Selama Tuhan pemilik langit dan bumi masih memberikan kita nafas, dan selama Tuhan yang maha pemberi ilmu masih memberikan kita ilmu pengetahuan, maka janganlah ragu untuk menulis. Tuliskan saja, dan editlah belakangan. Dengan begitu, kamupun menulis tanpa beban. PLONG!. Lega rasanya..
31 Mar 2009
Untuk Indonesia yang Lebih Baik dan Untuk Membantu Saya Membeli Barang-Barang yang Saya Inginkan!
VISI:
- Menjadikan Indonesia makmur di tahun 2322.
MISI:
- Menjadi presiden agar dapet duit banyak dan beli album kangen band yang baru.
- Mengajak Doraemon datang ke Indonesia agar dapat membantu membangun bangsa ini.
- Menyelamatkan tahanan tanpa kena tembak musuk di level 4 . Lho? Ini misi maen Counter Strike apa jadi presiden sih?
RADITYA DIKA! UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK! BERSATU KITA BAU (INGET PAS DESEK-DESEKAN DI METRO MINI)! JANGAN SALAH PILIH! JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN! INI CARA MATIIN CAPSLOCKNYA GIMANA?!
Kita sebagai orang Islam yang masih merasa lucu, wajib membaca ini
Betapa lucunya kita yang hidup di zaman sekarang, uang Rp.20.000,00 keliatan begitu besar nilainya untuk dibawa ke kotak amal mesjid. Akan tetapi, dianggap masih kecil untuk berbelanja di supermarket.
Lucu engga’ seeh, 45 menit rasanya sangat lama bila digunakan untuk berdzikir, tetapi itu waktu yang singkat banget untuk nonton pertandingan sepak bola. Seperti juga sangat lucunya kita, ketika merasa 2 jam merupakan waktu yang lama untuk berada di mesjid, sedangkan waktu itu masih sangat cepat ketika berada di bioskop.
Pemuda-pemudi zaman sekarang banyak yang lucu-lucu, kita susah merangkai kata untuk berdoa, tetapi sangat cepat dan mudah mencari bahan obrolan bersama teman –teman kita.
Masih banyak kelucuan yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini, seperti betapa serunya perpanjangan waktu di pertandingan sepak bola, tetapi betapa bosanya ketika imam shalat tarawih kelamaan memimpin shalat.
Satu hal lagi yang lucu dari kita pemuda-pemudi zaman sekarang, kita rasanya susah banget kalau disuruh baca alquran, meskipun 1 juzz saja. Tapi, untuk novel best seller, 100 halaman juga habis dibaca sekali.
Jika cerita-cerita di atas kurang lucu, gue masih punya banyak simpanan cerita-cerita lucu lainya. Karena manusia-manusia yang mengisi dunia sekarang ini, mungkin sudah terlampau sulit untuk tersenyum dalam mengatasi masalah mereka, hingga sampai-sampai tidak menyadari kelucuan yang telah mereka buat sendiri.
Mereka berebut tempat duduk paling depan ketika menonton pertandingan bola, tetapi berebut saf paling belakang kalau shalat jumat, biar bisa cepat pulang.
Kita perlu undangan 3-4 minggu sebelumnya untuk mengikuti pengajian, agar bisa dimasukkan di agenda kegiatan kita. Tetapi untuk acara lain, sangat gampang diubah. Seperti juga, betapa susahnya mengajak orang berpartipasi dalam dakwah, tetapi mudahnya bagi kita untuk berpartisipasi dalam gossip atau pergunjingan.
Agar tidak dibilang ketinggalan informasi, kita begitu percaya dengan berita yang ada di Koran. Tapi kenapa sering mempertanyakan alquran.
Yang paling lucu dari semua itu adalah, semua orang pingin masuk sorga. Tapi tanpa harus beriman, engga’ mau berpikir atau melakukan apa-apa.
Gue dan kalian juga begitu gampang mengirim jokes lewat email, chat, blog, friendster, face book, atau apalah. Akan tetapi, kita terkadang berpikir 2 kali untuk melakukan ibadah.
Lucu engga’ seeh, 45 menit rasanya sangat lama bila digunakan untuk berdzikir, tetapi itu waktu yang singkat banget untuk nonton pertandingan sepak bola. Seperti juga sangat lucunya kita, ketika merasa 2 jam merupakan waktu yang lama untuk berada di mesjid, sedangkan waktu itu masih sangat cepat ketika berada di bioskop.
Pemuda-pemudi zaman sekarang banyak yang lucu-lucu, kita susah merangkai kata untuk berdoa, tetapi sangat cepat dan mudah mencari bahan obrolan bersama teman –teman kita.
Masih banyak kelucuan yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini, seperti betapa serunya perpanjangan waktu di pertandingan sepak bola, tetapi betapa bosanya ketika imam shalat tarawih kelamaan memimpin shalat.
Satu hal lagi yang lucu dari kita pemuda-pemudi zaman sekarang, kita rasanya susah banget kalau disuruh baca alquran, meskipun 1 juzz saja. Tapi, untuk novel best seller, 100 halaman juga habis dibaca sekali.
Jika cerita-cerita di atas kurang lucu, gue masih punya banyak simpanan cerita-cerita lucu lainya. Karena manusia-manusia yang mengisi dunia sekarang ini, mungkin sudah terlampau sulit untuk tersenyum dalam mengatasi masalah mereka, hingga sampai-sampai tidak menyadari kelucuan yang telah mereka buat sendiri.
Mereka berebut tempat duduk paling depan ketika menonton pertandingan bola, tetapi berebut saf paling belakang kalau shalat jumat, biar bisa cepat pulang.
Kita perlu undangan 3-4 minggu sebelumnya untuk mengikuti pengajian, agar bisa dimasukkan di agenda kegiatan kita. Tetapi untuk acara lain, sangat gampang diubah. Seperti juga, betapa susahnya mengajak orang berpartipasi dalam dakwah, tetapi mudahnya bagi kita untuk berpartisipasi dalam gossip atau pergunjingan.
Agar tidak dibilang ketinggalan informasi, kita begitu percaya dengan berita yang ada di Koran. Tapi kenapa sering mempertanyakan alquran.
Yang paling lucu dari semua itu adalah, semua orang pingin masuk sorga. Tapi tanpa harus beriman, engga’ mau berpikir atau melakukan apa-apa.
Gue dan kalian juga begitu gampang mengirim jokes lewat email, chat, blog, friendster, face book, atau apalah. Akan tetapi, kita terkadang berpikir 2 kali untuk melakukan ibadah.
Pengalaman adalah guru abadi
Di usia yang hampir seperempat abad ini, belum juga kutemui arti dari kebahagian yang sejati. Atau mungkin tanda-tanda yang ditunjukkan padaku masih terlihat samar, sehingga membuat aku tetap saja takut memastikan langkah dalam menapaki hidup.
Usia memang tidak mutlak menjadi penentu dalam menilai kebijakan seseorang, jika setiap pengalaman yang menemani perangsuran usianya itu tidak pernah menjadi guru yang berarti.
Apakah aku adalah manusia yang seperti itu ?
Biarlah kalian semua yang menilai seperti apa diriku ini. Karena tentunya, jika aku tetap menilai diri sendiri menurut sudut pandang pribadi, hanya akan semakin menguatkan tuduhan padaku sebagai manusia yang egois.
Tetapi ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh kita semua, hal itu sudah menjadi tatanan kebiasaan seorang manusia dalam menilai manusia lainya, yaitu mengasumsikan kepribadian seseorang berdasarkan apa yang tampak dari luarnya saja.
Memang tidak ada yang patut disalahkan, jikalau seperti itu keadaanya. Karena memang demikian cara pandang yang sudah berakar dalam pemikiran awam kita. Sebagai manusia awam, kita cendrung mengutamakan lahiriah, yang artinya menilai segala sesuatu sebatas apa yang dapat disaksikan secara kasat mata saja.
Meskipun masih ada segelintir manusia yang tidak se-awam kita. Mereka sungguh-sungguh dapat menilai pribadi seseorang, berdasarkan berbagai aspek yang diyakini dapat mempengaruhi penilaian tersebut. Pemikiran mereka tidak lagi hanya menyentuh sisi lahiriah, tetapi juga lebih jauh menjamah sisi batiniah.
Mereka menilai seseorang bukan dari fisik luarnya saja, tetapi lebih mengutamakan sesuatu yang tersimpan di relung hati. Karena beranggapan, jika penampilan fisik dapat dipoles, tidak seperti itu dengan kata hati.
Aku sendiri telah lupa, apakah dalam hidup ini pernah secara sengaja ataupun tidak, berjumpa dengan orang-orang seperti itu. Dan jikalau memang tidak pernah, akankah ku temui suatu saat nanti ?.
kedua hal itu yang menyusun jiwa ku sebagai seorang manusia
Uraian singkat yang terpapar di atas, tidak lain merupakan kesimpulan dari ungkapan isi hati ku, sebagai seorang manusia yang sedang mencari kebahagiaan sejati. Aku yang menyadari bahwa pengalaman hidup sangat berperan dalam menempa pribadi seseorang, tidak lain adalah untuk menjadi manusia yang lebih bijak memahami hidup.
Pada akhirnya, jiwa egoisku pun mengalir sesuai kodrat, menanti penilaian dari seseorang yang akan menganggapku berarti. Karena apa lagi yang paling membahagiakan dalam hidup ku, selain dapat menyenangkan orang lain.
Hanya saja, aku belum merasa ada manusia yang menilai diriku seutuhnya. Yang dapat menilai ku tidak hanya secara lahirah, tetapi juga batiniah. Karena sesungguhnya, kedua hal itu yang menyusun jiwa ku sebagai seorang manusia.
Seandainya saja, ada yang ingin menelusuri aku lebih jauh
Pada akhirnya, jiwa egoisku pun mengalir sesuai kodrat, menanti penilaian dari seseorang yang akan menganggapku berarti. Karena apa lagi yang paling membahagiakan dalam hidup ku, selain dapat menyenangkan orang lain.
Hanya saja, aku belum merasa ada manusia yang menilai diriku seutuhnya. Yang dapat menilai ku tidak hanya secara lahirah, tetapi juga batiniah. Karena sesungguhnya, kedua hal itu yang menyusun jiwa ku sebagai seorang manusia.
Seandainya saja, ada yang ingin menelusuri aku lebih jauh
Pengalaman yang bermakna
Telah berjuta kali detak waktu yang terlewati semenjak aku terlahir di dunia ini, diiringi berbagai pengalaman yang seharusnya membuat aku semakin bijak memahami hidup. Aku yakin, bukan hanya aku yang seperti itu, bisa juga dia, kau, atau kalian semua. Karena sebagai mahkluk berakal, tentu saja suatu ketika kita pernah melewati pemaknaan yang berarti dalam hidup.
Namun, kisah di bawah ini hanyalah menceritakan pengalaman yang bermakna dalam hidup ku. Aku hanya ingin berbagi cerita tentang pristiwa-pristiwa yang pernah terlintas dalam hidupku. Secara tidak langsung peristiwa-pristiwa itu memang ikut membentuk kepribadian ku yang sekarang ini.
Tidak pun ada maksud atau harapan berlebih dari semua yang kutulis ini. Memang kisah ini bermakna bagiku, tapi aku tidak tahu buat kalian. Mungkin saja, tulisan ini hanya akan diremehkan atau dianggap bualan yang dikarang oleh penulis sinting, kemudian tersisih dari ingatan dalam kepala kalian.
Semuanya terserah dari persepsi masing-masing orang, dan aku pun tidak akan menyimpulkan yang bukan-bukan, sebelum tahu alasan yang tersimpan dalam hati kalian.
Namun, kisah di bawah ini hanyalah menceritakan pengalaman yang bermakna dalam hidup ku. Aku hanya ingin berbagi cerita tentang pristiwa-pristiwa yang pernah terlintas dalam hidupku. Secara tidak langsung peristiwa-pristiwa itu memang ikut membentuk kepribadian ku yang sekarang ini.
Tidak pun ada maksud atau harapan berlebih dari semua yang kutulis ini. Memang kisah ini bermakna bagiku, tapi aku tidak tahu buat kalian. Mungkin saja, tulisan ini hanya akan diremehkan atau dianggap bualan yang dikarang oleh penulis sinting, kemudian tersisih dari ingatan dalam kepala kalian.
Semuanya terserah dari persepsi masing-masing orang, dan aku pun tidak akan menyimpulkan yang bukan-bukan, sebelum tahu alasan yang tersimpan dalam hati kalian.
Suatu saat nanti mengerti akan diriku dengan sepenuh hati.
Aku adalah insan dungu yang dikelilingi banyak manusia-manusia cerdik. Ataukah mungkin terlalu naif untuk dapat menjadi seperti mereka. Tapi, mata hatiku mampu membaca lisan yang terucap dalam hati, memahami raut dan bahasa tubuh yang mengarah padaku.
Dengan kedangkalan daya pikir, aku mungkin tidak dapat memahami maksud dari tutur. Tapi karena banyak menyendiri, kesepian telah mendidik ku untuk menjadi perasa. Hingga selama ini, aku mudah untuk bersedih dan kelihatan murung menjalani hari.
Bagaimana tidak seperti itu, jika aku selalu dihinggapi rasa takut akan dunia yang semakin sesat, serta sering memperhatikan mereka-mereka yang berusaha menjadi lebih pintar dari yang menciptakan.
Sebagian dari manusia-manusia disekitarku sudah mulai angkuh dan perlahan menyisihkan orang-orang seperti ku. Yang sering kudengar, hanyalah ocehan-ocehan omong kosong. Jikalaupun berbalut sanjungan, itu tidak melebihi kepentingan untuk pribadi mereka semata.
Sebagian rupa yang kulihat, adalah tampang-tampang baik hati namun berkedok kemunafikan. Jikalaupun benar baik hati, tetap saja kebaikan itu terlihat bias bagi ku. Kenapa kalian tidak jujur padaku, kalau seandainya sangat membenci sikapku yang terlalu menggebu untuk menjadi manusia yang paling baik. Sedangkan aku, selalu berusaha untuk jujur dan tulus, agar dapat berarti buat kalian semua.
Semua uraian hatiku di atas, tetaplah berkutat dalam perandaian, karena aku tidak dapat memastikan sebelum tahu isi hati kalian yang sebenarnya.
Lagipula, aku yakin masih ada sebagian orang yang memang terlihat tulus dan jujur padaku. Seperti kalian-kalian, kawan-kawan yang selalu ada di saat aku membutuhkan, meskipun aku lebih memilih sendiri dikala susah. Kalian tetap menerimaku, walau terkadang aku sering hilang dalam dunia dan egoku sendiri. Kalian memahami sepenuhnya diriku, bukan sebagai manusia aneh yang berpikiran rumit, tetapi tetap sebagai kawan yang bisa diajak tertawa dan menangis bersama.
Terima kasih juga buat kalian yang pernah mengisi hatiku. Entah itu, yang tidak memperdulikan, hanya sebentar, atau sekilas mimpi yang kemudian hilang dan pergi. Karena walau bagaimanapun, perasaan terhadap kalian turut membentuk aku semakin pandai dan jujur mengguratkan isi hati. Yang kemudian bermekaran menjadi kesadaran untuk terus merubah jiwa ku menjadi lebih bijak. Layaknya sebuah pengalaman yang menjadi guru kekal dalam hidup.
Atau bagi dia, yang mungkin turut membaca tulisan ini. Tahukah dia, sebenarnya dari berbagai tulisan dalam blog ini, aku ingin membuat dia mengerti, seperti apa diriku memandang setiap kejadian dalam hidup, termasuk cinta.
Namun, bagaimana dia dapat menebak isi hatiku, jika aku selalu menjadikan itu misteri yang berulang-ulang kali selalu terpendam ?.
Namun, tetaplah patut jika dia dan kalian semua, suatu saat nanti mengerti akan diriku ini. Tapi dengan sepenuh hati.
Dengan kedangkalan daya pikir, aku mungkin tidak dapat memahami maksud dari tutur. Tapi karena banyak menyendiri, kesepian telah mendidik ku untuk menjadi perasa. Hingga selama ini, aku mudah untuk bersedih dan kelihatan murung menjalani hari.
Bagaimana tidak seperti itu, jika aku selalu dihinggapi rasa takut akan dunia yang semakin sesat, serta sering memperhatikan mereka-mereka yang berusaha menjadi lebih pintar dari yang menciptakan.
Sebagian dari manusia-manusia disekitarku sudah mulai angkuh dan perlahan menyisihkan orang-orang seperti ku. Yang sering kudengar, hanyalah ocehan-ocehan omong kosong. Jikalaupun berbalut sanjungan, itu tidak melebihi kepentingan untuk pribadi mereka semata.
Sebagian rupa yang kulihat, adalah tampang-tampang baik hati namun berkedok kemunafikan. Jikalaupun benar baik hati, tetap saja kebaikan itu terlihat bias bagi ku. Kenapa kalian tidak jujur padaku, kalau seandainya sangat membenci sikapku yang terlalu menggebu untuk menjadi manusia yang paling baik. Sedangkan aku, selalu berusaha untuk jujur dan tulus, agar dapat berarti buat kalian semua.
Semua uraian hatiku di atas, tetaplah berkutat dalam perandaian, karena aku tidak dapat memastikan sebelum tahu isi hati kalian yang sebenarnya.
Lagipula, aku yakin masih ada sebagian orang yang memang terlihat tulus dan jujur padaku. Seperti kalian-kalian, kawan-kawan yang selalu ada di saat aku membutuhkan, meskipun aku lebih memilih sendiri dikala susah. Kalian tetap menerimaku, walau terkadang aku sering hilang dalam dunia dan egoku sendiri. Kalian memahami sepenuhnya diriku, bukan sebagai manusia aneh yang berpikiran rumit, tetapi tetap sebagai kawan yang bisa diajak tertawa dan menangis bersama.
Terima kasih juga buat kalian yang pernah mengisi hatiku. Entah itu, yang tidak memperdulikan, hanya sebentar, atau sekilas mimpi yang kemudian hilang dan pergi. Karena walau bagaimanapun, perasaan terhadap kalian turut membentuk aku semakin pandai dan jujur mengguratkan isi hati. Yang kemudian bermekaran menjadi kesadaran untuk terus merubah jiwa ku menjadi lebih bijak. Layaknya sebuah pengalaman yang menjadi guru kekal dalam hidup.
Atau bagi dia, yang mungkin turut membaca tulisan ini. Tahukah dia, sebenarnya dari berbagai tulisan dalam blog ini, aku ingin membuat dia mengerti, seperti apa diriku memandang setiap kejadian dalam hidup, termasuk cinta.
Namun, bagaimana dia dapat menebak isi hatiku, jika aku selalu menjadikan itu misteri yang berulang-ulang kali selalu terpendam ?.
Namun, tetaplah patut jika dia dan kalian semua, suatu saat nanti mengerti akan diriku ini. Tapi dengan sepenuh hati.
Pertama kali berantem atau dikeroyok
Pernah engga’ seeh ?…tentu aja pernah dong!…kalian ngalamin suatu pristiwa atau kejadian dalam hidup yang berkesan.
Pasti ingatan akan kejadian-kejadian itu, mengenangkan kalian kepada pristiwa yang mengungkit perasaan bahagia, sedih, mengharukan, seram, dan lain sebagainya. Gue pun pernah ngalamin pristiwa-pristiwa berkesan seperti itu, yang sampe detik ini masih diinget.
Dan dari tulisan ini, mau gue coba ceritain itu ke kalian semua…
Bagi gue, kenangan hidup yang paling indah adalah pada saat kecil dulu. Pada waktu itu, gue dan keluarga masih bertempat tinggal di daerah nun jauh disana, daerah timur negeri ini. Sebagai orang yang tinggal di daerah perantauan, kami termasuk dalam kelompok minoritas. Tetapi, itu engga’ mempengaruhi cara bersosialisasi dan kerukunan yang terjalin antara kami dan warga sekitar.
Mungkin karena itu juga, sampai sekarang gue masih rindu akan kenangan masa kecil di tanah perantauan dulu. Gue pernah menjadi penghuni sebuah desa, merasakan harum suasana serta seluk-beluk keindahan dan tantangan alamnya.
Di desa tempat tinggal gue dulu, tidak terpolusi seperti di kota. Karena banyak diantara masyarakatnya adalah pejalan kaki setia, cukuplah kami menyusuri jalan di desa kecil dengan tapak kaki kami sendiri.
Sepanjang mata memadang, keliatan begitu dekat bukit-bukit yang mengelilingi desa. Mendaki dan menuruni terjalnya adalah hal yang biasa dikala itu. Engga’ kehitung berapa kali sudah, gue bersama teman-teman mencoba ngelewatin hari dengan keluar masuk hutan, menyelami kejernihan sungai, mengalahkan berisik air terjun dengan gelak tawa kami yang suka belantara.
Tidak dipungkiri, semua itu adalah cikal bakal terlahirnya jiwa petualang dalam diri gue.
Keakraban yang terjalin bersama teman-teman dan penduduk asli disana, menjadi pelajaran penting yang mendidik gue untuk pandai beradaptasi terhadap lingkungan dimanapun berada. Dengan sendirinya, gue belajar memahami sikap dan pribadi masing-masing orang. Tentunya bukan hal mudah, membaur dalam suatu lingkungan yang memiliki banyak perbedaan dengan kebudayaan dan keyakinan asli orang tua kita.
Untuk itu, agar dapat diterima, berarti gue harus bersikap tulus dalam berteman dan tidak membeda-bedakan. Karena mencari teman tidak semudah mencari musuh. Layaknya sebuah pribahasa kaum perantau, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.
Begitu banyak pengalaman hidup yang gue alami di desa kecil ini. Entah itu kejadian suka maupun duka, apalagi tentang kenakalan masa kecil gue dulu.
Pernah suatu ketika. Waktu itu gue masih berusia 8 tahun. Tepatnya kejadian itu, ketika gue selesai melaksanakan kewajiban rutin tiap selesai shalat maghrib, mengaji di satu-satunya surau yang ada di desa.
Biasanya, sambil menunggu waktu shalat isya, gue bersama teman-teman lain bermain di pekarangan surau. Hanya saja, waktu itu gue paling duluan selesai ngaji. Jadinya, disaat teman-teman yang lain masih mengaji, gue bermain sendiri. Kebetulan, di saku baju koko gue ada beberapa buah balon yang didapat dari keusilan gue memalak teman sendiri.
Selang beberapa waktu kemudian, disaat sedang asyik-asyiknya bermain, datang beberapa orang pemuda. Umur mereka kalo dibandingin dengan usia gue kala itu, mungkin sekitar ukuran anak SMP. Gue emang sering ngelihat mereka di surau, kalo udah hampir tiba waktu isya. Karena itu adalah waktu untuk ngejemput adik mereka sepulang mengaji, si fulan yang juga merupakan teman gue.
Tapi kemudian, pemuda-pemuda itu ngeliat ke arah gue sambil tersenyum sinis. Lalu, ngehampirin gue yang sedang asyik bermain. Yang terjadi kemudian, benar-benar engga’ disangka. Tiba-tiba mereka merampas balon-balon mainan gue, dan meletuskanya satu demi satu. Tentu saja gue kaget dengan kejadian itu, apa maksud mereka melakukan hal itu ke gue?.
Entah mahkluk apa yang merasuki tubuh kecil ini, kemarahan gue bangkit. Wajar saja, apalagi pemuda-pemuda itu sudah ngusilin gue. Tapi, gue kan cuma bocah 8 tahun?.
Beberapa orang pemuda itu langsung gue kejar, gue terjang dengan kekuatan apa adanya. Berbekal keberanian dan pelajaran karate yang baru nyampe sabuk kuning. Orang yang pertama mungkin engga’ menyadari tindakan gue, dia terhenyak ketika tendangan gue telak menghantam ruang antara perut dan selangkanganya.
Kejadian selanjutnya sudah dapat diperkirakan, terjadi perkelahian antara gue dengan beberapa orang pemuda tersebut, atau lebih tepatnya gue dikeroyok. Mereka bahkan masih sempat meletuskan balon mainan gue yang masih tersisa. Perkelahian itu memang tidak seimbang, gue hanya berhasil mendaratkan beberapa kali pukulan dan tendangan tanpa arti buat pemuda-pemuda itu. Malah mereka semakin gencar menghajar gue.
Beberapa tendangan dan pukulan balasan kembali dihujamkan ke tubuh gue, untung engga’ sampe kena kepala, atau mungkin karena masih ada rasa kasihan mereka. Disaat itu, gue hanya bisa bertahan dari pukulan dan tendangan mereka. Kejadian tragis yang berlangsung sekitar 5 menit, kemudian terhenti setelah terdengar tangisan yang diiringi cacian dan umpatan gue terhadap mereka.
Gue pun dibiarkan begitu saja, terduduk dan menangis sendiri, sambil menahan sakit. Engga’ ada yang nolongin, karena emang engga’ ada orang yang ngeliat kejadian itu. Pemuda-pemuda itu pun berlalu sambil tertawa mencibir.
Setelah kemarahan dan kesedihan reda, gue bangkit dan bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, gue sempat termenung dan berkata dalam hati, “Biar gimanapun, harusnya pemuda-pemuda itu malu dan kagum. Malu, karena hanya bisa mengeroyok anak kecil. Kagum, karena tidak sedikit pun gue gentar melawan mereka “.
Pada akhirnya, gue engga’ jadi pulang dengan wajah murung. Meski masih menahan rasa sakit, tapi tersenyum sendiri ngingat kejadian itu. Dan pristiwa itu, gue kenang sebagai kali pertama berantem dalam hidup.
Dan di kemudian hari, pemuda-pemuda itulah akhirnya menjadi kawan sekaligus kakak-kakak yang melindungiku
Pasti ingatan akan kejadian-kejadian itu, mengenangkan kalian kepada pristiwa yang mengungkit perasaan bahagia, sedih, mengharukan, seram, dan lain sebagainya. Gue pun pernah ngalamin pristiwa-pristiwa berkesan seperti itu, yang sampe detik ini masih diinget.
Dan dari tulisan ini, mau gue coba ceritain itu ke kalian semua…
Bagi gue, kenangan hidup yang paling indah adalah pada saat kecil dulu. Pada waktu itu, gue dan keluarga masih bertempat tinggal di daerah nun jauh disana, daerah timur negeri ini. Sebagai orang yang tinggal di daerah perantauan, kami termasuk dalam kelompok minoritas. Tetapi, itu engga’ mempengaruhi cara bersosialisasi dan kerukunan yang terjalin antara kami dan warga sekitar.
Mungkin karena itu juga, sampai sekarang gue masih rindu akan kenangan masa kecil di tanah perantauan dulu. Gue pernah menjadi penghuni sebuah desa, merasakan harum suasana serta seluk-beluk keindahan dan tantangan alamnya.
Di desa tempat tinggal gue dulu, tidak terpolusi seperti di kota. Karena banyak diantara masyarakatnya adalah pejalan kaki setia, cukuplah kami menyusuri jalan di desa kecil dengan tapak kaki kami sendiri.
Sepanjang mata memadang, keliatan begitu dekat bukit-bukit yang mengelilingi desa. Mendaki dan menuruni terjalnya adalah hal yang biasa dikala itu. Engga’ kehitung berapa kali sudah, gue bersama teman-teman mencoba ngelewatin hari dengan keluar masuk hutan, menyelami kejernihan sungai, mengalahkan berisik air terjun dengan gelak tawa kami yang suka belantara.
Tidak dipungkiri, semua itu adalah cikal bakal terlahirnya jiwa petualang dalam diri gue.
Keakraban yang terjalin bersama teman-teman dan penduduk asli disana, menjadi pelajaran penting yang mendidik gue untuk pandai beradaptasi terhadap lingkungan dimanapun berada. Dengan sendirinya, gue belajar memahami sikap dan pribadi masing-masing orang. Tentunya bukan hal mudah, membaur dalam suatu lingkungan yang memiliki banyak perbedaan dengan kebudayaan dan keyakinan asli orang tua kita.
Untuk itu, agar dapat diterima, berarti gue harus bersikap tulus dalam berteman dan tidak membeda-bedakan. Karena mencari teman tidak semudah mencari musuh. Layaknya sebuah pribahasa kaum perantau, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.
Begitu banyak pengalaman hidup yang gue alami di desa kecil ini. Entah itu kejadian suka maupun duka, apalagi tentang kenakalan masa kecil gue dulu.
Pernah suatu ketika. Waktu itu gue masih berusia 8 tahun. Tepatnya kejadian itu, ketika gue selesai melaksanakan kewajiban rutin tiap selesai shalat maghrib, mengaji di satu-satunya surau yang ada di desa.
Biasanya, sambil menunggu waktu shalat isya, gue bersama teman-teman lain bermain di pekarangan surau. Hanya saja, waktu itu gue paling duluan selesai ngaji. Jadinya, disaat teman-teman yang lain masih mengaji, gue bermain sendiri. Kebetulan, di saku baju koko gue ada beberapa buah balon yang didapat dari keusilan gue memalak teman sendiri.
Selang beberapa waktu kemudian, disaat sedang asyik-asyiknya bermain, datang beberapa orang pemuda. Umur mereka kalo dibandingin dengan usia gue kala itu, mungkin sekitar ukuran anak SMP. Gue emang sering ngelihat mereka di surau, kalo udah hampir tiba waktu isya. Karena itu adalah waktu untuk ngejemput adik mereka sepulang mengaji, si fulan yang juga merupakan teman gue.
Tapi kemudian, pemuda-pemuda itu ngeliat ke arah gue sambil tersenyum sinis. Lalu, ngehampirin gue yang sedang asyik bermain. Yang terjadi kemudian, benar-benar engga’ disangka. Tiba-tiba mereka merampas balon-balon mainan gue, dan meletuskanya satu demi satu. Tentu saja gue kaget dengan kejadian itu, apa maksud mereka melakukan hal itu ke gue?.
Entah mahkluk apa yang merasuki tubuh kecil ini, kemarahan gue bangkit. Wajar saja, apalagi pemuda-pemuda itu sudah ngusilin gue. Tapi, gue kan cuma bocah 8 tahun?.
Beberapa orang pemuda itu langsung gue kejar, gue terjang dengan kekuatan apa adanya. Berbekal keberanian dan pelajaran karate yang baru nyampe sabuk kuning. Orang yang pertama mungkin engga’ menyadari tindakan gue, dia terhenyak ketika tendangan gue telak menghantam ruang antara perut dan selangkanganya.
Kejadian selanjutnya sudah dapat diperkirakan, terjadi perkelahian antara gue dengan beberapa orang pemuda tersebut, atau lebih tepatnya gue dikeroyok. Mereka bahkan masih sempat meletuskan balon mainan gue yang masih tersisa. Perkelahian itu memang tidak seimbang, gue hanya berhasil mendaratkan beberapa kali pukulan dan tendangan tanpa arti buat pemuda-pemuda itu. Malah mereka semakin gencar menghajar gue.
Beberapa tendangan dan pukulan balasan kembali dihujamkan ke tubuh gue, untung engga’ sampe kena kepala, atau mungkin karena masih ada rasa kasihan mereka. Disaat itu, gue hanya bisa bertahan dari pukulan dan tendangan mereka. Kejadian tragis yang berlangsung sekitar 5 menit, kemudian terhenti setelah terdengar tangisan yang diiringi cacian dan umpatan gue terhadap mereka.
Gue pun dibiarkan begitu saja, terduduk dan menangis sendiri, sambil menahan sakit. Engga’ ada yang nolongin, karena emang engga’ ada orang yang ngeliat kejadian itu. Pemuda-pemuda itu pun berlalu sambil tertawa mencibir.
Setelah kemarahan dan kesedihan reda, gue bangkit dan bergegas pulang. Dalam perjalanan pulang, gue sempat termenung dan berkata dalam hati, “Biar gimanapun, harusnya pemuda-pemuda itu malu dan kagum. Malu, karena hanya bisa mengeroyok anak kecil. Kagum, karena tidak sedikit pun gue gentar melawan mereka “.
Pada akhirnya, gue engga’ jadi pulang dengan wajah murung. Meski masih menahan rasa sakit, tapi tersenyum sendiri ngingat kejadian itu. Dan pristiwa itu, gue kenang sebagai kali pertama berantem dalam hidup.
Dan di kemudian hari, pemuda-pemuda itulah akhirnya menjadi kawan sekaligus kakak-kakak yang melindungiku
Cobaan di tanah rantau (1)
Kehidupan keluarga kami hingga sekarang tetap bahagia, hanya saja sekarang ini aku sedang jauh dari mereka semua. Akulah satu-satunya anak kandung dari kedua orang tuaku kini sedang berada di luar pulau, demi menuntut ilmu dan mengejar masa depanku.
Tetapi ada masa kebahagiaan yang terus kukenang hingga saat ini, itu adalah masa yang kudapatkan di kala kecil dulu. Waktu itu, kami sekeluarga selalu menghabiskan waktu malam dengan berkumpul bersama. Menonton tv, disertai canda dan cerita yang kami lewati hari itu. Keadaan ekonomi keluarga kami juga sangat berkecukupan di waktu itu.
Hari itu hari saptu, di malam minggu. Dari pasar, seusai menutup toko, kami berjalan kaki bersama-sama menuju rumah. Ku ingat betul waktu itu, aku pulang sambil menenteng buah durian, yang merupakan buah kegemaran keluargaku. Dengan pikiranku sebagai seorang anak kecil, malam ini akan menjadi malam hangat untuk kesekian kalinya di keluargaku, berkumpul bersama sambil menyantap buah durian.
Ibu sedang sibuk di dapur dibantu saudariku, menyiapkan hidangan ketan putih yang akan menjadi teman menyantap buah durian. Aku sedang duduk dipangkuan ayahku yang sedang santai menyaksikan siaran tv, sedangkan kakak pertamaku asyik bercanda dengan kedua orang adikku di kamar. Kami semua sedang menunggu waktunya berkumpul di ruang makan, sebentar lagi kami akan menyantap buah durian.
Di dalam ketentraman yang terjadi dalam rumah kami pada malam itu, tiba-tiba terjadi suatu pristiwa. Listrik di rumahku padam. Kakakku segera ke luar rumah, ingin melihat keadaan yang terjadi dengan rumah-rumah tetangga di sekitar lingkungan kami. Ternyata, pemadaman listrik merata, terjadi di seluruh rumah di desa kami.
Kakakku pun segera kembali masuk ke dalam rumah, untuk mengabarkan itu kepada ayahku. Tetapi belum sempat dia masuk ke dalam rumah, tiba-tiba mendengar suara dari beberapa orang warga yang berteriak di jalan, mereka terlihat berlari-larian ke arah pasar. “kebakaran”!.
Astaga, dimana terjadi kebakaran?. Di saat itu, kakakku baru menyadari, kalau dari kejauhan terlihat lidah-lidah api itu sedang membumbung tinggi. “Pasar terbakar”!, teriak kakakku, kami semua yang berada di dalam rumah sekonyong-konyong segera berhamburan ke luar rumah.
Aku masih tidak mempercayai apa yang terjadi, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan pristiwa kebakaran. Dan aku bisa melihat dengan jelas besar nyala api itu, meski dari rumah ku yang masih berjarak berpuluh-puluh meter dari pasar. Kedua orang adikku mulai menangis sambil memeluk ibu, yang kemudian segera kurangkul mereka.
Ibu, ayah, dan kedua kakakku berlari tergopoh-gopoh menuju pasar, mereka membawa apa saja yang dapat digunakan sebagai wadah untuk menaruh barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Aku ditinggalkan sendiri di rumah bersama adik-adikku yang terus saja menangis. Kami bertiga berpeluk-pelukkan di depan pintu rumah, dari pintu rumahku memang cukup jelas pemandangan itu.
Api terlihat semakin berkobar dari kejauhan. Masyarakat yang sedang kalut karena pristiwa ini, terus saja berlarian lalu-lalang di jalan. Diantara mereka adalah pedagang-pedagang kecil, penjual-penjual yang hanya punya satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi keluarga mereka.
Diantara mereka pula ada ibu, ayah dan kedua orang kakakku yang sedang tergopoh-gopoh, kalut menyaksikan sumber mata pencaharian keluarga kami terbakar habis. Tapi, Ya, Allah, semoga saja itu hanya perasangka burukku saja, semoga toko kami tidak ikut terbakar dalam kejadian ini.
Sekitar tiga jam setelah itu, aku melihat dari kejauhan, api yang tadinya besar sudah semakin berkurang kobaranya. Para pedagang juga sudah berangsur pulang ke rumah mereka masing-masing, pastinya hanya letih dan bermacam tampang sendu yang terlihat dari wajah mereka. Kedua orang adikku juga sudah tertidur pulas di kamar mereka, setelah letih menangis di pelukkanku.
Akhirnya ayah, ibu, dan kedua orang kakakku tiba di rumah. Tidak ada barang-barang bawaan beserta kedatangan mereka. Wajah mereka juga datar-datar saja, hanya ibu yang terlihat seperti habis menangis. Tentu saja aku yang sudah tidak sabar dengan berbagai prasangka, bertanya tentang bagaimana keadaan toko kami setelah pristiwa kebakaran itu.
Dengan keyakinanku, pasti masih banyak barang jualan yang terselamatkan, atau dengan melihat raut wajah mereka yang biasa-biasa saja, pasti toko kami tidak ikut terbakar.
“Semuanya sudah musnah, habis terbakar, tanpa ada satupun yang tersisa”. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan keterkejutanku. Setelah mendengar kabar itu, aku baru bisa benar-benar menangis di pelukan ibuku, hingga tertidu pulas.
Keesokan paginya, aku segera menuju pasar. Sendiri, tanpa memberitahukan orang rumahku yang masih pulas setelah kejadian semalam. Ya Allah, pasar itu memang telah musnah, yang terlihat hanya bekas-bekas bangunan terbakar, bau api dan asap masih menyengat di hidungku. Aku sempat bertemu beberapa teman, keluarga, dan kenalan kedua orang tuaku yang sesama pedagang. Mereka menatapku dengan tampang sendu, seakan mengerti atau senasip dengan keadaan hidupku yang sekarang.
Mata pencaharian kedua orang tuaku telah ikut musnah bersama kobaran api semalam. Entah bagaimana kehidupan keluarga kami ke depanya, jika masih di tanah rantau ini. Sedangkan aku dan adik-adikku masih harus sekolah dan membutuhkan banyak biaya lain. Tapi, jika orang tuaku masih bisa tenang dengan keadaan itu, kenapa aku anaknya tidak bisa mencoba tegar seperti mereka.
Jika kehidupan dan kelanjutan pendidikan ku masih bisa berlanjut hingga sekarang, tidak lain adalah karena ketegaran kedua orang tuaku yang selalu menanamkan kepada kami anak-anaknya, segala cobaan dalam hidup hanyalah pelajaran untuk membuat kita semakin kuat.
Tetapi ada masa kebahagiaan yang terus kukenang hingga saat ini, itu adalah masa yang kudapatkan di kala kecil dulu. Waktu itu, kami sekeluarga selalu menghabiskan waktu malam dengan berkumpul bersama. Menonton tv, disertai canda dan cerita yang kami lewati hari itu. Keadaan ekonomi keluarga kami juga sangat berkecukupan di waktu itu.
Hari itu hari saptu, di malam minggu. Dari pasar, seusai menutup toko, kami berjalan kaki bersama-sama menuju rumah. Ku ingat betul waktu itu, aku pulang sambil menenteng buah durian, yang merupakan buah kegemaran keluargaku. Dengan pikiranku sebagai seorang anak kecil, malam ini akan menjadi malam hangat untuk kesekian kalinya di keluargaku, berkumpul bersama sambil menyantap buah durian.
Ibu sedang sibuk di dapur dibantu saudariku, menyiapkan hidangan ketan putih yang akan menjadi teman menyantap buah durian. Aku sedang duduk dipangkuan ayahku yang sedang santai menyaksikan siaran tv, sedangkan kakak pertamaku asyik bercanda dengan kedua orang adikku di kamar. Kami semua sedang menunggu waktunya berkumpul di ruang makan, sebentar lagi kami akan menyantap buah durian.
Di dalam ketentraman yang terjadi dalam rumah kami pada malam itu, tiba-tiba terjadi suatu pristiwa. Listrik di rumahku padam. Kakakku segera ke luar rumah, ingin melihat keadaan yang terjadi dengan rumah-rumah tetangga di sekitar lingkungan kami. Ternyata, pemadaman listrik merata, terjadi di seluruh rumah di desa kami.
Kakakku pun segera kembali masuk ke dalam rumah, untuk mengabarkan itu kepada ayahku. Tetapi belum sempat dia masuk ke dalam rumah, tiba-tiba mendengar suara dari beberapa orang warga yang berteriak di jalan, mereka terlihat berlari-larian ke arah pasar. “kebakaran”!.
Astaga, dimana terjadi kebakaran?. Di saat itu, kakakku baru menyadari, kalau dari kejauhan terlihat lidah-lidah api itu sedang membumbung tinggi. “Pasar terbakar”!, teriak kakakku, kami semua yang berada di dalam rumah sekonyong-konyong segera berhamburan ke luar rumah.
Aku masih tidak mempercayai apa yang terjadi, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan pristiwa kebakaran. Dan aku bisa melihat dengan jelas besar nyala api itu, meski dari rumah ku yang masih berjarak berpuluh-puluh meter dari pasar. Kedua orang adikku mulai menangis sambil memeluk ibu, yang kemudian segera kurangkul mereka.
Ibu, ayah, dan kedua kakakku berlari tergopoh-gopoh menuju pasar, mereka membawa apa saja yang dapat digunakan sebagai wadah untuk menaruh barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Aku ditinggalkan sendiri di rumah bersama adik-adikku yang terus saja menangis. Kami bertiga berpeluk-pelukkan di depan pintu rumah, dari pintu rumahku memang cukup jelas pemandangan itu.
Api terlihat semakin berkobar dari kejauhan. Masyarakat yang sedang kalut karena pristiwa ini, terus saja berlarian lalu-lalang di jalan. Diantara mereka adalah pedagang-pedagang kecil, penjual-penjual yang hanya punya satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi keluarga mereka.
Diantara mereka pula ada ibu, ayah dan kedua orang kakakku yang sedang tergopoh-gopoh, kalut menyaksikan sumber mata pencaharian keluarga kami terbakar habis. Tapi, Ya, Allah, semoga saja itu hanya perasangka burukku saja, semoga toko kami tidak ikut terbakar dalam kejadian ini.
Sekitar tiga jam setelah itu, aku melihat dari kejauhan, api yang tadinya besar sudah semakin berkurang kobaranya. Para pedagang juga sudah berangsur pulang ke rumah mereka masing-masing, pastinya hanya letih dan bermacam tampang sendu yang terlihat dari wajah mereka. Kedua orang adikku juga sudah tertidur pulas di kamar mereka, setelah letih menangis di pelukkanku.
Akhirnya ayah, ibu, dan kedua orang kakakku tiba di rumah. Tidak ada barang-barang bawaan beserta kedatangan mereka. Wajah mereka juga datar-datar saja, hanya ibu yang terlihat seperti habis menangis. Tentu saja aku yang sudah tidak sabar dengan berbagai prasangka, bertanya tentang bagaimana keadaan toko kami setelah pristiwa kebakaran itu.
Dengan keyakinanku, pasti masih banyak barang jualan yang terselamatkan, atau dengan melihat raut wajah mereka yang biasa-biasa saja, pasti toko kami tidak ikut terbakar.
“Semuanya sudah musnah, habis terbakar, tanpa ada satupun yang tersisa”. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan keterkejutanku. Setelah mendengar kabar itu, aku baru bisa benar-benar menangis di pelukan ibuku, hingga tertidu pulas.
Keesokan paginya, aku segera menuju pasar. Sendiri, tanpa memberitahukan orang rumahku yang masih pulas setelah kejadian semalam. Ya Allah, pasar itu memang telah musnah, yang terlihat hanya bekas-bekas bangunan terbakar, bau api dan asap masih menyengat di hidungku. Aku sempat bertemu beberapa teman, keluarga, dan kenalan kedua orang tuaku yang sesama pedagang. Mereka menatapku dengan tampang sendu, seakan mengerti atau senasip dengan keadaan hidupku yang sekarang.
Mata pencaharian kedua orang tuaku telah ikut musnah bersama kobaran api semalam. Entah bagaimana kehidupan keluarga kami ke depanya, jika masih di tanah rantau ini. Sedangkan aku dan adik-adikku masih harus sekolah dan membutuhkan banyak biaya lain. Tapi, jika orang tuaku masih bisa tenang dengan keadaan itu, kenapa aku anaknya tidak bisa mencoba tegar seperti mereka.
Jika kehidupan dan kelanjutan pendidikan ku masih bisa berlanjut hingga sekarang, tidak lain adalah karena ketegaran kedua orang tuaku yang selalu menanamkan kepada kami anak-anaknya, segala cobaan dalam hidup hanyalah pelajaran untuk membuat kita semakin kuat.
Dia adalah first love gue, dan cinta pertama sulit untuk dilupakan.
Kemudian waktu pun berlalu, engga’ disadari usia gue semakin dewasa. Setelah lulus sekolah dasar, gue ngelanjutin pendidikan ke sekolah menengah pertama yang lokasinya masih di desa itu. Berbagai penelitian membuktikan, usia-usia remaja adalah waktu yang penuh gejolak. Perubahan besar akan tabiat seorang anak bisa terjadi di usia itu.
Seperti juga gue, yang mulai memasuki tahap pubertas. Ada seorang gadis, R namanya. Dia adalah kakak kelas gue, dan anak seorang Komandan Kodim di desa itu. Pertama kali berjumpa denganya di perpustakaan sekolah, waktu itu adalah hari pertama bagi dia sebagai murid pindahan di sekolahku.
Engga’ salah lagi, dia lah first love gue, karena dia lah orang pertama yang buat gue tau rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Hari-hari selanjutnya, isi kepala gue hanya ada pikiran tentang dia seorang. Disaat itu pula, bakat pujangga gue pertama kali tampak. Gue jadi jago nulis puisi dan surat cinta, karena di jaman gue kecil dulu belum tau sms apalagi fs. Surat-surat itu selalu kukirimkan 1 kali seminggu, bahkan kalo inspirasi gue lagi tinggi, bisa 3 kali seminggu. Surat cinta gue dirimkan lewat seorang teman yang jadi ma’ comblang antara gue dengan dia.
Lagu-lagu metal kegemaran gue ditinggalkan sebentar, karena gue jadi candu lagu-lagu cinta. Seperti lagu-lagunya bon jovi, bryan adam, Gill, The moffats, backstreet boys, boyzone, five minutes, stinky, java jive, Nike Ardila, Popy Mercury. Itu menjadi sumber inspirasi dan khayalan gue tentang dia. Duit-duit koin juga gue kumpulin saban hari, buat nelpon dia melalui telpon umum yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari rumahnya.
Cinta pertama emang dapat membuat hati berbunga-bunga, perasaan hati gue bahagia tak terkira waktu itu.
Akhirnya waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hati pun tiba. Waktu itu ada sebuah acara yang diadakan oleh ikatan remaja mesjid di desa gue, dan kami berdua termasuk dalam kepanitiaan. Waktulah yang mempertemukan kami, berdua dan berdiri saling berhadap-hadapan. Tapi saat itu, lidah gue kelu untuk berkata. Hanya mengulum senyum simpul, sangat khas dan sering terlihat pada remaja puber kaya’ gue.
Dia sendiri sebenarnya sudah tahu apa yang ingin gue katakan, dan seakan menanti kata-kata itu. Tapi, gue tetap diam. “ada apa yaz, katanya ada yang mau diomongin”. Untuk waktu yang cukup lama dia menunggu, dan akhirnya berlalu dari hadapanku.
Mengingat kejadian itu, gue jadi tau. Ternyata sikap beku gue sudah mulai tampak dari pengalaman cinta pertama, yang gue herankan kenapa sikap itu muncul berbarengan dengan mimpi-mimpi gue yang selalu memuja dan mencari cinta sejati.
Sejak saat itu, dia engga’ pernah mau nerima surat gue, engga’ ngangkat telpon gue, apalagi ketemu. Hingga kemudian, gue akhirnya harus pergi untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di lain daerah. Sebelum pergi, emang pernah sekali berjumpa denganya. Dia sempat bertanya, tapi gue yang bodoh tetap menjawab seadanya, tanpa basa-basi ucapan perpisahan, apalagi harapan untuk berjumpa lagi.
Gue emang bodoh, seandainya saja waktu itu gue bisa bersikap lebih perhatian, mungkin sikap seperti itu akan keterusan sampai kini, dan iyas yang sekarang bukanlah seorang iyas yang takut mengungkapkan cinta. Sejak kejadian itu, si gadis bersama keluarganya pun tidak lama kemudian harus pindah ke daerah di pulau Jawa, mengikuti tugas dinas sang ayah yang merupakan seorang komandan TNI.
Menceritakan kehidupan ku yang sekarang, aku adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas swasta yang terletak di pulau Jawa. Dan secara kebetulan aku kembali berjumpa dengan gadis itu, meski hanya lewat jalur dunia maya. Tapi, jodoh siapa yang tau ?. Dia adalah first love gue, dan cinta pertama sulit untuk dilupakan.
Seperti juga gue, yang mulai memasuki tahap pubertas. Ada seorang gadis, R namanya. Dia adalah kakak kelas gue, dan anak seorang Komandan Kodim di desa itu. Pertama kali berjumpa denganya di perpustakaan sekolah, waktu itu adalah hari pertama bagi dia sebagai murid pindahan di sekolahku.
Engga’ salah lagi, dia lah first love gue, karena dia lah orang pertama yang buat gue tau rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Hari-hari selanjutnya, isi kepala gue hanya ada pikiran tentang dia seorang. Disaat itu pula, bakat pujangga gue pertama kali tampak. Gue jadi jago nulis puisi dan surat cinta, karena di jaman gue kecil dulu belum tau sms apalagi fs. Surat-surat itu selalu kukirimkan 1 kali seminggu, bahkan kalo inspirasi gue lagi tinggi, bisa 3 kali seminggu. Surat cinta gue dirimkan lewat seorang teman yang jadi ma’ comblang antara gue dengan dia.
Lagu-lagu metal kegemaran gue ditinggalkan sebentar, karena gue jadi candu lagu-lagu cinta. Seperti lagu-lagunya bon jovi, bryan adam, Gill, The moffats, backstreet boys, boyzone, five minutes, stinky, java jive, Nike Ardila, Popy Mercury. Itu menjadi sumber inspirasi dan khayalan gue tentang dia. Duit-duit koin juga gue kumpulin saban hari, buat nelpon dia melalui telpon umum yang jaraknya hanya sekitar 30 meter dari rumahnya.
Cinta pertama emang dapat membuat hati berbunga-bunga, perasaan hati gue bahagia tak terkira waktu itu.
Akhirnya waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hati pun tiba. Waktu itu ada sebuah acara yang diadakan oleh ikatan remaja mesjid di desa gue, dan kami berdua termasuk dalam kepanitiaan. Waktulah yang mempertemukan kami, berdua dan berdiri saling berhadap-hadapan. Tapi saat itu, lidah gue kelu untuk berkata. Hanya mengulum senyum simpul, sangat khas dan sering terlihat pada remaja puber kaya’ gue.
Dia sendiri sebenarnya sudah tahu apa yang ingin gue katakan, dan seakan menanti kata-kata itu. Tapi, gue tetap diam. “ada apa yaz, katanya ada yang mau diomongin”. Untuk waktu yang cukup lama dia menunggu, dan akhirnya berlalu dari hadapanku.
Mengingat kejadian itu, gue jadi tau. Ternyata sikap beku gue sudah mulai tampak dari pengalaman cinta pertama, yang gue herankan kenapa sikap itu muncul berbarengan dengan mimpi-mimpi gue yang selalu memuja dan mencari cinta sejati.
Sejak saat itu, dia engga’ pernah mau nerima surat gue, engga’ ngangkat telpon gue, apalagi ketemu. Hingga kemudian, gue akhirnya harus pergi untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di lain daerah. Sebelum pergi, emang pernah sekali berjumpa denganya. Dia sempat bertanya, tapi gue yang bodoh tetap menjawab seadanya, tanpa basa-basi ucapan perpisahan, apalagi harapan untuk berjumpa lagi.
Gue emang bodoh, seandainya saja waktu itu gue bisa bersikap lebih perhatian, mungkin sikap seperti itu akan keterusan sampai kini, dan iyas yang sekarang bukanlah seorang iyas yang takut mengungkapkan cinta. Sejak kejadian itu, si gadis bersama keluarganya pun tidak lama kemudian harus pindah ke daerah di pulau Jawa, mengikuti tugas dinas sang ayah yang merupakan seorang komandan TNI.
Menceritakan kehidupan ku yang sekarang, aku adalah seorang mahasiswa di sebuah universitas swasta yang terletak di pulau Jawa. Dan secara kebetulan aku kembali berjumpa dengan gadis itu, meski hanya lewat jalur dunia maya. Tapi, jodoh siapa yang tau ?. Dia adalah first love gue, dan cinta pertama sulit untuk dilupakan.
Aku melihat dengan mata kepala sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.
Aku dibesarkan di desa ini, semenjak berusia 5 tahun hingga menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Selanjutnya untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan atas, aku harus pindah ke kabupaten lain meski masih satu daratan dengan desa tempat tinggal gue terdahulu.
Pernahkah kalian mengalami pristiwa yang dapat membuat kalian semua sadar bahwa hidup di dunia ini benar-benar sementara. Yang saya maksudkan disini, bukan seperti kutipan khotbah seorang oleh alim ulama atau kata-kata bijak tentang kematian. Tetapi lebih kepada suatu peristiwa yang dialami sendiri.
Pristiwa seperti itu pernah terjadi dalam hidupku, kejadian traumatik yang sekaligus menandai langkah pertamaku, ketika ingin mencoba hidup mandiri. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempatku melanjutkan sekolah.
Diawali dengan kisahku bersama beberapa orang sahabat yang tidak pernah terlupakan. Kami dibesarkan bersama semenjak kecil, pertambahan usia menjadikan pertemanan kami itu menjadi semakin akrab. Persahabatan kami, meleburkan berbagai kepribadian yang berbeda menjadi satu, kami membaur dalam solidaritas, tertawa dan menangis bersama, disertai aksi hura-hura sewajarnya yang mengisi usia remaja kami.
Diantara beberapa orang sahabatku tersebut, dia lah salah satu sahabat yang akan ku ceritakan dalam kisah ini. Menjadi sosok tidak terlupakan, karena takdir telah menggariskan kisah akhir hidupnya bertautan dengan pengalaman traumatik yang harus kulalui dalam hidup.
Hari itu, kami sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempat harapan kami melanjutkan sekolah. Menyebrang ke kabupaten lain dan meninggalkan desa rantauan, tempat kami dibesarkan bersama.
Duduk bersebelahan dalam bis antar kota reot yang penuh sesak. Tercium berbagai aroma tubuh penumpang, yang dijubeli dengan macam-macam barang yang kami bawa. Sebenarnya, kami sudah terbiasa dengan keadaan ini, karena memang seperti itu jika berpergian menggunakan bis di daerah.
Bahkan bukanlah hal yang mengejutkan bagi jiwa remaja pemberani seperti kami, jika terlihat ada sebagian penumpang yang memilih duduk di atas bagasi bis. Kecuali menciutkan nyali mereka-mereka yang baru tahu bagaimana situasi jalanan yang berlubang dan terjal di daerah itu, bis harus mengitari perbukitan yang dikelilingi jurang-jurang curam. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh sejam menjadi beberapa jam, karena situasi jalanan yang tidak mendukung. Seperti itulah keadaan transportasi di daerah itu.
Memang hanya kata pemberani yang pantas disematkan, termasuk pada sahabatku yang satu itu. Dikarenakan gerah dan tidak betah duduk bersesak-sesak, dia mengajakku untuk pindah ke atas bagasi bis. Terhenyak ketika mendengar ajakanya, mungkin aku memang engga’ pantas dibilang sepemberani atau sekonyol dia, karena seumur hidup belum pernah melakukan aksi gila itu.
Niatnya pun tidak tercapai, karena aku melarangnya.
Selama perjalanan, bis yang kami tumpangi beberapa kali mengalami kerusakan. Beberapa kali juga penumpang harus turun dan menunggu hingga bis dapat berangkat kembali.
Sekarang, adalah yang ketiga kalinya bis ini mogok. Sambil menunggu, kami berdua duduk di pinggir jalan dan ngobrol ngalur-ngidul. Obrolan yang terjadi lebih banyak menceritakan tentang keluarga, dan tentu saja kami dan sahabat-sahabatnya.
Jika saja aku bisa membaca masa depan, seharusnya kala itu tahu, bahwa ada tanda yang ditunjukkan.
Hari itu, dia keliatan beda dibandingkan hari-hari lainya. Kecerian dan gaya bicara yang ditunjukkan, seperti tidak pernah terlihat sebelumnya, apalagi dia yang kukenal adalah seorang sahabat yang pendiam. Intinya, aku tidak menyadari sikapnya yang tiba-tiba asing di hadapanku. Seharusnya jelas kulihat matanya ketika berbicara waktu itu, hanyalah tatapan yang hampa.
Ketika sedang santai dalam obrolan ngalor-ngidul itu, beberapa penumpang terlihat ada yang berpindah ke bis yang lain, kebetulan ada beberapa bis berikutnya yang lewat dan mempunyai jurusan yang searah. Hal tersebut menerbitkan gagasan pada sahabatku tersebut, dia ingin turut pindah ke bis yang lain dan menyampaikan usul tersebut kepada diriku.
Setelah sesaat berpikir, akupun setuju. Karena jarak yang harus kami tempuh untuk sampai ke daerah tujuan memang masih jauh, sedangkan hari hampir malam dan aku belum menyiapkan apapun untuk besok pagi dihari pertama masuk sekolah .
Bis naas itu akhirnya lewat di samping kami, tanpa pikir panjang dia langsung menyetopnya. Aku pun bergegas mengemasi barang-barang bawaan. Dalam waktu sekejab, semua barang sudah dipindahkan ke atas bagasi bis.
Tapi, di luar perkiraanku, ruangan dalam bis tidak lagi cukup untuk dijubeli tubuh kami berdua. Ide berani sekaligus konyol itu tiba-tiba terbayang lagi dalam otaknya, dia segera menyuruhku naik ke atas bagasi, tanpa meminta lagi persetujuan seperti sebelumnya. Aku memang tidak bisa membantah apa-apa dalam keadaan seperti ini.
Bis tumpangan kedua kami ini pun segera melanjutkan perjalanan.
Tapi, syukurnya aku masih punya cara lain, walaupun tetap setali tiga uang dengan usul sahabatku tersebut. Yaitu, bukan duduk di atas bagasi, tetapi bergelantungan pada besi di belakang bis. Mungkin dari ide itu, malah aku yang lebih pantas dibilang gila, karena perjalanan yang harus ditempuh adalah selama 3 jam, dan apakah aku sanggup bergelantungan di belakang bis selama perjalanan.
Sang sahabat, hanya menertawakan kebodohanku dari atas bagasi. Dia memandang geli padaku yang sedang bergelantungan, sambil mengumpat sumpah serapah. Tak apalah, mungkin saja akan ada penumpang yang turun nanti, dan kami berdua akan mendapatkan tempat di dalam bis. Yang penting, semoga tidak terjadi apapun pada kami berdua.
Ternyata, terjadi kesalahan dalam harapan itu.
Supir baru saja sebentar mengemudikan bis. Kalaupun di depan ada tikungan, tapi bukanlah kelokan yang tajam. Laju bis waktu itu, juga tidak begitu kencang.
Tapi, yang namanya takdir, tidak ada yang dapat menolaknya.
Pada saat bis menikung pelan di tikungan, aku mendengar ada suara beberapa benda yang terjatuh dari atas bagasi. Setelah kucoba cari sumber suara itu, ternyata hanyalah beberapa tas milik penumpang yang jatuh bergulingan. Tapi, setelah kuperhatikan lagi secara seksama, ternyata diantaranya adalah tas miliku juga. Sesaat kemudian, supir pun menghentikan bis untuk melihat keadaan.
Tapi, kenapa tiba-tiba pemuda yang ikut bergelantungan di sampingku menjerit. Aku tersentak, ada apa gerangan ?. Pandanganku menuju ke atas bagasi, dimana dia? Sahabatku itu…
“Kenapa kau diam saja, bukankah itu teman mu”. Astaga, Ya Allah, ternyata suara yang paling keras kudengar tadi adalah bunyi tubuh sahabatku yang terjatuh dari atas bagasi. Dia terkapar di samping jalan raya, tubuhnya sedikit tetutup oleh semak-semak, pantas saja aku sama sekali tidak memperhatikanya.
Segera ku susul kerumunan para penumpang yang sudah mulai ramai mengelilingi tubuhnya. Tidak terlihat percikan darah disitu, hanya ada sedikit luka di lengan kananya. Tapi, bagaimana mungkin, bukankah posisi dia terjatuh cukup tinggi, meskipun bis masih melaju dengan kecepatan pelan.
Dia juga masih sadar dan dapat melihat kami mengelilinginya, bahkan menuturkan perlahan “Allah hu Akbar”.
Kejadian selanjutnya berlalu secepat mungkin. Sebagian penumpang diturunkan di jalanan. Aku dan beberapa orang mengangkat dia ke dalam bis, dalam jarak pandangan yang begitu dekat, waktu itu gue baru tahu kalau kepalanya pecah dan tanganya patah.
Supir memutar balik haluan kemudi, hendak mencari bantuan paramedis terdekat. Dan hanya aku, kondektur serta beberapa penumpang lain yang ikut serta dalam bis. Di dalam bis, suasana jadi mencekam, supir yang ketakutan malah semakin kencang mengemudikan bis, berharap cepat sampai di puskesmas terdekat dan sahabatku bisa cepat tertolong.
Kondektur membantu menenangkan sahabatku yang sedang mengerang kesakitan, memang tidak ada yang bisa kami perbuat selain mengupayakan agar pendarahan di kepalanya tidak semakin parah. Sambil memegang pergelangan tanganya yang patah, aku mendengar lagi bisik istighfar yang terucap dari mulutnya. Sesekali dia mengerang dan memanggil nama ibunya.
Dia sudah terbaring di salah satu kamar yang ada dalam puskesmas kecil ini. Lengannya yang patah sudah digips. Suasana hatiku semakin mencekam, apalagi setelah sahabat ku itu selesai dibius. Rambutnya digunduli, kepalanya yang bocor harus dijahit. Dan ketika dijahit, kulit kepala itu terlihat seperti kain yang lunak. Kejadian yang ku lihat dengan mata kepala sendiri, adalah juga pertama kali seumur hidupku.
Pergelangan tanganya yang satu lagi masih kupegang, sedang tertancap selang infus yang harus selalu diawasi letaknya.
Tidak ada siapa-siapa lagi di kamar ini. Hanya aku dan dia yang sedang terkapar di kasur pesakitan, terlelap karena bius penahan sakit. Entah kemana orang-orang itu, supir dan kondektur seperti lepas tanggung jawab, penumpang-penumpang yang ikut serta dalam bis tadi sudah tidak lagi ikut campur. Aku ditinggalkan sendiri, bahkan satu-satunya dokter di puskesmas sederhana ini, pulang beristirahat ke rumahnya. Hanya perawat yang sesekali datang menengok keadaan, satu dua orang warga masyarakat kampung yang ingin tau, hanya mengintip dari luar jendela.
Engga’ terasa hari sudah malam, perut gue engga’ terasa lapar meski belum terisi sama sekali. Satu-demi satu warga masyarakat berdatangan, kini mereka benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Penumpang, supir dan kondektur juga kembali hadir, meski hanya melihat dari jauh.
Di ruangan kecil ini, kami berdua ramai dikelilingi orang-orang, tetapi yang terasa masih sama, hanya sunyi mencekam. Tatapan dan perasaan ku benar-benar hampa. Ada suara bisik-bisik dibelakang yang sama sekali tidak kuperdulikan, apalagi topik yang mereka bicarakan jika tidak jauh dari tanya tentang aku dan sahabat yang malang ini.
Tetap saja aku tertunduk dan tidak jelas melihat wajah-wajah mereka yang ada di sekelilingku. Sempat seorang gadis mengalungkan selendangnya ke leherku, seakan peduli akan cuaca dingin yang tambah menusuk tubuh.
Tepat pukul satu dini hari. Suasana ruangan ini semakin ramai dengan suara dan orang yang semakin berdatangan, diantaranya ada yang mengaku dari kepolisian atau pemilik dari bis naas itu. Tapi apakah sudah ada orang yang mengabari keluarga kandung dari sahabat gue itu ?. Pastilah orang itu harus berusaha cukup kuat agar tega mengabarkan berita ini pada seorang Ibu.
Seorang ibu mana yang dapat percaya begitu saja bahwa anaknya telah terkapar tak sadarkan diri, sedangkan pagi tadi masih sempat berbincang sebelum berpamitan hendak pergi. Pagi tadi, di hati Ibu itu masih terselip harapan agar suatu hari kelak anaknya dapat berhasil. Nasehat tulus dan doa pagi tadi, adalah sama seperti hari-hari sebelumnya ketika anaknya itu hendak pamit, nak berhati-hatilah di jalan.
Bertambah ngeri aku membayangkan, tubuh seorang ibu yang telah lemah, sekonyong-konyong menjadi tambah kaku yang seakan mati berdiri, ketika mendengar kabar tragis tentang anaknya. Tidak sanggup lagi aku membayangkanya lebih jauh, …
Dan……
Tepat pukul tiga pagi, aku tersadar dari kantuk. Ternyata sudah sekitar dua jam tertidur, dan tetap pada posisi yang sama di tempat dudukku. Mungkin sedari tadi, aku menjadi tontonan iba mereka-mereka yang ada di ruangan ini.
Terdengar isak tangis seorang gadis dibelakangku, dia yang tadi bersedia menyerahkan selendangnya sebagai penghangat tubuhku. Kedua mata sembabnya terus saja melihat wajahku, sekan begitu tersentuh akan kejadian ini.
Tapi, aku tetap membalasnya dengan tatapan kosong tanpa arti. Tidak ada sama sekali pikiran untuk merasa tersanjung atas sikapku yang mungkin dianggap pahlawan hari ini, karena untuk coba berkata sepatah saja tidak sanggup. Aku benar-banar tidak mengerti akan apa yang kurasakan saat itu.
Sudah pasti aku begitu sedih, tapi sama sekali tidak ingin menangis. Aku sangat takut, bahkan seandainya bisa ingin lari dari kejadian ini. Pikiranku benar-benar kosong, seperti tidak terjadi apa-apa, tapi sekaligus tidak tau apa yang mesti dilakukan. Mungkin itu yang dinamakan kegalauan hati, remuk redam dengan tingkat stadium paling tinggi, akhirnya pernah juga aku merasakan itu.
Bius yang disuntikan ke tubuh sahabatku itu adalah yang dossisnya cukup tinggi. Karena dia harus menahan rasa sakit di bagian kepala yang sangat tidak tertahankan. Paling tidak esok siang, kadar dari bus itu akan berkurang.
Akan tetapi, kejadian yang terjadi kemudian membuat seluruh orang yang hadir di ruangan itu terperangah.
Tubuhnya yang sedang terbius dan lemah, seharusnya sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuh, apalagi untuk sadar, bangkit dan duduk. Tetapi dia mengagetkan semua kami dengan tiba-tiba bangkit dari tidurnya, rasa kantuk ku yang tidak tertahankan langsung sirna melihat kejadian itu.
Seperti akan melonjak, aku bangkit dari dudukku, dan berusaha merebahkan dia kembali ke tempat tidur. Kepalanya kembali mengeluarkan darah, menambah rasa takut dan ngeri yang sudah tidak bisa ditakar lagi tingkat stadiumnya.
Dalam kesadaran yang ganjil dan tiba-tiba itu, dia tidak berkata apa-apa. Tetapi cukup menyiratkan tanda melalui tatapan tajamnya, kedua bola matanya seperti liar melihat keseliling manusia yang ada di ruangan. Orang yang pertama dilihatnya adalah diriku, kemudian sekeliling, dan terakhir mengarah pada diriku lagi.
Tenagaku yang masih tersisa, tentunya masih lebih kuat untuk merebahkan dia ke tempat tidur, tetapi kenapa aku tidak sanggup melakukanya ?.
Dia kembali tenang setelah melihatku, dan dapat berbaring sendiri seperti orang yang hendak tidur. Tapi kemudian, muncul reaksi aneh lainya. Tubuhnya yang sedang berbaring, terlonjak ke atas. Seperti ada yang menekan dadanya berulang-ulang, nafasnya tersengal-sengal begitu kencang namun teratur, kejadian itu terjadi beberapa kali.
Aku dan orang-orang disekitar, termasuk perawat tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, kami hanya bisa memegangi tubuhnya sambil berusaha menenangkan. Sesaat kemudian, suasana memang kembali hening, benar-benar hening.
Keringat tubuhku mengucur keras, seperti habis melakukan olaharaga berat. Perlahan napas ku yang tadi juga tersengal, kembali teratur. Aku mulai kembali tenang dan duduk pada posisi semula. Tangan sahabat malang ku itu masih kugenggam, letak infusnya tetap benar, tidak ada kesalahan yang terjadi karena aku benar-benar mengawasi dengan cermat apa yang harus kulakukan sedari tadi.
Tapi,Ya Allah, kenapa genggaman ku sekarang terasa dingin. Apakah karena akan menjelang pagi, cuaca dingin dari luar menyerang masuk ke dalam ruangan ?. Bukan, bukan karena itu, tangan sahabat ku itu yang tiba-tiba menjadi dingin, benar-benar dingin seperti mulai membeku. Ada apa ini ?
Aku berteriak memanggil perawat, dia pun berlari ke arah ku sambil memegang stetoskop. Dengan segera ujung stetoskp itu diletakkan ke dada sahabatku, dalam selang beberapa detik hal itu terjadi.
Setelah itu, kemudian?.
Perawat menyuruhku untuk melepas genggaman yang masih erat pada tangan sahabatku.
Ternyata, takdir sahabatku telah terjawab. Pada saat genggamanku tadi terasa dingin, ketika itulah dia pergi untuk selama-lamanya. Dan tanda-tanda kesadaran aneh yang ditampakkan sebelumnya, itu adalah sakratul maut yang harus dilewati setiap manusia yang akan menjelang ajal.
Aku hanyalah seorang remaja berusia 15 tahun. Pengetahuan agamaku waktu itu masih sangat dangkal. Tapi kemudian, di usia semuda ini, aku harus mengalami pristiwa luar biasa yang sudah tergaris dalam takdir hidupku. Sebelumnya, pristiwa seperti itu sama sekali tidak terpikirkan oleh jiwa remaja ku yang masih dekat dengan hal-hal duniawi.
Aku melihat dengan mata kepala sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.
Pernahkah kalian mengalami pristiwa yang dapat membuat kalian semua sadar bahwa hidup di dunia ini benar-benar sementara. Yang saya maksudkan disini, bukan seperti kutipan khotbah seorang oleh alim ulama atau kata-kata bijak tentang kematian. Tetapi lebih kepada suatu peristiwa yang dialami sendiri.
Pristiwa seperti itu pernah terjadi dalam hidupku, kejadian traumatik yang sekaligus menandai langkah pertamaku, ketika ingin mencoba hidup mandiri. Waktu itu aku sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempatku melanjutkan sekolah.
Diawali dengan kisahku bersama beberapa orang sahabat yang tidak pernah terlupakan. Kami dibesarkan bersama semenjak kecil, pertambahan usia menjadikan pertemanan kami itu menjadi semakin akrab. Persahabatan kami, meleburkan berbagai kepribadian yang berbeda menjadi satu, kami membaur dalam solidaritas, tertawa dan menangis bersama, disertai aksi hura-hura sewajarnya yang mengisi usia remaja kami.
Diantara beberapa orang sahabatku tersebut, dia lah salah satu sahabat yang akan ku ceritakan dalam kisah ini. Menjadi sosok tidak terlupakan, karena takdir telah menggariskan kisah akhir hidupnya bertautan dengan pengalaman traumatik yang harus kulalui dalam hidup.
Hari itu, kami sedang dalam perjalanan menuju daerah yang akan menjadi tempat harapan kami melanjutkan sekolah. Menyebrang ke kabupaten lain dan meninggalkan desa rantauan, tempat kami dibesarkan bersama.
Duduk bersebelahan dalam bis antar kota reot yang penuh sesak. Tercium berbagai aroma tubuh penumpang, yang dijubeli dengan macam-macam barang yang kami bawa. Sebenarnya, kami sudah terbiasa dengan keadaan ini, karena memang seperti itu jika berpergian menggunakan bis di daerah.
Bahkan bukanlah hal yang mengejutkan bagi jiwa remaja pemberani seperti kami, jika terlihat ada sebagian penumpang yang memilih duduk di atas bagasi bis. Kecuali menciutkan nyali mereka-mereka yang baru tahu bagaimana situasi jalanan yang berlubang dan terjal di daerah itu, bis harus mengitari perbukitan yang dikelilingi jurang-jurang curam. Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh sejam menjadi beberapa jam, karena situasi jalanan yang tidak mendukung. Seperti itulah keadaan transportasi di daerah itu.
Memang hanya kata pemberani yang pantas disematkan, termasuk pada sahabatku yang satu itu. Dikarenakan gerah dan tidak betah duduk bersesak-sesak, dia mengajakku untuk pindah ke atas bagasi bis. Terhenyak ketika mendengar ajakanya, mungkin aku memang engga’ pantas dibilang sepemberani atau sekonyol dia, karena seumur hidup belum pernah melakukan aksi gila itu.
Niatnya pun tidak tercapai, karena aku melarangnya.
Selama perjalanan, bis yang kami tumpangi beberapa kali mengalami kerusakan. Beberapa kali juga penumpang harus turun dan menunggu hingga bis dapat berangkat kembali.
Sekarang, adalah yang ketiga kalinya bis ini mogok. Sambil menunggu, kami berdua duduk di pinggir jalan dan ngobrol ngalur-ngidul. Obrolan yang terjadi lebih banyak menceritakan tentang keluarga, dan tentu saja kami dan sahabat-sahabatnya.
Jika saja aku bisa membaca masa depan, seharusnya kala itu tahu, bahwa ada tanda yang ditunjukkan.
Hari itu, dia keliatan beda dibandingkan hari-hari lainya. Kecerian dan gaya bicara yang ditunjukkan, seperti tidak pernah terlihat sebelumnya, apalagi dia yang kukenal adalah seorang sahabat yang pendiam. Intinya, aku tidak menyadari sikapnya yang tiba-tiba asing di hadapanku. Seharusnya jelas kulihat matanya ketika berbicara waktu itu, hanyalah tatapan yang hampa.
Ketika sedang santai dalam obrolan ngalor-ngidul itu, beberapa penumpang terlihat ada yang berpindah ke bis yang lain, kebetulan ada beberapa bis berikutnya yang lewat dan mempunyai jurusan yang searah. Hal tersebut menerbitkan gagasan pada sahabatku tersebut, dia ingin turut pindah ke bis yang lain dan menyampaikan usul tersebut kepada diriku.
Setelah sesaat berpikir, akupun setuju. Karena jarak yang harus kami tempuh untuk sampai ke daerah tujuan memang masih jauh, sedangkan hari hampir malam dan aku belum menyiapkan apapun untuk besok pagi dihari pertama masuk sekolah .
Bis naas itu akhirnya lewat di samping kami, tanpa pikir panjang dia langsung menyetopnya. Aku pun bergegas mengemasi barang-barang bawaan. Dalam waktu sekejab, semua barang sudah dipindahkan ke atas bagasi bis.
Tapi, di luar perkiraanku, ruangan dalam bis tidak lagi cukup untuk dijubeli tubuh kami berdua. Ide berani sekaligus konyol itu tiba-tiba terbayang lagi dalam otaknya, dia segera menyuruhku naik ke atas bagasi, tanpa meminta lagi persetujuan seperti sebelumnya. Aku memang tidak bisa membantah apa-apa dalam keadaan seperti ini.
Bis tumpangan kedua kami ini pun segera melanjutkan perjalanan.
Tapi, syukurnya aku masih punya cara lain, walaupun tetap setali tiga uang dengan usul sahabatku tersebut. Yaitu, bukan duduk di atas bagasi, tetapi bergelantungan pada besi di belakang bis. Mungkin dari ide itu, malah aku yang lebih pantas dibilang gila, karena perjalanan yang harus ditempuh adalah selama 3 jam, dan apakah aku sanggup bergelantungan di belakang bis selama perjalanan.
Sang sahabat, hanya menertawakan kebodohanku dari atas bagasi. Dia memandang geli padaku yang sedang bergelantungan, sambil mengumpat sumpah serapah. Tak apalah, mungkin saja akan ada penumpang yang turun nanti, dan kami berdua akan mendapatkan tempat di dalam bis. Yang penting, semoga tidak terjadi apapun pada kami berdua.
Ternyata, terjadi kesalahan dalam harapan itu.
Supir baru saja sebentar mengemudikan bis. Kalaupun di depan ada tikungan, tapi bukanlah kelokan yang tajam. Laju bis waktu itu, juga tidak begitu kencang.
Tapi, yang namanya takdir, tidak ada yang dapat menolaknya.
Pada saat bis menikung pelan di tikungan, aku mendengar ada suara beberapa benda yang terjatuh dari atas bagasi. Setelah kucoba cari sumber suara itu, ternyata hanyalah beberapa tas milik penumpang yang jatuh bergulingan. Tapi, setelah kuperhatikan lagi secara seksama, ternyata diantaranya adalah tas miliku juga. Sesaat kemudian, supir pun menghentikan bis untuk melihat keadaan.
Tapi, kenapa tiba-tiba pemuda yang ikut bergelantungan di sampingku menjerit. Aku tersentak, ada apa gerangan ?. Pandanganku menuju ke atas bagasi, dimana dia? Sahabatku itu…
“Kenapa kau diam saja, bukankah itu teman mu”. Astaga, Ya Allah, ternyata suara yang paling keras kudengar tadi adalah bunyi tubuh sahabatku yang terjatuh dari atas bagasi. Dia terkapar di samping jalan raya, tubuhnya sedikit tetutup oleh semak-semak, pantas saja aku sama sekali tidak memperhatikanya.
Segera ku susul kerumunan para penumpang yang sudah mulai ramai mengelilingi tubuhnya. Tidak terlihat percikan darah disitu, hanya ada sedikit luka di lengan kananya. Tapi, bagaimana mungkin, bukankah posisi dia terjatuh cukup tinggi, meskipun bis masih melaju dengan kecepatan pelan.
Dia juga masih sadar dan dapat melihat kami mengelilinginya, bahkan menuturkan perlahan “Allah hu Akbar”.
Kejadian selanjutnya berlalu secepat mungkin. Sebagian penumpang diturunkan di jalanan. Aku dan beberapa orang mengangkat dia ke dalam bis, dalam jarak pandangan yang begitu dekat, waktu itu gue baru tahu kalau kepalanya pecah dan tanganya patah.
Supir memutar balik haluan kemudi, hendak mencari bantuan paramedis terdekat. Dan hanya aku, kondektur serta beberapa penumpang lain yang ikut serta dalam bis. Di dalam bis, suasana jadi mencekam, supir yang ketakutan malah semakin kencang mengemudikan bis, berharap cepat sampai di puskesmas terdekat dan sahabatku bisa cepat tertolong.
Kondektur membantu menenangkan sahabatku yang sedang mengerang kesakitan, memang tidak ada yang bisa kami perbuat selain mengupayakan agar pendarahan di kepalanya tidak semakin parah. Sambil memegang pergelangan tanganya yang patah, aku mendengar lagi bisik istighfar yang terucap dari mulutnya. Sesekali dia mengerang dan memanggil nama ibunya.
Dia sudah terbaring di salah satu kamar yang ada dalam puskesmas kecil ini. Lengannya yang patah sudah digips. Suasana hatiku semakin mencekam, apalagi setelah sahabat ku itu selesai dibius. Rambutnya digunduli, kepalanya yang bocor harus dijahit. Dan ketika dijahit, kulit kepala itu terlihat seperti kain yang lunak. Kejadian yang ku lihat dengan mata kepala sendiri, adalah juga pertama kali seumur hidupku.
Pergelangan tanganya yang satu lagi masih kupegang, sedang tertancap selang infus yang harus selalu diawasi letaknya.
Tidak ada siapa-siapa lagi di kamar ini. Hanya aku dan dia yang sedang terkapar di kasur pesakitan, terlelap karena bius penahan sakit. Entah kemana orang-orang itu, supir dan kondektur seperti lepas tanggung jawab, penumpang-penumpang yang ikut serta dalam bis tadi sudah tidak lagi ikut campur. Aku ditinggalkan sendiri, bahkan satu-satunya dokter di puskesmas sederhana ini, pulang beristirahat ke rumahnya. Hanya perawat yang sesekali datang menengok keadaan, satu dua orang warga masyarakat kampung yang ingin tau, hanya mengintip dari luar jendela.
Engga’ terasa hari sudah malam, perut gue engga’ terasa lapar meski belum terisi sama sekali. Satu-demi satu warga masyarakat berdatangan, kini mereka benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Penumpang, supir dan kondektur juga kembali hadir, meski hanya melihat dari jauh.
Di ruangan kecil ini, kami berdua ramai dikelilingi orang-orang, tetapi yang terasa masih sama, hanya sunyi mencekam. Tatapan dan perasaan ku benar-benar hampa. Ada suara bisik-bisik dibelakang yang sama sekali tidak kuperdulikan, apalagi topik yang mereka bicarakan jika tidak jauh dari tanya tentang aku dan sahabat yang malang ini.
Tetap saja aku tertunduk dan tidak jelas melihat wajah-wajah mereka yang ada di sekelilingku. Sempat seorang gadis mengalungkan selendangnya ke leherku, seakan peduli akan cuaca dingin yang tambah menusuk tubuh.
Tepat pukul satu dini hari. Suasana ruangan ini semakin ramai dengan suara dan orang yang semakin berdatangan, diantaranya ada yang mengaku dari kepolisian atau pemilik dari bis naas itu. Tapi apakah sudah ada orang yang mengabari keluarga kandung dari sahabat gue itu ?. Pastilah orang itu harus berusaha cukup kuat agar tega mengabarkan berita ini pada seorang Ibu.
Seorang ibu mana yang dapat percaya begitu saja bahwa anaknya telah terkapar tak sadarkan diri, sedangkan pagi tadi masih sempat berbincang sebelum berpamitan hendak pergi. Pagi tadi, di hati Ibu itu masih terselip harapan agar suatu hari kelak anaknya dapat berhasil. Nasehat tulus dan doa pagi tadi, adalah sama seperti hari-hari sebelumnya ketika anaknya itu hendak pamit, nak berhati-hatilah di jalan.
Bertambah ngeri aku membayangkan, tubuh seorang ibu yang telah lemah, sekonyong-konyong menjadi tambah kaku yang seakan mati berdiri, ketika mendengar kabar tragis tentang anaknya. Tidak sanggup lagi aku membayangkanya lebih jauh, …
Dan……
Tepat pukul tiga pagi, aku tersadar dari kantuk. Ternyata sudah sekitar dua jam tertidur, dan tetap pada posisi yang sama di tempat dudukku. Mungkin sedari tadi, aku menjadi tontonan iba mereka-mereka yang ada di ruangan ini.
Terdengar isak tangis seorang gadis dibelakangku, dia yang tadi bersedia menyerahkan selendangnya sebagai penghangat tubuhku. Kedua mata sembabnya terus saja melihat wajahku, sekan begitu tersentuh akan kejadian ini.
Tapi, aku tetap membalasnya dengan tatapan kosong tanpa arti. Tidak ada sama sekali pikiran untuk merasa tersanjung atas sikapku yang mungkin dianggap pahlawan hari ini, karena untuk coba berkata sepatah saja tidak sanggup. Aku benar-banar tidak mengerti akan apa yang kurasakan saat itu.
Sudah pasti aku begitu sedih, tapi sama sekali tidak ingin menangis. Aku sangat takut, bahkan seandainya bisa ingin lari dari kejadian ini. Pikiranku benar-benar kosong, seperti tidak terjadi apa-apa, tapi sekaligus tidak tau apa yang mesti dilakukan. Mungkin itu yang dinamakan kegalauan hati, remuk redam dengan tingkat stadium paling tinggi, akhirnya pernah juga aku merasakan itu.
Bius yang disuntikan ke tubuh sahabatku itu adalah yang dossisnya cukup tinggi. Karena dia harus menahan rasa sakit di bagian kepala yang sangat tidak tertahankan. Paling tidak esok siang, kadar dari bus itu akan berkurang.
Akan tetapi, kejadian yang terjadi kemudian membuat seluruh orang yang hadir di ruangan itu terperangah.
Tubuhnya yang sedang terbius dan lemah, seharusnya sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuh, apalagi untuk sadar, bangkit dan duduk. Tetapi dia mengagetkan semua kami dengan tiba-tiba bangkit dari tidurnya, rasa kantuk ku yang tidak tertahankan langsung sirna melihat kejadian itu.
Seperti akan melonjak, aku bangkit dari dudukku, dan berusaha merebahkan dia kembali ke tempat tidur. Kepalanya kembali mengeluarkan darah, menambah rasa takut dan ngeri yang sudah tidak bisa ditakar lagi tingkat stadiumnya.
Dalam kesadaran yang ganjil dan tiba-tiba itu, dia tidak berkata apa-apa. Tetapi cukup menyiratkan tanda melalui tatapan tajamnya, kedua bola matanya seperti liar melihat keseliling manusia yang ada di ruangan. Orang yang pertama dilihatnya adalah diriku, kemudian sekeliling, dan terakhir mengarah pada diriku lagi.
Tenagaku yang masih tersisa, tentunya masih lebih kuat untuk merebahkan dia ke tempat tidur, tetapi kenapa aku tidak sanggup melakukanya ?.
Dia kembali tenang setelah melihatku, dan dapat berbaring sendiri seperti orang yang hendak tidur. Tapi kemudian, muncul reaksi aneh lainya. Tubuhnya yang sedang berbaring, terlonjak ke atas. Seperti ada yang menekan dadanya berulang-ulang, nafasnya tersengal-sengal begitu kencang namun teratur, kejadian itu terjadi beberapa kali.
Aku dan orang-orang disekitar, termasuk perawat tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, kami hanya bisa memegangi tubuhnya sambil berusaha menenangkan. Sesaat kemudian, suasana memang kembali hening, benar-benar hening.
Keringat tubuhku mengucur keras, seperti habis melakukan olaharaga berat. Perlahan napas ku yang tadi juga tersengal, kembali teratur. Aku mulai kembali tenang dan duduk pada posisi semula. Tangan sahabat malang ku itu masih kugenggam, letak infusnya tetap benar, tidak ada kesalahan yang terjadi karena aku benar-benar mengawasi dengan cermat apa yang harus kulakukan sedari tadi.
Tapi,Ya Allah, kenapa genggaman ku sekarang terasa dingin. Apakah karena akan menjelang pagi, cuaca dingin dari luar menyerang masuk ke dalam ruangan ?. Bukan, bukan karena itu, tangan sahabat ku itu yang tiba-tiba menjadi dingin, benar-benar dingin seperti mulai membeku. Ada apa ini ?
Aku berteriak memanggil perawat, dia pun berlari ke arah ku sambil memegang stetoskop. Dengan segera ujung stetoskp itu diletakkan ke dada sahabatku, dalam selang beberapa detik hal itu terjadi.
Setelah itu, kemudian?.
Perawat menyuruhku untuk melepas genggaman yang masih erat pada tangan sahabatku.
Ternyata, takdir sahabatku telah terjawab. Pada saat genggamanku tadi terasa dingin, ketika itulah dia pergi untuk selama-lamanya. Dan tanda-tanda kesadaran aneh yang ditampakkan sebelumnya, itu adalah sakratul maut yang harus dilewati setiap manusia yang akan menjelang ajal.
Aku hanyalah seorang remaja berusia 15 tahun. Pengetahuan agamaku waktu itu masih sangat dangkal. Tapi kemudian, di usia semuda ini, aku harus mengalami pristiwa luar biasa yang sudah tergaris dalam takdir hidupku. Sebelumnya, pristiwa seperti itu sama sekali tidak terpikirkan oleh jiwa remaja ku yang masih dekat dengan hal-hal duniawi.
Aku melihat dengan mata kepala sendiri, kematian datang menjemput sahabatku.
Kisah lampau ku yang kelam
Aku akhirnya jadi pindah ke kabupaten lain untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, sekolah teknik menengah yang menjadi pilihanku. Sebelumnya, aku sempat mencoba mendaftarkan diri di sekolah SMU Taruna Magelang, hanya saja takdir menentukan lain, cuma lolos uji coba sampai tingkat kabupaten dan gagal di tingkat provinsi. Hal itu juga merupakan salah satu pristiwa kegagalan yang cukup membekas di relung hati.
Namun, kisah lain yang ingin kuceritain disini adalah bagaimana kehidupanku selanjutnya, ketika mencoba hidup mandiri dan jauh dari keluarga. Sudah kuceritakan, sebelum menginjakkan kaki pertama kali di daerah ini, aku juga mengalami kejadian traumatik bersama sahabatku, dia yang telah tenang di alam sana.
Kata orang, masa SMA adalah masa yang tidak akan terlupakan. Jika yang dimaksudkan disini mengenai perkara cinta, ternyata aku mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutku masa SMP lah masa yang tidak mungkin terlupakan, karena di saat itulah aku temukan cinta pertama. Sedangkan, bagaimana akan ku temui indahnya masa SMA, jika sekolahan yang menjadi pilihanku adalah STM. Meskipun tetap ada beberapa kisah romansa yang akan kuceritakan di lain waktu nanti.
Kalo saja waktu itu aku tahu, masa SMA benar-benar indah, ingin ku ulang waktu untuk mengubah keputusan yang telah kupilih. Tapi itu pun hanya perandaian…
Jauh dari orang tua, membuat aku harus banyak belajar tentang hidup mandiri. Segala sesuatunya harus dilakukan sendiri. Termasuk membimbing dan mengatur diri untuk kebaikan sendiri.
Sebelumnya, aku termasuk orang yang memilih-milih dalam berteman, walaupun dalam kenyataanya semua temanku tetaplah siapa saja. Dan dengan pindah ke daerah asing ini, membuat akupun harus memulai hidup yang baru, serta berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya. Mungkin di saat itulah, kemampuan menyesuaikan diriku akan diuji.
Memang sempat bingung untuk memulainya, sedangkan aku hanyalah seorang remaja yang berasal dari desa terpencil. Belum mengerti kebiasaan dan adat remaja-remaja seperti mereka yang lebih ‘kota’, cara berbicara dan pergaulan mereka pun berbeda denganku.
Akhirnya selama beberapa bulan, aku sepi di kota ini. Hanya segelintir orang yang menjadi teman, itupun datang dan pergi. Untuk mengurangi rasa sepi, ku sempatkan diri mengikuti kegiatan olahraga beladiri Karate dan Taekwondo.
Waktu pun terus berlalu, tidak terasa sudah setahun di kota ini. Sekarang aku duduk di bangku kelas 2 STM, dan aku yang sekarang sudah mempunyai banyak teman. Berbagai aktifitas yang kuikuti ternyata sangat bermanfaat, itu adalah ajang bagi ku untuk menunjukan kepercayaan diri dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Kepercayaan diri dalam bergaul itu pun terbawa sampai di sekolah, semua siswa mengenal ku sebagai anak yang supel dalam bergaul.
Tapi, ada dampak fatal dari semuanya itu. Inilah sisi perubahan lain yang cukup membentuk kepribadianku di masa depan.
Semenjak SD, aku selalu bercita-cita untuk menjadi anggota TNI. Tubuh dan kesehatan selalu dijaga, aku benci asap rokok apalagi minuman keras. Cita-citaku memang telah pupus bersamaan dengan kegagalan untuk masuk ke SMA Taruna, tapi hal itu tidak merubah pandangan ku tentang olahraga dan kesehatan.
Sayangnya, pergaulan secara perlahan turut merubah pemikiranku tersebut. Mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu berlebih, sehingga aku termakan sendiri oleh pergaulan.
Saat-saat itu, kehidupanku sebagai seorang anak muda mulai teruji. Aku mulai menjadi perokok, bahkan ditambah perkenalanku terhadap moke, sejenis arak yang merupakan minuman memabukkan khas daerah tersebut. Semakin bergaul, kebiasaan baruku itu semakin parah. Jika sebelumnya aku sekedar mencoba, akhirnya menjadi suka dan tidak bisa lepas dari racun-racun itu.
Bola mataku terlihat sayu di kala pagi. Jarang kunikmati segarnya bangun pagi, karena sering waktu tidur malam ku hanyalah sekitar dua jam, atau terkadang tidak tidur sama sekali. Dalam keadaan seperti itu, tubuh ini masih setengah sadar dan sedikit oleng ketika berjalan. Kejadian itu yang sering kualami ketika hendak berangkat ke sekolah. Karena semalaman menyempatkan diri begadang bersama sekelompok teman-teman, apalagi kalau bukan bermabuk-mabukan.
Kejadian itu terus berlangsung selama aku bersekolah di daerah itu, karena seperti itu juga lingkungan mengajarkanku. Di sana, meminum moke termasuk kebiasaan atau adat masyarakat. Dan kehidupan yang kujalani waktu itu adalah kehidupan anak kost-kostan yang tidak lepas dari hura-hura dan bersenang-senang, apalagi masalah keuanganku belum pernah terkendala.
Aku dijuluki raja mabuk oleh teman-teman dan lingkungan sekitar, karena tidak ada diantara mereka yang sanggup menandingi ku untuk minum-minuman keras. Apapun minuman yang mengandung alkohol kami tenggak, dan biasanya bukanlah yang berkadar ringan. Moke adalah arak tradisonal yang kadar alkoholnya tanpa batas dan ketika diminum rasanya seperti api, seakan membakar saluran kerongkongan orang yang meminumnya. Aku pun mepercayai mitos masyarakat sekitar yang mengatakan minuman seperti itu dianggap obat untuk tubuh, pabila rutin meminumnya dengan jumlah yang terbatas.
Tapi, aku rutin menegaknya dengan jumlah yang tidak terbatas. Dalam seminggu bisa sampai tiga atau empat kali, dan dalam sekali itu yang paling parah pernah dari pagi ke pagi lagi. Aku pun sanggup menghabiskan berbotol-botol sendiri.
Banyak sudah tingkah laku gila yang pernah kulakukan dikala sedang tidak sadar dan di bawah pengaruh minuman keras. Aku pernah tidur di emperan tokoh bahkan di pinggir jalan raya. Aku pernah masuk ke rumah orang tanpa izin dengan maksud menumpang tidur. Sempat hampir terjadi perkelahian besar yang dalam peristiwa tersebut nyaris perut ku ditikam teman sendiri.
Tempat terindah bagiku adalah pantai, yang sering menjadi tempat aku dan teman-teman berkumpul. Disuatu malam, aku pernah tertidur di pantai dalam keadaan mabuk dengan posisi tubuh membungkuk, setelah letih semalaman menceburkan diri ke laut. Di malam itu juga, aku berniat usil dan menghentikan sebuah mobil, yang ternyata di dalamnya ada beberapa orang polisi. Jika tidak karena kalah jumlah, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian pada diriku.
Kehidupan waktu aku adalah seorang pemabuk memang berantakkan, bahkan bertambah parah ketika aku kemudian harus terjerumus lebih jauh, mengenal daun-daun dan pil-pil laknat itu.
Meskipun kegiatan hari-hari lainya tetap kusahakan untuk terus berjalan. Jikalau tidak mabuk, aku tetap menjadi seorang anak muda yang pendiam dan ramah. Akupun tetap bergaul baik dengan masyarakat sekitar. Tetap sekolah, meskipun sesekali sudah mulai membolos. Masih aktif mengikuti olahraga beladiri karate dan taekwondo, yang entah kenapa staminaku masih cukup kuat untuk berolahraga.
Sekarang ini, sampai didetak jantung ku yang masih berdegup. Aku tetap hidup sebagai diriku sendiri, tetapi aku bukanlah seorang manusia yang dulu sempat salah paham dalam menemukan jati diri. Mungkin dulu, karena jiwa mudaku yang masih terombang-ambing oleh pergaulan. Tapi sekarang, selamat tinggal masa lalu, aku kan melangkah.
Aku tidak lagi memerlukan racun-racun itu untuk dapat membuat tenang dan melepaskan segala permasalahan di hati. Karena aku punya pedoman yang sebenarnya telah tersirat sebagai penunjuk jalan yang benar, Islam. Terimakasih juga buat kalian, semua kawan, yang tanpa kalian sadari membantu aku untuk berubah.
Namun, kisah lain yang ingin kuceritain disini adalah bagaimana kehidupanku selanjutnya, ketika mencoba hidup mandiri dan jauh dari keluarga. Sudah kuceritakan, sebelum menginjakkan kaki pertama kali di daerah ini, aku juga mengalami kejadian traumatik bersama sahabatku, dia yang telah tenang di alam sana.
Kata orang, masa SMA adalah masa yang tidak akan terlupakan. Jika yang dimaksudkan disini mengenai perkara cinta, ternyata aku mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutku masa SMP lah masa yang tidak mungkin terlupakan, karena di saat itulah aku temukan cinta pertama. Sedangkan, bagaimana akan ku temui indahnya masa SMA, jika sekolahan yang menjadi pilihanku adalah STM. Meskipun tetap ada beberapa kisah romansa yang akan kuceritakan di lain waktu nanti.
Kalo saja waktu itu aku tahu, masa SMA benar-benar indah, ingin ku ulang waktu untuk mengubah keputusan yang telah kupilih. Tapi itu pun hanya perandaian…
Jauh dari orang tua, membuat aku harus banyak belajar tentang hidup mandiri. Segala sesuatunya harus dilakukan sendiri. Termasuk membimbing dan mengatur diri untuk kebaikan sendiri.
Sebelumnya, aku termasuk orang yang memilih-milih dalam berteman, walaupun dalam kenyataanya semua temanku tetaplah siapa saja. Dan dengan pindah ke daerah asing ini, membuat akupun harus memulai hidup yang baru, serta berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya. Mungkin di saat itulah, kemampuan menyesuaikan diriku akan diuji.
Memang sempat bingung untuk memulainya, sedangkan aku hanyalah seorang remaja yang berasal dari desa terpencil. Belum mengerti kebiasaan dan adat remaja-remaja seperti mereka yang lebih ‘kota’, cara berbicara dan pergaulan mereka pun berbeda denganku.
Akhirnya selama beberapa bulan, aku sepi di kota ini. Hanya segelintir orang yang menjadi teman, itupun datang dan pergi. Untuk mengurangi rasa sepi, ku sempatkan diri mengikuti kegiatan olahraga beladiri Karate dan Taekwondo.
Waktu pun terus berlalu, tidak terasa sudah setahun di kota ini. Sekarang aku duduk di bangku kelas 2 STM, dan aku yang sekarang sudah mempunyai banyak teman. Berbagai aktifitas yang kuikuti ternyata sangat bermanfaat, itu adalah ajang bagi ku untuk menunjukan kepercayaan diri dan mencari teman sebanyak-banyaknya. Kepercayaan diri dalam bergaul itu pun terbawa sampai di sekolah, semua siswa mengenal ku sebagai anak yang supel dalam bergaul.
Tapi, ada dampak fatal dari semuanya itu. Inilah sisi perubahan lain yang cukup membentuk kepribadianku di masa depan.
Semenjak SD, aku selalu bercita-cita untuk menjadi anggota TNI. Tubuh dan kesehatan selalu dijaga, aku benci asap rokok apalagi minuman keras. Cita-citaku memang telah pupus bersamaan dengan kegagalan untuk masuk ke SMA Taruna, tapi hal itu tidak merubah pandangan ku tentang olahraga dan kesehatan.
Sayangnya, pergaulan secara perlahan turut merubah pemikiranku tersebut. Mungkin karena kepercayaan diri yang terlalu berlebih, sehingga aku termakan sendiri oleh pergaulan.
Saat-saat itu, kehidupanku sebagai seorang anak muda mulai teruji. Aku mulai menjadi perokok, bahkan ditambah perkenalanku terhadap moke, sejenis arak yang merupakan minuman memabukkan khas daerah tersebut. Semakin bergaul, kebiasaan baruku itu semakin parah. Jika sebelumnya aku sekedar mencoba, akhirnya menjadi suka dan tidak bisa lepas dari racun-racun itu.
Bola mataku terlihat sayu di kala pagi. Jarang kunikmati segarnya bangun pagi, karena sering waktu tidur malam ku hanyalah sekitar dua jam, atau terkadang tidak tidur sama sekali. Dalam keadaan seperti itu, tubuh ini masih setengah sadar dan sedikit oleng ketika berjalan. Kejadian itu yang sering kualami ketika hendak berangkat ke sekolah. Karena semalaman menyempatkan diri begadang bersama sekelompok teman-teman, apalagi kalau bukan bermabuk-mabukan.
Kejadian itu terus berlangsung selama aku bersekolah di daerah itu, karena seperti itu juga lingkungan mengajarkanku. Di sana, meminum moke termasuk kebiasaan atau adat masyarakat. Dan kehidupan yang kujalani waktu itu adalah kehidupan anak kost-kostan yang tidak lepas dari hura-hura dan bersenang-senang, apalagi masalah keuanganku belum pernah terkendala.
Aku dijuluki raja mabuk oleh teman-teman dan lingkungan sekitar, karena tidak ada diantara mereka yang sanggup menandingi ku untuk minum-minuman keras. Apapun minuman yang mengandung alkohol kami tenggak, dan biasanya bukanlah yang berkadar ringan. Moke adalah arak tradisonal yang kadar alkoholnya tanpa batas dan ketika diminum rasanya seperti api, seakan membakar saluran kerongkongan orang yang meminumnya. Aku pun mepercayai mitos masyarakat sekitar yang mengatakan minuman seperti itu dianggap obat untuk tubuh, pabila rutin meminumnya dengan jumlah yang terbatas.
Tapi, aku rutin menegaknya dengan jumlah yang tidak terbatas. Dalam seminggu bisa sampai tiga atau empat kali, dan dalam sekali itu yang paling parah pernah dari pagi ke pagi lagi. Aku pun sanggup menghabiskan berbotol-botol sendiri.
Banyak sudah tingkah laku gila yang pernah kulakukan dikala sedang tidak sadar dan di bawah pengaruh minuman keras. Aku pernah tidur di emperan tokoh bahkan di pinggir jalan raya. Aku pernah masuk ke rumah orang tanpa izin dengan maksud menumpang tidur. Sempat hampir terjadi perkelahian besar yang dalam peristiwa tersebut nyaris perut ku ditikam teman sendiri.
Tempat terindah bagiku adalah pantai, yang sering menjadi tempat aku dan teman-teman berkumpul. Disuatu malam, aku pernah tertidur di pantai dalam keadaan mabuk dengan posisi tubuh membungkuk, setelah letih semalaman menceburkan diri ke laut. Di malam itu juga, aku berniat usil dan menghentikan sebuah mobil, yang ternyata di dalamnya ada beberapa orang polisi. Jika tidak karena kalah jumlah, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian pada diriku.
Kehidupan waktu aku adalah seorang pemabuk memang berantakkan, bahkan bertambah parah ketika aku kemudian harus terjerumus lebih jauh, mengenal daun-daun dan pil-pil laknat itu.
Meskipun kegiatan hari-hari lainya tetap kusahakan untuk terus berjalan. Jikalau tidak mabuk, aku tetap menjadi seorang anak muda yang pendiam dan ramah. Akupun tetap bergaul baik dengan masyarakat sekitar. Tetap sekolah, meskipun sesekali sudah mulai membolos. Masih aktif mengikuti olahraga beladiri karate dan taekwondo, yang entah kenapa staminaku masih cukup kuat untuk berolahraga.
Sekarang ini, sampai didetak jantung ku yang masih berdegup. Aku tetap hidup sebagai diriku sendiri, tetapi aku bukanlah seorang manusia yang dulu sempat salah paham dalam menemukan jati diri. Mungkin dulu, karena jiwa mudaku yang masih terombang-ambing oleh pergaulan. Tapi sekarang, selamat tinggal masa lalu, aku kan melangkah.
Aku tidak lagi memerlukan racun-racun itu untuk dapat membuat tenang dan melepaskan segala permasalahan di hati. Karena aku punya pedoman yang sebenarnya telah tersirat sebagai penunjuk jalan yang benar, Islam. Terimakasih juga buat kalian, semua kawan, yang tanpa kalian sadari membantu aku untuk berubah.
Gadis yang pernah kucintai adalah jodoh dari sahabatku.
Ada juga kisah lain yang ingin kuceritakan pada waktu aku STM dulu.. Sebagai anak muda, tentu saja aku tetap memikirkan perkara cinta. Dalam kehidupanku yang semakin tidak beraturan itu, aku tetap mencari tambatan hati. Ada seorang gadis, dia baru saja pindah ke dari luar daerah. Dan secara kebetulan aku sudah sangat mengenal keluarganya. Akhirnya, entah kenapa perasaan itu pun hadir pada pandangan pertama, aku tetap menjadi manusia yang begitu mudah jatuh hati.
Tetapi, tidak lama setelah itu, aku mendengar kabar yang mengecewakan. Ternyata seorang sahabatku juga jatuh hati padanya. Bahkan dia bergerak begitu cepat dalam mengungkapkan hatinya pada si gadis. Tinggalah diriku yang merana seorang diri, sepertinya kejadian-kejadian seperti itu sering juga terjadi dalam kehidupanku yang sekarang ini. Tapi, akan kuceritakan suatu saat nanti.
Dan dihari-hari kemudian, aku hanya bisa melihat sahabatku itu jalan bergandengan dengan si gadis.
Tapi, pada suatu hari aku mendengar berita yang mencengangkan dari sahabatku itu. Dia mengatakan bahwa sebenarnya si gadis tidak mencintainya, dan ada seorang lelaki lain yang ada dalam hatinya. Siapa kah gerangan?. Ternyata nasip sahabatku sama malangnya dengan nasipku.
Tapi bagaimana jika orang itu adalah aku sendiri ?.
Ternyata selama ini si gadis juga memperhatikan diriku yang sering meliriknya secara sembunyi-sembunyi. Aku yang selalu menunggu kedatanganya ketika pergi dan pulang sekolah dari balik jendela kamarku. Karena untuk menuju ke sekolahnya, memang harus selalu melewati kost-kostan ku.
Bahkan pernah niat ku begitu besar untuk dapat berkenalan denganya, aku sengaja mengikutinya dari belakang, tapi ketika dia tahu dan memperlahan langkahnya, aku bagaikan maling yang tertangkap basah, tidak tahu apa yang akan dilakukan. Pristiwa itu termasuk kejadian yang memalukan seumur hidupku.
Setelah sahabatku bercerita seperti itu, aku jadi tahu letak masalahnya. Dan sahabatku pun rela melepaskan cintanya, apabila si gadis memang tidak memilihnya. Sekarang tinggal diriku yang harus membuktikan, apalagi aku memang begitu jatuh hati pada gadis itu.
Seperti gayung bersambut, hal itu memang benar dan akhirnya kami berdua menjalin cinta. Inilah kisah pacaran ku untuk pertama kalinya. Tidak ada hari tanpa memikirkanya, hubungan kami berdua selalu dibumbui canda dan tawa mesra. Aku merasa sudah menjadi lelaki yang sempurna.
Namun, memiliki kekasih tidak dapat membuat aku meninggalkan kebiasaan buruk ku. Waktu itu, aku tetap menjadi seorang pemabuk, meski kekasih ku begitu keras melarang. Dia begitu kecewa setelah tahu tabiatku, tetapi apa hendak dikata jika dia terlanjur mencintaiku. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah sengaja membuat ku cemburu. Mungkin dia ingin menguji cintaku, antara memilih dia atau zat laknat yang sudah membuatku candu.
Tentu saja aku lebih memilih dia, namun begitu sulit melepaskan kebiasaan yang sudah hampir mendarah daging. Waktu itu, aku adalah orang yang temperamental dan mudah emosi. Rasa cemburu membuat aku mudah berpikir kalap, ingin rasanya ku pecahkan kepala lelaki yang merebut kekasih ku itu.
Tapi, walau bagaimanapun aku tetap menyadari bahwa ini semua adalah kesalahanku. Gadis itu memang tidak pantas mencintai seorang lelaki seperti aku, seorang pemabuk yang hanya dapat mengumbar janji sinting. Aku pun menghindar dari dia dan semakin tenggelam di duaniaku. Jika waktu itu dia sengaja ingin membuat ku cemburu, kali ini aku yang seakan merasa tidak pernah terjadi apa-apa antara kami berdua.
Begitu kejam diriku meninggalkan dia tanpa jawaban.
Seperti yang terjadi waktu itu, merupakan pertemuan terakhir dalam hubungan kami berdua. Aku mengejarnya sepulang sekolah, niatku begitu besar untuk dapat meminta maaf padanya. Tapi dia seakan mengacuhkan diriku, dan terus saja berlalu. Sifat egois ku bangkit, aku pun melupakan niat awal untuk memperbaiki hubungan kami, segera kupergi dan membiarkan dia pulang sendiri.
Aku mendengar cerita dari seorang kawanya, waktu itu aku benar-benar telah membuatnya terluka. Dia pulang dengan berurai air mata.
Ternyata, perasaan cintanya padaku sungguh besar. Meski dengan kesalahan yang telah kulakukan, dia masih saja mencariku. Tapi semuanya sudah terlambat, bukan bagi dia, tapi untuk diriku. Aku tidak dapat menjadi seperti apa yang dia mau. Aku semakin tenggelam dalam dunia ku sendiri, dan dia bukanlah gadis yang tepat untuk memahami duniaku. Maafkanlah aku.
Sekarang ini, gadis itu telah menjadi istri dari sahabatku yang dulu juga pernah menaruh hati padanya. Aku pernah mengunjungi mereka berdua yang sudah menjadi sebuah keluarga bahagia dan dikaruniakan seorang anak. Gadis yang pernah kucintai adalah jodoh dari sahabatku.
Setelah itu aku memang mengalami beberapa kisah cinta lagi, tapi kisah-kisah yang kemudian itu hanyalah berkutat dalam pelarian cinta. Aku mendapatkan cinta dari beberapa gadis yang tidak sepenuhnya kucintai. Karena belum kutemui wanita seperti mantan kekasih ku itu.
Tetapi, tidak lama setelah itu, aku mendengar kabar yang mengecewakan. Ternyata seorang sahabatku juga jatuh hati padanya. Bahkan dia bergerak begitu cepat dalam mengungkapkan hatinya pada si gadis. Tinggalah diriku yang merana seorang diri, sepertinya kejadian-kejadian seperti itu sering juga terjadi dalam kehidupanku yang sekarang ini. Tapi, akan kuceritakan suatu saat nanti.
Dan dihari-hari kemudian, aku hanya bisa melihat sahabatku itu jalan bergandengan dengan si gadis.
Tapi, pada suatu hari aku mendengar berita yang mencengangkan dari sahabatku itu. Dia mengatakan bahwa sebenarnya si gadis tidak mencintainya, dan ada seorang lelaki lain yang ada dalam hatinya. Siapa kah gerangan?. Ternyata nasip sahabatku sama malangnya dengan nasipku.
Tapi bagaimana jika orang itu adalah aku sendiri ?.
Ternyata selama ini si gadis juga memperhatikan diriku yang sering meliriknya secara sembunyi-sembunyi. Aku yang selalu menunggu kedatanganya ketika pergi dan pulang sekolah dari balik jendela kamarku. Karena untuk menuju ke sekolahnya, memang harus selalu melewati kost-kostan ku.
Bahkan pernah niat ku begitu besar untuk dapat berkenalan denganya, aku sengaja mengikutinya dari belakang, tapi ketika dia tahu dan memperlahan langkahnya, aku bagaikan maling yang tertangkap basah, tidak tahu apa yang akan dilakukan. Pristiwa itu termasuk kejadian yang memalukan seumur hidupku.
Setelah sahabatku bercerita seperti itu, aku jadi tahu letak masalahnya. Dan sahabatku pun rela melepaskan cintanya, apabila si gadis memang tidak memilihnya. Sekarang tinggal diriku yang harus membuktikan, apalagi aku memang begitu jatuh hati pada gadis itu.
Seperti gayung bersambut, hal itu memang benar dan akhirnya kami berdua menjalin cinta. Inilah kisah pacaran ku untuk pertama kalinya. Tidak ada hari tanpa memikirkanya, hubungan kami berdua selalu dibumbui canda dan tawa mesra. Aku merasa sudah menjadi lelaki yang sempurna.
Namun, memiliki kekasih tidak dapat membuat aku meninggalkan kebiasaan buruk ku. Waktu itu, aku tetap menjadi seorang pemabuk, meski kekasih ku begitu keras melarang. Dia begitu kecewa setelah tahu tabiatku, tetapi apa hendak dikata jika dia terlanjur mencintaiku. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah sengaja membuat ku cemburu. Mungkin dia ingin menguji cintaku, antara memilih dia atau zat laknat yang sudah membuatku candu.
Tentu saja aku lebih memilih dia, namun begitu sulit melepaskan kebiasaan yang sudah hampir mendarah daging. Waktu itu, aku adalah orang yang temperamental dan mudah emosi. Rasa cemburu membuat aku mudah berpikir kalap, ingin rasanya ku pecahkan kepala lelaki yang merebut kekasih ku itu.
Tapi, walau bagaimanapun aku tetap menyadari bahwa ini semua adalah kesalahanku. Gadis itu memang tidak pantas mencintai seorang lelaki seperti aku, seorang pemabuk yang hanya dapat mengumbar janji sinting. Aku pun menghindar dari dia dan semakin tenggelam di duaniaku. Jika waktu itu dia sengaja ingin membuat ku cemburu, kali ini aku yang seakan merasa tidak pernah terjadi apa-apa antara kami berdua.
Begitu kejam diriku meninggalkan dia tanpa jawaban.
Seperti yang terjadi waktu itu, merupakan pertemuan terakhir dalam hubungan kami berdua. Aku mengejarnya sepulang sekolah, niatku begitu besar untuk dapat meminta maaf padanya. Tapi dia seakan mengacuhkan diriku, dan terus saja berlalu. Sifat egois ku bangkit, aku pun melupakan niat awal untuk memperbaiki hubungan kami, segera kupergi dan membiarkan dia pulang sendiri.
Aku mendengar cerita dari seorang kawanya, waktu itu aku benar-benar telah membuatnya terluka. Dia pulang dengan berurai air mata.
Ternyata, perasaan cintanya padaku sungguh besar. Meski dengan kesalahan yang telah kulakukan, dia masih saja mencariku. Tapi semuanya sudah terlambat, bukan bagi dia, tapi untuk diriku. Aku tidak dapat menjadi seperti apa yang dia mau. Aku semakin tenggelam dalam dunia ku sendiri, dan dia bukanlah gadis yang tepat untuk memahami duniaku. Maafkanlah aku.
Sekarang ini, gadis itu telah menjadi istri dari sahabatku yang dulu juga pernah menaruh hati padanya. Aku pernah mengunjungi mereka berdua yang sudah menjadi sebuah keluarga bahagia dan dikaruniakan seorang anak. Gadis yang pernah kucintai adalah jodoh dari sahabatku.
Setelah itu aku memang mengalami beberapa kisah cinta lagi, tapi kisah-kisah yang kemudian itu hanyalah berkutat dalam pelarian cinta. Aku mendapatkan cinta dari beberapa gadis yang tidak sepenuhnya kucintai. Karena belum kutemui wanita seperti mantan kekasih ku itu.
Cobaan di tanah rantau (2)
Sesekali, aku memang menyempatkan diri untuk pulang bertemu kedua orang tuaku. Tetapi biasanya hanya pada hari libur saja, kecuali ada keperluan yang mendesak.
Kisah ini, memang diawali dari cerita pada saat aku pulang bertemu kedua orang tuaku. Dengan mengingat lagi kisah ini, dapat mengungkit kejadian paling menegangkan yang pernah terjadi dalam hidup ku, mungkin saja kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kalian yang juga hidup di tanah rantau.
Beberapa tahun silam pada saat kejadian ini terjadi, merupakan tahun di mana bangsa ini sedang dihinggapi berbagai masalah pelik, rakyat menjadi mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang hadir di tengah mereka. Bahkan kerusuhan hampir merata pernah terjadi di pelosok negeri.
Sedangkan sebelumnya, telah diceritakan kisah dimana aku merasakan
kedamaian selama hidup di tanah rantau, salah satunya tentang masyarakat desa kami yang sangat menjaga kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda. Hingga sampailah pada suatu pristiwa yang sempat membuat aku ragu akan rasa damai tersebut.
Hari itu aku pulang dari sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Tidak ada alasan yang jelas, hanya saja pikiran ku sedang tidak tenang. Sesampainya di kosan, aku juga hanya sempat beristirahat sebentar, kemudian pergi lagi. Menuju terminal kota, hari ini aku berniat pulang ke desa, bertemu kedua orang tua dan keluarga ku.
Tapi, sekarang atau esok bukanlah hari libur yang mengharuskan aku pulang. Mungkin alasanya karena perasanku yang sedang tidak tenang, dan ingin sekali berjumpa kedua orang tuaku.
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan dengan bis, akhirnya aku sampai di rumah. Waktu itu yang ada di rumah, hanyalah ayah yang kebetulan juga baru tiba dari perjalanan jauh melanggar pulau. Dia baru pulang, setelah pergi selama seminggu untuk berbelanja kebutuhan barang-barang toko. Mata pencaharian kedua orang tuaku adalah pedagang kecil yang membuka toko di pasar desa.
Ibu ku sedang berjualan di pasar. Jika sudah seminggu ini ayahku pergi, berarti selama itu juga ibuku berjualan sendiri di pasar. Tidak ada yang membantu dia, karena dari pagi adik-adikku sudah berada di sekolah, sedangkan aku hanya bisa pulang di waktu libur saja. Jika memikirkan hal itu, terkadang membuat perasaanku sedih. Tapi, kepulanganku di hari yang tidak libur ini mungkin dapat sedikit membantu. Apalagi ayahku masih harus beristirahat setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan.
Keesokan paginya adalah hari minggu, aku sudah berada di pasar dan membantu ibu berjualan di toko. Pada hari seperti ini, biasanya pasar ramai dibandingkan hari lainya, karena hari minggu adalah hari ibadah bagi umat kristiani yang merupakan kaum mayoritas di desa itu. Setelah selesai bersembahyang di gereja, banyak dari mereka yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan.
Tapi, mereka yang datang ke pasar hari ini, juga membawa kabar yang menggemparkan umat beragama di desa itu. Pagi tadi, di gereja telah terjadi kasus pencemaran yang dilakukan oleh orang tidak bertanggung jawab. Aku begitu takut mendengarkan berita itu.
Kejadian apa lagi ini ?. Masih ada saja manusia yang coba memecah belah persatuan yang sudah terjalin lama desa desa ini ?.
Setelah mendengarkan berita itu, akupun tidak berpikir panjang lagi. Kuutarakan niatku untuk ingin segera menutup toko. Tetapi, ibuku dengan tenangnya menjawab bahwa kejadian itu tidak usah terlalu dikhawatirkan, karena aparat yang berwajib pasti sudah berantisipasi jika akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Lagi pula, ibu percaya bahwa warga desa tidak mungkin sembarangan melakukan aksi seperti yang ada dalam pikiranku.
Meski masih dengan perasaan tidak tenang, aku tetap menuruti perkataan ibu. Toko kami tetap buka, tapi jika biasanya sampai selepas isya, hari ini cukup sampai selepas maghrib. Itu pun setelah aku memohon pada ibu, agar kami tidak pulang larut malam.
Pengalaman hidupku memang belum ada apa-apanya. Dengan berbagai pristiwa yang sering kusaksikan di tv, membuat aku menjadi mudah dihinggapi rasa takut jika menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan SARA. Secara jujur kuakui, perantau seperti kami memang berada di posisi yang lemah, jika permasalahan itu berhubungan dengan suku asli, agama asli, dan lain sebagainya.
Kegiatan jual beli di pasar waktu itu juga tidak seramai hari minggu biasanya. Banyak yang hanya berlalu-lalang atau bercerita seru tentang pristiwa yang terjadi pagi tadi. Kabarnya si pelaku pencemaran sudah ditahan aparat yang berwajib.
Aku tidak lagi tertarik untuk mencari tahu berita itu lebih jauh, hanya berharap waktu maghrib segera tiba, kemudian menutup toko dan pulang bersama ibu. Di sudut toko, Ibuku tetap saja keliatan tenang. Jika seandainya pristiwa ini dapat menimbulkan perasaan was-was bagiku, mungkin ibu pernah mengalami pristiwa yang lebih dari ini.
