Sebagai manusia, kita adalah mahkluk paling sempurna yang diciptakan oleh Nya. Mahkluk yang sempurna karena berakal dan bernurani. Dua kesempurnaan yang dikaruniakan secara berimbang, tapi dalam kenyataan memiliki takaran yang berbeda pada setiap orang. Dua kesempurnaan yang sebenarnya dapat difungsikan sekaligus agar selaras, tapi banyak juga manusia yang merasa cukup jika sebagian-sebagianya saja yang digunakan, kebutuhanlah yang menjadi alasan.
Akal terkadang mendominasi hingga dapat tercapai banyak manfaat, tapi kemudian muncul juga berbagai masalah pelik karena yang telah dicapai pada akhirnya hanya mendapatkan jawaban hambar, itu karena jika yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa kita diciptakan sebagai manusia. Dari hal itu barulah Nurani terasa penting, nurani memang tetap tak bisa dilepaskan selama kita masih hidup di dunia fana ini. Meski sengaja diacuhkan, dibiarkan terpendam jauh di alam bawah sadar, pada waktunya nanti tetap harus diberdayakan karena kehidupan hanya akan ada bila masih ada nurani pada manusia.
Dengan nurani, secara sejati kita meyakini akan keagunganNya. Dan akhirnya karena akal juga, kita tahu bahwa banyak cara untuk mencapai ridho dari Dia Yang Maha Agung. Secara umum segala hal apa saja, banyak jenisnya, asal masih mengatasnamakan kebaikan atau amal ibadah, adalah upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai hal tersebut. Tapi sadarkah kita sebagai mahkluk sempurna yang berakal dan bernurani ini, bahwa meski banyak cara untuk mencapai RidhoNya, tapi belum tentu segala upaya kita tersebut dengan mudah mendapatkan RidhoNya begitu saja.
Sebagai mahklukNya yang sempurna, kita tetap saja lemah di hadapanNya. Tak ada yang mengetahui rahasiaNya. Begitu juga mengenai Ridho yang kita harapkan dariNya. Untuk itu keimanan terhadap agama yang benar adalah kuncinya, meski Allah dengan kemurahanya tetap memberikan petunjuk bagi mereka yang dikatakan kurang keimanan atau bahkan tidak beriman sama sekali. Mereka tetap dapat membaca itu melalui akal dan logika mereka bahwa “Perdayakanlah nurani, jadilah orang alim, maka kau akan menjadi orang baik di bumi ini”. Namun ada satu pertanyaan penting yang tidak akan pernah bisa terjawab, bahwa siapa di dunia ini yang dapat menentukan beriman atau tidaknya seseorang sampai akhir hayat hidupnya nanti ?. Semua itu hanya Dia Yang Maha Tahu, karena hanya Dia pula yang berkuasa memberikan ridho dan hidayahNya.
Jadilah orang alim, maka akan menambah cukup banyak orang-orang alim di dunia ini, namun itu beriringan pula dengan kian bertambahnya pendosa yang bertebaran di muka bumi ini. Diantara mereka mungkin termasuk kalian, kita, atau saya sendiri. Tapi yang jadi pertanyaan, termasuk dalam kelompok manakah kita. Orang alim, pendosa, atau keduanya ?. Lantas siapa diantara kita yang berhak menyadangkan predikat itu. Apakah mungkin diri kita sendiri ?. Atau berdasarkan pendapat orang lain, karena dikatakan hanya orang lainlah yang dapat menilai diri kita. Tapi jika memang begitu, yang dilihatpun hanya mengenai penampilan luarnya saja, bagaimana dengan dalamnya hati ?, manusia mana yang lebih tahu selain diri kita sendiri.
Akhirnya kita kembali lagi pada satu jawaban yang paling benar bahwa hanya Dialah yang tahu segalanya. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha dan berharap. Tindakan mengira-ngira secara berlebihan atau terlalu yakin adalah prilaku yang salah, karena nantinya dapat berkembang menjadi bibit kesombongan terhadap diri sendiri, atau tindakan yang dapat menghakimi orang lain dengan alasan yang sebenarnya kita sendiri tak sanggup untuk memahami.
Semestinya akal dan nurani yang dikaruniakan kepada manusia adalah untuk diperdayakan secara timbal-balik, karena tanpa salah satunya maka akan ada ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan. Tapi meski kita dikaruniakan akal untuk memikirkan prilaku kita yang sesuai dengan nurani ataupun juga sebaliknya, tetap saja terkadang tindakan kita tetap tak bisa dikatakan berakal atau bernurani, mungkin karena itulah sisi lain sifat manusia yang sudah ada sejak nabi Adam diciptakan. Atau mungkin inikah kelemahan kita yang dikaruniakan akal dan nurani secara sekaligus, hingga selalu berputar-putar diantara dua pilihan, baik dan buruk, hitam dan putih. Tidak seperti sang Malaikat atau Iblis sekalipun.
Sejak dulu sangat sedikit atau mungkin saja tak ada diantara kita yang sanggup menanggung beban sebagai manusia sempurna. Secara kodrat, tak ada manusia yang tak pernah tergoda dan luput dari dosa. Tapi itulah kesempurnaan yang sepantasnya untuk manusia, adalah kesempurnaan yang tak luput dari kekurangan, karena kesempurnaan kekal tetap hanya milikNya. Jika kau diciptakan sebagai malaikat tentu tak ada sedikitpun keraguan untuk bersujud padaNya, karena telah menjadi saksi secara nyata. Begitupun dengan iblis, meski selalu menebar dosa hingga akhir hayat alam ini nanti, sebenarnya dia tetap meyakini secara mutlak akan kebesaranNya. Maka manusia akan lebih sempurna dari kedua mahkluk istimewa Allah tersebut, jika memiliki keimanan yang kuat meski dia tak pernah menjadi saksi secara nyata seperti malaikat, dan selalu bertobat meski tetap tak luput dari tipu daya iblis yang juga tak bisa menyangkal kebesaranNya.
Semua mahkluk di dunia ini adalah sama di hadapanNya. Orang alim ataupun pendosa, baik dan jahat, serta keimanan dan ketaqwaan seseorang, tetap hanya Dia yang paling tahu. Masing-masing kita berhak menilai sebatas kemampuan kita sebagai manusia, tapi jangan sampai bertindak keterlaluan terhadap sesama hingga melebihi kekuasaanNya. Kita mungkin bisa membaca sikap namun tak ada yang tahu isi hati manusia lain.
Seseorang alim yang taat beribadah dan dari mulutnya sering melantunkan ayat suci, tapi bisa saja tidak menyadari bahwa dengan kealiman itu perlahan dapat membuat dia lalim, karena menjadikan dia berprasangka buruk terhadap kaum lain, merasa dia yang paling benar, selalu membenarkan pendapat dan ingin menang sendiri. Dengan segala prilaku alimnya itu, dia merasa telah mendapatkan ridhoNya, tapi manusia mana yang bisa tahu.rahasianNya?.
Orang alim bukanlah yang sering melakukan dosa, tapi tidak bedanya dengan para pendosa, karena tetap tak luput dari dosa. Apalagi jika tindakan itu tanpa disadari hanyalah kepura-puraan di hadapaNya. Sedangkan adalah kebenaran bahwa hanya Dia Yang maha Tahu !. Selalu sujud dan berserah padaNya, tapi tak pernah tercerminkan dalam sikap sehari-hari adalah ibadah yang percuma dan penuh pura-pura. Menipu Dia yang tak bisa dibohongi, menipu sesama dengan berpura-pura alim, atau menipu diri sendiri yang mempunyai akal dan nurani.
Sedangkan apakah kalian bisa tahu bahwa para pendosa atau penjahat sekalipun bisa saja mendapat ridhoNya. Mereka yang selama di dunia ini lebih pantas dicerca dengan segala prilaku yang diperbuat, juga tetap sama mengharap surga di hari itu kelak. Intinya mereka juga manusia yang mempunyai akal dan nurani, dan pintu taubat bisa terbuka kapan saja hingga di ujung ajal sekalipun. Mereka bisa saja adalah kalian atau saya sendiri, dan kita tetap merupakan hamba Allah yang tetap bisa mendapat RidhoNya. Namun hanya dia Yang Maha Tahu.
Inilah tulisan yang dibuat oleh orang yang tak luput dari dosa, karena dari kalimat tulisan ini begitu menggambarkan sisi keegoisan, terlalu berprasangka dan membenarkan diri sepihak. Membenarkan diri sendiri sebagai seorang pendosa atau seorang yang alim, berpura-pura alim yang sesungguhnya hanyalah pendosa. Tapi tetap ada satu tujuan dari penulis untuk menulis tulisan ini, bahwa cukuplah kemajuan zaman membuat bumi ini berangsur tua dan menyingkat usianya. Namun kenapa itu harus juga dibarengi dengan cara pikir manusia sebagai mahkluk Allah yang semakin jauh dari keseimbangan antara akal dan nurani untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Kemajuan zaman ini bisa membuat manusia sangat mengagung-agungkan akal dalam segala tindakan, hingga nurani tak diperdulikan. Atau juga karena terpuruk dalam kemajuan, hingga nurani yang menjadi alasan tergampang sebagai pelampiasan. Terkurung dalam pemikiran sempit bahwa nurani dapat berjalan sendiri tanpa memperdulikan akal, segala harus serba lurus dan putih, dengan cara yang dibuat dan dimengerti sendiri, apakah itu jalan paling benar menurutNya dan dapat mencapai Ridhonya ?.
Saya yakin Dia Maha Adil dan Maha Tahu, keridhoan yang diberikan pada hambanya tidak berdasarkan sisi luar atau materinya saja. Percuma jika yang dikatakan emas tak lebih dari barang imitasi, sedangkan kilauan indah permata awalnya tak lebih dari onggokan lumpur. Hanya Dia Yang Tahu semua itu, dan janganlah kita melebihi Dia. Cukup tanamkan pada pikiran akal dan nurani kita, terutama untuk saya sendiri khususnya, bahwa jika ingin mengharapkan ridhoNya maka setiap apa yang dilakukan haruslah dengan niat baik kepadaNya dan juga perasangka baik terhadap sesama. Itu saja dulu, dimulai dari sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar