My Adsense

31 Mar 2009

Aku melihat dengan mata kepala sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.

Aku dibesarkan di desa ini, semenjak berusia 5 tahun hingga menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Selanjutnya untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan atas, aku harus pindah ke kabupaten lain meski masih satu daratan dengan desa tempat tinggal gue terdahulu.

Pernahkah kalian mengalami pristiwa yang dapat membuat kalian semua sadar bahwa hidup di dunia ini benar-benar sementara. Yang saya maksudkan disini, bukan seperti kutipan khotbah seorang oleh alim ulama atau kata-kata bijak tentang kematian. Tetapi lebih kepada suatu peristiwa yang dialami sendiri.

Pristiwa seperti itu pernah terjadi dalam hidupku, kejadian traumatik yang sekaligus menandai langkah pertamaku, ketika ingin mencoba hidup mandiri. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempatku melanjutkan sekolah.

Diawali dengan kisahku bersama beberapa orang sahabat yang tidak pernah terlupakan. Kami dibesarkan bersama semenjak kecil, pertambahan usia menjadikan pertemanan kami itu menjadi semakin akrab. Persahabatan kami, meleburkan berbagai kepribadian yang berbeda menjadi satu, kami membaur dalam solidaritas, tertawa dan menangis bersama, disertai aksi hura-hura sewajarnya yang mengisi usia remaja kami.

Diantara beberapa orang sahabatku tersebut, dia lah salah satu sahabat yang akan ku ceritakan dalam kisah ini. Menjadi sosok tidak terlupakan, karena takdir telah menggariskan kisah akhir hidupnya bertautan dengan pengalaman traumatik yang harus kulalui dalam hidup.

Hari itu, kami sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempat harapan kami melanjutkan sekolah. Menyebrang ke kabupaten lain dan meninggalkan desa rantauan, tempat kami dibesarkan bersama.

Duduk bersebelahan dalam bis antar kota reot yang penuh sesak. Tercium berbagai aroma tubuh penumpang, yang dijubeli dengan macam-macam barang yang kami bawa. Sebenarnya, kami sudah terbiasa dengan keadaan ini, karena memang seperti itu jika berpergian menggunakan bis di daerah.

Bahkan bukanlah hal yang mengejutkan bagi jiwa remaja pemberani seperti kami, jika terlihat ada sebagian penumpang yang memilih duduk di atas bagasi bis. Kecuali menciutkan nyali mereka-mereka yang baru tahu bagaimana situasi jalanan yang berlubang dan terjal di daerah itu, bis harus mengitari perbukitan yang dikelilingi jurang-jurang curam. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh sejam menjadi beberapa jam, karena situasi jalanan yang tidak mendukung. Seperti itulah keadaan transportasi di daerah itu.

Memang hanya kata pemberani yang pantas disematkan, termasuk pada sahabatku yang satu itu. Dikarenakan gerah dan tidak betah duduk bersesak-sesak, dia mengajakku untuk pindah ke atas bagasi bis. Terhenyak ketika mendengar ajakanya, mungkin aku memang engga’ pantas dibilang sepemberani atau sekonyol dia, karena seumur hidup belum pernah melakukan aksi gila itu.

Niatnya pun tidak tercapai, karena aku melarangnya.
Selama perjalanan, bis yang kami tumpangi beberapa kali mengalami kerusakan. Beberapa kali juga penumpang harus turun dan menunggu hingga bis dapat berangkat kembali.

Sekarang, adalah yang ketiga kalinya bis ini mogok. Sambil menunggu, kami berdua duduk di pinggir jalan dan ngobrol ngalur-ngidul. Obrolan yang terjadi lebih banyak menceritakan tentang keluarga, dan tentu saja kami dan sahabat-sahabatnya.
Jika saja aku bisa membaca masa depan, seharusnya kala itu tahu, bahwa ada tanda yang ditunjukkan.

Hari itu, dia keliatan beda dibandingkan hari-hari lainya. Kecerian dan gaya bicara yang ditunjukkan, seperti tidak pernah terlihat sebelumnya, apalagi dia yang kukenal adalah seorang sahabat yang pendiam. Intinya, aku tidak menyadari sikapnya yang tiba-tiba asing di hadapanku. Seharusnya jelas kulihat matanya ketika berbicara waktu itu, hanyalah tatapan yang hampa.

Ketika sedang santai dalam obrolan ngalor-ngidul itu, beberapa penumpang terlihat ada yang berpindah ke bis yang lain, kebetulan ada beberapa bis berikutnya yang lewat dan mempunyai jurusan yang searah. Hal tersebut menerbitkan gagasan pada sahabatku tersebut, dia ingin turut pindah ke bis yang lain dan menyampaikan usul tersebut kepada diriku.

Setelah sesaat berpikir, akupun setuju. Karena jarak yang harus kami tempuh untuk sampai ke daerah tujuan memang masih jauh, sedangkan hari hampir malam dan aku belum menyiapkan apapun untuk besok pagi dihari pertama masuk sekolah .

Bis naas itu akhirnya lewat di samping kami, tanpa pikir panjang dia langsung menyetopnya. Aku pun bergegas mengemasi barang-barang bawaan. Dalam waktu sekejab, semua barang sudah dipindahkan ke atas bagasi bis.

Tapi, di luar perkiraanku, ruangan dalam bis tidak lagi cukup untuk dijubeli tubuh kami berdua. Ide berani sekaligus konyol itu tiba-tiba terbayang lagi dalam otaknya, dia segera menyuruhku naik ke atas bagasi, tanpa meminta lagi persetujuan seperti sebelumnya. Aku memang tidak bisa membantah apa-apa dalam keadaan seperti ini.
Bis tumpangan kedua kami ini pun segera melanjutkan perjalanan.

Tapi, syukurnya aku masih punya cara lain, walaupun tetap setali tiga uang dengan usul sahabatku tersebut. Yaitu, bukan duduk di atas bagasi, tetapi bergelantungan pada besi di belakang bis. Mungkin dari ide itu, malah aku yang lebih pantas dibilang gila, karena perjalanan yang harus ditempuh adalah selama 3 jam, dan apakah aku sanggup bergelantungan di belakang bis selama perjalanan.

Sang sahabat, hanya menertawakan kebodohanku dari atas bagasi. Dia memandang geli padaku yang sedang bergelantungan, sambil mengumpat sumpah serapah. Tak apalah, mungkin saja akan ada penumpang yang turun nanti, dan kami berdua akan mendapatkan tempat di dalam bis. Yang penting, semoga tidak terjadi apapun pada kami berdua.

Ternyata, terjadi kesalahan dalam harapan itu.

Supir baru saja sebentar mengemudikan bis. Kalaupun di depan ada tikungan, tapi bukanlah kelokan yang tajam. Laju bis waktu itu, juga tidak begitu kencang.
Tapi, yang namanya takdir, tidak ada yang dapat menolaknya.

Pada saat bis menikung pelan di tikungan, aku mendengar ada suara beberapa benda yang terjatuh dari atas bagasi. Setelah kucoba cari sumber suara itu, ternyata hanyalah beberapa tas milik penumpang yang jatuh bergulingan. Tapi, setelah kuperhatikan lagi secara seksama, ternyata diantaranya adalah tas miliku juga. Sesaat kemudian, supir pun menghentikan bis untuk melihat keadaan.

Tapi, kenapa tiba-tiba pemuda yang ikut bergelantungan di sampingku menjerit. Aku tersentak, ada apa gerangan ?. Pandanganku menuju ke atas bagasi, dimana dia? Sahabatku itu…

“Kenapa kau diam saja, bukankah itu teman mu”. Astaga, Ya Allah, ternyata suara yang paling keras kudengar tadi adalah bunyi tubuh sahabatku yang terjatuh dari atas bagasi. Dia terkapar di samping jalan raya, tubuhnya sedikit tetutup oleh semak-semak, pantas saja aku sama sekali tidak memperhatikanya.

Segera ku susul kerumunan para penumpang yang sudah mulai ramai mengelilingi tubuhnya. Tidak terlihat percikan darah disitu, hanya ada sedikit luka di lengan kananya. Tapi, bagaimana mungkin, bukankah posisi dia terjatuh cukup tinggi, meskipun bis masih melaju dengan kecepatan pelan.

Dia juga masih sadar dan dapat melihat kami mengelilinginya, bahkan menuturkan perlahan “Allah hu Akbar”.

Kejadian selanjutnya berlalu secepat mungkin. Sebagian penumpang diturunkan di jalanan. Aku dan beberapa orang mengangkat dia ke dalam bis, dalam jarak pandangan yang begitu dekat, waktu itu gue baru tahu kalau kepalanya pecah dan tanganya patah.

Supir memutar balik haluan kemudi, hendak mencari bantuan paramedis terdekat. Dan hanya aku, kondektur serta beberapa penumpang lain yang ikut serta dalam bis. Di dalam bis, suasana jadi mencekam, supir yang ketakutan malah semakin kencang mengemudikan bis, berharap cepat sampai di puskesmas terdekat dan sahabatku bisa cepat tertolong.

Kondektur membantu menenangkan sahabatku yang sedang mengerang kesakitan, memang tidak ada yang bisa kami perbuat selain mengupayakan agar pendarahan di kepalanya tidak semakin parah. Sambil memegang pergelangan tanganya yang patah, aku mendengar lagi bisik istighfar yang terucap dari mulutnya. Sesekali dia mengerang dan memanggil nama ibunya.

Dia sudah terbaring di salah satu kamar yang ada dalam puskesmas kecil ini. Lengannya yang patah sudah digips. Suasana hatiku semakin mencekam, apalagi setelah sahabat ku itu selesai dibius. Rambutnya digunduli, kepalanya yang bocor harus dijahit. Dan ketika dijahit, kulit kepala itu terlihat seperti kain yang lunak. Kejadian yang ku lihat dengan mata kepala sendiri, adalah juga pertama kali seumur hidupku.

Pergelangan tanganya yang satu lagi masih kupegang, sedang tertancap selang infus yang harus selalu diawasi letaknya.

Tidak ada siapa-siapa lagi di kamar ini. Hanya aku dan dia yang sedang terkapar di kasur pesakitan, terlelap karena bius penahan sakit. Entah kemana orang-orang itu, supir dan kondektur seperti lepas tanggung jawab, penumpang-penumpang yang ikut serta dalam bis tadi sudah tidak lagi ikut campur. Aku ditinggalkan sendiri, bahkan satu-satunya dokter di puskesmas sederhana ini, pulang beristirahat ke rumahnya. Hanya perawat yang sesekali datang menengok keadaan, satu dua orang warga masyarakat kampung yang ingin tau, hanya mengintip dari luar jendela.

Engga’ terasa hari sudah malam, perut gue engga’ terasa lapar meski belum terisi sama sekali. Satu-demi satu warga masyarakat berdatangan, kini mereka benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Penumpang, supir dan kondektur juga kembali hadir, meski hanya melihat dari jauh.

Di ruangan kecil ini, kami berdua ramai dikelilingi orang-orang, tetapi yang terasa masih sama, hanya sunyi mencekam. Tatapan dan perasaan ku benar-benar hampa. Ada suara bisik-bisik dibelakang yang sama sekali tidak kuperdulikan, apalagi topik yang mereka bicarakan jika tidak jauh dari tanya tentang aku dan sahabat yang malang ini.
Tetap saja aku tertunduk dan tidak jelas melihat wajah-wajah mereka yang ada di sekelilingku. Sempat seorang gadis mengalungkan selendangnya ke leherku, seakan peduli akan cuaca dingin yang tambah menusuk tubuh.

Tepat pukul satu dini hari. Suasana ruangan ini semakin ramai dengan suara dan orang yang semakin berdatangan, diantaranya ada yang mengaku dari kepolisian atau pemilik dari bis naas itu. Tapi apakah sudah ada orang yang mengabari keluarga kandung dari sahabat gue itu ?. Pastilah orang itu harus berusaha cukup kuat agar tega mengabarkan berita ini pada seorang Ibu.

Seorang ibu mana yang dapat percaya begitu saja bahwa anaknya telah terkapar tak sadarkan diri, sedangkan pagi tadi masih sempat berbincang sebelum berpamitan hendak pergi. Pagi tadi, di hati Ibu itu masih terselip harapan agar suatu hari kelak anaknya dapat berhasil. Nasehat tulus dan doa pagi tadi, adalah sama seperti hari-hari sebelumnya ketika anaknya itu hendak pamit, nak berhati-hatilah di jalan.

Bertambah ngeri aku membayangkan, tubuh seorang ibu yang telah lemah, sekonyong-konyong menjadi tambah kaku yang seakan mati berdiri, ketika mendengar kabar tragis tentang anaknya. Tidak sanggup lagi aku membayangkanya lebih jauh, …

Dan……

Tepat pukul tiga pagi, aku tersadar dari kantuk. Ternyata sudah sekitar dua jam tertidur, dan tetap pada posisi yang sama di tempat dudukku. Mungkin sedari tadi, aku menjadi tontonan iba mereka-mereka yang ada di ruangan ini.

Terdengar isak tangis seorang gadis dibelakangku, dia yang tadi bersedia menyerahkan selendangnya sebagai penghangat tubuhku. Kedua mata sembabnya terus saja melihat wajahku, sekan begitu tersentuh akan kejadian ini.

Tapi, aku tetap membalasnya dengan tatapan kosong tanpa arti. Tidak ada sama sekali pikiran untuk merasa tersanjung atas sikapku yang mungkin dianggap pahlawan hari ini, karena untuk coba berkata sepatah saja tidak sanggup. Aku benar-banar tidak mengerti akan apa yang kurasakan saat itu.

Sudah pasti aku begitu sedih, tapi sama sekali tidak ingin menangis. Aku sangat takut, bahkan seandainya bisa ingin lari dari kejadian ini. Pikiranku benar-benar kosong, seperti tidak terjadi apa-apa, tapi sekaligus tidak tau apa yang mesti dilakukan. Mungkin itu yang dinamakan kegalauan hati, remuk redam dengan tingkat stadium paling tinggi, akhirnya pernah juga aku merasakan itu.

Bius yang disuntikan ke tubuh sahabatku itu adalah yang dossisnya cukup tinggi. Karena dia harus menahan rasa sakit di bagian kepala yang sangat tidak tertahankan. Paling tidak esok siang, kadar dari bus itu akan berkurang.
Akan tetapi, kejadian yang terjadi kemudian membuat seluruh orang yang hadir di ruangan itu terperangah.

Tubuhnya yang sedang terbius dan lemah, seharusnya sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuh, apalagi untuk sadar, bangkit dan duduk. Tetapi dia mengagetkan semua kami dengan tiba-tiba bangkit dari tidurnya, rasa kantuk ku yang tidak tertahankan langsung sirna melihat kejadian itu.

Seperti akan melonjak, aku bangkit dari dudukku, dan berusaha merebahkan dia kembali ke tempat tidur. Kepalanya kembali mengeluarkan darah, menambah rasa takut dan ngeri yang sudah tidak bisa ditakar lagi tingkat stadiumnya.

Dalam kesadaran yang ganjil dan tiba-tiba itu, dia tidak berkata apa-apa. Tetapi cukup menyiratkan tanda melalui tatapan tajamnya, kedua bola matanya seperti liar melihat keseliling manusia yang ada di ruangan. Orang yang pertama dilihatnya adalah diriku, kemudian sekeliling, dan terakhir mengarah pada diriku lagi.
Tenagaku yang masih tersisa, tentunya masih lebih kuat untuk merebahkan dia ke tempat tidur, tetapi kenapa aku tidak sanggup melakukanya ?.

Dia kembali tenang setelah melihatku, dan dapat berbaring sendiri seperti orang yang hendak tidur. Tapi kemudian, muncul reaksi aneh lainya. Tubuhnya yang sedang berbaring, terlonjak ke atas. Seperti ada yang menekan dadanya berulang-ulang, nafasnya tersengal-sengal begitu kencang namun teratur, kejadian itu terjadi beberapa kali.

Aku dan orang-orang disekitar, termasuk perawat tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, kami hanya bisa memegangi tubuhnya sambil berusaha menenangkan. Sesaat kemudian, suasana memang kembali hening, benar-benar hening.

Keringat tubuhku mengucur keras, seperti habis melakukan olaharaga berat. Perlahan napas ku yang tadi juga tersengal, kembali teratur. Aku mulai kembali tenang dan duduk pada posisi semula. Tangan sahabat malang ku itu masih kugenggam, letak infusnya tetap benar, tidak ada kesalahan yang terjadi karena aku benar-benar mengawasi dengan cermat apa yang harus kulakukan sedari tadi.

Tapi,Ya Allah, kenapa genggaman ku sekarang terasa dingin. Apakah karena akan menjelang pagi, cuaca dingin dari luar menyerang masuk ke dalam ruangan ?. Bukan, bukan karena itu, tangan sahabat ku itu yang tiba-tiba menjadi dingin, benar-benar dingin seperti mulai membeku. Ada apa ini ?

Aku berteriak memanggil perawat, dia pun berlari ke arah ku sambil memegang stetoskop. Dengan segera ujung stetoskp itu diletakkan ke dada sahabatku, dalam selang beberapa detik hal itu terjadi.

Setelah itu, kemudian?.

Perawat menyuruhku untuk melepas genggaman yang masih erat pada tangan sahabatku.
Ternyata, takdir sahabatku telah terjawab. Pada saat genggamanku tadi terasa dingin, ketika itulah dia pergi untuk selama-lamanya. Dan tanda-tanda kesadaran aneh yang ditampakkan sebelumnya, itu adalah sakratul maut yang harus dilewati setiap manusia yang akan menjelang ajal.

Aku hanyalah seorang remaja berusia 15 tahun. Pengetahuan agamaku waktu itu masih sangat dangkal. Tapi kemudian, di usia semuda ini, aku harus mengalami pristiwa luar biasa yang sudah tergaris dalam takdir hidupku. Sebelumnya, pristiwa seperti itu sama sekali tidak terpikirkan oleh jiwa remaja ku yang masih dekat dengan hal-hal duniawi.

Aku melihat dengan mata kepala sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

(rhany..)

dari beberapa postingan yg baru dibaca,,kayaknya postingan yg ini yg paling menyentuh banget,,,berasa masuk kedalam kejadian itu,,keren banget,,alur ceritanya bisa bikin saya penasaran,,,