Sesekali, aku memang menyempatkan diri untuk pulang bertemu kedua orang tuaku. Tetapi biasanya hanya pada hari libur saja, kecuali ada keperluan yang mendesak.
Kisah ini, memang diawali dari cerita pada saat aku pulang bertemu kedua orang tuaku. Dengan mengingat lagi kisah ini, dapat mengungkit kejadian paling menegangkan yang pernah terjadi dalam hidup ku, mungkin saja kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kalian yang juga hidup di tanah rantau.
Beberapa tahun silam pada saat kejadian ini terjadi, merupakan tahun di mana bangsa ini sedang dihinggapi berbagai masalah pelik, rakyat menjadi mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang hadir di tengah mereka. Bahkan kerusuhan hampir merata pernah terjadi di pelosok negeri.
Sedangkan sebelumnya, telah diceritakan kisah dimana aku merasakan
kedamaian selama hidup di tanah rantau, salah satunya tentang masyarakat desa kami yang sangat menjaga kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda. Hingga sampailah pada suatu pristiwa yang sempat membuat aku ragu akan rasa damai tersebut.
Hari itu aku pulang dari sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Tidak ada alasan yang jelas, hanya saja pikiran ku sedang tidak tenang. Sesampainya di kosan, aku juga hanya sempat beristirahat sebentar, kemudian pergi lagi. Menuju terminal kota, hari ini aku berniat pulang ke desa, bertemu kedua orang tua dan keluarga ku.
Tapi, sekarang atau esok bukanlah hari libur yang mengharuskan aku pulang. Mungkin alasanya karena perasanku yang sedang tidak tenang, dan ingin sekali berjumpa kedua orang tuaku.
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan dengan bis, akhirnya aku sampai di rumah. Waktu itu yang ada di rumah, hanyalah ayah yang kebetulan juga baru tiba dari perjalanan jauh melanggar pulau. Dia baru pulang, setelah pergi selama seminggu untuk berbelanja kebutuhan barang-barang toko. Mata pencaharian kedua orang tuaku adalah pedagang kecil yang membuka toko di pasar desa.
Ibu ku sedang berjualan di pasar. Jika sudah seminggu ini ayahku pergi, berarti selama itu juga ibuku berjualan sendiri di pasar. Tidak ada yang membantu dia, karena dari pagi adik-adikku sudah berada di sekolah, sedangkan aku hanya bisa pulang di waktu libur saja. Jika memikirkan hal itu, terkadang membuat perasaanku sedih. Tapi, kepulanganku di hari yang tidak libur ini mungkin dapat sedikit membantu. Apalagi ayahku masih harus beristirahat setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan.
Keesokan paginya adalah hari minggu, aku sudah berada di pasar dan membantu ibu berjualan di toko. Pada hari seperti ini, biasanya pasar ramai dibandingkan hari lainya, karena hari minggu adalah hari ibadah bagi umat kristiani yang merupakan kaum mayoritas di desa itu. Setelah selesai bersembahyang di gereja, banyak dari mereka yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan.
Tapi, mereka yang datang ke pasar hari ini, juga membawa kabar yang menggemparkan umat beragama di desa itu. Pagi tadi, di gereja telah terjadi kasus pencemaran yang dilakukan oleh orang tidak bertanggung jawab. Aku begitu takut mendengarkan berita itu.
Kejadian apa lagi ini ?. Masih ada saja manusia yang coba memecah belah persatuan yang sudah terjalin lama desa desa ini ?.
Setelah mendengarkan berita itu, akupun tidak berpikir panjang lagi. Kuutarakan niatku untuk ingin segera menutup toko. Tetapi, ibuku dengan tenangnya menjawab bahwa kejadian itu tidak usah terlalu dikhawatirkan, karena aparat yang berwajib pasti sudah berantisipasi jika akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Lagi pula, ibu percaya bahwa warga desa tidak mungkin sembarangan melakukan aksi seperti yang ada dalam pikiranku.
Meski masih dengan perasaan tidak tenang, aku tetap menuruti perkataan ibu. Toko kami tetap buka, tapi jika biasanya sampai selepas isya, hari ini cukup sampai selepas maghrib. Itu pun setelah aku memohon pada ibu, agar kami tidak pulang larut malam.
Pengalaman hidupku memang belum ada apa-apanya. Dengan berbagai pristiwa yang sering kusaksikan di tv, membuat aku menjadi mudah dihinggapi rasa takut jika menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan SARA. Secara jujur kuakui, perantau seperti kami memang berada di posisi yang lemah, jika permasalahan itu berhubungan dengan suku asli, agama asli, dan lain sebagainya.
Kegiatan jual beli di pasar waktu itu juga tidak seramai hari minggu biasanya. Banyak yang hanya berlalu-lalang atau bercerita seru tentang pristiwa yang terjadi pagi tadi. Kabarnya si pelaku pencemaran sudah ditahan aparat yang berwajib.
Aku tidak lagi tertarik untuk mencari tahu berita itu lebih jauh, hanya berharap waktu maghrib segera tiba, kemudian menutup toko dan pulang bersama ibu. Di sudut toko, Ibuku tetap saja keliatan tenang. Jika seandainya pristiwa ini dapat menimbulkan perasaan was-was bagiku, mungkin ibu pernah mengalami pristiwa yang lebih dari ini.
Selesai mengucapkan salam di rakaat terakhir, pertanda selesainya menunaikan ibadah shalat maghrib, aku segera bersiap kembali menuju ke pasar. Tapi ketika akan berdiri, gerakanku terhenti. Aku kembali duduk, karena sepertinya ada masalah penting yang ingin dibicarakan Imam surau. Dia memperingatkan seluruh masyarakat untuk berhati-hati dan tidak mudah terprovokasi atas masalah yang telah terjadi.
Ketakutanku bertambah besar setelah itu, dan tanpa menunggu pembicaraan imam selesai, aku keluar dari surau, segera berlari menuju pasar.
Astaga, Ya Allah, kejadian yang kutakutkan benar-benar terjadi. Terdengar teriakan dari sekelompok besar orang kampung yang datang bergerombolan dari satu arah. Mereka membawa berbagai senjata tajam dan menuju ke arah toko kami. Aku tidak sempat mencermati kedatangan mereka, segera melompat dan menghamburkan barang-barang jualan yang dipajang ke dalam toko.
Sekarang baru kulihat sedikit kepanikan di raut wajah Ibuku, dengan cekatan dia tetap berusaha merapikan barang-barang yang kuhamburkan ke dalam toko .
Rasanya sudah tidak ada waktu lagi untuk menutup toko, orang kampung yang bertambah beringas sudah mulai menghujamkan benda apa saja ke arah toko kami. Aku berlari ke arah ibu, memeluknya, dan berteriak supaya segera berlari mencari perlindungan.
Sambil memeluk ibu, aku berlari dengan tetap mengimbangi langkahnya. Istighfar terus dilontarkan dari mulut ibu, di saat itu hanya kekalutan yang melanda pikiranku. Ternyata, kami terkepung dan tidak ada jalan untuk keluar dari kerumunan massa.
Kepanikan bertambah, ketika tiba-tiba terlihat dari arah depan, seorang pemuda bertubuh jangkung berjalan ke arah kami, dia membawa sebilah parang. Siapakah oarng itu. Ya Allah , apakah dia hendak menyakiti kami ?.
Aku merasakan kedua kakiku semakin lemas untuk menahan bobot tubuh sendiri yang hampir roboh, hampir aku pingsan ketika membayangkan orang itu semakin mendekat. Tapi aku tetap berusaha menjaga kesadaran dengan bergerak dan berteriak tak tentu arah. Ibu masih dalam pelukanku, tetap beristighfar. Apapun yang terjadi nanti, aku akan melindungi dia semampu ku.
Rasa takutku sudah mencapai stadium paling tinggi, tapi ketika lelaki itu mendekat, aku akan bersiap-siap melakukan pembelian diri. Atau semoga saja dia mau mendengarkan permohonan ku untuk tidak menyakiti ibu.
Jarak antara aku dan pemuda itu, sekitar tinggal enam meter lagi. Ibu tidak lagi kupeluk, tapi kuposisikan di belakangku. Sepertinya, memang tidak ada jalan lain yang dapat kulakukan dalam posisi seperti ini, selain berusaha membela diri. Lelaki itu tentu tidak akan mendengar permohonan ku, jika parang yang dibawanya telah terhunus lebih dulu. Ini adalah saat dalam hidupku, dimana aku sudah benar-benar siap untuk mati.
Setelah lelaki itu semakin mendekat, hampir saja aku ingin melompat dan berusaha merebut parang dari tanganya, tetapi niat ku batal setelah melihat wajah itu, sepertinya aku mengenal dia. Astaga, dia ternyata tetangga ku sendiri.
Tanpa memperhatikan ketakutan dan ketegangan yang tampak dari wajah kami berdua, dia masih sempat tersenyum. Kemudian berkata “ toko sudah ditutup belum yas, kalau belum, tutup saja dulu. Tenang saja, jangan takut, ada saya disini’.
Rasa takutku memang perlahan reda. Setelah menjawab pertanyaan lelaki itu, aku segera kembali memeluk ibu, dan berlari untuk kembali ke toko kami. Ternyata kerusuhan juga sudah mulai reda. Hanya tersisa beberapa orang yang menaruh simpati untuk memberikan pertolongan pada pemilik toko yang dirusak. Mungkin diantara mereka juga termasuk kenalan, kerabat atau aparat berwajib yang ingin meredakan keadaan.
Tiba-tiba kulihat pula beberapa wajah lain yang kukenal menuju kearah ku, mereka adalah kawan-kawan SMP ku dulu. Tanpa diminta, mereka seakan mengerti dan segera ikut membantu ku. Di tempat ku berdiri, terdapat atalase yang beberapa sisinya pecah, terkena lemparan batu. Kalo seandainya saja aku tadi berdiri dengan posisi yang sama seperti sekarang, mungkin bukan kaca atalase, tetapi kepala ku yang pecah.
Pekerjaan menutup toko selesai dengan segera. Ketegangan dan panas suasana masih tersisa, aku tidak dapat menunggu lama lagi untuk segera pulang ke rumah. Ibuku berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Setelah aku dan ibu mengucapkan rasa terima kasih kepada teman-teman dan orang-orang yang ikut membantu, kami berdua segera pulang bersama tetangga penolong kami itu.
Ternyata ketika di jalan raya keadaan masih sangat ramai. Tidak ada kendaraan yang lewat, kami bertiga berjalan di tengah-tengah kerumunan orang. Beberapa pasang mata melihatku dengan arah mata yang tajam. Mungkin dia termasuk dari orang kampung yang melakukan kerusuhan tadi. Tapi semoga saja tidak ada orang-orang yang coba melakukan tindakan tak menyenangkan terhadap aku dan ibuku, karena lelaki yang menjadi tetanggaku ini juga orang pribumi dan termasuk sangat disegani di daerah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar