My Adsense

31 Mar 2009

Cobaan di tanah rantau (1)

Kehidupan keluarga kami hingga sekarang tetap bahagia, hanya saja sekarang ini aku sedang jauh dari mereka semua. Akulah satu-satunya anak kandung dari kedua orang tuaku kini sedang berada di luar pulau, demi menuntut ilmu dan mengejar masa depanku.

Tetapi ada masa kebahagiaan yang terus kukenang hingga saat ini, itu adalah masa yang kudapatkan di kala kecil dulu. Waktu itu, kami sekeluarga selalu menghabiskan waktu malam dengan berkumpul bersama. Menonton tv, disertai canda dan cerita yang kami lewati hari itu. Keadaan ekonomi keluarga kami juga sangat berkecukupan di waktu itu.

Hari itu hari saptu, di malam minggu. Dari pasar, seusai menutup toko, kami berjalan kaki bersama-sama menuju rumah. Ku ingat betul waktu itu, aku pulang sambil menenteng buah durian, yang merupakan buah kegemaran keluargaku. Dengan pikiranku sebagai seorang anak kecil, malam ini akan menjadi malam hangat untuk kesekian kalinya di keluargaku, berkumpul bersama sambil menyantap buah durian.

Ibu sedang sibuk di dapur dibantu saudariku, menyiapkan hidangan ketan putih yang akan menjadi teman menyantap buah durian. Aku sedang duduk dipangkuan ayahku yang sedang santai menyaksikan siaran tv, sedangkan kakak pertamaku asyik bercanda dengan kedua orang adikku di kamar. Kami semua sedang menunggu waktunya berkumpul di ruang makan, sebentar lagi kami akan menyantap buah durian.

Di dalam ketentraman yang terjadi dalam rumah kami pada malam itu, tiba-tiba terjadi suatu pristiwa. Listrik di rumahku padam. Kakakku segera ke luar rumah, ingin melihat keadaan yang terjadi dengan rumah-rumah tetangga di sekitar lingkungan kami. Ternyata, pemadaman listrik merata, terjadi di seluruh rumah di desa kami.

Kakakku pun segera kembali masuk ke dalam rumah, untuk mengabarkan itu kepada ayahku. Tetapi belum sempat dia masuk ke dalam rumah, tiba-tiba mendengar suara dari beberapa orang warga yang berteriak di jalan, mereka terlihat berlari-larian ke arah pasar. “kebakaran”!.

Astaga, dimana terjadi kebakaran?. Di saat itu, kakakku baru menyadari, kalau dari kejauhan terlihat lidah-lidah api itu sedang membumbung tinggi. “Pasar terbakar”!, teriak kakakku, kami semua yang berada di dalam rumah sekonyong-konyong segera berhamburan ke luar rumah.

Aku masih tidak mempercayai apa yang terjadi, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan pristiwa kebakaran. Dan aku bisa melihat dengan jelas besar nyala api itu, meski dari rumah ku yang masih berjarak berpuluh-puluh meter dari pasar. Kedua orang adikku mulai menangis sambil memeluk ibu, yang kemudian segera kurangkul mereka.

Ibu, ayah, dan kedua kakakku berlari tergopoh-gopoh menuju pasar, mereka membawa apa saja yang dapat digunakan sebagai wadah untuk menaruh barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Aku ditinggalkan sendiri di rumah bersama adik-adikku yang terus saja menangis. Kami bertiga berpeluk-pelukkan di depan pintu rumah, dari pintu rumahku memang cukup jelas pemandangan itu.

Api terlihat semakin berkobar dari kejauhan. Masyarakat yang sedang kalut karena pristiwa ini, terus saja berlarian lalu-lalang di jalan. Diantara mereka adalah pedagang-pedagang kecil, penjual-penjual yang hanya punya satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi keluarga mereka.

Diantara mereka pula ada ibu, ayah dan kedua orang kakakku yang sedang tergopoh-gopoh, kalut menyaksikan sumber mata pencaharian keluarga kami terbakar habis. Tapi, Ya, Allah, semoga saja itu hanya perasangka burukku saja, semoga toko kami tidak ikut terbakar dalam kejadian ini.

Sekitar tiga jam setelah itu, aku melihat dari kejauhan, api yang tadinya besar sudah semakin berkurang kobaranya. Para pedagang juga sudah berangsur pulang ke rumah mereka masing-masing, pastinya hanya letih dan bermacam tampang sendu yang terlihat dari wajah mereka. Kedua orang adikku juga sudah tertidur pulas di kamar mereka, setelah letih menangis di pelukkanku.

Akhirnya ayah, ibu, dan kedua orang kakakku tiba di rumah. Tidak ada barang-barang bawaan beserta kedatangan mereka. Wajah mereka juga datar-datar saja, hanya ibu yang terlihat seperti habis menangis. Tentu saja aku yang sudah tidak sabar dengan berbagai prasangka, bertanya tentang bagaimana keadaan toko kami setelah pristiwa kebakaran itu.

Dengan keyakinanku, pasti masih banyak barang jualan yang terselamatkan, atau dengan melihat raut wajah mereka yang biasa-biasa saja, pasti toko kami tidak ikut terbakar.
“Semuanya sudah musnah, habis terbakar, tanpa ada satupun yang tersisa”. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan keterkejutanku. Setelah mendengar kabar itu, aku baru bisa benar-benar menangis di pelukan ibuku, hingga tertidu pulas.

Keesokan paginya, aku segera menuju pasar. Sendiri, tanpa memberitahukan orang rumahku yang masih pulas setelah kejadian semalam. Ya Allah, pasar itu memang telah musnah, yang terlihat hanya bekas-bekas bangunan terbakar, bau api dan asap masih menyengat di hidungku. Aku sempat bertemu beberapa teman, keluarga, dan kenalan kedua orang tuaku yang sesama pedagang. Mereka menatapku dengan tampang sendu, seakan mengerti atau senasip dengan keadaan hidupku yang sekarang.

Mata pencaharian kedua orang tuaku telah ikut musnah bersama kobaran api semalam. Entah bagaimana kehidupan keluarga kami ke depanya, jika masih di tanah rantau ini. Sedangkan aku dan adik-adikku masih harus sekolah dan membutuhkan banyak biaya lain. Tapi, jika orang tuaku masih bisa tenang dengan keadaan itu, kenapa aku anaknya tidak bisa mencoba tegar seperti mereka.

Jika kehidupan dan kelanjutan pendidikan ku masih bisa berlanjut hingga sekarang, tidak lain adalah karena ketegaran kedua orang tuaku yang selalu menanamkan kepada kami anak-anaknya, segala cobaan dalam hidup hanyalah pelajaran untuk membuat kita semakin kuat.

Tidak ada komentar: