Semenjak mulai bekerja di salah satu tempat rekreasi terkenal yang lokasinya terletak di pusat ibukota, akhirnya mengharuskan aku untuk sering menggunakan trasnportasi kereta ekonomi, itu terjadi ketika pulang dan pergi setiap harinya. Cukup memakan waktu karena jarak tempat tinggalku yang cukup jauh, dan tentu saja menguras tenaga, karena setiap pekerja di ibukota ini tentu tahu bagaimana kondisi berdesak-desakkan dan hiruk pikuknya kereta ekonomi setiap hari pada jam berangkat dan pulang dari kerja. Tapi karena aku sangat mencintai pekerjaanku, itu semua dapat kujadikan sebagai halangan yang sama sekali tidak berarti.
Tapi, dalam tulisan ini aku tidak ingin bercerita tentang segala hal yang menyangkut pekerjaan, mungkin itu untuk dilain waktu saja. Ini hanya sebuah tulisan yang menceritakan tentang kehidupanku di ibukota, khususnya kami yang disebut anak kereta, kami yang sangat akrab dengan kereta ekonomi beserta segala situasi dan kondisi yang terjadi di dalamnya. Dan terbit satu kesimpulan yang ingin kusampaikan di awal tulisan ini, bahwa mestinya bila ada diantara kalian yang ingin tahu bagaimana kehidupan Ibu kota, maka tak perlu jauh-jauh mencarinya. Cukup di dalam kereta ekonomi.
Kerap terdengar kabar berita, bahwa bila ingin tahu sisi lain dibalik gemerlap ibu kota maka lihatlah daerah yang terpinggirkan, banyak terdapat rumah-rumah kumuh beserta kemiskinan para kaum gelandangan, anak-anak kecil tak bersekolah yang telah terbiasa belajar hidup diantara sampah dan genangan air kotor, sedangkan orang tua mereka mencari nafkah sebisanya dari apa yang sekenanya mereka pikirkan, lantas itu dilakukan dalam keadaan dan lingkungan mereka yang memang seperti itu. Orang-orang seperti itu juga ada di dalam kereta ekonomi.
Di tingkat yang lebih baik atau mungkin sama saja, kau akan menemui para pedagang, yang oleh ibu kota mereka akhirnya mendapat tambahan julukan dibelakang nama mereka sebagai “pedagang kaki lima atau asongan”. Merekalah ciri khas pedagang sejati di negeri ini, karena bagiku mereka yang sudah sukses sebagai pedagang hanya disebut beruntung dan belum sukses jika tidak pernah melewati masa-masa susah seperti apa yang pernah dirasakan oleh para pedagang sejati ibu kota tersebut. Bekerja keras dan tak ada malas, berwatak keras, dan diantaranya memelas bahkan culas dan memeras, semua itu karena hidup di ibu kota. Orang-orang diantara merekapun dapat kau jumpai dalam kereta ekonomi.
Dan kalaupun hanya mereka-mereka itu yang kuceritakan, rasanya tulisan ini kurang menarik. Karena kita mungkin juga sudah bosan untuk mendengar kisah-kisah kemiskinan yang terjadi di sini, karena situasi mungkin saja dapat menyebabkan saya atau kalian yang hidup di kota besar perlahan sudah tidak mementingkan rasa iba, apabila dikarenakan kejadian itu sudah biasa untuk kerap terjadi, bahkan sering mengusik dan menggangu kita tiap harinya. Benar kan?.
Oleh karena itu, ada kalangan lain yang ingin kutambahkan dan mungkin bisa juga disebut sebagai penghuni tetap dalam kereta ekonomi ibukota ini. Para biduan dan biduanwati dengan segala perkakas penyumbang suara mereka. Mereka tidak hanya menyanyikan lagu dengan suara yang merdu, tapi sebagian yang sumbang masih dapat berkoar tentang kesucian agama, kesusahan hidup, dan tetek bengek lain yang pastinya menyentuh hati dan menanti recehan berarti. Ada juga para pelajar atau mahasiswa yang merupakan generasi penting bangsa ini, atau para pekerja yang merupakan orang penting pula dalam menafkahi keluarga.
Intinya mereka adalah Lelaki, wanita, adapun banci, ibu-ibu, anak-anak, orang jompo, semuanya dipaksa belajar tangguh jika sedang berada dalam kereta ekonomi. Dan sebagian diantaranya adalah kami-kami ini, yang mempunyai sedikit perbedaan karena tidak dapat dipastikan termasuk dalam kalangan mana, kereta ekonomi bahkan tidak dapat menandai seperti apa kehidupan kami. Kami yang tetap santai dengan segala apa yang harus dihadapi di Ibu kota ini, termasuk dengan segala apa yang terjadi dalam kereta ekonomi kesayangan kami ini.
Meskipun kami termasuk pelajar atau mahasiswa yang sering berpergian dengan kereta ekonomi, rasanya itu belum dapat dimasukkan dalam tahap perjuangan kami dalam menuntut ilmu, itu terlalu berlebihan. Buktinya kami lupa bahwa terpelajar, masih bisa jadi bengal dan tak takut mati dengan tawuran, dimana otak terpelajar kami bila merasa tempat ternyaman di kereta adalah diatas gerbong. Dan jika kami disebut pekerja, kehidupan seperti ini juga adalah wajar saja, diantara kami ada yang masih muda dan belum berkeluarga, tak terlalu tahu cara mengambil makna dalam hidup, nafkah yang sedang dicaripun mungkin hanya untuk dihabiskan diri sendiri saja. Kami bukan atau tidak terpelajar lagi, hingga bahkan lebih berani untuk mengambil resiko sebagai penumpang diatas gerbong, kalaupun di dalam gerbong kami buat sesuka hati dengan obrolan dan tingkah yang tidak memperdulikan orang lain. Anggaplah kereta ini milik kami karena didalamnya banyak kawan yang seperti kami
Tapi sekali lagi, kata tangguh tetap pantas disematkan pada kami, meski itu dianggap masalah remeh tentang menghadapi situasi ketika berada dalam kereta ekonomi. Tapi, masihkah ini dianggap remeh bagi kau yang sering menggunakan transportasi ini ?, bukankah tangguh dengan segala cara memang merupakan kunci satu-satunya. Kecuali bagi kau yang tidak tahu rasanya berdesak-desakkan karena sesaknya para penumpang dengan berbagai aroma dan watak yang berbeda, disaat kau harus memasrahkan semua harta, kesucian, bahkan nyawamu dalam keadaan dan pristiwa yang bisa saja terjadi secara tak terduga, lantas apa yang dapat kau perbuat jika untuk bergerak saja kau tak mampu. Di dalam kereta ekonomi ini, bisa saja ada adik atau saudarimu yang sempat diulahi tingkah lelaki usil, atau ibu dan ayahmu yang kelelahan berdiri dan tak diperdulikan penumpang lain.
Maka dari alasan itu, biarlah kalimat tangguh kembali kudedikasikan untuk semua penumpang kereta ekonomi di ibu kota ini. Dan ada sebuah makna khusus, jika itu pantas diberikan untuk salah satu penghuni tetap kereta ekonomi, seperti saya ini. Dibalik kesewajaran yang terpaksa itu, saya tetap mencoba menyimak hal apa saja yang dianggap menarik dalam kehidupan kereta ekonomi ibukota. Seperti halnya satu kelompok yang hampir lupa saya sebutkan, mereka yang sebenarnya juga bisa terdiri dari masing-masing kami, nama mereka yang sering disebut-sebut hingga sudah terkenal dalam sepanjang cerita tentang kereta ekonomi. Mereka adalah pencopet, penjambret, penodong, penjahat, atau apalah istilahnya. Dengan segala cara mereka berada dalam hiruk pikuk kereta ekonomi, terkenal dengan sosok mereka yang samar untuk ditebak, selalu saja ada tanpa diketahui, mereka melakukan akifitas terkenal mereka dengan berbagai cara, dan merekalah yang paling tak takut mati dari kami semua.
Kereta ekonomi itu secara halus dikatakan lebih identik dengan kelas bawah, tapi bukankah sebagian besar masyarakat negeri ini secara kasar memang dikatakan orang miskin. Kalau tidak begitu mungkin cara pikir masyarakat kita yang penuh kesederhanaan dan apa adanya, yang terpenting murah meriah. Seperti seorang ibu yang rela berdesak-desakkan dalam kereta ekonomi bersama bayinya, kalau seperti itu perasaan apa yang pertama kali muncul di benak kita ?, kasihan tentunya. Tapi terkadang tidak bagi saya, saya hanya merasa Ibu itu hanya benar-benar memegang teguh cara pikir masyarakat kebanyakan. Yang penting murah meriah, dan terlepas dari resiko yang akan terjadi, akhirnya si bayi dipaksa memahami keadaan yang sebenarnya tidak dimengerti. Itukah cara pikir, atau keadaan yang disebut kemiskinan ?. Yang jelas, paling benar menurut saya adalah sisi kemanusiaan yang tetap tak dapat diukur oleh nilai materi sekalipun.
Sampai sekarang aku selalu tak habis pikir tentang ibu yang seperti itu dan semoga dia membaca ini. Itupun hanya contoh kecil dari banyaknya kejadian luar biasa yang terjadi di dalam kereta ekonomi.
Beginilah ibu kota negeri ini, satu masalah sengaja dibiarkan untuk terbiasa melewati timbulnya masalah yang lain. Atau memang seperti ini cara pikirku, satu hal kecil sengaja disulut untuk mengobarkan pemahaman yang hanya kumengerti sendiri, akhirnya ledakanyapun membakar emosi dan perasaan tanpa memperdulikan lagi arti tulisan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar