aku yang tidak sanggup menerima penolakan, apalagi jika dikarenakan kekurangan diri yang seakan sudah terikat mati sebagai garis takdir. Akhirnya, aku hanya dapat membayangkan sang pujaan di dalam hati, bayangan yang kubuat indah dalam imajinasi, walaupun hanya merana ketika kembali ke dunia nyata.
Nasip perasaan yang kupendam ini, dapat diartikan sebagai deretan titik-titik yang kulalui dalam hidup. Akibat sikap yang sedari dulu konstan dalam melangkah, akhirnya tak sanggup menghadapi kenyataan. Biarkanlah takdir yang menjadi ujung dari titik nasip yang telah aku lewati.
Untuk mengungkapkan cinta, membutuhkan palu keberanian yang sanggup meluluh lantak kan kokoh sikapku yang penuh misteri,…
…Hingga kini, semua itu tak dapat kumengerti”….
Patut diketahui pula, dalam raga ini masih ada sifat lain yang juga dapat dikatakan sama “bodoh”nya. Aku adalah manusia yang suka berkeluh kesah. Sulit dipendam untuk sikap yang satu ini, dan sobat terdekat lah yang menjadi tempatku mengadu berbagai keluh kesah.
Sobat dapat membuat aku melupakan keruwetan isi kepala yang selalu penuh dengan rumus kehidupan, hanya sobat yang dapat menemani sepi hatiku karena merana tanpa cinta, mereka selalu menyanjungku agar yakin tidak ada kekurangan yang pantas membuat aku rendah diri.
Tapi untuk urusan cinta kali ini, ternyata aku salah berkeluh kesah pada sobat ku. Mungkin karena sanjungan yang sering diberikan, terkadang membuat aku malah lupa diri.
Pendaman perasaan cintaku semakin meluap-luap, khayalku selalu beralur cerita akan sosok gadis itu, ikhlas aku selalu berdoa agar bisa mendapatkan hatinya. Tapi dibalik semua itu, ternyata terselubung niat serupa dari seseorang.
“Sobatku ternyata juga memiliki perasaan yang sama”.
Aku tidak ingin tahu, hal yang melatar belakangi perasaan dari sobatku itu. Yang jelas, “aku lah penyebabnya”. Segala kisah yang kuceritakan tentang sikap dan keanggunan gadis itu, membuat sobatku terbawa perasaan untuk turut mengagumi, perlahan pun tumbuh menjadi benih cinta. Aku sering berkeluh kesah tentang ketidak berdayaan ku untuk mengungkapkan cinta pada si gadis, menjadikan sobatku tidak dapat lagi berpura-pura menyanjung sifatku, karena“aku memang pantas dikatakan bodoh”.
Benih cinta kepada gadis itu tumbuh dalam waktu bersamaan antara aku dan sobat ku. Segala kekurangan diri yang sering aku keluh kesahkan, membuat sobatku dapat memastikan, “aku tak mungkin menggapai hati si gadis”. Terbitlah niatnya untuk menjadi orang ketiga yang akan mewujudkan semuanya, meneruskan perjuangan cintaku, tanpa seijinku dan hanya untuk dirinya.
Aku “tercengang” setelah mengetahui kebenaran, “terkecoh” oleh persahabatan yang selama ini kuanggap baik.
Hanya beginikah arti persahabatan ?,
atau karena cinta dapat membutakan segalanya !.
Baru tersadar, jika selama ini aku hanya menanam benih pertemanan yang berakar kokoh di hatiku sendiri, “kebodohan” ku bukan hanya dalam memahami cinta, tapi juga dalam menilai teman.
Segala kelebihan yang berbanding terbalik dengan keadaan diriku, menambah keyakinan sang sobat untuk mendapatkan si gadis. Dia adalah orang yang berpengalaman mengenal cinta di dunia nyata, hingga dengan mudah mengatur strategi agar dapat mendekati gadis yang juga kupuja. “Semua kelebihanya yang sama sekali tidak kumiliki”.
Selama ini, aku hanya berkutat dalam pemikiran bahwa kemampuan untuk berjumpa dengan gadis itu memerlukan keyakinan diri, yang tercipta setelah terbentuk rasa sederajat,…terlalu lama aku memikirkan semua itu.
Kini, tinggal lah aku yang kalah dan sendiri, hanya dapat merenungi nasip yang selama ini mengikuti “kebodohan” sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, karena semua orang berhak mengejar cintanya. Apalagi cinta yang selama ini kujalani lebih pantas dikatakan mimpi. Hanya dalam dongeng 1001 malam kisah ini dapat berarti.
Satu kata, “Keikhlasan”, yang dapat ku lampiaskan terhadap sang sobat. Karena hanya akan lebih merana, jika menjadikan cinta mustahil ini sebagai biang keretakan persahabatan yang telah terjalin lama. Walaupun kalimat-kalimat itu, sebenarnya menari-nari di atas kepedihan hatiku. Tidak ada yang pantas dibenci selain sikap aneh ku sendiri, rasa benci yang telah berlangsung sejak lama, hanya saja sekarang ini kebencian itu semakin bertambah.
Setelah kejadian itu, walaupun kecewa, paling tidak aku telah berjiwa besar. Untuk kesekian kalinya aku menambah perbendaharaan dalam kamus pengalaman hidup, semoga semakin pandai mengartikan sikap yang selama ini menjadikan aku “bodoh”.
Kumandang Azan Shubuh membangunkan ku dari lelap. Aku masih setengah sadar, menanti kembalinya keseluruhan raga dari alam tidur. Sejak terlelap semalam, jiwa ku kemudian terbawa mimpi yang menemani tidur, bersamaan dengan perasaan yang sedang pilu.
Setelah sadar, ternyata keadaan kamarku masih seperti biasanya. Barang-barang dan perkakas yang ada tetap berada di tempatnya. Hanya beberapa lembar kertas yang berserakan di lantai. Aku mengingat-ingat, …sepertinya semalam aku juga sempat mendokumentasikan kisah “Patah Hatiku” ini lewat tulisan cerita pendek.
Tak terdapat rupa botol bermerek Chevas Reagal atau apapun sejenisnya di kamarku ini. Kegundahan hati karena cinta kali ini, tidak sampai menggiring aku kembali ke masa yang pernah membuat hidupku tak terarah. Bergegas ku ambil wudhu, menebar sajadah, kemudian kerjakan kewajiban sebagai seorang Muslim, menunaikan Shalat Shubuh.
…Aku pernah membenci kekurangan diri, karena kuanggap menjadi penyebab penderitaan hidup. Tapi, setelah itu muncul kesadaran bahwa apapun yang kupunyai saat ini, yang kuharapkan nanti atau segala keinginan demi hasrat duniawi, semuanya tidak lebih dari kekosongan yang tidak penting.
Tujuan utama aku hidup hanya akan kembali kepada satu asal-usul yang kekal. Keikhlasan dan mensyukuri atas apa yang telah diberikan Ilahi serta tidak menyia-nyiakan hidup, yang akan menjadi bekal untuk perjalanan ke sana nanti.
Dalam sujudku aku menyembah Mu Ilahi, teriring mohonku untuk kesekian kalinya, agar segala cobaan yang kuhadapi adalah cara Mu untuk menjadikan aku semakin tegar menjalani hidup dengan keimanan. Keyakinan ku pada Mu yang akan membiarkan uluran waktu mempertemukan aku dengan cintaku.
Dalam doa ku, kutengadahkan jiwa penuh harap, tetapkan hati memohon pertolonganmu. Getar lidahku, tak lain hanya untuk menyebut, mengingat dan berdzikir dengan nama-Mu. Akulah manusia hina, ketika usahaku sia-sia, jalan yang kulalui terasa menyempit serta harapan yang semakin pupus…
“Ya Allah! Tenangkanlah hatiku yang sedang risau, hanya kedamaian jiwa yang kunanti, Iman ku yang tetap berkobar pada-Mu lah yang utama”.
Kini aku hanya dapat mengingat dia sebagai kenangan. Naluri dan semangat cinta yang masih sama kujadikan bekal penemuan cinta sejati lain yang tak akan lelah kucari. Sudah menipis harapku bahwa dia akan menungguku untuk mengungkapkan isi hati, sobatku yang disana mungkin lebih berarti untuknya. Dan seandainya begitu, biarlah cinta ini tetap bersemayam, sebagai balas jasaku yang belum sempat berterima kasih pada dia yang telah membuat aku mengerti akan “Keikhlasan Cinta.
Bersamaan ketika selesai mengerjakan Sholat Shubuh, tiba-tiba terdengar nada dering sebuah pesan masuk ke ponsel ku. Tertera beberapa digit angka yang tidak ku kenal. Perlahan aku menekan salah satu tombol untuk membaca pesan singkat tersebut.
Ass. Slma ini aku sbar menggu,
entah knp dri klimat2 yg kau tlis, mbuat
aku pham akan skap & kesugguhanmu.
Tpi, knp kau sia2kan ksabaranku dgn
mnyerah bgitu sja.
Jstru keiklasanmu mbuat aku brtambh ykin.
Tpi aku jga ingin bkti, bsok sesdah shlat
Dhuhur, aku mnunggumu di tmpt prtama
kli kita brtemu”.
Yg mnunggumu (Idh).
“Bersimpuh aku pada-Mu, yang mengatur misteri kehidupan. Hanya keikhlasan dan kesabaran yang dapat menuntun manusia hingga terwujudnya keinginan yang dicita-citakan”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mmmm
Posting Komentar