My Adsense

15 Agu 2010

GIE dan aku

Menonton film GIE membuat aku menautkan kesimpulan yang sangat dalam. Meski mungkin itu hanya dimaknai sebilah pihak oleh diriku sendiri. Setiap menonton film yang dirasa menarik, aku pasti ingin benar-benar mengikuti alur cerita film itu. Dan untuk film GIE, ketika aku mulai perlahan memahami sosok dan alur yang diceritakan, aku merasa seperti ada yang sama, tapi apa benar sama ? dan tentang siapa yang kumaksud ini ?.

Sebenarnya tulisan ini terlalu banyak menyimpang dari inti paragraph pertama yang sepertinya ingin menceritakan tentang kesamaan dari sosok seorang GIE. Tapi biarlah hanya tulisan ini yang tahu tentang apa yang diperbuatnya.

Dulu sebelum aku menjadi seorang mahasiswa dan menginjak ibukota ini. Aku sudah punya bayangan versi sendiri tentang bagaimana dan seperti apa seorang mahasiswa itu. Bayangan itu adalah, jika nanti aku berangkat dengan tujuan untuk menjadi seorang mahasiswa, maka harus kampus ternama yang menjadi tujuanku. Karena sepertinya disanalah aku bisa benar-benar mendapatkan kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang berada dalam dunia kampus. Seperti juga dengan apa yang terlihat dulu, disana aku hanya menyaksikan lewat televisi dan kabar angin lainya, bagaimana mereka yang menjadi mahasiswa sebuah kampus ternama benar-benar dapat memberi arti dari nama mereka sebagai seorang mahasiswa.

Waktu itu yang kumengerti dari mahasiswa adalah orang-orang hebat, mereka adalah cikal bakal para pemimpin, politikus, pengacara, orang-orang pandai yang kukagumi dan sering memenuhi layar kacaku disana. Selama menjadi mahasiswa, mereka tentunya lebih sering mengisi hari dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat yang tidak lepas dari dunia kampus. Dunia kampus yang isinya anak-anak muda pandai gemar membaca, jadi panutan dan disegani masyarakat biasa, pintar berorganisasi dan memimpin, hebat dalam bicara dan berdebat, gemar berkreatifitas dan menuangkan ide liar intelek mereka. Tentunya mahasiswa-mahasiswa seperti mereka berasal dari kampus ternama.

Belum lagi dengan menjadi mahasiswa kampus yang terletak di kota besar, akan banyak sarana dan prasarana yang mendukung segala kebutuhan mereka sebagai mahasiswa. Ditambah lagi seperti apa yang kulihat dalam sinema elektronik pada laya kacaku disini, membuat aku sering berimajinasi, kehidupan seorang mahasiswa yang hebat di kampusnya akan selalu beriringan indah dengan kehidupan asmara dan masa depan cemerlang dia nantinya. Kisah seorang mahasiswa perantau yang akhirnya berhasil meraih semua yang diinginkan oleh masa depanya. Waktu itu terkadang aku berpikir ingin hidupku nanti dapat terjadi seperti sinetron yang pernah kutonton.

Begitulah pandangan gamblangku tentang seperti apa mahasiswa, hanya menurut pikiran yang memang banyak dipengaruhi kabar, tapi memang hanya bisa seperti itu yang tersampaikan di tempat ku dulu nan jauh disana. Waktu itu kami yang belia berkeinginan, dan akhirnya salah satu sumber untuk menemukan mimpi dari keinginan kami itu adalah melalui media visual. Itupun hanya untuk kami yang mempunyai mimpi, dan hanya untuk diantara kami yang niatnya begitu menggebu hingga pandai menautkan sendiri kesimpulan dari mimpinya, tentang seperti itu seharusnya kehidupan kami nanti di ibukota sana. Dalam hal ini adalah sebagai seorang mahasiswa.

Jauh sebelum menonton film GIE, aku yang waktu itu sama sekali belum mejadi seorang mahasiswa, tapi sudah berimajinasi seperti apa yang terjadi pada GIE dengan dunia kampusnya. Jika jadi mahasiswa nanti, aku harus bisa masuk ke kampus yang ternama. Bukan hanya dari segi pengetahuan yang akan kudapat tapi aku juga harus bisa masuk kedalam segala sisi beluk dunia kampus, organisasi, politik, kegiatan extrakulikuler, apapun itu yang berhubungan dan mencitrakan aku sebagai seorang mahasiswa. Harus seperti itu !.

Waktu pun berlalu, akhirnya sampailah saat dimana aku harus berangkat ke kota besar ini dengan tujuan untuk menjadi seorang mahasiswa. Kampus ternama, itu tujuan pertamaku. Harus bisa kubuktikan, seperti pada kakakku yang sering kuremehkan di depan orang tuaku karena hanya bisa masuk ke kampus yang biasa saja. Terkadang aku memang orang yang congkak jika itu berhubungan dengan ambisi, dan mungkin saja sama dengan kalian. Tapi jika diantara kalian tetap ada yang bisa membuktikan apa yang kalian ambisikan, pada akhirnya itu tidak terjadi dengan diriku pada saat itu.

Aku gagal masuk kampus ternama karena kecongkakanku. Hingga tidak menyadari bahwa ketika mulai menginjak kota besar ini aku telah semakin dewasa dan resmi disebut perantau, dan jika benar pikiranku telah dewasa dan sadar perantau itu adalah pejuang, seharusnya aku mempersiapkan secara matang tujuan utamaku ke kota besar ini. Tapi waktu itu aku tanpa persiapan apapun, masih ada bau manja meski sebenarnya aku telah terlepas jauh dari keluarga, yakin karena dulu disana aku selalu dibanggakan, membuatku tetap yakin dan semakin congkak. Tapi ternyata di sini aku bukan belum ada apa-apanya, tapi tidak ada apa-apanya. Aku gagal masuk kampus ternama.

Perlu waktu yang cukup lama untuk menghilangkan kesedihanku, bahkan sampai sekarang aku menulis ini, masih ada sedikit rasa penyesalanku. Seharusnya aku tetap bisa masuk di kampus ternama itu. Dari sekian banyak penjurusan ilmu yang ada, kenapa waktu itu aku tidak sadar akan minat, yang ternyata kedepanya baru kutahu hingga menjadikan aku begitu cinta terhadap duniaku yang sekarang ini. Aku pasti bisa jika dulu tidak salah menjatuhkan pilihan !. Memang dasar aku yang masih saja congkak dalam berambisi.

Sudahlah, tidak masuk kampus ternama bukan berarti aku tidak bisa menjadi mahasiswa seperti apa yang kuinginkan. Aku percaya takdir, dan mungkin untukku takdir ini akan sedikit berubah di awalnya. Aku tetap masuk dalam dunia kampus, tetapi bukan kampus yang ternama. Dan setelah resmi menjadi mahasiswa, dimulailah perjuanganku untuk menjadi mahasiswa yang benar-benar mahasiswa seperti apa yang kuimpikan dulu. Dari awal aku tahu, kampusku yang ini akan sangat berbeda dengan kampus yang kuimpikan dulu, tapi ya sudahlah, kenyataan yang ada memang hanya seperti ini.

Meski aku bukan mahasiswa kampus ternama itu, aku tetap bisa merasakan seperti apa kehidupan di kampus mereka, selalu berusaha agar bisa menjadi bagian dari mereka meski secuil, apapun kulakukan untuk bisa mengambil pengalaman positif dari dunia kampus mereka. Apalagi setelah aku semakin tahu bahwa di kampusku sendiri, benar-benar bukan kampus untukku.

Awalnya kampusku tidak bisa menjadikan aku sebagai mahasiswa seperti yang selama ini aku impikan. Aktifitas kekampusan di kampusku berjalan secara pasif, karena mungkin merasa sadar akan mahasiswanya yang juga pasif. Tapi aku tidak pasif !, memang aku sadar tidak mampu untuk masuk ke kampus ternama itu dan terpaksa berada di kampus biasa ini, tapi bukan berarti aku tidak ingin seperti mereka yang ada di kampus ternama itu. Apa yang mereka dapatkan setidaknya sama dengan apa yang kuimpikan sebagai seorang mahasiswa. Tetapi kenapa kampusku tidak bisa mengerti tentang hal tiu.

Selama aku tetap berada di kampus biasa ini, terpaksa sebagian mimpiku direlakan mati bersama kepasifan yang dibangun di kampusku sendiri. Apa yang bisa kuperbuat jika dikampus ini kami dibiasakan untuk pasif. Terbitlah tujuan besarku, jika di kampus ini aku tidak bisa menjadi benar-benar mahasiwa seperti apa yang kuimpikan maka kenapa aku tidak mendapatkan apa yang bisa kuambil di kampus ternama itu. Dimulailah perjuanganku sebagai seorang mahasiswa untuk dapat merasakan kehidupan kampus. Segala macam kegiatan pengetahuan dari kampus ternama yang bisa ditujukan untuk mahasiswa kampus lain, sering kuikuti selama sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Aku mencoba bergabung sebisa mungkin dalam organisasi yang diadakan oleh mahasiswa kampus ternama tersebut. Itu semua tidak lain hanya untuk mewujudkan mimpiku dulu. Dan memang dari hal itu aku cukup bisa melihat semuanya, dunia kampus mereka yang selama ini ada dalam mimpiku sebagai seorang mahasiswa, membuat aku semakin kagum terhadap orang-orang muda intelek yang dicerminkan melalui cara berpikir dan bersikap, wajarlah jika ahirnya aku kembali menyesal dan sedikit iri.

Tapi dari semua itu juga akhirnya menimbulkan kesadaran yang dalam pada diriku. Itu semua memang mimpiku tapi aku tetap tidak bisa jadi seperti mereka. Merekalah yang telah terpilih di kampus ternama itu karena memenuhi kriteria yang dicari oleh dunia kampus mereka, berbagai seluk beluk organisasi kepemimpinan yang memerlukan pemikiran dari orang-orang bijak dalam bertanggung jawab, bahasa-bahasa perdebatan politik pelik yang untuk mengertinya haruslah terisi banyak pengetahuan dan sanggup berpikir rumit untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sedangkan aku tetap dengan diriku yang pada dasarnya memang hanya begini. Jikapun ada sedikit kelebihan itu adalah dari apa yang kudapat selama ini, yang coba kucari dari dunia kampus mereka. Sudah cukup jika aku yang begini dapat sedikit dianggap, tapi apa benar pernah dianggap. Dengan pernah dekat dengan mereka, cukuplah sedikit ilmu karena memang hanya seperti itu yang dapat kumengerti. Itu dunia mereka dan biarlah cukup sebagai pengalamanku dan mengendap dalam mimpiku dulu.
Sebaiknya cukuplah bagiku mengejar mimpi di kampusku yang biasa saja, meski cendrung pasif tapi aku masih dapat bergerak dan dianggap oleh kampusku sendiri, kampusku yang mahasiswanya jarang berkoar tentang hal politik atau apapun, tapi cukup dengan pengalaman yang sudah kudapat membuatku mengerti akan lurus atau keloknya arti, jika mahasiswa sudah berbicara politik.

Tinggal tersisa satu lagi mimpiku sebagai mahasiswa yang harus aktif dengan dunia kampus, itu diluar sisi organisasi, politik dan segala tetak bengek lainya. Aku harus aktif mengembangkan bakat dan hasrat liarku sebagai seorang muda dan mahasiswa. Untuk hal ini aku tidak perlu jauh-jauh melihat dari kampus ternama diseberang sana, meski menurutku mereka tetap mempunyai nama untuk segala hal yang berhubungan dengan dunia kampus apapun. Tapi untuk bidang yang satu ini, sebenarnya adalah tergantung dari niatku sendiri karena kampus tidak beperan secara keseluruhan selain sebagai prasarana, karena ini meski bergerak atas nama mahasiswa tapi tetap dinaungi kampus. Aku harus jadi mahasiswa yang aktif dalam kegiatan extrakulikuler kampus.

MAPALA, tujuan pertamaku. Dari artinya saja, mahasiswa pencinta alam, sudah membuat aku sangat tertarik. Dan dari arti nama itu juga aku sudah dapat menebak kegiatan-kegiatan apa saja yang mereka lakukan. Mendaki gunung, lewati lembah yang menglir sungai-sungai indah. Bagaimana aku tidak tertarik, jika sejak kecil adrenalinku sudah bisa terpacu dengan kegiatan-kegiatan menyongsong alam seperti itu. Ketika kecil kami disana lebih tertarik mendaki bukit, berjalan jauh melewati terjal dan curam, atau berenang merasakan dinginya mata air sungai, dibandingkan duduk manis layaknya anak rumahan dengan permainan modern mereka. Tanpa disadari, sebenarnya hati kecil kita menyadari bahwa keindahan murni dari alam takkan pernah ada bandinganya dengan kemajuan zaman apapun, karena dari itu kita bersyukur akan kebesaranNya.

Tapi dalam hal ini kenyataanya tidak sama dengan cerita dalam film GIE. Yang pada akhirnya aku tidak jadi masuk sebagai anggota MAPALA. Dan tidak juga ada rasa penyesalan seperti yang sudah-sudah, karena ini dari keinginanku sendiri. Setelah aku tahu bahwa dengan kegiatan ini, mungkin harus banyak mengorbankan mimpi lainku sebagai seorang mahasiswa. Tentunya aku harus memilih salah satu yang terbaik dan tidak ingin kuliahku terbengkalai karena salah memilih. Akupun masih tetap bisa mensukuri keindahan alamNya tanpa menjadi anggota MAPALA resmi di kampusku, hatiku tetap saja tergerak jika ada niat bersama-sama teman untuk menyongsong alam, sampai sekarang tak ada kegemaran yang melebihi hal yang satu ini. Hanya saja aku tetap harus menyesuaikan dengan kegiatan utamaku yang lain.

Suatu saat nanti aku ingin sendiri meresapi keindahan alamNya, puaskan adrenalin yang terkadang bisa sangat liar, mendaki gunungnya semampuku, merasakan curamnya lembah dengan kemenangan atas rasa takutku, dan menyelam di kejernihan mata air sungai untuk menenggelamkan segela kebisingan dalam otakku.

Tak menjadi anggota MAPALA, tapi aku masih punya satu minat yang cukup besar terhadap satu kegiatan di kampus ku ini. Rasanya keinginan ini dapat berjalan lancar karena tidak akan mengganggu aktifitas lainku sebagi mahasiswa, aku juga masih bisa memuaskan semua adrenalin liarku disini. Keinginan yang terbit dari hobby dan sampai sekarang terus rutin kulakukan. Jika tubuh kita kuat, maka jiwapun begitu. Aku yang sering berpikir kerap dilanda kejenuhan, semuanya bisa terlampiaskan total melalui kegiatan fisik mengolahkan raga. Maka aku menjadi anggota olahraga beladiri di kampusku. Tapi ini tidak pernah menjadi mimpiku, karena aku benci kekerasan. Meski perlahan aku mendalami sendiri filosofinya dan menemukan apa yang kucari selama ini. Arti dari kekuatan, ketenangan, keluwesan, kecepatan, pertahanan, ketahanan, kesabaran, yang semuanya itu tidak lepas dari filosofi perjuangan dalam menjalani hidup.

Apalagi yang ingin diceritakan dalam tulisan ini, sedangkan intinya sudah sangat jauh melenceng. GIE adalah mahasiswa sebuah kampus ternama dengan segala aktifitas yang akhirnya dapat menjadi sejarah dan menoreh namanya sebagai salah satu mahasiswa bersejarah di negeri ini. Dia yang puitis sering menulis setiap hal yang dianggap penting dalam hidupnya, kata-kata dalam tulisan tingkat tinggi yang begitu mengena di hati, meski hanya tentang kejadian sehari-hari yang biasa atau terkadang konyol, tapi ada juga luapan kemarahan atas ketidak adilan, ketimpangan keadaan sosial dan panasnya situasi politik yang waktu itu dia rasakan. Segala yang dia rasa berarti maka ditulis oleh dia, dan kini dari tulisanya yang berarti itu dia dikenal.

Dalam filmnya, dia adalah mahasiswa yang paham dan gencar menyuarakan kebenaran melalui politik, dan dia termasuk salah satu orang yang ikut berperan dalam sejarah politik bangsa ini. Film ini sebagian besar juga tidak terlepas dari penceritaan tentang dia yang merupakan anggota mahasiswa pencinta alam di kampusnya. Banyak inspirasi tentang alam yang dia ungkpkan melalui tulisan-tulisanya. Hingga kisah yang paling tragis adalah hidupnya yang ternyata berakhir di tangan alam yang sangat dia cintai.

Dan ada satu hal yang hampir terlupa dari tulisan ini, namun sebenarnya merupakan hal penting tentang sosok dia. Dia adalah lelaki yang mungkin terlalu banyak berpikir, hingga dalam kehidupan, urusan perkawanan bahkan asmara cendrung terlihat kaku. Meski ketulusan dan kelurusan hatinya tidak bisa tersamarkan oleh semua itu.

Aku sekarang bukanlah mahasiswa lagi, Alhamdulillah segala urusan dunia kampus itu dapat kuselesaikan dalam waktu yang sewajarnya. Mimpiku tentang menjadi mahasiswa akhirnya kujalani apa adanya saja. Aku sempat dianggap dalam dunia kampus tempat ku dulu, atau mungkin juga tidak sama sekali, ah aku sudah aku semua tentang hal itu. Aku juga tidak terlalu intelek layaknya seorang mahasiswa yang telah menjadi sarjana, buktinya sekarang apa yang menjadi pekerjaanku sama sekali tidak berlatar belakang dari jalur pendidikanku. Tapi sesuai dengan mimpi dan apa yang kucita-citakan, pekerjaan yang tidak menjadi rutinitas tapi kebiasaan yang sangat kucintai. Kebebasan, kebersamaan, petualangan, emosi, fisik , bersatu membaur dalam pekerjaanku ini.

Aku tidak sama dengan GIE yang jadi sejarah atau mungkin aku belum menjadi sejarah, setidaknya nanti untuk anak cucuku sendiri. Aku selalu memohon agar tidak mati muda sepertri GIE, dan tidak mengerti tentang tulisan GIE yang akan berbahagia dengan mati muda. Aku tak pernah takut dan lari dari masalah kehidupanku, karena salah satu alasan aku hidup adalah memang untuk menyelesaikan itu. Maka, inilah aku…

Lantas apanya yang sama ?.

Isi puisi itu tak selalu indah. Dan berpuitis tak selamnya jauh dari kenyataan. Aku dan GIE atau mungkin juga kalian, sama-sama mencoba menghargai kehidupan nyata yang dialami dengan berpuitis secara tulus dari hati. Cukup kita sendiri yang terlebih dahulu puas setelah isi hati lunas terungkap tuntas.

2 komentar:

neng rara mengatakan...

assalamualaikum..
kunjungan perdana,
salam persahabatan
salam

Unknown mengatakan...

salam juga neng Rara