Dialah maha pengampun dan berkehendak. Jika diberi kesempatan untuk dapat melihat dunia pada usia selanjutnya maka Alhamdulilah di tahun berikutnya itu kita masih dapat bertemu dengan Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan yang selalu datang menyambangi kita tiap tahun. Di saat bulan suci, banyak manusia zaman sekarang yang sudah menganggap itu seperti tradisi yang mengharuskan mereka berbondong-bondong beribadah, dengan tujuan mensucikan diri dari segala dosa yang pernah terjadi. Tapi, bukankah sebenarnya ibadah adalah sebuah keharusan mutlak tanpa menunggu hadirnya bulan suci Ramadhan. Ya, seperti itu yang kita yakini meski kerap berbeda dengan apa yang terjadi.
Aku sendiri memahami tentang bulan suci ini dengan terlebih dahulu menilik diriku sendiri, dan menaut kesimpulan bahwa dari dulu aku tidak lebih dari orang yang munafik. Ya, aku yang sebenarnya sering tidak menghiraukan hadir tidaknya bulan Ramadhan ini, juga tidak berarti sama sekali bagiku akan ada tidaknya makna dari bulan suci ini. Maka, inilah ungkapan hati yang tak munafik, bermuara tulus dari curahan lubuk hati yang terdalam. Jerit pengakuanku sebagai manusia yang sudah tidak kuat hidup berkubang hina. Dalam Islamku, aku seperti mendustakan ajaran suci agama sendiri. Sebagai muslim, aku sama sekali tidak tahu bagaimana bersikap sebagai seorang muslim.
Beribadah padaNya tidak selalu rutin kulaksanakan. Kalaupun iya, tidak lebih dari keharusan terpaksa yang terikat tata cara dan aturan waktu. Aku tidak mengindahkan hal penting bahwa ibadah sebenarnya adalah sarana yang bisa menjadi jalur komunikasi antara aku dan Dia, maka perlu persiapan lahir batin secara suci setiap kali akan melaksanakanya. Adalah kebenaran, Dia Yang Maha Agung pencipta seluruh manusia beserta alam semesta. Tapi kenapa, untuk ibadahpun terkadang masih kupilah-pilah agar tak mengganggu rutinitasku di dunia milikNya yang fana ini. Itukah yang disebut keyakinan akan KekuasaanNya ?. Sedangkan karena segala yang ada di bumi ini adalah milikNya, maka tak ada yang pantas ditakutkan selain kekuasaanNya.
Sama sekali aku belum memahami makna dari ibadah yang kulakukan dalam penjabaran kehidupan. Ilmu yang pernah kupelajari hanya tertanam sebagai teori dan membekas sedikit saja dalam tabiat, itupun belum benar-benar dipahami dan banyak yang terlupa. Padahal aku sangat meyakini, sadar diri sebagai hambaNya yang lemah. Manusia beserta bumi dan seluruh isinya adalah milikNya yang pasti akan kembali dan musnah. Tapi bahkan kebenaran mutlak seperti itu, masih saja sering disangkal melalui segala tindakanku secara sadar.
Sebagai manusia betapa kecil dan banyak kelemahan yang ada pada diriku ini. Tapi disaat melakukan dosa, aku seakan tak menyadari kecilnya diriku di hadapanNya . Dengan melakukan dosa, aku tidak takut melanggar laranganNya. Maka pantaskah aku disebut hambaNya yang beriman ?. Dia Maha Pemaaf dan karena aku hanyalah manusia, maka aku yakin dosaku yang sekali selalu ada pintu ampunan dariNya Tapi bagaimana jika dosa itu terus berulang kali terjadi, aku selalu tidak bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi, bukankah yang disebut manusia harus dapat mengambil pelajaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama untuk kesekian kali ?. Maka pantaskah aku disebut manusia, jika tak dapat memberdayakan akalku ini untuk menuju jalan yang benar?.
Bulan Ramadhan adalah bulan Agung, bulan suci yang penuh ampunan dan berkah. Tapi apa yang kutulis ini adalah cerita tentang apa yang sebenarnya, aku memaknai bulan Ramadhan secara kerdil dengan penuh kemunafikan. Dan secara umum menceritakan tentang bagaimana selama ini aku tak pernah takut melakukan dosa. Ya, hal itu memang benar jika selama beribadah aku belum juga bisa memahami secara keseluruhan tentang maksud dari Ibadah tersebut. Aku yang masih pongah dan selalu ingin kelihatan sebagai orang yang berbudi dari luarnya saja. Kerap kali aku jatuh pada dosa yang sama, mengumbar taubat yang hanya terucap di mulut saja. Apa yang diniatkan hati selalu bertentangan dengan upayaku, meski aku meyakini akan KebesaraNya.
Apakah aku yang seperti ini tidak sendiri ?.
Tapi dengan begininya aku, selalu saja aku mempunyai niat untuk berubah menjadi umatNya yang lebih baik. Meski dalam pembuktianya selama ini, langkah nyataku selalu membuat kesungguhanku itu patut dipertanyakan. Tapi tidak dengan niatku, niat yang tulus selalu berasal dari hati, di situlah sumber rasa cinta dan Keimanan terhadap Dia. Aku masih punya itu....
Bagaimana dengan kalian ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar