My Adsense

29 Des 2008

Selamat datang Tahun Baru


Selamat datang Tahun Baru, tahun yang sudah seharusnya memiliki makna penting bagi kehidupan manusia. Karena tahun baru bukan hanya berarti menggantikan tahun yang lama, akan tetapi bermakna bagi setiap pribadi untuk bisa melakukan evaluasi mengenai segala tingkah laku mereka. Segala evaluasi yang dilakukan diakhir penghujung tahun ini, memang patut diawali dengan perenungan bermakna, yang nantinya dapat menjadi penilaian masing-masing individu akan hal apa saja yang perlu dirubah.

Tapi, sejauh mana perenungan itu turut mempengaruhi dampak perubahan yang terjadi pada diri masing-masing individu. Apakah perubahan itu dapat terus berlangsung dan mempengaruhi segala aspek kehidupan secara positif ?. Itulah pertanyaan yang menambah keyakinan bahwa begitu pentingnya perenungan sebagai rencana awal dalam mengisi tahun baru ini dengan perubahan.

Di zaman sekarang ini, peradaban telah dihuni oleh berbagai kemajuan dalam berbagai aspek teknologi dan pemikiran. Sehubungan dengan keadaan itu, dituntut pula pengadaan sumber daya manusia yang mampu bersaing agar tidak tertinggal dengan zaman yang terus saja berpacu dengan kecanggihanya. Tentu saja ada harga yang harus dibayar untuk semua itu. Akhirnya, sudah menjadi sesuatu yang lumrah jika faktor keuntunganlah yang menjadi inti pencarian masyarakat dunia saat ini, berbagai cara dilakukan agar dapat meraih kekuasaan dan harta untuk membayar jasa yang telah diberikan pada zaman ini.

Hingga pemaknaan tahun baru lebih cendrung ditujukan kepada evaluasi dan pembaharuan di bidang ekonomi. Seperti bagaimana mengatur keuangan, mengubah kinerja dalam berkarya, meningkatkan daya saing, dan mengejar laba yang tinggi. Perubahan-perubahan yang lebih tertuju pada aspek ekonomi itu semakin kentara terlihat meskipun sempat tertutup oleh tujuan perubahan lain yang diarahkan pada masalah sosial masyarakat. Dari pernyataan di tersebut, dapat diketahui sebatas mana makna perenungan yang mengantarkan manusia zaman sekarang pada pemahaman arti Tahun Baru.

Kemudian, bagaimana dengan sisi spritualitas ?. Apakah dirasa sudah tidak perlu menjadi perhatian untuk dilakukan evaluasi dan pembaharuan dalam kehidupan rohani manusia di bumi ?. Memang masih ada umat manusia yang memikirkan dan melakukanya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga yang seakan sudah tidak memikirkanya. Mungkin menurut mereka, dari awal kehadiran ajaran agama dan moral di muka bumi ini, memang tidak perlu dievaluasi, karena tidak pernah berubah dari sekedar melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan tercela.

Lalu, bagaimana dengan permasalahan-permasalahan pelik yang terus saja mendera bangsa ini, bukankah sangat berhubungan dengan keadaan spritual umat. Tidak adakah yang menyadari bahwa keterpurukan tidak akan berubah, sebelum manusia-manusia yang berperan merubah terlebih dahulu hal-hal negatif yang ada dalam jiwa masing-masing. Karena sebenarnya itu hanya berujung pada pengotoran moral yang selanjutnya semakin jauh menjadi alat penghancur peradaban bangsa ini.

Untuk itu marilah kita memaknai Tahun Baru kali ini dengan merenungi segala perubahan-perubahan positif yang harus dilakukan. Tanpa melupakan bahwa yang paling penting dari perubahan itu adalah evaluasi yang terjadi pada sisi spritualitas, melingkupi aspek agama dan moral. Karena hal itu yang berperan penting dalam keberlangsungan peradaban di muka bumi ini.

Serta harus ada gagasan yang benar disertai dengan kemauan dan tekad untuk berubah, karena jika hanya gagasan tanpa kemauan atau sebaliknya, tidak akan menghasilkan perubahan. Oleh karena itu jiwa setiap individu harus diupayakan agar memiliki gagasan, pikiran, kemauan dan tekad yang suci agar perubahan di tahun yang baru ini dapat tercapai.

Korupsi Budaya Indonesia



Apalagi permasalahan rentan yang sedang ramai dibicarakan di negri ini, kalau bukan masalah korupsi. Selama ini, pemberantasanya tidak pernah menampakkan hasil yang nyata. Pelakunya yang disebut koruptor sudah sering membuat jengah dengan berbuat seenaknya, mereka lihai membuat penegak hukum tidak berdaya.

Wajar saja, semakin gencar generasi cendikiawan memunculkan berbagai usulan agar disusun peraturan hukum baru yang mencakup penjelasan secara detail, disertai ketegasan yang menjadi faktor utama membuat jera pelaku korupsi. Walaupun ide ini datangnya terlambat, setidaknya harus selalu ada upaya agar permasalahan korupsi ini dapat dituntaskan. Meskipun sejak dulu langkah penuntasan itu sebenarnya telah dilakukan, undang-undang dan peraturan sudah lama dibuat oleh mereka yang mengerti hukum. Tapi, kita pun sebagai masyarakat bangsa ini tidak dapat mungkir bahwa hasil yang kita rasakan tetap saja pepesan kosong

Marilah generasi bangsa ini memusatkan pikiran dan bersikap kritis terhadap sebab utama dari permasalahan ini. Untuk meninjau ke belakang, harus kembali kepada aspek historis yang menjadi cikal bakal terciptanya kasus korupsi yang memeriahkan kegalauan kondisi bangsa kita saat ini. Tentu saja, setiap manusia yang masih dapat berpikir waras menilai korupsi adalah perbuatan yang buruk walaupun hanya jauh di lubuk hati kecilnya saja, dan jika disangkut pautkan dengan budaya, berarti korupsi merupakan budaya yang buruk.

Sebelum membahas permasalahan ini lebih lanjut, marilah kita merenungi juga definisi atau pengertian budaya. Bukankah selama ini, pemahaman tentang budaya memang tak pernah jelas. Sejak awal masyarakat kita mengenal sejarah bangsa ini, budaya memang sering dianggap suatu hal yang baik, untuk itu harus dilestarikan atau dipertahankan. Tapi, kenapa sedikit sekali pemikiran yang menelaah ulang pengertian tersebut sebelum meyakini secara pasti.

Menurut pengertianya, budaya adalah pola tingkah laku yang berlangsung terus menerus. Dan sebagai manusia, tingkah laku dan pemikiran kita tidak pernah luput dari kesalahan. Oleh karena itu, sebenarnya budaya tidak dapat dikatakan selalu benar. Dan dalam permasalahan melestarikan, budaya bukanlah aspek abadi yang sesakral agama. Sehingga harus selalu dikoreksi sesuai dengan kepentingan zaman dan dapat ditempatkan pada posisi yang bermanfaat bagi masyarakat yang hidup di zaman sekarang.

Kesimpang-siuran makna membuat perbedaan pemahaman adalah dalam menyikapi kata korupsi. Sedangkan kata korupsi sendiri bukan merupakan kata asli yang berasal dari bahasa ibu bangsa kita. Korupsi dipinjam dari bahasa Inggris Corruption. Masyarakat yang strukturnya berbeda tentu memiliki penafsiran yang berbeda pula mengenai pemahaman kata itu.

Jika suatu masyarakat tidak mengenal sebuah kata secara jelas, maka sesungguhnya mereka tidak mengenal secara pasti prilaku berdasarkan kata itu. Jadi , apa makna korupsi bagi masyarakat Indonesia ?. Bahasa Indonesia ternyata tidak memberikan keterangan yang memadai tentang makna korupsi yang merupakan makna pinjaman dari bangsa lain.

Bagaimana suatu masyarakat dapat mengenal konsep korupsi, jika tidak memiliki kosa kata korupsi. Setelah berusaha dijabarkan dalam bahasa Indonesia, korupsi hanya ditafsirkan secara sederhana. Pengertian korupsi hanya dipersempit pada batas pengertian sebagai tindakan menggunakan kekayaan atau uang Negara secara tidak sah. Dan dalam hal ini, korupsi telah terjadi di Negara Indonesia yang berbalut demokrasi.

Lantas seperti apa sejarah bangsa kita ?. Bangsa kita ini diawali dengan budaya kerajaan, yang telah terbukti secara absah merupakan asal-usul berdirinya negara kita. Perangsuran zaman dan situsi yang merubah konsep tersebut, dan lahirlah demokrasi yang mengandung arti kekuasaan berada di tangan rakyat.

Merunut aspek sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa dalam konsep budaya Indonesia, kedaulatan awalnya tidak berada di tangan rakyat melainkan tangan raja, dan kekuasaan bukan berasal dari ‘bawah’ melainkan dari ‘atas’. Dalam konsep kerajaan, kekuasaan tidak berorientasi kepada rakyat, karena kekuasaaan itu lebih bersumber pada harta. Penguasaan yang merajai segalanya. Permasalahan pelik pun muncul jika menyangkut kekayaan negara, tentu saja dianggap sebagai milik penguasa tersebut, sedangkan rakyat kecil tidak memiliki apa-apa. Kasarnya rakyat dalam konteks ini hanya dinilai berdasarkan jumlah penduduk yang tidak ada artinya..

Dalam rezim korup hanya ada orang kaya yang diuntungkan karena bisa mendapatkan semua pelayanan publik atau menguasai sumber ekonomi dan tidak pernah ada sumber ekonomi penting yang jatuh ke tangan orang miskin. Jika telah sampai pada titik krisis seperti itu, ujung-ujungnya kembali kepada peran penting segelintir masyarakat yang masih dapat berpikir positif untuk menuntaskan permasalahan ini. Tetapi, hingga kini dampak dari pemikiran mereka yang bernaung di bawah kata reformasi belum memberikan arti yang berarti, walaupun patut tetap ada penghargaan atas upaya mereka untuk merubah masa depan bangsa ini kearah yang lebih baik.

Dan sampailah pada kesimpulan utama dari penulisan ini bahwa keadaan bangsa ini tidak akan berubah, sebelum manusia-manusia yang berperan merubah terlebih dahulu apa yang ada dalam jiwa masing-masing. Yaitu, mengubah semua pemikiran negatif akan kepentingan untuk meraih kekuasaan dan meraup harta. Sebenarnya segala keinginan negatif itu hanya berujung pada pengotoran moral yang selanjutnya semakin jauh menjadi alat penghancur peradaban bangsa ini.

24 Des 2008

Sajak Simphoni dari Alam Bawah Sadar


Sajak-sajak adalah suara dari alam bawah sadar. Tak mau ku katakan tentang suara-suara yang timbul dari roh, untuk menghindarkan kesan yang mengandung klenik. Dalam hal ini, aku lebih baik mempergunakan istilah teknis pisikologis “bawah sadar”, meski sesungguhnya soal bawah sadar sama orisinilnya dengan soal roh. Tetapi orang akan lekas dan percaya untuk menerima pengertian bawah sadar itu dari pada roh, yang sudah terlanjur mengingatkan orang kepada tahkyul.

Apa yang muncul dari bawah sadar mungkin suatu yang memalukan diri, seolah-olah menyebabkan kita berdiri telanjang bulat di muka umum, mungkin pula bayangan angan-angan yang pelik, hanya sekali saja menampakkan diri di depan mata hati kita.

Pada saat-saat yang sepi kita berada di dalam kesadaran yang paling cerah, yang mengungkapkan diri dari situasi kita sampai kepada inti hakikatnya. Sajak-sajak yang terkumpul, kuanggap simphoni bagiku. Adalah hasil pergulatan untuk merebut kiltan-kilatan kesadaran itu sebelum tenggelam lagi dalam ketidaksadaran yang dungu.

Bagiku, tujuan pada hidup dan kerja sastra harus memuncak kearah kesadaran sepenuhnya. Itu harus menjadi akhir segala kerja ilmu seni dan lakon hidup. Diriku seperti pencuri yang memasuki gua penuh emas dan cepat harus lari ke luar, sebelum pintu-pintu tertutup dan emas di tangan menjadi darah melekat, darah penyesalan, dan derita kehidupan.

Alam bawah sadar itu amat luas, dan kalau kita bisa memasukinya, kita akan menjadi sadar akan kehadiran Allah, sebagai pusat kesadaran pada segala gerak yang tercipta di dunia fana ini. Hanya hati yang kering dari angan-angan, yang tidak tersadar demikian .

Aku tidak mau sombong wahai sobat, tapi aku beranggapan bahwa mereka yang tidak bisa melihat alamat-alamat kebenaran di tengah alam berlambang ini adalah mereka yang tidak sanggup melihat dengan mata hati, tidak bisa membiarkan rohnya, bawah sadar, intuisi atau rasanya bersuara. Sedangkan, aku mau dengan persediaan pengalaman dan ilmu yang mengisi, akan membentuk diriku mencapai kesadaran setinggi–tingginya tentang hidup dan tentang manusia.

Dan aku beranggapan bahwa kebenaran yang hakiki hanya dapat disoroti dengan agama, dengan menggali lebih dalam ke bawah sadar. Dengan begitu, akan timbul suara kebenaran yang berintikan penyadaran sendiri, bukan tiruan pemikiran dari dogma atau doktrin.

Sikap ku dalam hidup bersosialisasi, dapatlah disamakan dengan seorang arkeologi yang ingin menyusun kembali batu berdebu yang berantakan menjadi candi yang utuh dan keramat, dan mau melihat pada bangun dan motif-motifnya.

Kalau chairil anwar mau melihat ke dalam diri manusia dan ke dalam dirinya sendiri, maka aku mau melihat hakikat manusia sampai kepada nyawa yang terbayang dalam darah.

Adalah percuma seperti apa yang telah dilakukan orang terdahulu, mereka tanpa berlandaskan agama yang sebenarnya. Walaupun pernah ada manusia yang memotong-motong tubuh sesama manusia lain sampai bagian yang kecil-kecil, hanya karena ingin membuktikan logika, tapi tidak juga menemukan nyawa. Waktu itu telah hadir pula budha yang hendak mencapai pelepasan dari belenggu jasmaniah. Demokritus pun tidak bisa melihat apa-apa selain atom dan kekosongan.

Aku tahu apa yang paling benar dari semuanya, semakin kutemukan setelah semakin jauh kutelusuri alam bawah sadar menurut ku, karena hanya aku yang paling mengerti pikiran sadarku sendiri. Mereka yang lain hanyalah sarana luar yang kadang tak memberikan arti yang berarti. Hidayah pun turun hanya kepada manusia yang mau menerimanya. Dinul Islam

20 Des 2008

"badan hukum pendidikan dan peran pemerintah"‏


Kisruh kembali berdentang dalam dunia pendidikan negera kita. Perang pernyataan dan klaim terjadi antara pemangku tanggung jawab yang mengurus pendidikan dengan pihak yang peduli akan pendidikan negeri ini. Seperti yang sudah-sudah, sebagai generasi terdidik yang mengemban masa depan bangsa, sepantasnya jika para mahasiswa begitu gencarnya mengeluarkan aspirasi atas kisruh yang sedang terjadi. Terbit harapan kita bersama, agar aksi yang terjadi bukan malah memperkeruh suasana.

Kasusnya menjadi menarik untuk disimak, karena dilatarbelakangi oleh argumentasi hukum dan perspektif yang berbeda dari pihak-pihak yang berseberangan. Sebenarnya berpangkal dari tidak jelasnya peraturan pemerintah dengan dimunculkannya Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang masih dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Untuk menjelaskan sebab dan asal-usul mengenai apa dan bagaimana status dari BHP ini, memerlukan argumen panjang yang ditilik dari sumber hukum berupa peraturan pemerintah (PP) yang berisi ketentuanya secara lebih terperinci. Tapi dalam kolom singkat ini, penulis hanya ingin mencoba menguraikan pendapat tentang BHP secara umum, mungkin dapat menjadi sedikit sumber acuan yang melatar belakangi pihak-pihak berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Badan Hukum Pendidikan (BHP) dapat diartikan sebagai badan hukum satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat, yang berfungsi untuk memberikan pelayanan pendidikan, prinsipnya adalah mengelola pendapatan dana (nirlaba) untuk memajukan satuan pendidikan.

Yang menjadi sumber persoalan adalah dengan disiapkanya RUU BHP, telah memunculkan isu-isu yang didominasi pernyataan bahwa ini merupakan rancangan yang sengaja dibuat pemerintah agar dapat melepaskan tanggung jawab konstitusional terhadap pendidikan nasional. Jika seandainya seperti itu, dimanakah tanggung jawab pemerintah terhadap UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pernyataan di atas dikarenakan timbul pertanyaan seputar permasalahan yang menyangkut biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, karena jika institusi pendidikan seperti universitas negeri telah sepenuhnya menjadi kepengurusan pihak swasta (yayasan), tentunya pendanaan sepenuhnya didapatkan dari pihak-pihak yang sedang mengenyam pendidikan atau mahasiswa.

Dengan begitu, yang terjadi bukan hanya menambah beban para mahasiswa yang sudah berat dengan keadaan ekonomi bangsa saat ini, tetapi juga memusnahkan impian anak-anak kurang mampu yang giat menuntut ilmu agar ketika menjadi mahasiswa nanti dapat menambatkan pendidikanya pada perguruan tinggi negeri.

Tetapi, cara bijak dalam mengatasi suatu permasalahan adalah dengan memandang inti permasalahan tersebut dari berbagai aspek. Sebenarnya, BHP juga memiliki sisi positif untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa ini. Dengan adanya otonomi pendidikan, dimungkinkan pihak-pihak terkait dapat lebih leluasa mengembangkan upaya demi memajukan kualitas pendidikan yang mungkin selama ini hanya terkukung oleh aturan pemerintah.

Dan perlu diketahui bahwa dalam RUU BHP memungkinkan lembaga pendidikan tinggi asing untuk berdiri dan bekerjasama dengan Negara kita. Patut diakui bahwa dari segi kualitas, memang perlu banyak mencontoh dari bangsa asing yang sumber daya manusianya terbukti lebih tinggi dari bangsa kita. Meskipun tetap harus ada pengawasan, agar jangan sampai liberalisasi pendidikan tersebut menyebabkan intervensi dan penguasaan oleh lembaga tinggi asing secara berlebihan.

Dalam hal pengawasan ini, peran dan tanggung jawab pemerintah yang sangat diperlukan, begitu juga tidak sepenuhnya menghilangkan bantuan dan subsidi yang sudah seharusnya diberikan. Akhirnya semua pendapat saya berujung pada harapan utama agar pendidikan yang menjadi sarat utama kemajuan peradaban suatu bangsa dapat diraih secara merata oleh siapapun juga, tanpa membedakan status dan keadaan ekonomi.

Bukan mustahil “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang merupakan tujuan bersama manusia yang mencintai bangsa ini pun dapat tercapai.

Kekuatan imajinasi


Kekuatan imajinasi, identik dengan kepekaan seseorang pengarang. Makin tajam kepekaan seorang pengarang, makinberkelebat imajinasinya. Dan makin tumpul kepekaanya, makin malas imajinasinya, kemudian mengantuk, tertidur dan bahkan bisa saja mampus….!!!

Kepekaan adalah kemampuan menembus apa yang tidak terlihat, tidak terasa dan tidak terpikirkan. Bahkan kepekaan adalah kemampuan untuk mengadakan sesuatu yang tidak terjangkau oleh orang lain. Seandainya saya adalah seorang pengarang, kepekaan saya berbeda dengan kepekaan teman saya yang seorang politikus, pedagang, bahkan dengan saya sendiri yang terkadang menjadi manusia materialistis.

Pada saat menyaksikan suatau kegalauan, seorang yang dungu tidak melihat apa-apa, kecuali kegalauan itu sendiri. Tetapi kepekaan seorang pengarang dapat membuat dia berpikir lain. Selalu gelisah, kemudian sekonyong-konyong mengendalikan suatu kejadian menjadi alur cerita panjang yang berentetan. Seakan didramatisir menjadi kisah yang menarik.

Kepekaan akan tubuh dengan sendirinya semakin menjadi tajam pada saat getol menulis. Pada saat itu imajinasi berkelebat tanpa diminta, bahkan tak dapat dikuasai. Karena itu mengarang tidak dapat sekedar diibaratkan dengan “tukang tulis”.

Kisah Tragis di Hari Kamis


Kamis,20 – 12 - 2008

Naiki tangga itu,jangan perhatikan bayangan lukisan gemetar di sudut gelap lantai pertama. Langkahi muntahan itu dan jangan bersandar pada pagar. Kuncimu bisa dipakai untuk sebagian pintu di bangunan ini, dan yang sebagian lagi tidak terkunci.

Buka pintu yang bertuliskan “Bad Boys”, tak usah repot membaca tulisan vulgar yang dituliskan di bawah hurufnya…toh bukan dalam bahasa Indonesia, dan kau tidak cukup pandai tentang bahasa Inggris untuk mengetahui apakah grafity itu memang dalam bahasa Inggris. Tapi sebenarnya, walaupun tidak faseh…kau sering berusaha mengenal beberapa kata dalam bahasa inggris , sehingga jika kata-kata itu terlihat begitu asing, mungkin saja bukan bahasa Inggris tetapi bahasa perancis….atau apalah.

Buka pintunya dan masuk ke dalam. Bernapaslah melalui mulut. “Mahkluk ini sudah mati” bebarapa hari yang lalu dan menambah bau pengab kamar ini pada musim panas. Buka jendela….tidak lupakan itu, jendelanya pasti macet, dan kau tak punya banyak waktu. Kau kan bukan pembantu di rumah ini…

Perlukah Polisi saja yang membersihkanya ? tetapi setelah kau menelpon mereka…tapi, jangan dulu. Kau masih harus mencari dompet.

Tahan napas dan jangan perhatikan apa yang terjadi pada kulit mahkluk itu. Jangan coba memikirkan seperti apa tubuhnya sebelum membengkak. Tak penting apakah kau pernah memperhatikan dia waktu hidup atau tidak. Gerayangi saja saku baju itu, benar…masukkan tanganmu ke dalamnya. Semakin dalam hingga tangan kasarmu masuk seluruhnya, meskipun kain sakunya begitu tipis, meskipun kulit mahkluk itu di bawah saku tersebut….lembek dan tegang, seperti bubur jagung di lemari es, bergoyang, mesih menyatu tetapi siap terpecah kalau kau menyentuh terlalu kuat.

Ambil semua dari saku itu, setiap saku,…karena memang itu niat awalmu. Kau bisa keluar dari situ, setelah mendapat semuanya.

Biarkan bangkai kucing itu tergeletak. Setelah kau mengambil dompet dan beberapa lembar duit receh yang tertinggal di saku baju dan celanamu yang kau gantung di belakang pintu, dekat dengan bangkai kucing itu. Tak ada guna menelpon polisi, karena kau hanya akan ditertawakan dan dibilang gila. Inikan hanya masalah meregang nyawanya seekor kucing yang sudah seminggu terkurung di kamar mu, tanpa makan. Dan selama waktu itu juga kau pergi mengembara di pedalaman orang Badui untuk meneliti bahan cerita novel mu yang hampir rampung.

Sekali seruan saja,…Tukiyem pembantumu pasti akan bergegas menghampiri dan menurut perintahmu untuk membersihkan semua darah yang mengotori lantai kamar. Kau adalah orang yang tak acuh dalam segala situasi remeh, mungkin karena kesendirian membuat kau mati rasa. Apalagi jika itu hanya untuk seekor kucing, hadiah dari mantan kekasih yang kehadiranya pun tak pernah kau hiraukan.
Sungguh malang nasipnya….”Kisah Tragis Si Kucing Manis di Hari Kamis"

14 Des 2008

uncreavealed love


hey iyazz,
i won't come to you tonight...
trying to turn away from your love,dear
hey iyazz,
tonight i won't be coming...
no need to find me for the sake of your love
its our fate, our story wont last forefer

sleep weell my secret lover...
i wish you'll forget me soon
your true imagination about love,will never have the heart to forget you

goodbye my uncrevealed love...
never call may name,if me meet again someday...

Kelangkaan Elpiji Dan Kelanjutan Konversi


Sekarang ini, program konversi minyak tanah ke elpiji tabung tiga kilogram tengah digalakkan pemerintah. Patutlah diperhatikan secara serius agar program ini dapat berjalan secara berkesinambungan.

Tetapi, perencanaan program pengalihan minyak tanah ke elpiji masih sangat lemah. Kebijakan pemerintah tentang Konversi Energi dari Minyak Tanah, terkesan hanya sebagai kebijakan parsial yang kurang komprehensif dan belum terencana matang. Sehingga mengakibatkan munculnya sejumlah kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Minimnya sosialisasi membuat masyarakat ragu untuk beralih ke elpiji, demikian pula para agen minyak tanah yang merasa belum siap menjadi distibutor.

Bisa jadi, itu merupakan biang kelangkaan minyak tanah saat ini. Ketika konversi ke elpiji belum siap, pasokan minyak tanah sudah dibatasi di beberapa daerah. Walaupun program ini tetap berjalan, tetapi masih dalam lingkup kecil. Hal ini patut menjadi alasan utama yang harus segera dicari penyebabnya.

Ketersediaan gas dan tabung elpiji yang masih belum maksimal, selain karena tidak semua agen minyak tanah beralih menjadi agen elpiji, kelangkaan ini disebabkan pendistribusian elpiji yang sangat rentan, sehingga harus diadakan pengawasan yang lebih ketat. Dengan pengertian yang lebih luas bahwa keterbatasan infrastruktur elpiji yang belum mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan membutuhkan perhatian yang lebih serius.

Jika pihak-pihak terkait ingin kondisi kelangkaan ini segera diatasi, patut diperhatikan faktor pasokan maupun pendistribusian elpiji. Karena hal ini merupakan unsur penting bagi kelanjutan program konversi minyak tanah ke elpiji yang sekarang ini tengah digalakkan pemerintah.

Dan seandainya telah terjadi kecurangan dalam pendistribusian, seperti ulah agen yang sengaja menimbun, menyusul isu kenaikan harga elpiji bersamaan pengumuman pemerintah menaikkan harga BBM, mestinya lebih mudah diidentifikasi dan dikoreksi karena semua distributor bekerja di bawah kontrol Pertamina. Untuk itu Fungsi kontrol dari Pertamina pun harus berjalan secara benar.

Dengan terbatasnya infrastruktur elpiji, tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan bahan bakar. Akhirnya akan berujung pada kehidupan masyarakat yang semakin terkendala dan orang-orang kecil yang paling merasakan dampaknya. Untuk itu, patutlah dipikirkan bahwa permasalahan yang menyangkut kehidupan orang banyak, haruslah menjadi pemikiran utama.

Saran terbaik adalah sudah saatnya mengubah subsidi elpiji ke subsidi langsung. Atau kelanjutan pelaksanaan program ini, seharusnya tidak hanya mengandalkan Pertamina. Sebaiknya ada ketetapan dan dukungan dari pemerintah, hingga ada evaluasi bagaimana pelaksanaan ke depan yang terbaik.

11 Des 2008

DIGITAL LOVE

Penyair lebih memahami arti akan hidup
Kehidupan adalah mimpi yang dapat diarungi bebas oleh penyair
Melalui untaian kata indah penuh cinta
Aku bukan penyair, namun aku tidak takut bermimpi
Kesungguhan ku memaknai arti kehidupan adalah tekad dalam dunia mimpiku
Mengasihi sesama adalah keharusan dalam kefanaan di dunia
Cinta Ilahi adalah satu-satunya kenyataan setelah tersadar dari mimpiku nanti
Tapi aku ragu memaknai perasaan ini
Sebuah perasaan yang hingga sekarang kuyakini hanyalah impian
Tapi apakah salah ku jika kuingin ini nyata

To much love maybe will kill me
Mungkin itu telah menjadi takdiku untuk mati dalam mimpi dan ilham cinta
Tapi apakah suatu kesalahan jika kuingin semuanya nyata
Karena aku bukan penyair, yang hanya puas dengan impian sempurna
Harapan cintaku hanya bertumpu akan dia
Berilah harapan pada ku…
Karena romantisme pikiran dalam dunia digital ini,
Hanyalah merupakan awal
Yang sebenarnya
Penuh dengan ketulusan untuk mewujudkan semuanya menjadi nyata.

30 Nov 2008

Petarung


SIAPA pun, dalam keadaan apa pun dan di posisi mana pun, tetaplah jadi ‘petarung’ sejati! Ini bukan sekedar anjuran, tetapi sudah merupakan konsekuensi logis dari kondisi kompetisi ekstra ketat yang makin lama makin menghimpit dan malahan bisa membuat otak serasa akan pecah huah.

Perlu dicatat, petarung sejati bukan tidak pernah kalah dalam pertandingan, tetapi yang menganggap setiap kekalahan bukan merupakan pertandingan terakhir. Ciri lain dari petarung sejati adalah mempersiapkan diri secara optimal, pisik maupun mental, sehingga kemampuan yang terbaiklah yang dipertaruhkan. Tidak ada waktu untuk tawar-menawar dalam hal itu! Menganggap remeh para pesaing merupakan kesalahan pertama dan melakukan hal-hal yang unfair atau tidak wajar merupakan kesalahan berikutnya yang merusak citra diri.

(IMAJINASI)“Maldalias” itulah namaku.


“Maldalias” itulah namaku.
(Untaian kata singkat yang sama sekali tidak menyerupai nama seorang pujangga terkenal).
Tidak pernah aku membayangkan kehidupan yang dilewati berbagai rintangan tak jelas. Oleh sebab itu, aku tidak yakin untuk menyukai cara hidup seorang pujangga. Kehidupan mereka selalu ditorehi kelokan alur yang mewarnai perasaan dan cara berpikir.
Namun bila tetap disangkutkan dengan namaku, mungkin abstraknya kehidupan yang kualami hanyalah sebuah kebetulan. Kalaupun ada rentetan kesamaan, itupun hanya caraNya yang telah dipilih untuk ku.
Berbagai masalah yang mendera, terkadang membuat ku hilang bersama pikiran-pikiran sendiri. Mereka yang tidak perduli, menjadikan aku tidak sepenuhnya ada di dunia ini. Kasarnya aku dianggap manusia“Abnormal” yang sengaja memenuhi otak ku dengan pikiran dasyat.

“Semua itu Fitnah!! Karena berseberangan dengan kenyataan sebenarnya”
(Merekalah yang “Abnormal”, bahkan dapat menjadi sinting untuk mengerti isi pikiran yang melebihi batas kenormalan mereka).

Basa-basi tak perlu hanyalah perbuatan rendah,“Aku tidak bodoh untuk merendahkan diri sendiri”.…diam memang jalan terbaik, biarlah aku bermain dengan isi kepala yang peraturanya dibuat sendiri, ”Mengomentari manusia awam hanya akan menghasilkan sampah perdebatan yang mengotori pikiran”.
Terdengar egois memang !
Tapi, “Egois” adalah kodrat, kadang diperlukan sebagai “tameng” bila harkat sering direndahkan. Akhirnya lumrah menjadi pilihan, jika ingin menang dalam keterasingan dunia.

Entah apakah juga “egois”, jika aku pun tidak pernah menganggap hidup yang kujalani adalah kutukan dari sebuah nama, tanggal lahir dan ilmu ramalan apapun.
“Tidak ada makna berharga yang tersirat dalam nama ku,…”
“Masa bodo! , tapi aku menghargai arti dari sebuah nama yang sederhana dan aneh ini…”

Yang aku tahu, aku bangga mengakui keadaan diri ku. Tidak perlu malu dengan aku yang tidak tampan, kurang pintar, hanya sedikit sopan dan tertib, serta berbagai kekurangan lain yang “Egois” ingin kusimpan sendiri. …“Semuanya sudah cukup untuk ku”…

“Persetan..!”, aku yakin hidup dapat dituntun dengan segala daya dan pikiran dasyat yang ada dalam otakku.
“Angin lalu”!, mereka yang menganggapku “aneh bahkan sinting”.
Selama norma-norma itu masih dibuat oleh mereka, tidak ada gunanya mereka tahu kalau akulah yang paling normal. Karena untuk menjadi seorang normal dalam dunia mereka, memaksa aku mengikuti segala tingkah yang bertentangan dengan pikiranku.
Pernah kumerasa ada baiknya menyenangkan hati mereka, ku ikuti segala peraturan dan berlagak semuanya baik. Tapi karena berawal dari keterpaksaan, aku menjadi tidak betah dan memilih konsekuensi terdahulu…“berteman sepi”...,

(Tapi tetap ku tunggu sebuah pengakuan nantinya, bahwa merekalah yang kalah, “bukan aku!”)

“Sendiri” pernah membuat aku menjadi pecinta kesunyian, segalanya menjadi serba individual. Hingga aku tidak tahu, darimana asal pemahaman yang semakin berakar kokoh dalam otakku…
( Kesadaranku berpendapat, hidup sendiri dapat mematikan rasa. Hanya mahkluk tak bernurani yang sanggup melewatinya. “Jelas diriku tidak serendah binatang”. Aku masih butuh keramaian, setidaknya dalam otakku sendiri. Apalagi aku sebenarnya insan paling berbahagia, karena aku mencintai Islam, tercipta dengan tubuh yang lengkap, dikaruniakan talenta yang selalu ingin tahu hingga selalu mencoba dan paling tidak sedikit bisa. Aku juga bisa mendapatkan orang di dekatku, kapanpun ku butuhkan”).
Jika pun ingin mencari pelampiasan sebab, aku pun tidak yakin asal karakterku terbentuk oleh lingkungan.
(Lingkungan tempatku tumbuh adalah keluarga yang mengasihiku, memberlakukan aku sebagaimana mestinya. Mereka mengajariku teori “peduli sesama” sebagai syarat membaur. Mengecap situasi dan kondisi yang termasuk takaran rasa bahagia setiap manusia normal, …semua itu aku terima dan berjalan apa adanya).
Lambat laun, kedewasaan dan kehidupan bermasyarakat yang menghantarkan aku menemukan pikiran bebas sendiri. Berusaha menelusuri setiap detik kehidupan dengan pemahaman yang kucipta sendiri.
“Patutkah ada yang disalahkan, jika aku berusaha menjadi manusia sempurna”?. Jika demikian, mereka yang menghinaku pantas menjadi sebab hingga aku selalu menuntut “hormat” karena takut direndahkan.

Begitulah hidup gw sebagai seorang “Maldalias”. Masih menjadi manusia yang mampu menjelajahi belukar kehidupan, meski berlalunya waktu hanya boleh dituntun oleh nalar cerdas sendiri. Bertarung melawan deraan aral dengan prinsip yang “egois’. Semuanya tetap berjalan apa adanya. Dengan konsekuensi … “diterima dan tersisih ”.
Hingga kini gw masih menjadi seorang mahasiswa Tek. Mesin di kampus UNDIP dan UGM (UNiversitas DIPocin dan Universitas Gunadarma) Depok. Keseharianku sebagai seorang mahasiswa selalu padat diisi dgn kegiatan akademik, ekstrakurikuler dan mencari jodoh.
Nilai kuliah standar2 aja, karena dari dulu gw memang suka yang sedang2 aja. Tapi termasuk disegani teman2 sekampus dalam masalah “otak” karena gw bisa yang mereka bisa tapi mereka belum tentu bisa yang gw bisa, gw gitu lohhh…
Gw juga “gila baca”, maka Gramedia selalu menjadi tempat favorit buat ngisi waktu kosong. Selain itu juga menyandang predikat sbg mahasiswa kere’ yang ga’ punya duit buat beli buku, jadinya teman-teman dengan keterpaksaan harus rela minjamin buku2nya ke gw. Segala macam buku suka gw baca, terutama ttng ilmu pengetahuan umum, agama dan politik juga ok, biografi orang terkenal…apalagi, and never dies about romantic story, filsafat juga ayo…, klo tentang teknik mesin…udah bosan di kuliahan..he..he..
Selain “baca” hobby gw yg baru berkembang tetapi semakin candu adalah Browsing, chating, pokoke ngenet2an lah….gw acungin jempol buat teknologi yang satu ini!!!. Klo orang mau manfaatin Internet buat yg positif,….Apa aja mungkin ,”Dunia keciiiiiil Man!!”.
Dan hobby yang udah sehidup semati sama gw, karena ngelakuinya juga butuh nyali yang gede…”Mix Martial Art”. Gw suka semua olahraga beladiri, dari kecil basic gw Karate, lalu taekwondo dan sekarang ketika kuliah iseng2 gw ikut kungfu dan silat. Sempat juga di Judo, dan Kick Boxing. Gw ga’ main2 dalam menekuni hobby yang satu ini, selalu rutin latihan, berprestasi di tiap sasana, fisik gw benar2 gw geber biar “jago” (RASSIS COMMUNIY), pernah ikut beberapa kali kejuaraan..tapi ga’ menang, bukan karena kalah..hanya kurang beruntung terjun di kelas profesional he..he..
Sekarang jadi ketua sasana Wushu di kampus gw dan silat Merpati Putih di UI,..
Mengenai Jodoh, tak pernah letih gw cari. Ada yang satu gw suka…muncul satu lagi..gw “gebet” aja sekaligus,..bulan ini aja ada 5 cw yang sempat gw gebet,he..he.. tapi berhubung sikap gw yg “diam2 makan dalam”dan terlalu puitis, terlalu menyaring atau bisa juga tau diri. Semua yang gw gebet selalu dalam tahap pedekate, abizznya cw yg gw targetin selalu tajir seeh…padahal kekurangan gw kan dikit…(kurang kaya, kurang tampang, de-el-el…)
Tapi tenang aja, gw tetap optimis ko’…wong nda’ ada yang buat gw harus rendah diri untuk dapetin cw ko’…he..he…tinggal tunggu yang tepat aja..ya..ya..ya…
Tapi emang sempat seeh patah hati, ujung2 nya gw gubah kata2 pengarang bijak kaya gini neeh…

Ada orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekelilingpun mereka tidak memperlihatkan getas hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis, dengan pengarang yang tidak pernah dikenal,
Jika malam tiba mereka mendengus meratapi rindu, menampar muka sendiri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang mengelitik nadinya. Cintanya tak pernah terungkap, karena ngeri membayangkan resiko ditolak. Lama-lama seperti seorang narsis, mereka menyukai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, “indah” tapi merana tak terperi.
Mereka hidup dalam bayangan, mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik paling misterius dari cinta itu sendiri.
Itulah yang aku rasakan…..

Ya udah deh,….pada intinya sesuai kodrat, aku adalah orang biasa, miskin dan kebanyakan. Namun aku ingin kaya pengalaman batin dan petualangan untuk mencari kebenaran hakiki. Sisi mistisku, aku ingin memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga orang. Sisi religius, aku mempunyai harapan dari semua keingin tahuan ku itu, dapat menjemput hidayah Ilahi, daripada hanya duduk termangu-mangu tak jelas arah.
Kesimpulanya, aku ingin memuaskan sifat dasar keingintahuan manusia sampai batas akhir yang telah ditentukan dengan segala karunia apa adanya yang diberikan oleh Nya pada ku.

(CERPEN) Keluarga


Rintik hujan, 13.30 WIB Depok 30, November 2008

Lelaki itu,…tubuh gempalnya tidak dapat menyembunyikan kondisi fisik yang kini semakin lemah, tampak keramahan senyum yang terselip diantara guratan-guratan keriput wajahnya. Usianya telah renta dengan raut yang menua, ditambah tubuh yang tidak setegar dulu. Namun jiwa dan pengalamanya telah diuji berbagai cobaan yang membuat dia semakin tegar melewati usia yang tersisa.

Semenjak muda kemandirian telah mendidiknya. Kampung halaman rela ditinggalkan demi menapaki nasip, hanya bermodalkan asa untuk tujuan hidup yang diharapkan cerah. Berpisah dari ibu, ayah, sanak famili dan rumah tempat dia dibesarkan, hanya pakaian di badan dan ongkos sekedarnya. Tekad lah yang membulatkan niatnya untuk pergi merantau. Kisah lampau yang terjadi tahun -70 an dulu.

Berpuluh tahun berkelana ke berbagai daerah, ribuan kilo jalan yang telah dia tempuh. Berbagai aral yang terlewati, menantang usianya yang kala itu masih tunas. Namun, jiwa seorang perantau adalah “tabah”, hingga dapat menjadikan semuanya itu sebagai pelajaran untuk hidup.

Perlahan tujuan yang dicari semakin tampak, rezeki telah didapat walaupun masih sekedar, cukuplah sebagai bekal tuk merajut masa depan. Dia kemudian berkeluarga, sang istri diperturutkan untuk mengais hidup di negeri orang. Bahtera yang dipertemukan di tanah rantau. Bersama mereka menjunjung “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung “.

Setelah sekian waktu, merekapun dikaruniakan buah hati. Berangsur-angsur karunia itu terus bertambah. Hingga di rumah kecil itu, hiduplah mereka bersama lima orang anak. Tiga lelaki dan dua perempuan. Titipan Ilahi yang sangat mereka cintai, namun takdir membiarkan anak-anak itu tumbuh dengan “kesederhanaan”. Tidak ada sedikitpun yang mereka sesalkan, karena selama ini kata itu yang setia menjadi “sobat” dalam mengarungi kehidupan.

“Kesederhanaan” mendidik manusia untuk tegar dan tidak mudah tergoda rupa semu nikmat duniawi, menggiring pada ujung keyakinan bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendakNya. Semoga juga dengan “kesederhanaan”, anak-anak mereka dapat tumbuh sebagai manusia yang mengerti akan hidup yang lurus”.

Tidak semua “orang dulu” pemikiranya ‘kuno’, meskipun sepasang suami istri itu tidak mengecap pendidikan yang berarti. Mereka adalah orang tua yang bijak, dapat menyikapi pengalaman dan sadar bahwa “kebodohan” bukanlah penyakit yang harus ditularkan kepada generasi selanjutnya. Prinsip yang telah tertanam dalam akal, hingga pendidikan anak-anak mereka menjadi prioritas sedini mungkin.

Agama pun teramat penting sebagai pedoman hidup, patut diresapi kesakralanya dengan pemahaman yang benar. Setidaknya sebagai orang tua, mereka sadar bahwa meyakini keesaan Allah itu adalah wajib, maka sedari kecil kelima anaknya perlahan diajari Islam.

Yang terpenting menurut mereka adalah supaya bisa shalat dan mengaji. Pandangan tentang agama yang masih awam, dikarenakan jiwa suami istri itu tidak pernah lebih terasah untuk memahami agama secara absah. Namun, setidaknya niat mereka diringi kesungguhan. Dan walaupun awam, didikan mereka itu telah meyentuh tiang utama dari Agama Islam sendiri.

Berpuluh-puluh tahun perguliran waktu telah terlewati. Masing-masing anggota keluarga itu telah bersama untuk waktu yang sangat panjang. Banyak suka duka yang hadir silih berganti menghampiri keluarga ini. Kelima anak mereka telah tumbuh dewasa, perlahan satu-satu mulai menapaki hidup baru masing-masing.

Anak lelaki yang pertama telah berkeluarga, kemudian beranak satu pula. Betapa senang hati kedua orang tua itu ketika pertama kali menimang cucu. Begitu pula anak keduanya yang wanita, setelah merampungkan gelar sarjana, kemudian dipersunting oleh seorang pria baik. Cukuplah membuat hati kedua orang tua itu sumringah jika melihat kehidupan anaknya bahagia, seakan tidak mengharapkan apa-apa lagi.
Sedangkan anak yang ketiga masih menuntut ilmu di bangku kuliah, bersamaan dengan kedua orang adiknya yang juga masih sekolah.

Itu lah sedikit kisah yang bisa diceritakan tentang kehidupan mereka saat ini, tidak ada kisah menarik lain karena semuanya masih “sederhana”, atau mungkin itu yang sudah digariskan…

Selama hidupnya, kedua orang tua itu hanya mengabdi sepenuhnya untuk keluarga, yang utama adalah berusaha untuk kebahagiaan anak-anaknya. Mereka berdua tidak pernah mampu berikan limpahan kekayaan materi, tapi berusaha memberikan pelajaran lain yang dapat digunakan sebagai bekal hidup kelima anaknya nanti.

Bagaimana dengan kehidupan kedua orang tua itu sendiri?,
Mereka ihklas untuk tidak mengharapkan apapun, karena kebahagiaan keluarga adalah kebahagiaan mereka. Pikiran sederhana dan jujur mereka yang menyimpan harapan, dari benih yang ditanam akan menuai sesuatu nantinya.

Tapi, ternyata selama ini anaknya tidak pernah benar-benar memahami apa yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Mereka sengaja bermanja dengan kasih sayang kedua orang tua mereka yang terlalu, tanpa menyadari bahwa hal itu tidak pantas berada dibalik hidup “sederhana”.

Aku lah anak ketiga yang dibesarkan dalam keluarga “sederhana” ini, yang sekarang masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi. Aku yang menulis kisah singkat ini. Cerita tentang pergulatan hidup kedua orang tua yang tak kenal letih dalam menghidupi keluarga.

Mereka adalah kedua orang tua ku yang sangat kusayangi. Dari kecil aku dididik untuk “menjadi orang” , disekolahkan, sholat, mengaji. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya jadi anak “orang mampu”, tapi hingga kini tidak secuil pun aku menyesal. Aku yang sekarang, tentulah pribadi yang akan seperti ini, entah bagaimana nanti hanya Kuasa yang Maha Mengetahui.

Tapi sesalku karena belum ada hal berarti yang telah kupersembahkan kepada kedua orang tua itu….

Jangankan diriku, mereka yang telah lebih dahulu dewasa, -kedua orang kakak ku-, seharusnya dengan pikiran dewasa mereka sudah bisa membahagiakan kedua orang tuanya, atau sedikitnya dapat membuat bangga.
…ternyata , “aku sama tidak mampunya dengan kedua kakak-kakak ku itu”,….

Hingga kapan semuanya begini ?

Seharusnya diantara kami sudah ada yang membuat kedua orang tua itu tersenyum bangga, walaupun mereka tidak terlalu mengharapkanya. Karena aku tahu, kedua orang tuaku tidak sama dengan orang diluar sana yang menanti bahkan menuntut anak-anak mereka untuk dapat “sombong”. Sungguh tidak seperti itu kami dididik…

Betapa besar keinginan ku untuk menulis kisah ini, terdorong oleh sesal dan limpahan kasih sayang ku terhadap Ayah dan Ibu. Akupun tahu seperti itu halnya saudara-saudari sedarah ku yang lain. Kami hadir di dunia karena dua orang itu, sedari kecil dicintai tiada tara, dirawat dan dididik hingga dewasa seperti kini.
Di usia senja mereka kini, tidak ada alasan untuk menyisihkan mereka , karena jika niat itu ada…kami adalah manusia “nista”.

Mungkin takdir yang akan menuntun semuanya itu. Alur hidup mengalir seperti air sungai, kami hanya mengikuti arus. Kadang terburai gelombang, pecah dihantam batu, namun dapat bersatu di muara nanti.

Jika hidup diibaratkan perputaran roda, memang terkadang harus berada di bawah lalu kembali ke atas. Menang dapat diraih, semudah kekalahan yang pasti hadir. Hanya Keimanan dan kesungguhan yang dapat menerima semuanya itu secara lumrah, seperti kehidupan yang wajar pula untuk binasa.
Untuk itu, hanya dengan keyakinan dan Niat suci semua keinginan dapat tercapai.

Terbitlah kesadaran bahwa, jika ingin membahagiakan kedua orang tua, mutlak berasal dari niat tulus pribadi kami –anak anaknya-. Hilangkan keegoisan untuk terus “mengemis” belas kasih kedua orang tua secara berlebih, karena kedewasaan menuntut untuk mandiri.

Tak ada guna melakukan hal yang sia-sia, seiring usia kedua orang tersayang kita yang semakin berlalu. Ujung hidup mereka pastilah kan tiba nanti, jangan sampai di saat itu barulah kita tersadar selama ini hanyalah berbuat hampa.

Aku sama sekali tidak menyalahkan siapapun, karena kasih ku pun tak ternilai untuk kalian. Tanpa kalian, pasti aku sudah lama jenuh dan pergi dari dunia yang membuat aku asing. Hanya kalian, manusia yang sungguh mengerti dan menyayangi aku sepenuh hati. Kalian, yang di dalam tubuhku mengalir darah yang sama. Saudara-saudariku…
Tapi, renungkanlah sejenak syair yang kugubah dengan derai air mata ini….

Bayangkanlah…
Tak pernah terpkirkah oleh kita rasa yang teramat pilu nantinya,
Disaat mereka pergi selamanya tingalkan kita sendiri.
Apalagi jika hanya sesal di kemudian,
mereka pergi tanpa sempat mengecap arti kita.
Waktu itu, kita hanya menangis di bawah batu nisan
Kita sandarkan tangis yang percuma.
Kasih sayang yang mereka berikan begitu dalam.

Sungguh kita tak sanggup, jika itu terjadi
Karena kita sungguh mencintai mereka.
Anggaplah ini saat ini terakhir kita melihat mereka,
Agar kita selalu berusaha membuat mereka tersenyum.

Jangan tunggu derai air mata,
Untuk ucapkan selamat jalan.
Sesungguhnya satu hari saja semua bisa binasa,
Untuk itu, berbuatlah yang terbaik bagi mereka yang kita cintai.

Bagi kita,
jika sesal itu terjadi,
Hancurlah hati sepanjang hidup.



Wahai Ibu,
jejak derita telah kau tapaki,
telah lama kau acuhkan berbagai aral demi kami anak-anakmu.
Kini pun Ibuku tersayang, tak kenal letih untuk terus berjalan.
Sadarkah kalian anak-anaknya,…
tapak kaki Ibu penuh luka dan derita.
Sedangkan tetap udara kasih yang dia berikan.
Kapankah kita mampu membalas ibu….

Aku yang jauh disini, …
Ingin mendekap dan menangis di pangkuanmu Ibu.
Sampai aku tertidur dan bermimpi kembali ke masa kecil ku dulu.
Aku yang pernah menorehkan luka,
tidak pernah kau pendam sakit hati itu.
karena “Aku Anak yang kau cintai”.
Kau selalu balas dengan “doa” ,
yang menjadi teman dalam kehidupanku.
Dengan apa aku membalas sebegitu besar kasih mu itu ibu…



Ayah…
Kau adalah sumber nafas kami…
Yang menjaga hidup kami.
Kau yang ajarkan aku menjadi lelaki,
Kau tak pernah lelah,
sebagai penopang dalam tiang rumah kecil kita.
Semua petuahmu kuanggap yang terbaik
Tapi, Aku hanya memanggil mu Ayah, di saat aku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu Ayah, jika aku telah jauh dari mu.

Hingga kini aku tahu, hanya Kaulah panutanku.
“Pandailah berkawan”, itulah nasehatmu…
Tanpamu, aku bukan yang sekarang.
Aku berani hidup jauh, karena anak dari seorang perantau tangguh.
Tetap tegar ku terjal aral, karena begitulah dirimu dulu.

Ragamu tak lagi sekokoh dulu,
Usia dan rautmu semakin renta,
Tapi kau selalu tetap Ayahku…
Lelaki tegar sederhana yang mewarisi pengalaman berarti…


Hanya lewat cerita pendek ini, aku yang jauh dapat menuangkan apa yang menjadi pikiran ku selama ini. Betapa besar keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuaku, hingga hanya itu yang menjadi satu-satunya tujuan ku selama ini.
Tapi, terbersit juga rasa sesal yang sebenarnya bodoh untuk menyalahkan takdir. Tapi apa hendak dikata, aku juga manusia normal. Wajar kalau aku aku kecewa dengan kenyataan yang membuat kedua orang tuaku hingga kini masih belum dapat menikmati usia tua mereka dengan senang.
Tapi siapa yang harus disalahkan?...
Aku yang akan berusaha dengan batas kemampuan, diiringi daya pikiran yang ada dalam nalarku, semoga berguna segala formalitas yang sedang kutempuh kini.
Tapi yang terutama, aku adalah “Maldalias”, seorang anak yang mewarisi sifat pantang menyerah dari kedua orang tuanya. Hanya Aku, pikiran dan niat tulus, yang InsyaAllah dapat mewujudkanya.
Tanpa melupakan doa dan usaha kita bersama sebagai anak-anak dari kedua orang tua yang sangat mengasihi kita.

InsyaAllah…Amien

Maldalias

18 Nov 2008

(IMAJINASI)Yang Wanita Wajib 'Baca' Ini,...yang PrIa 'Pahamilah'


Seorang anak laki-laki kecil bertanya kepada ibunya "Mengapa engkau menangis?" "Karena aku seorang wanita", kata sang ibu kepadanya.
"Aku tidak mengerti", kata anak itu.
Ibunya hanya memeluknya dan berkata,"Dan kau tak akan pernah mengerti"

Kemudian anak laki-laki itu bertanya kepada ayahnya, "Mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?"
"Semua wanita menangis tanpa alasan", hanya itu yang dapat dikatakan oleh ayahnya.
Anak laki-laki kecil itu pun lalu tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa, tetap ingin tahu mengapa wanita menangis.

Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya, "Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?"
Tuhan berkata: "Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia; namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan "
"Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya "
"Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh "
"Aku memberinya kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya "
"Aku memberinya kekuatan untuk mendukung suaminya dalam kegagalannya dan melengkapi dengan tulang rusuk suaminya untuk melindungi hatinya "
"Aku memberinya kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada disisi suaminya tanpa ragu"

“Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan.
Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan kapan pun ia butuhkan."

"Kau tahu: Kecantikan seorang wanita bukanlah dari pakaian yang dikenakannya, sosok yang ia tampilkan, atau bagaimana ia menyisir rambutnya."
"Kecantikan seorang wanita harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya-tempat dimana cinta itu ada."

Kirimkan ini kepada setiap wanita cantik yang Anda kenal.

Jika Anda lakukan,sesuatu yang baik akan terjadi.
Anda akan menambah harga diri wanita!
Karena setiapWanita itu Cantik.
Kirimkan juga kepada para pria agar senantiasa dapat menghormati wanita, siapapun mereka ibu,istri,kekasih,kakak,adik dan bahkan wanita yg tidak dikenal yg kebetulan berada didekat kita.

12 Nov 2008

(TULISAN LEPAS) Profil Wushu “Gerak Naga”.

Seni beladiri Kung-Fu atau sekarang lazim dikenal dengan Wushu adalah seni beladiri yang berasal dari negeri Tirai Bambu, Cina. Dalam Wushu, kegiatan yang dilakukan adalah melatih kemampuan fisik yang meliputi koordinasi sempurna yang terbentuk dari gabungan antara kekuatan, kelenturan, kelincahan, serta irama gerak.

Perguruan Kung Fu Gerak Naga berdiri sejak tahun 1995, tepatnya 23 Maret 1995 di STIE Gunadarma. Pada awalnya perguruan ini hanya menitikberatkan pada penggunaan jurus-jurus tradisional Shaolin yang terkenal keras sehingga dilarang untuk dipertandingkan. Lalu, baru pada tahun 1996 berdirilah Wushu di STMIK Gunadarma yang sudah mulai menggunakan jurus-jurus modern untuk standar pertandingan Wushu internasional.
Sejak berdirinya hingga sekarang, Wushu Gerak Naga, atau dalam bahasa Mandarin berarti Long Xian Quan Wushu, telah banyak memberikan kontribusi positif bagi Universitas Gunadarma dan bagi Wushu itu sendiri. Diantaranya adalah dengan banyaknya prestasi yang telah diukir dalam event tingkat daerah maupun nasional.

Berikut adalah beberapa Prestasi yang pernah kami capai :
1.Juara umum pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 1999
2.Juara umum pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 2002
3.Satu medali Emas di kejuaraan Profesional Kick Boxing pada tahun 2000
4.Dua medali Emas pada Kejuaaraan Nasional Wushu pada tahun 2000
5.Menjadi Wasit Internasional pada Eksibisi Wushu SEA GAMES pada tahun 1997
6.Juara Umum 3 untuk cabang wushu pada kejuaraan Nasional Invitasi Univesitas Parahiyangan pada tahun 2003
7.Dua medali perunggu pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship pada tahun 2005
8.Tiga finalis pada Pekan Olahraga Daerah DKI Jakarta 2005
9.Satu perunggu pada Pekan Olahraga Provinsi Banten 2006
10.Satu Emas pada Wushu Shan Sou Gunadarma Championship 2008

Di usianya yang ke-13 ini, Wushu Gerak Naga terus berusaha berbenah diri untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa, negara, Universitas Gunadarma, dan perkembangan Wushu di tanah air, dengan meningkatkan kedisiplinan, mempererat hubungan antar sesama penggiat Wushu, dan pantang menyerah menghadapi rintangan.

10 Nov 2008

(GUBAHAN) Putu Wijaya yang Mengilhamiku




Ketika mulai dewasa, aku bingung untuk hidup di negeriku sendiri. Bahkan hamper frustasi. Mengapa tidak, masyarakat di negeriku ini memilih kebiasaan buruk dalam mengucapkan “ Ya dan Tidak” ketika melakukan komunikasi sosial. Tak ada yang teguh pendirianya.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan untuk mengatakan ‘tidak’. Tapi ternyata tetap mengatakan ‘ya’. Tahu-tahu hasilnya ‘tidak’.

Orang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu kali ada kesempatan mengatakan ‘tidak’, tahu-tahu tidak ada orang yang mendengarnya. Ia tetap disangka mengatakan ‘ya’.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘ya’. Suatu ketika mendapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Dan ternyata jawabanya betul-betul ‘tidak’. Tapi Ia kaget, dapat serangan jantung dan mati!.

Seseorang yang selalu harus mengatakan ‘ya’, suatu ketika dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi, kemudian mendengar suaranya sendiri mengatakan ‘ya’.

Orang yang lain suka juga mengatakan ‘ya’. Suatu ketika juga dapat kesempatan mengatakan ‘tidak’. Tapi Ia tetap memilih mengatakan ‘ya’, ternyata tidak ada yang peduli, orang lain menganggapnya tak penting.

Ada orang yang selalu mengatakan ‘tidak’. Suatu ketika Ia tidak mengatakan apa-apa. Semua orang menganggap Ia untuk pertama kalinya mengatakan ‘ya’.

‘Ya dan tidak’ adalah rimba yang menyesatkan. Akhirnya aku terkucil, karena untuk berdialog dengan diri sendiri pun aku tidak mampu,. Aku dinilai ‘asosial’ yang selalu berselisih….karena takut, aku memilih diam.

Setelah sekian lama aku berusaha memahami, akhirnya mendapat jawaban. Ternyata tata nilai masyarakat ku dalam membedakan antara ‘ya dan tidak’ hanya dibedakan dari ‘bunyi’ tetapi maknanya ‘dianggap sama’.

Setiap pertanyaan ternyata bukan pertanyaan, itu hanya perintah yang diperhalus. Semua orang memerintah, meskipun kelihatan bertanya. Dan perintah yang diiyakan tidak mengharuskan orang menuruti, hanya aturan basa-basi permainan bersama.

Semua pertanyaan bisa dijawab dengan kadang-kadang ‘ya’ dan kadang-kadang ‘tidak’, sesuai dengan kebutuhan mulut. Bagaimana enaknya waktu berbicara. Karena semua norma peraturan yang telah dibuat tidak akan dirubah. Jadi, jawaban ‘ya dan tidak’ tidak terlalu penting, kecuali sebagai jawaban bahwa yang diajak bicara sudah mendengar…..’cukup’.

Akhirnya aku dapat menjadi warga Negara yang baik, berdamai dengan kemunafikan sosial di sekitar. Aku sukses bahkan makmur dan terkenal, karena menguasai ilmu ‘ya dan tidak’, atau ‘tidak dan ya’, meskipun dalam hati aku tidak menyukainya. Tapi apa hendak dikata, ini sudah menjadi dosa kita bersama.

(IMAJINASI)Menulis


Saya menulis mungkin karena ada kepalsuan yang ingin saya ungkapkan, atau fakta kehidupan yang ingin saya bawa ke tengah orang-orang yang memperhatikan tulisan saya. Tujuan saya pada mulanya adalah mencari perhatian. Tetapi, jika dari kegiatan ini saya masih belum bisa memberi pengalaman estetis, maka saya masih jauh dari angan-angan dan keraguan untuk menulis sebuah buku. Bahkan belum pantas untuk menulis sebuah kerangka penulisan.

Tapi, begitu besar keinginan saya untuk menciptakan tulisan yang mencerminkan keleluasaan, kebebasan gaya yang jarang ditemukan pada karya penulis lainya. Saya menikmati proses penulisan, ingin menciptakan tulisan yang gurauanya, loncatan pikiran, kombinasi metafora, pilihan kata dan komentar yang menunjukan bagaimana erat hubungan yang diciptakan antara saya dan yang membaca, apalagi jika tulisan saya dapat menjadi panutan…”Semoga saja”.

(TULISAN LEPAS)OKSIDENTALISME


Tulisan ini kumulai setelah membaca buku yang ditulis oleh seorang Intelektual Islam, pemikiranya dianggap cemerlang diantara banyak cendikiawan yang ada di zaman sekarang ini. Dia menggebu-gebu dalam menyikapi kebangkitan peradaban masyarakat, khususnya wilayah timur yang selama ini arah pemikiranya selalu didominasi oleh “barat”.
Setelah mencoba meresapi makna yang terkandung dalam buku itu, nalarku sebagai “Orang Muda” tiba-tiba saja bangkit. Buku yang dapat menjawab berbagai pertanyaan generasi bangsa yang sedang bimbang dalam menemukan jati diri.

Globalisasi memang menjadi penentu berkembangnya peradaban manusia di dunia, membuat jurang ruang menjadi dekat, karena segala penemuan yang membuat kehidupan semakin efektif dan efisien. Namun, jika melihat keadaan dunia dari sudut pandang hubungan antar ideologi, budaya dan agama, proses globalisasi ternyata tidak menjadikan pemikiran bangsa di dunia ini menjadi seragam.

Masih banyak terjadi ketidak seimbangan taraf perekonomian antar bangsa yang satu dengan bangsa lainya, bahkan masing sering terjadi konflik yang mengatas namakan sentimen terhadap agama-ideologi atau etnis bangsa yang berbeda, yang sebenarnya tidak lepas dari maksud yang tersirat untuk mengeruk kejayaan atau perluasan kekuasaan.
Dalam skala yang lebih luas, bergulirnya arus globalisasi sampai saat ini seakan hanya bermuara dari satu pemikiran yang menjadi faktor penggeraknya. “Tradisi pemikiran barat merupakan sumber pengetahuan yang sering menjadi acuan bagi peradaban ilmiah dalam kehidupan masyarakat dunia”.
Secara terus menerus “Pemikiran Barat” selalu hadir dalam kesadaran umat manusia dalam menyikapi perkembangan zaman, diawali oleh generasi sebelumnya yang terlebih dahulu menempati peradaban. Belum ada pemikiran yang menelaah secara khusus mengenai asal-muasal pemikiran barat, kecuali masih dalam batas yang sempit dan metode perbincangan semata, bukan metode kritik berdasarkan logika untuk membuktikan.

Untuk itu, saya berusaha menelaah permasalahan ini dengan pikiran yang positif. Bukan untuk menyalahkan “Tradisi Barat”, tapi mencoba menjelaskan aspek lain yang dapat melatar belakangi pemikiran dalam menentukan sikap secara lebih bijaksana. Karena motivasi awal saya menulis permasalahan ini, adalah terdorong dari ketidakjelasan generasi kini dalam menemukan jati diri dan mencari panutan yang pantas dicontoh.

Agar langsung menuju inti permasalahan, marilah secara bersama kita renungkan bahwa banyak generasi sekarang yang melakukan kesalahan terhadap generasi lama dan juga terhadap kebudayaan barat.
Terhadap tradisi lama kita melakukan kesalahan sebagai berikut :
1. Kita melepaskan diri dari lingkungan kebudayaan sendiri dan merasa rendah diri atau malu jika berafilasi denganya, disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan, ingin dan bangga meniru barat, terdorong niat untuk menyusul kemajuan yang dicapai barat.
2. Kita memasuki lingkungan budaya lain, mengikuti pergumulan didalamnya, meskipun kita bukan salah satu pihak di dalamnya. Dengan bersikap seperti itu, kita telah menjadi penyebar “Peradaban Barat”. Kemudian lebih akrab dengan kata-kata “ idealisme dan realisme, rasionalisme dan empirisme, eksistensialisme dan positivisme, analitisme dan strukturulisme, dan lain sebagainya”.
3. Kita lari dari kenyataan sehingga tidak tahu situasi dan krisis yang terjadi. Kita
tidak mau menghadapi tantangan realitas dan hanya melihatnya dari kebudayaan asing yang sebenarnya sama sekali tidak menyentuh realitas kita. Akibatnya realitas kita diam dan tak bergerak, setelah sisi aslinya diganti dengan sisi asing.

Dan terhadap “Kebudayaan Barat” kita melakukan kesalahan sebagai berikut:
1. Mengeluarkan “Kebudayaan Barat” dari lingkungan dan konteks sejarahnya sendiri. Kita menganggap seolah-olah kebudayaan barat adalah madzab-madzab absolut dan universal yang tidak mengenal batas ruang. Kita juga menjadikan diri sebagai pihak yang bergumul dalam kebudayaan tersebut.
2. Memberikan semacam keabsolutan dan keuniversalan yang tidak semestinya kepada kebudayaan barat, dan menyebarkan kebudayaan tersebut ke luar batas geografisnya. Dengan begitu, kita seakan merealisasikan keinginan kebudayaan luar untuk menjadi kebudayaan penguasa dan pengontrol bagi kebudayaan asli yang semakin terpinggirkan.
3. Memerangi kebudayaan lokal disaat ia sedang mengadakan persaingan dengan kebudayaan pendatang. Ini sama saja dengan menciptakan permusuhan antara tradisi pendatang dengan tradisi lokal, memecah belah kebudayaan bangsa sendiri, dan jatuh ke dalam dualisme peradaban.

Dari pernyataaan di atas, bukan mengharuskan kita bersikap ofensip atau defensip dalam menghadapi dua kebudayaan tersebut, melainkan yang paling tepat adalah bersikap selektif. Artinya, peradaban yang sedang kita jalani saat ini, menuntut adanya sikap kritis. Kritis terhadap tradisi lama dan tradisi barat, serta kritis terhadap realitas dengan mengubah dan mengembangkan tradisi yang ada, bukan menjauhinya.

Masa lalu bukan untuk dipertahankan atau diserang tetapi untuk direkonstruksi, masa depan bukan untuk diserang atau dipertahankan tetapi dipersiapkan dan direncanakan, dan masa kini tidak mungkin dikembalikan ke masa lalu atau diajukan ke masa depan tetapi merupakan tempat berinteraksi ketiga masa. Tergantung sikap suatu bangsa yang tidak melupakan budaya sendiri, karena “Adanya suatu bangsa ditentukan dari budaya asli yang dimilikinya”.
Dalam menyikapi “Budaya Barat”, kita pun harusnya sadar bahwa fenomena kebarat-baratan dalam kebudayaan dan gaya kehidupan kita sehari-hari telah mengakibatkan krisis identitas dan orisinalitas, turut dipengaruhi oleh kekuasaan barat melalui informasi yang turut mempropagandakan mitos budaya cosmopolitan.

Sebelumnya, pernah terjadi berbagai reaksi yang menolak dominasi “Barat”, hanya saja pemikiran-pemikiran itu menegaskan sikap untuk kembali mengikuti jejak orang-orang terdahulu yang hidup dalam taraf keterbelakangan. Seharusnya sikap yang diambil adalah pembenahan dan upaya reformasi dengan tujuan memberikan kemajuan, tanpa melupakan budaya asli serta tidak sepenuhnya menerima budaya luar.

“Budaya barat bukanlah guru abadi dan jenis peradaban yang selalu menang, sehingga tidak perlu takut untuk maju dengan budaya bangsa sendiri. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, berarti kita menghadapi krisis peradaban”.

Ketenggelaman total ke dalam “Peradaban Barat” mengakibatkan ketidak tahuan generasi bangsa tentang ciri tanah air dan kemungkinan ditemukan metode budaya sendiri yang cocok. Dengan begitu, kita telah mengorbankan budaya bangsa demi menerapkan “Budaya Barat”.
Bukankah harusnya kita yang lebih tahu priorotas bangsa sendiri ?.

Memodernkan budaya bangsa tetap diperlukan, karena dituntut oleh kondisi perangsuran zaman. Tapi, walaupun spontan haruslah tetap alami. Hal ini dilakukan dengan mempertahankan subtansi dan ruh budaya asli, meski bentuk dan formatnya akan berubah.
Sebelum yakin untuk menggabungkan tradisi asli dengan tradisi pendatang, haruslah terlebih dahulu mengedepankan persatuan tanah air dan kepribadian Nasional. “Kebudayaan kita tetap satu, meskipun terlihat ada kesamaan dengan kebudayaan lain yang sebenarnya berbeda”.

Bangsa kita harus menghilangkan rasa takut dan rendah diri di hadapan barat, agar dapat berinteraksi sebagai pihak yang sederajat. Bahkan dapat mengkritik dan menjelaskan arah yang dituju barat, kemudian menyempurnakanya sesuai dengan budaya bangsa kita. Tetapi, jika kebiasaan-kebiasaan menggunakan akal dan realitas tersebut telah hilang, dapat memaksa kita menggunakan hasil temuan bangsa lain sebagai pendahuluan sebelum dilakukan kajian terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita terbiasa meminjam kebiasaan budaya lain dan menjadikan bangsa sendiri sebagai penyebar kebudayaan bangsa lain.

Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menimbulkan perspektif untuk menilai “Budaya Barat” secara emosional dan penuh kecurigaan. Karena hanyalah kemunduran jika menolak kebudayaan asing tanpa mengetahui hakikatnya, apalgi tergoda isu-isu yang sengaja dihembuskan untuk mendeskreditkan kebudayaan tertentu agar dijauhi oleh mayarakat awam.

Tujuan membendung kebudayaan asing, adalah untuk mempertahankan budaya asli bangsa kita. Sebab kebudayaan asing selain diakui memiliki potensi pencerahan, tetapi juga revolusi. Dan seruan untuk menghalau “ Budaya Barat” bukan berarti menolak kebudayaan bangsa aing, apalagi diartikan dengan ketertutupan untuk kembali ke masa belakang.

Menolak “barat” secara ekstrem berarti menolak ilmu pengetahuan teknologi dan temuan modern yang digunakan manusia setiap hari, sampai pada hal yang sepele, seperti listrik, alat-alat elektronik, sarana transportasi, komunikasi dan lain sebagainya. Padahal temuan-temuan itu telah menjadi kebutuhan zaman. Lalu bagaimana kita dapat meninggalkan, memusuhi dan mempertanyakanya ?.

Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, patutlah ada pemahaman yang bijak untuk menjawabnya. Bahwa kita tidak boleh memandang sesuatu dari kulit luarnya saja dengan mengabaikan persoalan pokok serta konsepsi yang melingkupinya. Teknologi telah terbangun di atas teori dan konsep alam yang hadir pada zaman awal terciptanya, sehingga tujuan utama teknologi adalah tidak lain untuk mempermudah pelayanan dan urusan dunia. Tetapi, penemuan-penemuan barat tersebut seharusnya tidak dibanggakan sebagai lahan untuk menikmati fasilitas kemewahan.

Di samping itu, patut diketahui bahwa teknologi barat tidak sepenuhnya murni temuan mereka. Tetapi merupakan hasil akumulasi sejarah dan evolusi ilmu pengetahuan yang dimulai dari penemuan berbagai kebudayaan yang ada. Jadi, setiap peradaban terdahulu sebenarnya memilki andil dalam penemuan ilmu pengetahuan teknologi modern sepanjang sejarah. Yang jadi keinginan kita bersama adalah tidak ada pemisahan antara ilmu dan sejarahnya, tidak menyembunyikan sumber-sumber lama dengan tujuan menciptakan mitos kreatifitas brilian bangsa tertentu. Dan juga seharusnya penggunaan teknologi tidak dimanfaatkan untuk menguasai pihak lain, atau dimonopoli sendiri oleh bangsa yang dianggap penemunya.

Telah terbukti pula bahwa teknologi dapat dieksploitasi untuk menipu, propaganda kebohongan dan slogan menghasut opini masa, seperti yang dilakukan media informasi dan komunikasi. Jika begitu, teknologi mengandung unsur penghancur seperti alat perang dan bom atom. Menjadi simbol kekuatan, kemenangan, kebesaran dan kekuasaan yang telah terjadi di Barat dan Jepang.
Jadi, teknologi tidak seindah kenyataanya.

Semoga saja generasi bangsa ini, tidak terus dihinggapi kebingungan dalam mencari jati diri. Tentunya itu dapat tercapai jika mereka sudah dapat berpikir kritis-rekonstruktif bukan terus terbenam dalam sikap antara ofensip-depensip.

31 Okt 2008

(CERPEN)Cinta Yang Nyaris Pupus





Keremangan suasana, menambah kesunyian ruangan. Yang terdengar hanya lagu yang berbisik syahdu, alunan syair “Patah Hati” lirih bersenandung. Sebuah ruangan sempit, tidak ada yang menarik di dalamnya. Di kamar ini, hanya terdapat beberapa perkakas usang, yang sedikit saja bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.

Tubuh bertelanjang dada yang sedang gontai, biarkan bebas terbujur di lantai tanpa beralas apapun. Semakin lunglai dengan bayangan pikiran yang terawang-awang. Saat ini, aku tidak dapat membedakan antara redup cahaya lampu atau penglihatan sendiri yang sedang sayu.

…Masih ada sedikit sadar,…semua barang di kamarku ini telah berserakan, berantakan dan tidak tertata rapi seperti biasanya. Sayup-sayup terlihat segala yang ada di hadapanku, cairan bening itu masih tersisa dalam botol bermerek Chevas Reagal. Seingatku, yang sebagian lagi telah kuteguk sendiri, perlahan kutuang sesuai takaran seloki.

Dalam situasi lelah untuk berpikir, hanya aku dan isi kepala yang menghuni ruangan pengab ini. Yang ku inginkan sekarang hanya tidur dengan lelap sekali. Entah dalam keadaan apa aku akan terbangun nanti, mungkin esok aku pun tidak menyadari sebagian hal yang telah kulakukan malam ini.
Yang jelas, perasaan itu tentunya masih terasa perih di hatiku…

Dia gadis yang telah meluluh-lantakkan hati batu ku pada pandangan pertama. Parasnya yang anggun, tidak kalah sempurna dengan keramahan sikap yang terpancar di keseharianya. Senyumnya yang terlihat tulus dalam setiap persuaan, ditebarkan kepada siapa saja orang yang dikenal.

Tapi, senyuman itu tidak pernah ditujukan pada diri ku. Karena hingga detik ini, gadis itu sama sekali tidak pernah mengenal aku. Apa yang tersirat hanyalah penafsiran dari apa yang kuperhatikan secara sembunyi-sembunyi, setelah perjumpaan waktu itu (kami saling memandang ketika sedang berada di perpustakaan kampus). Hanya pandangan sesaat, setelah itu dia pun berlalu dengan segala keanggunanya, dan tidak pernah tahu bahwa kekagumanku terus membekas hingga detik ini.

Semenjak itu, isi pikiran dalam kepalaku semakin dekat dengan sosok bayanganya. Apalagi setelah mendengar kabar, bahwa dia baru saja “Patah Hati”. Aku pun mulai merencanakan sesuatu diiringi niat yang tulus untuk dapat mendekatinya. Sebuah keinginan yang bermuara dari pikiran ku sebagai manusia awam dalam menyatakan cinta.

…tidak langsung menjumpainya…” bukan karena cara itu terkesan terlalu dini bagi seorang pria untuk mendekati wanita”, tapi hanyalah dalih untuk menutupi sikap ku yang sering “bodoh” jika berhadapan dengan “cinta”. Pantaslah jika aku belum pernah mengenal “cinta sejati”, karena “perkenalan” yang merupakan awalnya saja aku tidak pandai melakukanya.

Akhirnya, hanya dengan “sembunyi”yang dapat kulakukan. Jika itu dikatakan “perkenalan”, mungkin hanya pikiranku sendiri yang memakluminya. Untaian kata-kata yang menjadi modalku, ku guratkan kalimat-kalimat tulus yang mencurahkan luapan keinginan untuk dapat berkenalan denganya.

Aku tetap menjadi manusia “bodoh” untuk mengungkapkan cinta. Besar perasaan yang tak terbendung, seakan cukup kukiaskan dengan kata-kata yang hanya dapat bersua lisan denganya. Aku tidak tahu, atau mungkin perasaanku saja yang mengatakan hal itu dapat membuat dia penasaran.

Walau mendapat balasan, lisan ku disambut dengan lisan pula. Sesungguhnya bukan dia pemeran utamanya, aku yang membuat keputusan jika ingin perkenalan ini menjadi nyata. Terkecuali aku betah menjadi manusia “bodoh”, bahkan bertambah “dungu” untuk ingin diakui sebagai “sang pujangga antah berantah yang tersesat di peraturan cinta dunia nyata” .

Apa hendak dikata, aku memang belum siap semuanya menjadi nyata. Ternyata bukan hanya bodoh dalam mengungkapkan cinta, tapi aku juga sadar untuk bercermin diri. Mungkin ini sisi positif, karena “aku tahu diri”. Tapi yang mana dikatakan positif ?, jika rasa “tau diri” itu, sejak dulu telah membuatku merasa rendah di hadapan semua gadis.

Selanjutnya, aku hanya berkubang dalam perkenalan semu. Kami berdua masih tetap bertemu dalam dunia lisan, dunia yang dapat merubah ku menjadi insan menyenangkan sekaligus perhatian (sebuah perasangka yang mungkin hanya tumbuh di taman hatiku seorang).
Bisa saja dia membalas perkenalan lisan ini, hanya karena kebaikan hatinya yang tak tega menyakiti “manusia bodoh” yang begitu berhasrat karena cinta.

“Mustahil”…membuat gadis itu meyakini kesungguhan hati dari seseorang yang tidak pernah menampakkan seluk beluk perasaanya secara nyata, kecuali aku adalah seorang pangeran yang ketampanan dan kedermawananya sudah tersebar di berbagai kabar.

Tapi sebenarnya, jika gadis itu mempunyai keinginan untuk tahu siapakah orang “bodoh” yang memendam perasaan ini, mungkin dapat membuat secercah harapan….

“Aku adalah orang yang dapat memendam cinta sedemikian dalam. Bahkan rela bertahan untuk tidak memperlihatkan getas cintaku. Cinta dalam diri ku ibarat syair sendu yang sering menjadi inspirasi lamunan, sengaja kugubah dengan pengarang yang tidak diketahui. Biarlah tiap saat aku menderita karena rindu, walau kadang mencaci diri yang tak bernyali untuk mengungkapkan cinta.

Sesungguhnya, itu disebabkan aku yang tidak sanggup menerima penolakan, apalagi jika dikarenakan kekurangan diri yang seakan sudah terikat mati sebagai garis takdir. Akhirnya, aku hanya dapat membayangkan sang pujaan di dalam hati, bayangan yang kubuat indah dalam imajinasi, walaupun hanya merana ketika kembali ke dunia nyata.

Nasip perasaan yang kupendam ini, dapat diartikan sebagai deretan titik-titik yang kulalui dalam hidup. Akibat sikap yang sedari dulu konstan dalam melangkah, akhirnya tak sanggup menghadapi kenyataan. Biarkanlah takdir yang menjadi ujung dari titik nasip yang telah aku lewati.

Untuk mengungkapkan cinta, membutuhkan palu keberanian yang sanggup meluluh lantak kan kokoh sikapku yang penuh misteri,…
…Hingga kini, semua itu tak dapat kumengerti”….

Patut diketahui pula, dalam raga ini masih ada sifat lain yang juga dapat dikatakan sama “bodoh”nya. Aku adalah manusia yang suka berkeluh kesah. Sulit dipendam untuk sikap yang satu ini, dan sobat terdekat lah yang menjadi tempatku mengadu berbagai keluh kesah.

Sobat dapat membuat aku melupakan keruwetan isi kepala yang selalu penuh dengan rumus kehidupan, hanya sobat yang dapat menemani sepi hatiku karena merana tanpa cinta, mereka selalu menyanjungku agar yakin tidak ada kekurangan yang pantas membuat aku rendah diri.

Tapi untuk urusan cinta kali ini, ternyata aku salah berkeluh kesah pada sobat ku. Mungkin karena sanjungan yang sering diberikan, terkadang membuat aku malah lupa diri.

Pendaman perasaan cintaku semakin meluap-luap, khayalku selalu beralur cerita akan sosok gadis itu, ikhlas aku selalu berdoa agar bisa mendapatkan hatinya. Tapi dibalik semua itu, ternyata terselubung niat serupa dari seseorang.
“Sobatku ternyata juga memiliki perasaan yang sama”.

Aku tidak ingin tahu, hal yang melatar belakangi perasaan dari sobatku itu. Yang jelas, “aku lah penyebabnya”. Segala kisah yang kuceritakan tentang sikap dan keanggunan gadis itu, membuat sobatku terbawa perasaan untuk turut mengagumi, perlahan pun tumbuh menjadi benih cinta. Aku sering berkeluh kesah tentang ketidak berdayaan ku untuk mengungkapkan cinta pada si gadis, menjadikan sobatku tidak dapat lagi berpura-pura menyanjung sifatku, karena“aku memang pantas dikatakan bodoh”.

Benih cinta kepada gadis itu tumbuh dalam waktu bersamaan antara aku dan sobat ku. Segala kekurangan diri yang sering aku keluh kesahkan, membuat sobatku dapat memastikan, “aku tak mungkin menggapai hati si gadis”. Terbitlah niatnya untuk menjadi orang ketiga yang akan mewujudkan semuanya, meneruskan perjuangan cintaku, tanpa seijinku dan hanya untuk dirinya.

Aku “tercengang” setelah mengetahui kebenaran, “terkecoh” oleh persahabatan yang selama ini kuanggap baik.
Hanya beginikah arti persahabatan ?,
atau karena cinta dapat membutakan segalanya !.

Baru tersadar, jika selama ini aku hanya menanam benih pertemanan yang berakar kokoh di hatiku sendiri, “kebodohan” ku bukan hanya dalam memahami cinta, tapi juga dalam menilai teman.

Segala kelebihan yang berbanding terbalik dengan keadaan diriku, menambah keyakinan sang sobat untuk mendapatkan si gadis. Dia adalah orang yang berpengalaman mengenal cinta di dunia nyata, hingga dengan mudah mengatur strategi agar dapat mendekati gadis yang juga kupuja. “Semua kelebihanya yang sama sekali tidak kumiliki”.

Selama ini, aku hanya berkutat dalam pemikiran bahwa kemampuan untuk berjumpa dengan gadis itu memerlukan keyakinan diri, yang tercipta setelah terbentuk rasa sederajat,…terlalu lama aku memikirkan semua itu.
Kini, tinggal lah aku yang kalah dan sendiri, hanya dapat merenungi nasip yang selama ini mengikuti “kebodohan” sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, karena semua orang berhak mengejar cintanya. Apalagi cinta yang selama ini kujalani lebih pantas dikatakan mimpi. Hanya dalam dongeng 1001 malam kisah ini dapat berarti.

Satu kata, “Keikhlasan”, yang dapat ku lampiaskan terhadap sang sobat. Karena hanya akan lebih merana, jika menjadikan cinta mustahil ini sebagai biang keretakan persahabatan yang telah terjalin lama. Walaupun kalimat-kalimat itu, sebenarnya menari-nari di atas kepedihan hatiku. Tidak ada yang pantas dibenci selain sikap aneh ku sendiri, rasa benci yang telah berlangsung sejak lama, hanya saja sekarang ini kebencian itu semakin bertambah.

Setelah kejadian itu, walaupun kecewa, paling tidak aku telah berjiwa besar. Untuk kesekian kalinya aku menambah perbendaharaan dalam kamus pengalaman hidup, semoga semakin pandai mengartikan sikap yang selama ini menjadikan aku “bodoh”.


Kumandang Azan Shubuh membangunkan ku dari lelap. Aku masih setengah sadar, menanti kembalinya keseluruhan raga dari alam tidur. Sejak terlelap semalam, jiwa ku kemudian terbawa mimpi yang menemani tidur, bersamaan dengan perasaan yang sedang pilu.

Setelah sadar, ternyata keadaan kamarku masih seperti biasanya. Barang-barang dan perkakas yang ada tetap berada di tempatnya. Hanya beberapa lembar kertas yang berserakan di lantai. Aku mengingat-ingat, …sepertinya semalam aku juga sempat mendokumentasikan kisah “Patah Hatiku” ini lewat tulisan cerita pendek.

Tak terdapat rupa botol bermerek Chevas Reagal atau apapun sejenisnya di kamarku ini. Kegundahan hati karena cinta kali ini, tidak sampai menggiring aku kembali ke masa yang pernah membuat hidupku tak terarah. Bergegas ku ambil wudhu, menebar sajadah, kemudian kerjakan kewajiban sebagai seorang Muslim, menunaikan Shalat Shubuh.

…Aku pernah membenci kekurangan diri, karena kuanggap menjadi penyebab penderitaan hidup. Tapi, setelah itu muncul kesadaran bahwa apapun yang kupunyai saat ini, yang kuharapkan nanti atau segala keinginan demi hasrat duniawi, semuanya tidak lebih dari kekosongan yang tidak penting.

Tujuan utama aku hidup hanya akan kembali kepada satu asal-usul yang kekal. Keikhlasan dan mensyukuri atas apa yang telah diberikan Ilahi serta tidak menyia-nyiakan hidup, yang akan menjadi bekal untuk perjalanan ke sana nanti.

Dalam sujudku aku menyembah Mu Ilahi, teriring mohonku untuk kesekian kalinya, agar segala cobaan yang kuhadapi adalah cara Mu untuk menjadikan aku semakin tegar menjalani hidup dengan keimanan. Keyakinan ku pada Mu yang akan membiarkan uluran waktu mempertemukan aku dengan cintaku.

Dalam doa ku, kutengadahkan jiwa penuh harap, tetapkan hati memohon pertolonganmu. Getar lidahku, tak lain hanya untuk menyebut, mengingat dan berdzikir dengan nama-Mu. Akulah manusia hina, ketika usahaku sia-sia, jalan yang kulalui terasa menyempit serta harapan yang semakin pupus…
“Ya Allah! Tenangkanlah hatiku yang sedang risau, hanya kedamaian jiwa yang kunanti, Iman ku yang tetap berkobar pada-Mu lah yang utama”.

Kini aku hanya dapat mengingat dia sebagai kenangan. Naluri dan semangat cinta yang masih sama kujadikan bekal penemuan cinta sejati lain yang tak akan lelah kucari. Sudah menipis harapku bahwa dia akan menungguku untuk mengungkapkan isi hati, sobatku yang disana mungkin lebih berarti untuknya. Dan seandainya begitu, biarlah cinta ini tetap bersemayam, sebagai balas jasaku yang belum sempat berterima kasih pada dia yang telah membuat aku mengerti akan “Keikhlasan Cinta.

Bersamaan ketika selesai mengerjakan Sholat Shubuh, tiba-tiba terdengar nada dering sebuah pesan masuk ke ponsel ku. Tertera beberapa digit angka yang tidak ku kenal. Perlahan aku menekan salah satu tombol untuk membaca pesan singkat tersebut.

Ass. Slma ini aku sbar menggu,
entah knp dri klimat2 yg kau tlis, mbuat
aku pham akan skap & kesugguhanmu.
Tpi, knp kau sia2kan ksabaranku dgn
mnyerah bgitu sja.
Jstru keiklasanmu mbuat aku brtambh ykin.
Tpi aku jga ingin bkti, bsok sesdah shlat
Dhuhur, aku mnunggumu di tmpt prtama
kli kita brtemu”.
Yg mnunggumu (Idh).

“Bersimpuh aku pada-Mu, yang mengatur misteri kehidupan. Hanya keikhlasan dan kesabaran yang dapat menuntun manusia hingga terwujudnya keinginan yang dicita-citakan”.

26 Okt 2008

(CINTA)Ke laut aja lo yazz…


Selamat pgi,siang,mlam semua…!
Mau tau ga’? gimana rasanya bangun pagi di hari ketika semua usaha menggapai Dia telah berakhir?
Hari ini…,hidupku yang dulu kembali.
Itu artinya, kembali berlomba utk lebih memantapkan jati diri.
Ke teman, pacar, dan saudara, curhat memang jadi pilihan utama jika sedang ’srezz’..
tapi gimana klo jauh dari semuanya?.
“Nggak jadi,;curhat’nya sending failed.”

(”Buruan cari penawarnya deh, yazz…”).

O iya, mau tahu apa fakta unik yang gw temukan dari kisah ku akhir2 ini???

“cwo dan cw emang beda menafsirkan perasaan itu..”
…cw lebih membutuhkan bukti nyata, selain dari itu angan2 apapun yg dikatakan cwo cuma dianggap ‘gombal’…
…cwo yang berkekurangan, memang tidak dpt memberikan apapun selain ‘rasa’.Rasa itu yg membuat kelakianya cendrung perasa bila memikirkan si cw…
…cw sbg insan yang dipuja, tidak mau menunggu lama sebuah pembuktian. Apalagi jika dia punya kepantasan untuk memilih…
…Cwo sbg pemuja, sebenarnya ingin berusaha melakukan apapun utk membuktikan kesungguhan rasa. Tapi sayang, yg nyata hanya perasaanya. Sedangkan segala janji masa depan hanya masih berupa mimpi yg masih belum tergapai….

(”Ke laut aja lo yazz….”)

(IMAJINASI)“Masyarakat dan Cinta” seperti sebuah kerucut.




Untuk masyarakat, pada wilayah paling bawah, ada rakyat yang jumlahnya banyak. Sementara di bagian atas, ada kelompok elite. Kaum Intelektual menghuni wilayah kerucut paling atas dan bergabung dengan kelompok elite lainya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak pernah bergabung bersama masyarakat kecil, atau bahu membahu memelihara stabilitas status quo.

Diluar kelompok tadi, ada satu kelompok lagi yang menyimpang, mereka itulah kelompok “pemikir yang mencerahkan”. Dan jika kita mau melihat masa depan suatu masyarakat, maka kita harus melihat pada kharakteristik kelompok ini. Mereka yang bakal membentuk masa depan, tapi mereka juga banyak yang dikucilkan.
Muncul pertanyaan, “Mengapa para calon pengawal masa depan bangsa ini malah dicampakkan “ ?, “Kapankah ada kesadaran bahwa dengan begitu, kita sedang membunuh benih kreatif dan unsur dinamis bangsa ini “?.

Sedangkan bagaimana dengan Cinta yang juga seperti sebuah kerucut. Pada wilayah paling bawah, bersemayam insan ramai yang telah terkodrat untuk butuh cinta. Sementara di bagian atas, ada kelompok “Materialis” yang menghargai cinta berdasarkan kelebihan materi yang dimiliki. Mereka yakin, dapat dengan mudah merenggut cinta “Wanita sempurna” seperti apapun.

Kaum “Berpenampilan luar menarik”, juga menghuni wilayah paling atas dan bergabung dengan kelompok “Materialis”. Mereka juga dengan mudah mendapatkan cinta dari “Wanita Sempurna” apapun. Dengan bermodalkan penampilan dan tampang, sudah menjadi hal lumrah untuk menjadi rebutan setiap wanita.

Kedua kelompok yang menghuni wilayah paling atas ini, tidak pantas disejajarkan dengan insan biasa yang berada di lapis paling bawah. Karena lebih sering kualitas cinta yang mereka dapatkan merupakan kisah yang selama ini selalu diimpikan “Insan biasa”.

Tapi, apakah tidak disadari ?. Diluar beberapa kelompok tadi, ada satu kelompok lagi yang lebih pantas dianggap “Pemimpi”. Mereka itulah kelompok “Pemuja cinta sejati”. Meskipun, pikiran manusia awam terlalu rumit untuk mengerti makna “Cinta sejati” yang diguratkan mereka.

Sebenarnya, Insan lain harus memahami kharakteristik kelompok ini. Mereka yang selama ini sering ditempa derita cinta, membuat banyak diantaranya yang terkucil. Karena mereka memiliki pandangan yang berbeda untuk mengungkapkan cinta, juga merasa lemah dengan kekurangan yang ada. Sering pikiran yang dianggap ‘sinting’ oleh manusia awam terbit dari pikiran mereka, seperti “Cinta tak harus memiliki”…“Cinta butuh pengorbanan”.
Yang sebenarnya, pemikiran itu hanya membuat mereka pura-pura tersenyum kepada hatinya yang sangat berduka.

Tapi, bukankah memang itu, rahasia maha dasyat yang tersimpan dari “Cinta Sejati”.

Pertanyaan yang muncul, “Mengapa para pemilik cinta sejati seperti mereka, malah sering dicampakkan“?, “Kapankah ada kesadaran dari wanita-wanita yang pernah dipuja ?.

Sesungguhnya dengan mematahkan hati mereka, merupakan suatu kesalahan besar. Karena menorehkan luka dalam di tubuh insan yang sampai kapan pun selalu berdoa buat kebaikan gadis yang pernah dipuja. “Pemuja Cinta” tidak mengharapkan apapun dari asa yang sudah tidak mungkin menjadi nyata, karena “Pengorbanan Cinta” bagi mereka adalah “Keikhlasan”.

(IMAJINASI)Pentingnya Mengingat Masa Lalu

“Mengingat”, tidak pernah sekedar tindakan sunyi disertai intropeksi atau retropeksi saja. Namun sering merupakan peringatan yang perih. Terutama dalam keterlibatanku menghadirkan secara serempak pengalaman masa lalu yang terlupakan demi memberi pengertian terhadap trauma hari ini. Masing-masing ingatanku, diikat oleh simbol berbeda-beda, yang mempertautkan antara “kebiasaan baik-buruk” dan “tradisi nyeleneh”, yang pada giliranya berangsur menciptakan identitas pribadi.

Masa lalu dan segala pahit getir ingatan terpinggirkan adalah sumber pencarian identitas diri tersebut. Identitas diri yang bukan sekedar warna dalam nyawa ragaku, tetapi meripakan basis, bahkan satu-satunya basis dalam perjuangan hidup. Yang terpenting adalah proses perubahan yang sedang kujalani sama pentingnya dengan sisi perubahanya nanti. Masa sekarang sama pentingnya dengan masa depan.

(CINTA)PatahHati2


Aku tersenyum, mengenang nostalgia kebodohanku lewat masagges yang sering kukirimkan lewat ponselku. Teringat kalau aku pernah memiliki cinta yang tentunya tidak sedangkal kebodohanku tersebut. Aku juga merasa beruntung telah menjadi orang yang pernah mengungkapkan cinta, masih terasa indahnya mimpi ketika membayangkan dia, sampai saat ini…

Betapa beruntungnya aku, karena kejadian itu menambah tonggak bagaimana secara emosional aku harus berevolusi dengan tabiatku. Perasaan cinta ku waktu itu amat berkesan, karena telah melambungkan diriku ke puncak kebahagiaan, meski sekaligus membuatku jatuh karena “Patah Hati”.

Aku memang pernah skeptis, selalu curiga dan tak gampang percaya, karena patah hati. Yang sebenarnya dengan satu kasih yang tulus, lebih dari cukup untuk mengubah seluruh persepsi itu. Ketika dewasa, cinta memang telah beberapa kali memperlakukan aku dengan buruk, tapi aku tetap percaya dengan keajaiban cinta. Untuk kesekian kali…terima kasih, “Patah Hati”.