Selesai mengucapkan salam di rakaat terakhir, pertanda selesainya menunaikan ibadah shalat maghrib, aku segera bersiap kembali menuju ke pasar. Tapi ketika akan berdiri, gerakanku terhenti. Aku kembali duduk, karena sepertinya ada masalah penting yang ingin dibicarakan Imam surau. Dia memperingatkan seluruh masyarakat untuk berhati-hati dan tidak mudah terprovokasi atas masalah yang telah terjadi.
Ketakutanku bertambah besar setelah itu, dan tanpa menunggu pembicaraan imam selesai, aku keluar dari surau, segera berlari menuju pasar.
Astaga, Ya Allah, kejadian yang kutakutkan benar-benar terjadi. Terdengar teriakan dari sekelompok besar orang kampung yang datang bergerombolan dari satu arah. Mereka membawa berbagai senjata tajam dan menuju ke arah toko kami. Aku tidak sempat mencermati kedatangan mereka, segera melompat dan menghamburkan barang-barang jualan yang dipajang ke dalam toko.
Sekarang baru kulihat sedikit kepanikan di raut wajah Ibuku, dengan cekatan dia tetap berusaha merapikan barang-barang yang kuhamburkan ke dalam toko .
Rasanya sudah tidak ada waktu lagi untuk menutup toko, orang kampung yang bertambah beringas sudah mulai menghujamkan benda apa saja ke arah toko kami. Aku berlari ke arah ibu, memeluknya, dan berteriak supaya segera berlari mencari perlindungan.
Sambil memeluk ibu, aku berlari dengan tetap mengimbangi langkahnya. Istighfar terus dilontarkan dari mulut ibu, di saat itu hanya kekalutan yang melanda pikiranku. Ternyata, kami terkepung dan tidak ada jalan untuk keluar dari kerumunan massa.
Kepanikan bertambah, ketika tiba-tiba terlihat dari arah depan, seorang pemuda bertubuh jangkung berjalan ke arah kami, dia membawa sebilah parang. Siapakah oarng itu. Ya Allah , apakah dia hendak menyakiti kami ?.
Aku merasakan kedua kakiku semakin lemas untuk menahan bobot tubuh sendiri yang hampir roboh, hampir aku pingsan ketika membayangkan orang itu semakin mendekat. Tapi aku tetap berusaha menjaga kesadaran dengan bergerak dan berteriak tak tentu arah. Ibu masih dalam pelukanku, tetap beristighfar. Apapun yang terjadi nanti, aku akan melindungi dia semampu ku.
Rasa takutku sudah mencapai stadium paling tinggi, tapi ketika lelaki itu mendekat, aku akan bersiap-siap melakukan pembelian diri. Atau semoga saja dia mau mendengarkan permohonan ku untuk tidak menyakiti ibu.
Jarak antara aku dan pemuda itu, sekitar tinggal enam meter lagi. Ibu tidak lagi kupeluk, tapi kuposisikan di belakangku. Sepertinya, memang tidak ada jalan lain yang dapat kulakukan dalam posisi seperti ini, selain berusaha membela diri. Lelaki itu tentu tidak akan mendengar permohonan ku, jika parang yang dibawanya telah terhunus lebih dulu. Ini adalah saat dalam hidupku, dimana aku sudah benar-benar siap untuk mati.
Setelah lelaki itu semakin mendekat, hampir saja aku ingin melompat dan berusaha merebut parang dari tanganya, tetapi niat ku batal setelah melihat wajah itu, sepertinya aku mengenal dia. Astaga, dia ternyata tetangga ku sendiri.
Tanpa memperhatikan ketakutan dan ketegangan yang tampak dari wajah kami berdua, dia masih sempat tersenyum. Kemudian berkata “ toko sudah ditutup belum yas, kalau belum, tutup saja dulu. Tenang saja, jangan takut, ada saya disini’.
Rasa takutku memang perlahan reda. Setelah menjawab pertanyaan lelaki itu, aku segera kembali memeluk ibu, dan berlari untuk kembali ke toko kami. Ternyata kerusuhan juga sudah mulai reda. Hanya tersisa beberapa orang yang menaruh simpati untuk memberikan pertolongan pada pemilik toko yang dirusak. Mungkin diantara mereka juga termasuk kenalan, kerabat atau aparat berwajib yang ingin meredakan keadaan.
Tiba-tiba kulihat pula beberapa wajah lain yang kukenal menuju kearah ku, mereka adalah kawan-kawan SMP ku dulu. Tanpa diminta, mereka seakan mengerti dan segera ikut membantu ku. Di tempat ku berdiri, terdapat atalase yang beberapa sisinya pecah, terkena lemparan batu. Kalo seandainya saja aku tadi berdiri dengan posisi yang sama seperti sekarang, mungkin bukan kaca atalase, tetapi kepala ku yang pecah.
Pekerjaan menutup toko selesai dengan segera. Ketegangan dan panas suasana masih tersisa, aku tidak dapat menunggu lama lagi untuk segera pulang ke rumah. Ibuku berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Setelah aku dan ibu mengucapkan rasa terima kasih kepada teman-teman dan orang-orang yang ikut membantu, kami berdua segera pulang bersama tetangga penolong kami itu.
Ternyata ketika di jalan raya keadaan masih sangat ramai. Tidak ada kendaraan yang lewat, kami bertiga berjalan di tengah-tengah kerumunan orang. Beberapa pasang mata melihatku dengan arah mata yang tajam. Mungkin dia termasuk dari orang kampung yang melakukan kerusuhan tadi. Tapi semoga saja tidak ada orang-orang yang coba melakukan tindakan tak menyenangkan terhadap aku dan ibuku, karena lelaki yang menjadi tetanggaku ini juga orang pribumi dan termasuk sangat disegani di daerah ini.
Kisah ini, memang diawali dari cerita pada saat aku pulang bertemu kedua orang tuaku. Dengan mengingat lagi kisah ini, dapat mengungkit kejadian paling menegangkan yang pernah terjadi dalam hidup ku, mungkin saja kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kalian yang juga hidup di tanah rantau.
Beberapa tahun silam pada saat kejadian ini terjadi, merupakan tahun di mana bangsa ini sedang dihinggapi berbagai masalah pelik, rakyat menjadi mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang hadir di tengah mereka. Bahkan kerusuhan hampir merata pernah terjadi di pelosok negeri.
Sedangkan sebelumnya, telah diceritakan kisah dimana aku merasakan
kedamaian selama hidup di tanah rantau, salah satunya tentang masyarakat desa kami yang sangat menjaga kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda. Hingga sampailah pada suatu pristiwa yang sempat membuat aku ragu akan rasa damai tersebut.
Hari itu aku pulang dari sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Tidak ada alasan yang jelas, hanya saja pikiran ku sedang tidak tenang. Sesampainya di kosan, aku juga hanya sempat beristirahat sebentar, kemudian pergi lagi. Menuju terminal kota, hari ini aku berniat pulang ke desa, bertemu kedua orang tua dan keluarga ku.
Tapi, sekarang atau esok bukanlah hari libur yang mengharuskan aku pulang. Mungkin alasanya karena perasanku yang sedang tidak tenang, dan ingin sekali berjumpa kedua orang tuaku.
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan dengan bis, akhirnya aku sampai di rumah. Waktu itu yang ada di rumah, hanyalah ayah yang kebetulan juga baru tiba dari perjalanan jauh melanggar pulau. Dia baru pulang, setelah pergi selama seminggu untuk berbelanja kebutuhan barang-barang toko. Mata pencaharian kedua orang tuaku adalah pedagang kecil yang membuka toko di pasar desa.
Ibu ku sedang berjualan di pasar. Jika sudah seminggu ini ayahku pergi, berarti selama itu juga ibuku berjualan sendiri di pasar. Tidak ada yang membantu dia, karena dari pagi adik-adikku sudah berada di sekolah, sedangkan aku hanya bisa pulang di waktu libur saja. Jika memikirkan hal itu, terkadang membuat perasaanku sedih. Tapi, kepulanganku di hari yang tidak libur ini mungkin dapat sedikit membantu. Apalagi ayahku masih harus beristirahat setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan.
Keesokan paginya adalah hari minggu, aku sudah berada di pasar dan membantu ibu berjualan di toko. Pada hari seperti ini, biasanya pasar ramai dibandingkan hari lainya, karena hari minggu adalah hari ibadah bagi umat kristiani yang merupakan kaum mayoritas di desa itu. Setelah selesai bersembahyang di gereja, banyak dari mereka yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan.
Tapi, mereka yang datang ke pasar hari ini, juga membawa kabar yang menggemparkan umat beragama di desa itu. Pagi tadi, di gereja telah terjadi kasus pencemaran yang dilakukan oleh orang tidak bertanggung jawab. Aku begitu takut mendengarkan berita itu.
Kejadian apa lagi ini ?. Masih ada saja manusia yang coba memecah belah persatuan yang sudah terjalin lama desa desa ini ?.
Setelah mendengarkan berita itu, akupun tidak berpikir panjang lagi. Kuutarakan niatku untuk ingin segera menutup toko. Tetapi, ibuku dengan tenangnya menjawab bahwa kejadian itu tidak usah terlalu dikhawatirkan, karena aparat yang berwajib pasti sudah berantisipasi jika akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Lagi pula, ibu percaya bahwa warga desa tidak mungkin sembarangan melakukan aksi seperti yang ada dalam pikiranku.
Meski masih dengan perasaan tidak tenang, aku tetap menuruti perkataan ibu. Toko kami tetap buka, tapi jika biasanya sampai selepas isya, hari ini cukup sampai selepas maghrib. Itu pun setelah aku memohon pada ibu, agar kami tidak pulang larut malam.
Pengalaman hidupku memang belum ada apa-apanya. Dengan berbagai pristiwa yang sering kusaksikan di tv, membuat aku menjadi mudah dihinggapi rasa takut jika menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan SARA. Secara jujur kuakui, perantau seperti kami memang berada di posisi yang lemah, jika permasalahan itu berhubungan dengan suku asli, agama asli, dan lain sebagainya.
Kegiatan jual beli di pasar waktu itu juga tidak seramai hari minggu biasanya. Banyak yang hanya berlalu-lalang atau bercerita seru tentang pristiwa yang terjadi pagi tadi. Kabarnya si pelaku pencemaran sudah ditahan aparat yang berwajib.
Aku tidak lagi tertarik untuk mencari tahu berita itu lebih jauh, hanya berharap waktu maghrib segera tiba, kemudian menutup toko dan pulang bersama ibu. Di sudut toko, Ibuku tetap saja keliatan tenang. Jika seandainya pristiwa ini dapat menimbulkan perasaan was-was bagiku, mungkin ibu pernah mengalami pristiwa yang lebih dari ini.
Selesai mengucapkan salam di rakaat terakhir, pertanda selesainya menunaikan ibadah shalat maghrib, aku segera bersiap kembali menuju ke pasar. Tapi ketika akan berdiri, gerakanku terhenti. Aku kembali duduk, karena sepertinya ada masalah penting yang ingin dibicarakan Imam surau. Dia memperingatkan seluruh masyarakat untuk berhati-hati dan tidak mudah terprovokasi atas masalah yang telah terjadi.
Ketakutanku bertambah besar setelah itu, dan tanpa menunggu pembicaraan imam selesai, aku keluar dari surau, segera berlari menuju pasar.
Astaga, Ya Allah, kejadian yang kutakutkan benar-benar terjadi. Terdengar teriakan dari sekelompok besar orang kampung yang datang bergerombolan dari satu arah. Mereka membawa berbagai senjata tajam dan menuju ke arah toko kami. Aku tidak sempat mencermati kedatangan mereka, segera melompat dan menghamburkan barang-barang jualan yang dipajang ke dalam toko.
Sekarang baru kulihat sedikit kepanikan di raut wajah Ibuku, dengan cekatan dia tetap berusaha merapikan barang-barang yang kuhamburkan ke dalam toko .
Rasanya sudah tidak ada waktu lagi untuk menutup toko, orang kampung yang bertambah beringas sudah mulai menghujamkan benda apa saja ke arah toko kami. Aku berlari ke arah ibu, memeluknya, dan berteriak supaya segera berlari mencari perlindungan.
Sambil memeluk ibu, aku berlari dengan tetap mengimbangi langkahnya. Istighfar terus dilontarkan dari mulut ibu, di saat itu hanya kekalutan yang melanda pikiranku. Ternyata, kami terkepung dan tidak ada jalan untuk keluar dari kerumunan massa.
Kepanikan bertambah, ketika tiba-tiba terlihat dari arah depan, seorang pemuda bertubuh jangkung berjalan ke arah kami, dia membawa sebilah parang. Siapakah oarng itu. Ya Allah , apakah dia hendak menyakiti kami ?.
Aku merasakan kedua kakiku semakin lemas untuk menahan bobot tubuh sendiri yang hampir roboh, hampir aku pingsan ketika membayangkan orang itu semakin mendekat. Tapi aku tetap berusaha menjaga kesadaran dengan bergerak dan berteriak tak tentu arah. Ibu masih dalam pelukanku, tetap beristighfar. Apapun yang terjadi nanti, aku akan melindungi dia semampu ku.
Rasa takutku sudah mencapai stadium paling tinggi, tapi ketika lelaki itu mendekat, aku akan bersiap-siap melakukan pembelian diri. Atau semoga saja dia mau mendengarkan permohonan ku untuk tidak menyakiti ibu.
Jarak antara aku dan pemuda itu, sekitar tinggal enam meter lagi. Ibu tidak lagi kupeluk, tapi kuposisikan di belakangku. Sepertinya, memang tidak ada jalan lain yang dapat kulakukan dalam posisi seperti ini, selain berusaha membela diri. Lelaki itu tentu tidak akan mendengar permohonan ku, jika parang yang dibawanya telah terhunus lebih dulu. Ini adalah saat dalam hidupku, dimana aku sudah benar-benar siap untuk mati.
Setelah lelaki itu semakin mendekat, hampir saja aku ingin melompat dan berusaha merebut parang dari tanganya, tetapi niat ku batal setelah melihat wajah itu, sepertinya aku mengenal dia. Astaga, dia ternyata tetangga ku sendiri.
Tanpa memperhatikan ketakutan dan ketegangan yang tampak dari wajah kami berdua, dia masih sempat tersenyum. Kemudian berkata “ toko sudah ditutup belum yas, kalau belum, tutup saja dulu. Tenang saja, jangan takut, ada saya disini’.
Rasa takutku memang perlahan reda. Setelah menjawab pertanyaan lelaki itu, aku segera kembali memeluk ibu, dan berlari untuk kembali ke toko kami. Ternyata kerusuhan juga sudah mulai reda. Hanya tersisa beberapa orang yang menaruh simpati untuk memberikan pertolongan pada pemilik toko yang dirusak. Mungkin diantara mereka juga termasuk kenalan, kerabat atau aparat berwajib yang ingin meredakan keadaan.
Tiba-tiba kulihat pula beberapa wajah lain yang kukenal menuju kearah ku, mereka adalah kawan-kawan SMP ku dulu. Tanpa diminta, mereka seakan mengerti dan segera ikut membantu ku. Di tempat ku berdiri, terdapat atalase yang beberapa sisinya pecah, terkena lemparan batu. Kalo seandainya saja aku tadi berdiri dengan posisi yang sama seperti sekarang, mungkin bukan kaca atalase, tetapi kepala ku yang pecah.
Pekerjaan menutup toko selesai dengan segera. Ketegangan dan panas suasana masih tersisa, aku tidak dapat menunggu lama lagi untuk segera pulang ke rumah. Ibuku berdiri tidak jauh dari tempatku berada. Setelah aku dan ibu mengucapkan rasa terima kasih kepada teman-teman dan orang-orang yang ikut membantu, kami berdua segera pulang bersama tetangga penolong kami itu.
Ternyata ketika di jalan raya keadaan masih sangat ramai. Tidak ada kendaraan yang lewat, kami bertiga berjalan di tengah-tengah kerumunan orang. Beberapa pasang mata melihatku dengan arah mata yang tajam. Mungkin dia termasuk dari orang kampung yang melakukan kerusuhan tadi. Tapi semoga saja tidak ada orang-orang yang coba melakukan tindakan tak menyenangkan terhadap aku dan ibuku, karena lelaki yang menjadi tetanggaku ini juga orang pribumi dan termasuk sangat disegani di daerah ini.
Kegagalanku pertama kali ketika menginjak kota Jakarta
Itulah beberapa kisah yang pernah kualami dan dianggap penting bagiku. Mungkin masih ada beberapa kisah yang terlupa, atau sengaja tidak ingin kusampaikan dalam tulisan ini. InsyaAllah masih ada esok hari, di saat aku kembali berimajinasi untuk mengungkit kembali kisah lampau yang bisa menjadi sumber inspirasi.
Aku yang sekarang adalah seorang mahasiswa tingkat lanjut, di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta. Berbagai pengalaman yang pernah kualami memang menjadi guru, dan menanamkan pelajaran berarti pada tabiatku yang sekarang ini.
Kegagalanku pertama kali ketika menginjak kota Jakarta adalah gagal dalam lulus seleksi untuk masuk ke universitas negeri. Aku tidak tahu apakah itu kesalahan ku sendiri, ataukah takdir yang memang harus kuturuti. Tapi, setiap manusia tentunya harus berusaha untuk mencapai keinginan dan mimpinya. Sedangkan aku pernah merasa, mimpi dan cita-cita ku sirna akibat keteledoran ku sendiri.
Aku ke Jakarta datang dari sebuah pelosok negeri tempat aku dibesarkan. Waktu itu aku sama sekali tidak menyiapkan diri layaknya kesungguhan seorang pelajar yang ingin meraih mimpi dan masa depanya di kota besar. Seharusnya aku sadar, di kota besar banyak persaingan.
Jika susah bersaing secara bersih, aku harus punya otak kotor. Dan biasanya itu terjadi pada anak-anak manja dari kedua orang tua kaya. Tapi, aku ini kan hanyalah anak manusia yang sedari kecil hidup dalam naungan kemiskinan. Tidak pernah aku terlatih untuk berpikiran kotor, seperti suap-menyuap. Karena untuk bisa seperti itu, kedua orang tuaku harus punya banyak uang. Dalam kenyataanya, untuk makan sehari-hari saja mereka harus membanting tulang siang dan malam.
Modal satu-satunya yang kumiliki hanyalah bekal ilmu yang kudapat sebelumnya dari sekolahku terdahulu. Tapi itupun sirna oleh keangkuhanku ketika menginjak kota Jakarta, kebanggaan masa lalu membuat aku meremehkan hal penting untuk masa depan. Tidak ada persiapan, hingga akhirnya aku gagal lulus SPMB.
Tapi itu hanyalah kisah kegagalan masa lalu, meskipun dibalik kata “kegagalan” masih tersembunyi kata “seandainya saja”, yang selalu menyimpan penyesalan jika diingat-ingat lagi. Tapi apa guna aku terus jatuh dalam lembah penyesalan, jika sekarang ini aku tetap bisa menjadi seorang mahasiswa, yang masih tetap bisa memilih bidang jurusan yang diminati.
Seharusnya mahasiswalah yang dapat mencerahkan masa depanya sendiri, berdasarkan daya serap pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliahan. Bukan dari nama besar kampus tempat dia menuntut ilmu.
Setelah merenung sebentar, aku yang sekarang ini juga sangat bersyukur, karena dari kehidupan di kampusku ini aku banyak mengalami pengalaman baru. Di kampus ini aku bisa bertemu teman-teman sejurusan yang memiliki solidaritas begitu tinggi, karena memang itu kebanggaan yang dihidupkan dalam hubungan pertemanan kami.
Di kampus ini aku dapat menemukan tempat mencurahkan kecintaanku pada hobby, sekaligus bertemu teman-teman yang masing-masing pribadi mempunyai keistimewaan tersendiri. Sedikit banyak, karena hobby dan teman-temanku ini aku mengalami beberapa pristiwa yang menambah pengalaman hidup, aku juga banyak belajar dari mereka tentang cara menata hidup ke arah yang lebih baik.
Aku juga tak kenal letih berpetualang mencari penambat hati, ketika hidup sebagai seorang mahasiwa di kampus ini. Beberapa kisah ikut mewarnai manis dan getir kehidupan cinta yang pernah kualami. Meski aku lebih sering jatuh dan tabah menahan getir, dibandingkan mengecap rasa manis yang kudapat dari cinta. Mungkin itulah resiko diriku sebagai seseorang yang mudah jatuh cinta, tapi disisi lain belum dapat menjanjikan masa depan dari keberhasilanku sebagai seorang mahasiswa.
Kampus ini yang memberikan waktu bebas bagiku sebagai seorang mahasiswa. Yang selain untuk menuntut ilmu juga untuk bebas mengembangkan kreatifitas dan aktifitas membangun. Paling tidak, selama di kampus ini aku tidak pernah mengalami kendala berarti yang meruwetkan pikiranku.
Mungkin saja aku dan keegoisanku sekarang ini, sedang memakai pernak-pernik dan kelengkapan layaknya seorang mahasiswa pintar yang introvert, angkuh serta selalu berapi-api membicarakan politik. Jika seandainya tidak berada di kampusku yang sekarang ini.
Jika bukan di kampus ini, melainkan masuk di kampus negeri yang diseberang sana, bisa saja sikap bebas membuatku tidak akan sanggup bertahan dalam persaingan mahasiswa-mahasiswa pintar yang penuh aturan dan tata krama. Kemudian aku bisa saja frustasi dan semakin membuat orang tua ku kecewa. Bisa saja…
Jadi, cukuplah aku sebagai seorang mahasiswa biasa di kampus biasa-biasa saja, meski dulu selalu bercita-cita menjadi mahasiwa luar biasa di kampus yang istimewa. Setidaknya cita-cita itu, telah menjadi motivasi yang membuat aku selalu ingin membuktikan kepada mereka, seperti apa masa depanku nanti.
Aku yang sekarang adalah seorang mahasiswa tingkat lanjut, di salah satu universitas swasta yang ada di Jakarta. Berbagai pengalaman yang pernah kualami memang menjadi guru, dan menanamkan pelajaran berarti pada tabiatku yang sekarang ini.
Kegagalanku pertama kali ketika menginjak kota Jakarta adalah gagal dalam lulus seleksi untuk masuk ke universitas negeri. Aku tidak tahu apakah itu kesalahan ku sendiri, ataukah takdir yang memang harus kuturuti. Tapi, setiap manusia tentunya harus berusaha untuk mencapai keinginan dan mimpinya. Sedangkan aku pernah merasa, mimpi dan cita-cita ku sirna akibat keteledoran ku sendiri.
Aku ke Jakarta datang dari sebuah pelosok negeri tempat aku dibesarkan. Waktu itu aku sama sekali tidak menyiapkan diri layaknya kesungguhan seorang pelajar yang ingin meraih mimpi dan masa depanya di kota besar. Seharusnya aku sadar, di kota besar banyak persaingan.
Jika susah bersaing secara bersih, aku harus punya otak kotor. Dan biasanya itu terjadi pada anak-anak manja dari kedua orang tua kaya. Tapi, aku ini kan hanyalah anak manusia yang sedari kecil hidup dalam naungan kemiskinan. Tidak pernah aku terlatih untuk berpikiran kotor, seperti suap-menyuap. Karena untuk bisa seperti itu, kedua orang tuaku harus punya banyak uang. Dalam kenyataanya, untuk makan sehari-hari saja mereka harus membanting tulang siang dan malam.
Modal satu-satunya yang kumiliki hanyalah bekal ilmu yang kudapat sebelumnya dari sekolahku terdahulu. Tapi itupun sirna oleh keangkuhanku ketika menginjak kota Jakarta, kebanggaan masa lalu membuat aku meremehkan hal penting untuk masa depan. Tidak ada persiapan, hingga akhirnya aku gagal lulus SPMB.
Tapi itu hanyalah kisah kegagalan masa lalu, meskipun dibalik kata “kegagalan” masih tersembunyi kata “seandainya saja”, yang selalu menyimpan penyesalan jika diingat-ingat lagi. Tapi apa guna aku terus jatuh dalam lembah penyesalan, jika sekarang ini aku tetap bisa menjadi seorang mahasiswa, yang masih tetap bisa memilih bidang jurusan yang diminati.
Seharusnya mahasiswalah yang dapat mencerahkan masa depanya sendiri, berdasarkan daya serap pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliahan. Bukan dari nama besar kampus tempat dia menuntut ilmu.
Setelah merenung sebentar, aku yang sekarang ini juga sangat bersyukur, karena dari kehidupan di kampusku ini aku banyak mengalami pengalaman baru. Di kampus ini aku bisa bertemu teman-teman sejurusan yang memiliki solidaritas begitu tinggi, karena memang itu kebanggaan yang dihidupkan dalam hubungan pertemanan kami.
Di kampus ini aku dapat menemukan tempat mencurahkan kecintaanku pada hobby, sekaligus bertemu teman-teman yang masing-masing pribadi mempunyai keistimewaan tersendiri. Sedikit banyak, karena hobby dan teman-temanku ini aku mengalami beberapa pristiwa yang menambah pengalaman hidup, aku juga banyak belajar dari mereka tentang cara menata hidup ke arah yang lebih baik.
Aku juga tak kenal letih berpetualang mencari penambat hati, ketika hidup sebagai seorang mahasiwa di kampus ini. Beberapa kisah ikut mewarnai manis dan getir kehidupan cinta yang pernah kualami. Meski aku lebih sering jatuh dan tabah menahan getir, dibandingkan mengecap rasa manis yang kudapat dari cinta. Mungkin itulah resiko diriku sebagai seseorang yang mudah jatuh cinta, tapi disisi lain belum dapat menjanjikan masa depan dari keberhasilanku sebagai seorang mahasiswa.
Kampus ini yang memberikan waktu bebas bagiku sebagai seorang mahasiswa. Yang selain untuk menuntut ilmu juga untuk bebas mengembangkan kreatifitas dan aktifitas membangun. Paling tidak, selama di kampus ini aku tidak pernah mengalami kendala berarti yang meruwetkan pikiranku.
Mungkin saja aku dan keegoisanku sekarang ini, sedang memakai pernak-pernik dan kelengkapan layaknya seorang mahasiswa pintar yang introvert, angkuh serta selalu berapi-api membicarakan politik. Jika seandainya tidak berada di kampusku yang sekarang ini.
Jika bukan di kampus ini, melainkan masuk di kampus negeri yang diseberang sana, bisa saja sikap bebas membuatku tidak akan sanggup bertahan dalam persaingan mahasiswa-mahasiswa pintar yang penuh aturan dan tata krama. Kemudian aku bisa saja frustasi dan semakin membuat orang tua ku kecewa. Bisa saja…
Jadi, cukuplah aku sebagai seorang mahasiswa biasa di kampus biasa-biasa saja, meski dulu selalu bercita-cita menjadi mahasiwa luar biasa di kampus yang istimewa. Setidaknya cita-cita itu, telah menjadi motivasi yang membuat aku selalu ingin membuktikan kepada mereka, seperti apa masa depanku nanti.
Inilah aku yang sekarang
Begitulah hidup seorang “Maldalias”. Masih menjadi manusia yang berusaha untuk mampu menjelajahi belukar kehidupan, meski berlalunya waktu hanya boleh dituntun oleh nalar yang dianggap cerdas sendiri. Sering bertarung melawan deraan aral, dengan prinsip yang “egois’.
Kehidupanya dianggap aneh, karena seenaknya dan apa adanya. Akibatnya, ada konsekuensi yang harus diterima dari kehidupan seseorang yang dianggap aneh, yaitu lebih sering tersisih.
Hingga kini, dia masih menjadi seorang mahasiswa Tek. Mesin. Keseharianya sebagai seorang mahasiswa selalu padat diisi dgn kegiatan akademik, ekstrakurikuler dan mencari jodoh.
Nilai kuliahnya bisa dibilang standar-standar saja, karena dari dulu dia memang dekat dengan segala sesuatu yang sedang-sedang aja. Namun, cukup disegani teman-teman sekampus dalam masalah “otak”, karena orang aneh seperti dia mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar, sehingga dapat melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kawan-kawanya yang lain.
Dia juga “gila baca” tapi sering lupa apa yang dibaca. Gramedia selalu menjadi tempat favorit dia buat mengisi waktu luang. Selain itu, juga menyandang predikat sebagai mahasiswa pailit, karena selalu saja merasa jatuh miskin tiap akhir minggu.
Selain membaca, dia mempunyai hobby yang semakin candu, seperti Browsing, chating, blogging dan aktifitas dunia maya lainya.
Dan mengenai hobby yang satu ini, sudah mendarah daging baginya. Untuk melakukanya memang butuh adrenalin yang cukup tinggi. ”Mix Martial Art”, dia menyukai semua olahraga beladiri.
Mengenai Jodoh, dia termasuk manusia yang tidak pernah letih dalam mencari. Tapi lebih sering patah hati, hingga suatu saat menemukan kutipan puisi dari buku yang sangat dicintainya, sangat tepat menggambarkan tentang dirinya.
Ada orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekelilingpun mereka tidak memperlihatkan getas hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis, dengan pengarang yang tidak pernah dikenal,
Jika malam tiba mereka mendengus meratapi rindu, menampar muka sendiri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang mengelitik nadinya. Cintanya tak pernah terungkap, karena ngeri membayangkan resiko ditolak. Lama-lama seperti seorang narsis, mereka menyukai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, “indah” tapi merana tak terperi.
Mereka hidup dalam bayangan, mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik paling misterius dari cinta itu sendiri.
Itulah yang aku rasakan…..
Pada intinya, seorang Maldalias adalah orang biasa, miskin dan kebanyakan. Namun dia ingin kaya pengalaman batin dan petualangan untuk mencari kebenaran hakiki.
Hingga memahami sisi mistisnya, yang ingin memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga orang.
Sebagai Insan Ilahi, dia juga memiliki sisi religius, yang berharap dari semua keingin tahuanya itu, dapat menjemput hidayah Ilahi. Dia sangat membenci keadaan, apabila membiarkanya duduk dengan tatapan dan pikiraan yang hampa, setidaknya harus ada mimpi dan khayalan yang menjadi fondasi untuk langkah nyata..
Kesimpulanya, dia ingin memuaskan sifat dasar keingintahuan manusia sampai batas akhir yang telah ditentukan, dengan segala karunia apa adanya yang diberikan oleh yang maha kuasa.
Kehidupanya dianggap aneh, karena seenaknya dan apa adanya. Akibatnya, ada konsekuensi yang harus diterima dari kehidupan seseorang yang dianggap aneh, yaitu lebih sering tersisih.
Hingga kini, dia masih menjadi seorang mahasiswa Tek. Mesin. Keseharianya sebagai seorang mahasiswa selalu padat diisi dgn kegiatan akademik, ekstrakurikuler dan mencari jodoh.
Nilai kuliahnya bisa dibilang standar-standar saja, karena dari dulu dia memang dekat dengan segala sesuatu yang sedang-sedang aja. Namun, cukup disegani teman-teman sekampus dalam masalah “otak”, karena orang aneh seperti dia mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar, sehingga dapat melakukan apa yang tidak bisa dilakukan kawan-kawanya yang lain.
Dia juga “gila baca” tapi sering lupa apa yang dibaca. Gramedia selalu menjadi tempat favorit dia buat mengisi waktu luang. Selain itu, juga menyandang predikat sebagai mahasiswa pailit, karena selalu saja merasa jatuh miskin tiap akhir minggu.
Selain membaca, dia mempunyai hobby yang semakin candu, seperti Browsing, chating, blogging dan aktifitas dunia maya lainya.
Dan mengenai hobby yang satu ini, sudah mendarah daging baginya. Untuk melakukanya memang butuh adrenalin yang cukup tinggi. ”Mix Martial Art”, dia menyukai semua olahraga beladiri.
Mengenai Jodoh, dia termasuk manusia yang tidak pernah letih dalam mencari. Tapi lebih sering patah hati, hingga suatu saat menemukan kutipan puisi dari buku yang sangat dicintainya, sangat tepat menggambarkan tentang dirinya.
Ada orang-orang tertentu yang memendam cinta demikian rapi. Bahkan sampai mereka mati, sekelilingpun mereka tidak memperlihatkan getas hatinya. Cinta mereka sesepi stambul lama nan melankolis, dengan pengarang yang tidak pernah dikenal,
Jika malam tiba mereka mendengus meratapi rindu, menampar muka sendiri karena jengkel tak berani mendeklarasikan cinta yang mengelitik nadinya. Cintanya tak pernah terungkap, karena ngeri membayangkan resiko ditolak. Lama-lama seperti seorang narsis, mereka menyukai seseorang di dalam hatinya sendiri. Cinta satu sisi, “indah” tapi merana tak terperi.
Mereka hidup dalam bayangan, mengungkapkan cinta agaknya mengandung daya tarik paling misterius dari cinta itu sendiri.
Itulah yang aku rasakan…..
Pada intinya, seorang Maldalias adalah orang biasa, miskin dan kebanyakan. Namun dia ingin kaya pengalaman batin dan petualangan untuk mencari kebenaran hakiki.
Hingga memahami sisi mistisnya, yang ingin memastikan setiap kesangsian, membuktikan prasangka dan mitos-mitos, serta mengalami sendiri apa yang hanya bisa diduga orang.
Sebagai Insan Ilahi, dia juga memiliki sisi religius, yang berharap dari semua keingin tahuanya itu, dapat menjemput hidayah Ilahi. Dia sangat membenci keadaan, apabila membiarkanya duduk dengan tatapan dan pikiraan yang hampa, setidaknya harus ada mimpi dan khayalan yang menjadi fondasi untuk langkah nyata..
Kesimpulanya, dia ingin memuaskan sifat dasar keingintahuan manusia sampai batas akhir yang telah ditentukan, dengan segala karunia apa adanya yang diberikan oleh yang maha kuasa.
23 Mar 2009
Mewujudkan Kedamaian dalam Kampanye
Setelah beberapa hari bangsa ini melewati kampanye pemilu terbuka, senang sekali rasanya tidak terjadi kerusuhan atau konflik serius dalam pelaksanaan kampanye damai pemilu Indonesia 2009. Tentunya masyarakat yang mencintai bangsa ini, tidak ingin segala bentuk masalah terjadi dalam pemilu 2009.
Meskipun sebenarnya kampanye terbuka merupakan ajang promosi untuk partai-partai politik peserta pemilu indonesia 2009 melalui interaksi langsung dengan masyarakat, yang lebih berpotensi menimbulkan konflik baik itu antar pendukung partai yang berbeda maupun antar sesama anggota partai yang ikut pemilu.
Seperti pengalaman yang telah terjadi sebelumnya, saat ada kumpulan massa dalam jumlah besar, keberanian untuk bertindak tidak disiplin bisa muncul dan akhirnya bisa menimbulkan kekacauan. Tapi semoga saja kali ini tidak terjadi seperti itu dan kampanye damai bisa terwujud, sehingga warga Indonesia pun merasa tenang. Mari terus kita serukan kata kampanye damai pemilu indonesia 2009 dan selalu berusaha agar kata-kata itu terwujud secara nyata di lapangan.
Sudah menjadi harapan kita bersama bahwa kampanye pada pemilu indonesia 2009 ini, dapat memberikan perubahan yang berarti dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia. Sekalipun misalnya ada sebagian orang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu atau golput, merekapun harus ikut mendukung terwujudnya suasana aman dan damai pada kampanye pemilu secara terbuka ini.
Menjaga kampanye agar tetap aman dan damai pun bukan hanya tugas aparat keamanan atau KPU selaku penyelenggara pemilu, tetapi juga tugas seluruh masyarakat baik itu kader partai politik maupun masyarakat biasa. Atau dapat diartikan bahwa “Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009” harus selalu diserukan, baik itu secara lisan atau melalui media cetak, elektronik maupun media-media yang lain.
Betapa pentingnya bisa menyuarakan Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009. Paling tidak kita harus ikut serta berusaha mensukseskan pemilu 2009, walaupun hanya dengan mengajak kampanye damai melalui media yang diketahui orang banyak.
Dan sekalipun kita mengatas namakan golongan apapun, rasanya tetap saja kita harus berusaha menjaga kedamaian dan keamanan kampanye pemilu indonesia 2009 ini, sehingga kerusuhan dan kekacauan pun tidak terjadi. Karena tidak ada satu pun orang yang tidak menginginkan kedamaian.
Ini hanya salah satu upaya saya sebagai blogger, yang merasa cukup baik untuk menyerukan kampanye damai pemilu melalui blog dengan menuliskan tentang seruan ini pada postingan blog. Mungkin orang lain yang membaca bisa menjadi sadar untuk ikut menyuarakan kata damai pada pemilu indonesia 2009 ini. Atau bahkan berpikiran sama dan mau memberi komentar tambahan yang menyumbang aspirasi, demi kemajuan pemikiran kita sebagai generasi penerus bangsa ini.
16 Mar 2009
Masihkah ParPol Membodohi Rakyat dalam Kampanye
Judul di atas merupakan ungkapan yang mewakili curahan hati masyarakat kita menjelang pemilu, khususnya mereka yang masih ingin ada kejujuran dalam sistem perpolitikan negeri ini. Masih terselip keraguan untuk mengatakan politik di Indonesia semakin maju, karena yang dikatakan maju bukanlah jalan di tempat atau terperosok jauh ke belakang. Dalam kenyataanya, partai politik yang bertambah banyak bukan menambah pendidikan rakyat dalam berpolitik, tapi malah membodohi rakyat untuk terus mau dieksploitasi demi kepentingan politik.
Masihkah kita layak menaruh harapan pada partai politik, jika kinerjanya tidak lebih dari arena jual omong dan tarik ulur kepentingan. Bahkan pemberdayaan politik berbalut aksi sosial, sudah menjadi suatu kelumrahan yang ditampakkan menjelang pemilihan umum. Disaat itu, parpol sekaligus berperan sebagai lembaga yang menyibukan diri dalam kegatan-kegiatan bakti sosial dan pembagian sembako murah.
Bukankah seharusnya Parpol adalah sarana untuk melaksanakan pendidikan politik pada rakyat, sehingga terbentuk kesadaran politik yang memungkinkan masyarakat memilih dengan rasionalitas. Tetapi, tentu saja harapan seperti itu masih di angan-angan, jika kaum elit dari Parpol tersebut masih menganggap rakyat adalah senjata untuk melawan mereka. Dengan kata lain, rakyat yang sadar akan hak-haknya sebagai warga negara, mampu berorganisasi, dan memiliki semangat untuk keluar dari belenggu ketertindasan, dianggap musuh yang dapat merongrong kekuasaan.
Maka pantaslah, jika Parpol sekedar menjadi organisasi sosial dadakan menjelang pemilu dengan penyelenggaraan baksos dan pembagian sembako murah. Atau bertransformasi menjadi manajemen dadakan yang menaungi artis2 dan hiburan dalam menyelenggarakan kampanye, tampaknya lebih cocok disebut pagelaran seni daripada kampanye politik.
Ataukah politik memang harus kejam, sehingga satu-satunya cara bagi pemimpin yang ingin terus mempertahankan kekuasannya, adalah dengan membuat bodoh rakyatnya. Lantas, dimanakah arti kekuasan negara demokrasi yang ada di tangan rakyat?.
Harapan saya, kesalahan dalam mempersepsikan politik dan demokrasi harus segera diluruskan, jika tidak ingin menjadikan rakyat semakin antipati terhadap politik yang tercipta di negeri ini. Parpol harus jujur melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator vital dalam demokrasi, terutama dengan memberikan pendidikan politik pada rakyat. Sehingga tidak ada lagi anggapan miring dikemudian hari, bahwa parpol masih sering membodohi rakyat dalam kampanye.
10 Mar 2009
Aku dan Si Doel “Tukang Insinyur”
Semenjak kecil, gw emang demen banget sama pilem-pilem dan acara-acara tipi yang gw anggap bagus. Dan di jaman ‘jadul’ itu, acara-acara seperti sinetron yang lebih sering muncul. Kalo acara ntu berkenan di hati, pasti akan selalu gw ingat. Sinetron yang satu ini lah contohnya, “Si Doel Anak Sekolahan”, bahkan udah beberapa kali gw tonton ulang di tipi.
Mungkin karna bagus acaranye, jadi diulang-ulang terus sama yang buat ntu acara. Padahal di kota perantauan gw dulu, bisa nonton RCTI aja udah seneng banget.
“RCTI emang OK “ dah…
Ehm…judul tulisan blog gw ini, emang sengaje diplesetin dari judul sinetron “Si Doel” yang booming di tahun 90-an dulu. Waktu ntu gw masih bocah SD (...tapi engga’ ingusan).
Dan kalo ngomongin sinetron “Si Doel”, biarpun waktu itu gw masih bocah, tapi udah dapat memberikan penilaian "sinetron rakyat banget".
Kesimpulanya, “gw seneng banget same sinetron yang fenomenal ini !”. Sampe-sampe udah apal banget lagunye.
Kiseh ceritanye buat gw terkesima, apa mungkin karena hampir same dengan kehidupan gw kali ye…
Sekarang umur gw udah 23 taon, udah semester akhir di bangku kuliahan. Gw liat sinetron “Si Doel “ masih diputar ulang lagi di RCTI. Bikin gw 'ngerendezvous' ke masa kecil gw dulu yang ngefens banget sama ni sinetron. Malah sekarang ini, kalo gw inget-inget, kisah “Si Doel” ternyata memang benar-benar ‘kena’ sama kehidupan gw.
Melihat sebuah keluarga seperti keluarganye “Si Doel”, seperti itulah yang gw kenang tentang keluarga gw. Kehidupan sebuah keluarga sederhana, tinggal di rumah kecil yang dihuni oleh manusia-manusia apa adanya. Kedua orang tua yang sabar, polos, sekaligus bijaksana. Penghuni rumah yang wataknya berbeda-beda tapi ada kebersamaan dalam perbedaan itu, mereka semua membaur dalam keseharian yang penuh suka cita. Setiap masalah dapat segera diselesaikan dengan berembuk bersame-same.
Keluarge 'si doel' layaknya seperti Ema’, babe, dan saudara-saudari gw. Sekarang mereka yang sangat gw rindukan, berada sangat jauh. Harus ngelanggar pulau kalo pingin bertemu mereka semue.
Babe “Sabeni” yang diperankan Benyamin S, orangnye persis banget sama babe kandung gw. Sumpah!!, kalo aja gw bisa nunjukin potonye…lo semua pasti pada bilang ‘iye’!. Bukan cuma wajah, tpi karakter yang ditunjukin dalam sinetron itu juga hampir persis.
Mungkin karena dalam sinetron ntu, “Babe Sabeni” emang memerankan karakternye sendiri. Babe “gaul abiezz” yang merakyat, bijaksana, tegas, tapi tidak juga lepas dari sifat kocak yang selalu dapat menghibur orang banyak.
Selain itu, yang buat gw terharu adalah meskipun sampai akhir hayatnya, “Babe Sabeni” tetap menjadi kepala rumah tangga yang selalu dikenang petuahnya terhadap keluarge. Selalu tawakal walau hidup sederhane.
Sejak itu “Bang Ben” jadi idola gw. Dalam kenyataan, die adalah seniman kharismatik, orang betawi tulen yang mencintai budaye, “muke kampung-rejeki kota”. Dan wajahnya mirip banget same babe gw…he..he..
Dalam kisah “Si Doel”, Enya’ juga adalah ciri seorang ibu yang diidam-idamkan oleh sebuah keluarga. Emang seh, gw engga’ tau ape pendapat anak-anak gedongan tentang “Mama” buat mereka.
Tapi buat gw, Ema’ gw orangnya seperti ’Enya’ nya “Si Doel”. Mungkin dari segi fisik, ngga’ bisa dibandingin antara Enya’ sama ema’ gw. Wajah mereka berdua emang engga’ mirip, lagian emang ema’ gw yang lebih cantik!!.he..he..
Tapi, kalo karakter yang diperanin enya’ dalam sinetron “Si Doel”, rada’-rada’ mirip dengan ema’ gw. Gaya bicare yang polos, ema’ gw juge hanya perempuan desa, penyabar, engga’ pernah ngeluh waktu ngehadapin kelakuan gw sama orang-orang rumeh. Ema’ gw adalah orang yang paling sering ngingatin gw untuk sholat, ngaji, sekolah. Kadang emang ‘panjang ceritanya’, kalo ema’ lagi “nasehatin” atau “ngomel’, bisa-bisa sekeluarga yang kena getahnye.
Tapi itulah, selamanye die tetap jadi ema’ gw yang takkan pernah tergantikan.
Nah, sekarang tentang “Si Doel” nehh…
Kalo di sinetronye, kisah tentang “Si Doel”, mungkin bisa dijabarin seperti dari lagu pembukanye (yang sedikit gw pelesetin biar manis..he..he..)
Katenye, Anak Betawi ketinggalan jaman. Katenye, Anak Betawi, engga’ berbudaye. Si Doel yang anak Betawi asli bilang, “Sialan”.
Emang kerjaanye, sembayang dan mengaji, tapi jangan bikin die sakit hati !!.
Diberi sekali aja, bisa mampus lo!!.
“Si Doel”, dalam kisahnye adalah seorang anak betawi yang dibesarkan dalam keluarge sederhane. Dari awal cerite, die sudah diceritakan sebagai anak yang berbakti pada orang tue, mencintai keluarge, kerjaanye sembahyang, mengaji, dan sekoleh. Orangnye engga’ banyak bicare, kalaupun ngobrol paling yang penting-penting aje.
Tapi disukai banyak orang, punya banyak temen, dan pintar di sekolahanye.
Dari judulnye “Si Doel Anak Sekolahan”, kite udah dapat tahu bahwa kisahnye lebih menceritakan tentang susah-senang “Si Doel” dalam meraih cita-cita dan kehidupanye sebagai seorang “Anak Sekolahan”.
Hingga suatu saat, ketike harus nerusin pendidikanye ke bangku kuliahan, kedua orang tuanye bingung, karena mereka hanyalah keluarge sederhane yang keadaan ekonominye pas-pasan.
Belum lagi dengan pemikiran orang kampung yang menganggap “Sekoleh engga’ usah tinggi-tinggi, yang penting udeh bise bace sama nulis, udeh cukup”.
Akhirnya ada aja jalan dari Allah, “Si Doel” bisa juga jadi mahasiswa jurusan teknik mesin, yang kalau lulus nanti, InsyaAllah bisa jadi “Tukang Insinyur”.
Bukan hanya masalah sekolahan yang menarik dalam kisah “Si Doel”, kisah roman yang diceritain juga menggugah hati. Seorang anak kampung sederhana seperti “Si Doel” ternyata melewati kisah percintaan seperti dongeng-dongeng seribu satu malam.
Die disukai oleh seorang gadis kota yang kaye raye. Sarah namanye. Orangnya cantik, baik hati. Biar kate anak orang gedongan, tapi Sarah engga’ sombong dan disenangi oleh keluarganye “Si Doel”.
Tapi, emang “Si Doel” yang rada’ aneh. Orang “Teknik Mesin’, tapi engga’ berpikir praktis. Bukanya tinggal digebet aja ntu Sarah, malah banyak “jaim”nye. Pernah Sarah bilang, kalo “Si Doel” itu lebih pantas disebut sebagai orang filsafat, karena lebih banyak berpikir bijak yang kadang terlalu berlebih dalam kenyataanye.
Tau dah,…mungkin malah itu kelebihan “Si Doel”, sikapnye anteng-anteng aje
kalo ngehadapin masalah cinte. Die engga’ mau berpikir muluk-muluk. Dan malah itu yang buat si Sarah makin simpatik sama die. Walaupun rada’ sebel karena “Si Doel” lebih sering curiga dan pesimis sama kebaikan die, “Doel” juge cendrung pasif dan jarang tersenyum kalo diajak bicare. Ya gitu deh, yang namanye “Si Doel”.
Tapi sebenarnye, “Si Doel” juga demen sama Sarah.Jadilah kisah mereka berdua semakin romantis, dan buat ngiri anak-anak mude sekarang yang sudah miskin-jomblo pula lagi…he..he..
Oh iya, lupa…ada satu perawan lagi yang juga cinte mati sama “Si Doel”, Jaenab namanya. Juga engga’ kalah cantik dan baik hatinya dibandingin Sarah. Cuma die gadis kampung, yang pendidikanye engga’ setinggi Sarah, orang tuanye juga engga’ sekaya Sarah.
Tapi, bisa buat “Si Doel” kelimpungan juga milih antara mereka berdue.
Yang jelas “Salute” buat “Si Doel”, biarpun miskin dia punya kharisma yang buat gadis-gadis cantik jatuh hati.He..he..
Lalu apa hubunganye sama gw ??.
Gw bukanye mau banding-bandingin ye…
Cuma kalo ngeliat “Si Doel” dalam sinetron, ko’ rada’-rada mirip ye sama kehidupan gw. Walaupun banyak yang ga' persisnya seeh..he..he..
Kadang gw juga bertanye-tanye, yang nyutradarain nih sinetron kan bang Rano Karno (gw juga ngefens banget sama die), apa mungkin cerita “Si Doel” emang sengaja diambil dari kehidupan yang pernah ada dalam kenyataan.
Tau dah…cuma gw sering terharu dan senyum sendiri aje, kalo nglihat kehidupan “Si Doel “ yang serupe tapi tak same dengan kehidupan gw. he..he..
Udah gw ceritain sebelumnye, dari kecil bahkan sampai sekarang gw udeh terbiase hidup dengan kesederhanaan. Meskipun begitu, gw sangat bahagia dengan kehidupan dan keluarge gw.
(Pingin banget bise ngulang rase kebersamaan itu dalam kehidupan gw yang sekarang, disaat lagi jauh dari orang-orang yang gw sayangi).
Dan bukanye so’ muji diri sendiri,
tapi katanya...dari semue saudare, gw yang selama ini paling nurut apa kate orang tue.
katanya juga...Dari kecil jarang ngerecokin dan engga’ pernah buat masalah.
Kedua bonyok gw yang paling berjasa, nanamin ke diri gw bahwa "shalat dan mengaji harus menjadi bekal utame, pendidikan dan masalah sekoleh juga penting".
(Selama 12 tahun sekolah 'SD - STM', mungkin bisa diitung pake jari, kapan gw pernah bolos, itu juga karena sakit).
Waktu bocah, gw anaknya periang seperti teman-teman yang lain. Aktif dalam banyak kegiatan, seperti olahraga, baris-berbaris, pramuka, dan selalu mendapat peringkat 10 besar di kelas.
Hingga kemudian selesai SMP, gw ngelanjutin sekolah ke STM.
Mungkin emang usia remaja adalah usia akhil baliq yang bise buat care pikir seseorang menjadi berubeh. Gw kemudian jadi sedikit berbeda, jadi lebih pendiem, udah jarang rame dan cengar-cengir lepas sama teman-teman lain, kalo iya pun paling cume sekali-kali.
Sejak saat itu sampai sekarang, sifat kaya gitu yang sering terlihat pade diri gw. Meskipun sekali-kali gw tetap bise menjadi seorang yang rame, tapi engga’ tahu kenape gw lebih suke kelihatan dari luar sebagai manusie yang anteng-anteng aja dalam bergaul. Nngerasa sikap diem lebih baik ditunjukkan daripada banyak omong.
Tau dah…tapi ya kaya gitu gw yang sekarang ini. Kadang gw juga sering pesimis dan curiga terhadap kebaikan orang lain. Memandang kehidupan dengan filosofi yang gw anggap bijak.
Padahal, gw kan juga “Orang Teknik” seperti “Si Doel” yang seharusnya berpikir praktis.
(Oh iye, gw yang sekarang juga seorang mahasiswa jurusan teknik mesin, yang berharap kalo lulus nanti juga jadi “Tukang Insinyur”).
Ceritenye sampai gw bisa kuliah, juga hampir sama dengan “Si Doel”.
Keadaan ekonomi keluarga yang sebenarnya tidak sanggup untuk membiayai gw kuliah. Dan gw juga sangat mengerti akan permasalahan itu. Hanya karena niat yang teguh dari ema’ dan babe gw, akhirnya keinginan gw untuk tetap kuliah dapat terwujud. Atas usaha dan jerih payah mereka berdue, sebagai anaknya gw tidak kan pernah sanggup membalasnya.
Ehm…Masalah cinte???.
Kalo “Si Doel” pantas bahagie dikejar-kejar gadis cantik seperti Sarah dan Jaenab.
Kalo gw ??, bingung gimana cara nyeritainye….
Diitung-itung udah beberapa kali gw jatuh hati sama anak perawan orang. Apalagi pas jamanye “Cinta Monyet”, wajar lah...yang namanye orang lagi puber.
Tapi di saat usia gw semakin dewase, masaleh cinte ini menjadi semakin rumit. Sikap gw yang memandang hidup sebagai sesuatu yang harus diraih secara sempurna, membuat gw selalu memilih-milih dalam segala hal yang menyangkut kehidupan (Termasuk dalam mencari jodoh).
Ada kriteria tertentu yang pingin gw cari. Tapi mungkin karena gw terlalu berpikir lebih, makanye belum mendapatkan apa yang gw cari ??.
Bukan karena terbawa khayalan dari kisah “Si Doel”, kalo akhirnya gw menjadi orang yang pemikiranye sama dengan “Si Doel”.
Dan sebenarnye tulisan ini pun hanyalah iseng-iseng dan candaan belaka gw dalam bentuk kreatifitas.
(Tapi, gw juga engga'bohong nyeritain kesamaan antare gw dengan “Si Doel”. Hanya saje, tetap ade perbedaan diantara setiap kesamaan). …
Kalo “Si Doel”, dengan kesederhanaan dan sikap antengnya itu, dapat membuat die menjalani hidup mengalir, setenang air sungai yang jernih. Dan juge menjadikan daya tarik untuk mendapatkan simpati orang lain (kisah cintanye seperti dongeng yang jarang terjadi dalam kehidupan nyate).
Sementara gw, dari sononya emang udah engga’ punya apa-apa (Asli, gw orang yang engga’ berada), bukan sekedar karangan seperti kisah sinetron “Si Doel”. Meskipun gw sama sekali engga’ pernah menyesal dengan kehidupan gw yang sekarang ini.
Gw juge pingin bisa menjalani hidup setenang air, cume yang namanye kenyataan kan beda sama cerita sinetron. Terkadang gw juga harus ngalamin cobaan dan penderitaan yang bisa buat gw sedih, marah atau apalah.
Gw bisa benar-benar terpuruk kalo orang disekitar gw engga’ peduli dan engga’ mau ngertiin perubahan pada sikap gw. Kalo saja mereka tahu, sebenarnye gw hanye pingin menjadi orang yang lebih baik.
Kadang dengan sikap gw, malah dianggap munafik, so’ alim, so’ jaim, atau apalah.
Dulu mungkin gw same dengan “Si Doel “ yang santai aje dalam perkare cinte. Karena waktu dulu itu, gw berpikir bahwa cinte sejati dengan sendirinye akan datang. Gw tetap memendam perasaan dengan bersikap anteng-anteng aja, menunggu dengan sendirinye kharisma itu akan tiba dan mengantarkan pada apa yang gw cari.
Ternyata gw salah, karena gw bukan “Si Doel” atau aktor dalam sinetron “yang sabar selalu menang”. Gw hanyalah pemain yang melakoni lenong kehidupan gw sendiri. Mengisahkan cerite, yang skrip dan sang sutradaranye, engga’ pernah gw temuin.
Untuk itu gw tentunye harus berupaye sendiri dalam memainkan peranan sebaik mungkin.
Akhirnya sekarang gw berpendapat,
Jika hidup memang panggung sandiware, berarti semue yang ade di dunie ini juga sedang bersandiware. Berpura-pura bertingkah laku baik agar disenangin dan dipuji orang lain. Orang lain juga berpura-pura memuji, supaya dibilang sebagai orang yang baik pula. Semuanye berujung pade hasrat untuk diakui sebagai orang yang baik.
Ketulusan memang ade, tetapi tetap diselubungi sandiwara di hadapan Yang Kuasa. Demi mendapat balasan setimpal di kemudian hari.
Hidup ini dibentuk oleh dua sisi yang ade dalam naluri manusia, 'baik dan buruk'. Belum ada seorang pun yang melakukan kebaikan, tapi tidak pernah melakukan keburukan. Mereka hanya terus berusaha mencari cara untuk terus berpura-pura. Jika hari ini bisa berpura-pura baik, mungkin aje suatu saat nanti berpura-pura jahat, karena setiap melakukan satu sisi pasti tetap terbersit sisi yang satunya lagi.
Berbahagialah bagi mereka yang dapat menutup kepura-puraan itu, bahkan selamanya dapat selalu berpura-pura baik. Membiarkan keburukan yang pernah terjadi tersimpan rapi untuk tidak diungkit kembali.
Sekarang ini, gw sedang berusaha meraih gelar “Tukang Insinyur”. Semoga bisa seperti “Si Doel” nantinya. Engga’ mau nyia-nyiain jerih payah ema’ sama babe gw. Suatu saat nanti, gw harus bise mendapatkan pekerjaan yang bisa membahagiakan orang yang gw sayangi.
Biarin aje, kalo ada yang nganggap gw ini orangnya pura-pura engga’ mikirin masalah jodoh, karena mungkin sandiwara hidup yang gw peranin ini sama seperti kisah “Si Doel” (segalanya diraih setelah menjadi “Tukang Insinyur”).
Dan dalam sandiwara hidup ini, gw juga tetap berpura-pura anteng. Agar hasrat gw yang menggebu-gebu dapat tersimpan rapat. Suatu hari nanti, segala kebohongan pasti akan terungkap. Sebenarnya selama ini, gw hanya berpura-pura menjadi manusia tanpa tutur, yang dianggap engga’ punya kelebihan berarti.
Biarlah gw terus berpura-pura menyenangkan mereka yang selau menertawakan. Paling engga’, karena hal itu dunia menganggap gw sebagai orang yang baik.
Akan ketahuan juga nanti, bahwa dibalik kepura-puran gw sebagai orang yang betah dalam sepi, sebenarnya pingin banget mewujudkan dongeng gw sendiri (bisa nemuin jodoh seperti Sarah atau Jaenabnya 'si doel').
Wanita yang cantik rupa dan baik hati, mengerti apa adanya diri gw.
Pada saat itu, mereka akan tahu bahwa selama ini aku hanya berpura-pura menjadi manusia angkuh, untuk menutupi rasa kasih sayang dan perasaan cinta gw yang begitu besar. Bahkan perasaan gw itu, engga’ bakalan sanggup digantikan dengan syair indah apapun juga.
Dunia kita adalah sandiwara...yang penuh rekayasa.
Layaknya gw, yang hidup dalam imajinasi dan khayalan sendiri.
Seperti sinetron 'si doel' tukang insinyur.
Antara Ada dan Tiada
Benar engga’ seeh ?….
Jujur !!, gw adalah orang yang “Engga’ terlalu” percaya sama ramalan-ramalan. Meskipun “Engga’ terlalu” mengandung pengertian bahwa masih ada “sedikit” rasa percaya.
Tapi, yang “sedikit” dipercayai itu, tidak bisa dikatakan sepenuhnya ‘ramalan’. Lebih pantas dikatakan ‘petuah-petuah’ orang-orang yang terlahir lebih dulu daripada gw. Mereka memang sudah banyak ‘makan garam’, sehingga wajar jika gw nurut apa yang dianggap baik oleh mereka, tentang kehidupan. Meskipun, ujung-ujungnya tetap balik ke diri gw sendiri…
Atau mungkin saja gw “berbohong”, waktu mengaku “Engga’ terlalu percaya” sama ramalan. Karena yang sebenarnya, gw adalah contoh manusia yang selalu ingin tahu tentang hal yang “Tidak masuk akal” namun “ada”. Seperti hal-hal “Ghaib” yang selalu berputar diantara “ada” dan “Tiada”.
Gw juga berpendapat, fungsi ‘Otak’ yang ada di kepala ini hanya akan mubazir, kalo engga’ dimanfaatkan untuk berpikir kritis, atau paling tidak untuk memuaskan rasa ingin tahu. Selama tujuanya untuk memperkaya pengetahuan, kenapa tidak ?. Toh, masih dianggap sebuah kewajaran bagi seorang manusia yang gemar mencari tahu. Bahkan kehidupan hanya akan konstan kalo dijalani datar-datar aja.
Istilah-istilah Six Sense, Kundalini, alam bawah sadar, hipnotis, mati suri, Indigo, Paranormal, Magician, Illusionist, “Orang Pintar”, master X, Y,Z, dan lain sebagainya, membuat gw selalu ingin mencari tahu apa yang tersembunyi di balik istilah-istilah itu. Mungkin istilah-istilah itu masih menjadi hal yang baru bagi sebagian orang, tapi sudah lumrah bagi mereka-mereka yang sudah berkecimpung di dalamnya, bahkan ada juga yang menganggap tabu karena alasan ideology yang berpedomankan prinsip tak tergoyahkan.
Terlepas dari semua pandangan-pandangan itu, gw tentunya memiliki perspektif sendiri, dan sama sekali tidak menyalahkan pandangan mereka yang berbeda. Perbedaan pendapat adalah lumrah, karena kita manusia. Hanya Ilahi yang Maha Benar. Kita hanya bisa berusaha menelusuri dan mencari yang paling benar, dengan berpedoman pada apa yang telah digariskan sebagai daya upaya kita.
Namun dalam permasalahan ini, jangan sampai kita menjadi angkuh karena merasa yang paling benar. Dengan naluri ingin tahu, kita mempunyai tujuan yang sama, hanya saja jalan yang kita lalui berbeda. Perbedaan pun jangan sampai menjadi ‘titik mati’ untuk memvonis seseorang itu bersalah, karena mungkin saja belum tersirat alibi yang mendorong tindakanya tersebut. Manusia bijak adalah, yang menelaah sebelum menilai, mempelajari sebelum bertindak, membuktikan sebelum bersaksi.
Mungkin juga, gw terlalu jauh menafsirkan tentang perbedaan pendapat ini, dengan mengkaitkan keyakinan yang ada pada setiap orang. Karena sesungguhnya, mereka yang telah menyelaraskan pikiran dan batinya, dengan sendirinya akan meresapi kebenaran akan adanya “hal” itu.
Apalagi istilah-istilah yang gw kemukakan di atas, hanyalah pengertian tentang kekuatan yang ada pada diri manusia. Ilmu yang mencakup berbagi bidang semakin maju, orang pun semakin pandai, dan telah banyak pembuktian bahwa ‘hal itu’ memang sudah ada semenjak manusia pertama tercipta di dunia. Bisa dikatakan sebagai kekuatan diri yang terpendam, bisa timbul jika disertai niat, usaha dan latihan yang sungguh-sungguh. Kemana kekuatan itu tertuju, tergantung ke arah mana manusia itu hendak mengendalikanya.
Gw sangat mengagumi orang-orang yang memiliki six sense, dan meyakini itu sebagai anugerah yang diberikan Ilahi. Orang-orang yang terlahir memiliki bakat seperti ini, yang sekarang dikenal sebagai paranormal, orang pintar, peramal, dan lain sebagainya. Tapi, gw juga engga’ mau menjadi manusia yang sangat berdosa jika sampai terjerumus dalam kepercayaan yang melebihi keimanan gw terhadap Allah SWT. Karena sesungguhnya kemampuan yang mereka miliki itu, hanyalah setetes diantara samudra rahasia Ilahi.
Dikatakan dengan bakat yang dimiliki itu, mereka dapat mengetahui tentang apa yang tidak diketahui orang lain, entah itu tentang masa depan, kehidupan, jodoh, nasip, dan lain sebagainya. Tidak ada yang dapat membuktikan secara mutlak tentang kebenaranya, karena pada prinsipnya ramalan adalah ilmu menerka-nerka apa yang akan terjadi berdasarkan daya pikiran alam bawah sadar.
Berdasarkan pengetahuan yang ditelusuri pengalaman, serta diupayakan dengan penalaran yang logis, gw mengartikan alam bawah sadar sebagai, “daya pikir halus” yang dimiliki setiap manusia. Karena dalam keadaan ‘hidup’, manusia secara acak mengalami beberapa jenjang keadaan yang terjadi dalam alam pikiran mereka.
Disaat melakukan aktifitas seperti biasa, sepenuhnya mereka sadar akan apa yang dilakukan. Dalam keadaan yang seperti itulah, mereka mengalami jenjang yang dikatakan sebagai ambang kesadaran. Meskipun setiap aktifitas berupa keadaan dan kegiatan yang tidak terencana, manusia hanya mengikuti alur kehidupan yang dilalui saat itu, dengan daya sebatas apa yang bisa dilakukan.
Selanjutnya ada jenjang berikutnya, ‘akal’ manusia yang dianugerahkan Ilahi, selain untuk berpikir juga berperan sebagai penyimpan pengalaman yang pernah dialami kelima indera. Pengalaman itu bisa menjadi pengetahuan, yang memperkaya perbendaharaan tingkah laku manusia dalam menyikapi hidup. Yang pemaknaanya tergantung bagaimana setiap orang menafsirkan arti dari pengalaman hidupnya masing-masing.
Pada prinsipnya, apa yang kita lakukan diawali dengan apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang telah tersimpan semenjak kita hidup. Semua yang tersimpan dalam akal tersebut, termasuk dalam jenjang alam bawah sadar. Contoh sederhananya, kita dapat mengetahui kehadiran suatu benda cukup menggunakan indera penciuman, tanpa perlu melihat wujud dari benda tersebut. Hal itu dikarenakan ‘akal’ kita pernah menyimpan memory tentang wujud utuh benda tersebut disertai aromanya yang khas, mungkin terjadi pada suatu saat kita pernah melihatnya.
Tapi ada pertanyaan yang ingin dikemukakan , “Bagaimana jika suatu ketika kalian mengalami suatu keadaan, dan pada saat itu kalian berpikir seakan pernah mengalami keadaan itu, Namun entah kapan dan dimana”….?.
Atau pernah terbayang dalam pikiran tentang sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan kalian. Dan pada suatu saat, apa yang pernah terlintas dalam pikiran itu, banar-benar terjadi…????
Yang gw anggap istimewa adalah, ternyata alam bawah sadar pun dapat dimanfaatkan secara luar biasa. Karena selain menyimpan memory kehidupan yang pernah dialami, di alam bawah sadar juga tersimpan kekuatan besar yang secara alami ada pada setiap manusia. Bisa muncul seketika, jika manusia dalam keadaan yang dapat memungkinkan hal itu dapat terjadi. Contoh sederhananya seperti, orang yang sebelumnya memiliki kemampuan terbatas untuk berlari, tetapi dalam keadaan yang terdesak atau membahayakan dirinya, secara tiba-tiba dia dapat berlari sekencang-kencangnya.
Jika pernyataan di atas hanyalah contoh yang sederhana, berarti masih ada contoh lain yang dapat membuat penilaian tentang “Antara ada dan Tiada” menjadi lebih istimewa. Sebagian contoh istimewa tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa alinea di bawah ini, yang coba dijelaskan sebatas pengetahuan penulis, semoga dapat menjadi tambahan pemikiran kita masing-masing.
Seorang peramal yang dapat menerka masa depan, nasip, atau jodoh seseorang. Diantara kita ada yang menyangsikan dan takut mempercayai hal itu, karena dapat menjerumuskan kepada kepercayaan yang melebihi keimanan terhadap Yang Maha Kuasa. Ada juga yang mempercayai hal itu memang ada, karena telah membuktikan sendiri, entah berdasarkan pengalaman atau memang memiliki kekuatan itu. Tapi yang paling bijak adalah, mereka yang mencari tahu hingga memahami sumber kekuatan itu, dengan begitu mereka dapat memiliki kekuatan dengan kesadaran bahwa hal itu tidak lain hanyalah anugerah dari Yang Maha Kuasa.
Bukan itu saja, kekuatan alam bawah sadar juga mencakup kekuatan yang dimiliki oleh orang-orang yang sering disebut sebagai seorang : magiciants, Illusiaonist, dan lain sebagainya. Penampilan luar, tutur kata dan tingkah laku mereka dapat memancarkan kepercayaan diri yang tinggi, karena mereka telah memanfaatkan alam bawah sadar menjadi suatu kemampuan yang memancarkan energi positif ke pribadi mereka. Dengan kemampuan itu, mereka juga sanggup mendayakan kekuatan pikiran untuk memaksimalkan kekuatan murni yang ada pada diri, membaca pikiran orang lain, membaca makna yang tersembunyi, mempengaruhi orang lain, bahkan menghipnotis.
Orang-orang istimewa yang disebutkan diatas juga memiliki kekuatan yang tidak jauh berbeda dengan ahli-ahli yang menguasai beladiri, ilmu tenaga dalam, ilmu pengobatan tubuh, atau lain sebagainya. Bahkan bagi mereka yang benar-benar menguasai kekuatan alam bawah sadar, dapat memiliki gabungan dari seluruh kemampuan itu. Contohnya, seorang ahli beladiri yang selain memiliki ilmu tarung, juga memiliki ilmu tenaga dalam yang dapat mengalahkan musuh dari jarak jauh, memunculkan kekuatan diri diluar kenormalan, membaca watak dan perangai seseorang, melihat dengan mata tertutup, mencari benda yang tersembunyi, mengetahui kejadian yang akan terjadi.
Sampailah kepada kesimpulan yang ingin disampaikan penulis. Mungkin hanya sekedar asumsi yang dikemukakan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang sekedar. Semua kekuatan yang berdasarkan pada alam bawah sadar, pada intinya berasal dari kekuatan pikiran seseorang yang mampu berkonsentrasi dan memfokuskan diri sepenuhnya pada apa ingin dilakukan. Untuk mencapai kesempurnaan dalam pencapaianya, memang membutuhkan niat dan ketekunan dalam berlatih. Tapi, bukan berdasarkan jampi-jampi kolot atau ayat-ayat sesat yang tak jelas. Layaknya ada sebuah pepatah yang juga sering menjadi kalimat ampuh dalam buku-buku motivasi mengatakan, “anda adalah apa yang anda pikirkan”.
Inti dari pemahaman tentang kekuatan alam bawah sadar adalah “Keheningan dan ketenangan diri”, karena dengan begitu kita akan menyadari seperti apa kita diciptakan dunia ini. Akan tersirat makna-makna yang selama ini tidak kita sadari ada. Bagi yang sungguh-sungguh telah memahami, semuanya akan berujung pada keyakinan dan mempertebal Keimanan pada Allah SWT.
Janganlah mengatakan ‘tidak mungkin’ terhadap sesuatu “antara ada dan tiada” apabila kita tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang hal itu. Karena sesungguhnya Allah yang mengetahui segalanya.
Seperti kita juga akan mengatakan ‘tidak mungkin’, jika tidak ada pengetahuan yang membuktikan bahwa sebelum dilahirkan, kita pernah berada dalam rahim seorang Ibu. Apakah kita masih mengatakan ‘tidak mungkin’, jika langit yang kita lihat berwarna biru, sebenarnya tidak seperti itu di angkasa sana. Mungkin saja kita akan berlarian tak jelas arah, jika memikirkan bumi yang kita pijak sebenarnya sedang berputar dengan kecepatan yang sangat kencang. Bintang-bintang yang berpijar dan rembulan yang bersinar malam ini, sebenarnya hanya bias benda langit yang telah ada beribu-ribu tahun lalu, dan kita hanya penonton masa depan sedang melihat keindahan yang telah sirna.
Adakah diantara kita yang menyadari bahwa masih ada mahkluk lain, selain manusia, hewan dan tumbuhan di bumi ini. Pasti banyak diantara kita yang terkejut bahkan sampai terkena serangan jantung, jika diberikan mata yang kemampuan melihatnya seperti seekor anjing, atau telinga yang mampu mendengar seperti seekor kelalawar. Karena akan terkuak di hadapan kita, mahkluk-mahkluk yang tidak pernah kita lihat sebelumnya.
Alam penuh misteri bukan..?
Masih banyak rahasia Ilahi yang belum terungkap, atau tidak akan dapat diungkapkan oleh manusia, yang hanya merupakan insan lemah. Namun sesungguhnya, hal itu sudah cukup menjadi tanda bahwa kita wajib bersyukur atas segala yang dianugerahkan-Nya. Betapa hina dan merugi, insan yang meragukan keagungan-Nya, sedangkan hidup di dunia ini tidak abadi dan kematian adalah sesuatu yang pasti. Disaat itu kita baru tersadar, bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya, bahkan nyawa kita sendiri adalah titipan yang tiap saat bisa diambil.
Langganan:
Postingan (Atom)